Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
“Razia kosan pekerja kafe, Satpol PP
temukan 3 wanita positif HIV.” Ini judul berita di merdeka.com (29/9-2014)
yang terjadi di Kota Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.
Sekilas judul itu menggambarkan “keberhasilan” Satpol PP menemukan tiga
perempuan yang positif HIV, tapi jika dikaitkan dengan fenomena HIV/AIDS maka
ada fakta yang luput dari perhatian Satpol PP dan jajaran Pemkab Jembrana.
Pertama, paling
tidak ada tiga orang laki-laki, bisa penduduk Jembrana atau pendatang, yang
mengidap HIV/AIDS. Mereka inilah yang menularkan HIV/AIDS ke tiga perempuan
penghibung tsb. Dalam kehidupan sehari-hari bisa jadi tiga laki-laki tsb.
adalah suami sehingga ada risiko penularan HIV ke istri atau pasangan mereka
(horizontal). Jika istri atau pasangan mereka tertular HIV, maka ada pula
risiko penularan HIV ke bayi yang dikandung istri mereka (vertikal).
Kedua, jika
setiap malam seorang perempuan penghibur melayani tiga laki-laki, maka setiap
malam ada 9 laki-laki, bisa penduduk lokal atau pendatang, yang berisiko
tertular HIV. Dalam kehidupan sehari-hari bisa jadi laki-laki tsb. yang
tertular HIV dari perempuan penghiburng itu adalah suami sehingga ada risiko
penularan HIV ke istri atau pasangan mereka (horizontal). Jika istri atau
pasangan mereka tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang
dikandung istri mereka (vertikal).
Ketiga, jika
tes yang dipakai Dinas Kesehatan Jembrana adalah reagen ELISA, maka tiga
perempuan penghibur pengidap HIV/AIDS tsb. sudah tertular HIV minimal tiga
bulan. Itu artinya sudah ada 540 (3 perempuan penghibur x 3 laki-laki/malam x
20 hari/bulan x 3 bulan) laki-laki yang berisiko tertular HIV. Merka bisa saja
penduduk Jembrana atau pendatang.
Yang menjadi persoalan besar bagi Pemkab Jembrana adalah “mencari”
laki-laki yang menularkan HIV ke tiga perempuan penghibur dan laki-laki yang
tertular HIV dari tiga perempuan penghibur tsb. Jika mereka tidak ditemukan itu
artinya mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara
horizontal, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Jembrana dilaporkan 505 yang merupakan
5,5 persen dari kasus kumulatif di Prov Bali (kompas.com, 1/7-2014).
Dalam
berita disebutkan: Selain melakukan pemeriksaan kartu identitas, mereka juga
diperiksa tes urin dan darah para pekerja tersebut. Ironisnya, dari hasil
pemeriksaan ini ditemukan tiga wanita terjangkit virus HIV. "Untuk
identitas, mohon maaf kami rahasiakan. Sesuai kode etik badan kesehatan dan
perlindungan terhadap ohida," jelas Asmara (Kasi
Operasi dan Trantib Sat Pol PP Jembrana I Nyoman Gede Suda Asmara).
Yang
ironis bukan penemuan tiga perempuan yang mengidap HIV/AIDS, tapi ada laki-laki
penduduk Jembrana yang menularkan HIV ke tiga perempuan tsb., dan ratusan
laki-laki lain bisa penduduk Jembrana yang berisiko tertular HIV dari tiga
perempuan penghibur tsb.
Terkait
dengan identitas bukan karena “kode etik badan kesehatan dan perlindungan
terhadap ohida”, tapi secara medis semua informasi penderita semua penyakit
adalah rahasia jabatan dokter. Publikasi identitas, jenis penyakit dan tindakan
medis hanya bisa diperoleh atas izin pasien.
Disebutkan
pula “Dia (Kasat Satpol PP Jembrana-pen.) juga memastikan akan terus melakukan
pemeriksaan terkait upaya antisipasi penularan HIV/AIDS di Jembrana, .....”
Bagaimana
cara Satpol PP melihat penularan HIV/AIDS?
Orang-orang
yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisik mereka, sehingga
adalah hal yang mustahil Satpol PP bisa mengantispasi penularan HIV/AIDS.
Yang
bisa dilakukan Satpol PP atau Pemkab Jembrana untuk menanggulangi HIV/AIDS
melalui hiburan malam hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki yang ngeseks dengan perempuan penghibur. Caranya adalah dengan
melakukan intervensi melalui regulasi yang memaksa laki-laki memakai kondom
setiap kali melakukan hubungan seksual dengan perempuan penghibur.
Kabid
Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinas Kesehatan
Jembrana, dr I Gusti Bagus Ketut Oka Parwata, mengatakan, bahwa dari beberapa
kali Satpol PP melakukan operasi dan berhasil menjaring penduduk pendatang yang
pekerjaannya beresiko terhadap penularan HIV/AIDS.
Pernyataan di atas hanya menyudutkan
pendatang, padahal persoalan ada di Jembrana yaitu laki-laki penduduk Jembrana
yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan penghibur pendatang tsb.
Memang, ada kemungkinan perempuan pendatang itu sudah mengidap HIV/AIDS
sehingga berisiko menularkan ke laki-laki penduduk Jembrana. Itu artinya
masalah bukan pada perempuan penghibur pendatang, tapi pada laki-laki penduduk
Jembrana yang ngeseks tanpa kondom dengan perempuan penghibur pendatang.
Disebutkan pula bahwa ada perempuan penghibur yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS
tapi langsung dipulangkan ke daerah asal seingga tidak bisa diawasi.
Yang
jadi persoalan bukan perempuan penghibur pengidap HIV/AIDS yang dipulangkan
tsb., tapi laki-laki penduduk Jembrana yang sudah tertular HIV dari perempuan
penghibur itu. Mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di
masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Selama Pemkab Jembrana hanya menyalahkan perempuan penghibur pendatang, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Jembrana terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS. ***
Selama Pemkab Jembrana hanya menyalahkan perempuan penghibur pendatang, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS di Jembrana terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.