Oleh
Syaiful W. Harahap – AIDS WatchIndonesia
“Awasi Pengidap HIV/AIDS di Dolly” Ini
judul berita di jpnn.com (20/7-2014).
Ini tentang pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuan Dolly di Kota
Surabaya Jawa Timur. Judul berita itu menunjukkan pemahaman yang tidak akurat
terkait dengan HIV/AIDS.
Kasus
HIV/AIDS di Kota Surabaya dilaporkan sampai bulan Mei 2014 adalah 589 HIV dan 444
AIDS (jpnn.com, 20/7-2014).
Pertama, tidak ada
peraturan yang membenarkan seorang pengidap HIV/AIDS diawasi. Jika ada orang
atau pihak yang mengawasi orang-orang yang mengidap HIV/AIDS itu artinya telah
terjadi perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia
(HAM). Ini bukan hanya terhadap pengidap HIV/AIDS, tapi kepada semua pengidap
penyakit kecuali penyakit yang terkait dengan wabah.
Mata Rantai Penyebaran HIV
Kedua, terkait dengan risiko penularan
yang menjadi persoalan besara bukan PSK yang sudah terdeteksi mengidap
HIV/AIDS, tapi, (a) PSK yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, (b)
laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK, dan (c) laki-laki yang tertular HIV
dari PSK.
(a)
PSK yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menularkan HIV/AIDS
kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tsb.
Setiap malam seorang PKS rata-rata melakukan hubungan seksual dengan tiga
laki-laki. Jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV kian banyak jika PSK
yang mengidap HIV/AIDS juga banyak.
(b)
Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai
seorang suami. Itu artinya laki-laki ini akan menurkan HIV kepada istrinya
secara horizontal atau kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya,
seperti istri, istri siri, selingkuhan, pacar atau PSK. Jika istrinya tertular
HIV maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang
dikandungnya.
(c)
Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai
seorang suami. Itu artinya laki-laki ini akan menurkan HIV kepada istrinya
secara horizontal atau kepada perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya,
seperti istri, istri siri, selingkuhan, pacar atau PSK. Jika istrinya tertular
HIV maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang
dikandungnya.
Mata
rantai penyebaran HIV/AIDS oleh laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dan
laki-laki yang tertular HIV dari PSK mendorong penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat. Realitas inilah yang tidak pernah disampaikan secara utuh ke
masyarakat.
Maka,
biar pun PSK yang mengidap HIV/AIDS diawasi, jauh lebih banyak PSK yang sudah
mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Kondisinya kian runyam karena banyak
laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual dengan PSK.
Dalam berita tsb. disebutkan: Mereka (tenaga medis di
puskesmas-pen.) akan secara aktif mencari orang-orang yang diduga menderita
penyakit tersebut. ”Petugas bisa mendatangi orang yang dicurigai dan
mengetesnya,” kata Kepala Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan
Surabaya dr Mira Novia.
Cara-cara yang diterapkan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya ini
merupakan langkah yang melawan hukum karena akan menyasar orang-orang dengan
kriteria mereka sendiri.
Siapa yang diduga menderita penyakit tsb (HIV/AIDS)?
Secara umum berdasarkan pemahaman setengan orang terhadap HIV/AIDS
sebagai fakta medis yang sangat rendah, maka yang mereka duga adalah: PSK,
waria, dan laki-laki ‘hidung belang’ yang ketahuan.
Padahal, orang-orang yang berisiko tertular HIV tidak terbatas
pada PSK, waria dan laki-laki ‘hidung belang’.
Laki-laki dan perempuan pelaku kawin-cerai juga merupakan orang-orang
yang berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan
mereka mengidap HIV/AIDS.
Begitu juga dengan laki-laki yang beristri lebih dari satu, jika
ada di antara istri-istri tsb. yang sudah pernah menikah maka ada risiko
tertular HIV karena bisa jadi ada di antara istri tsb. yang mengidap HIV/AIDS.
Kasus di Kota Medan, Sumut, misalnya, seorang guru agama yang terdeteksi
mengidap HV/ADIS ternyata istri dan anak kedua mengidap HIV/AIDS. Rupanya, guru
agama ini beristri dua. Kemungkinan besar HIV menular dari istri kedua.
Mengalami Keanehan
Begitu juga dengan laki-laki yang menerima gratifikasi seks berupa
‘cewek’ untuk jadi pasangan melakukan hubungan seksual. Biar pun cewek ini
bukan PSK, tapi cewek itu adalah perempuan yang perilakunya berisiko tinggi
tertular HIV karena melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang
berganti-ganti (Lihat: Gratifikasi Seks
(Akan) Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia – http://www.aidsindonesia.com/2013/01/gratifikasi-seks-akan-mendorong.html).
Amatlah gegabah langkah Dinas Kesehatan Kota Surabaya itu kalau
petugas kesehatan yang mencurigai seseorang mengidap HIV/AIDS melakukan tes HIV
kepada yang dicurigai tsb. karena status HIV/AIDS seseorang tidak bisa dilihat
dari fisik ybs.
Langkah Dinas Kesehatan Kota Surabaya
itu bak ‘mati gaya’ karena program penanggulangan HIV/AIDS di sana tidak
konkret. Bahkan, dalam Perda AIDS Kota Surabaya pun tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangai penyebaran HIV/AIDS
(Lihat: Perda AIDS Kota Surabaya - http://www.aidsindonesia.com/2013/07/perda-aids-kota-surabaya.html).
Celakanya, Pemkot Surabaya menutup lokasi pelacuran,
tapi dalam Perda AIDS Kota Surabaya justru pelacuran “dipelihara” (Lihat: Dolly Ditutup, Dalam Perda AIDS Kota Surabaya Justru Ada (Praktek)
Pelacuran - http://www.aidsindonesia.com/2014/06/dolly-ditutup-dalam-perda-aids-kota.html).
Dikabarkan bahwa “untuk para lelaki hidung belang yang suka jajan dengan
PSK, dinkes memang tidak bisa berbuat terlalu banyak. Upaya dinkes hanya
mempersering sosialisasi tentang bahaya penyakit itu. Sosialisasi tersebut juga
dibarengi dengan ajakan untuk segera memeriksakan diri bila mengalami keanehan.”
Selama sosialiasi sudah terjadi penularan HIV dari
laki-laki pelanggan PSK ke pasangan seksnya, bisa istri, pacar, selingkuhan,
PSK atau ke sesama laki-laki. Lagi pula tidak ada rentang waktu yang bisa
dipakai sebagai acuan kapan seorang laki-laki pelanggan PSK akan melakukan tes
HIV. Bahkan, bisa jadi status HIV mereka baru ketahuan ketika sakit atau
sekarat di rumah sakit.
Pernyataan “ .... untuk segera memeriksakan diri bila
mengalami keanehan” merupakan gambaran umum yang terjadi salama ini yang justru
menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS
pada fisik orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun
setelah tertular HIV). Gejala di masa AIDS pun tidak spesifik karena gejala itu
juga bisa karena penyakit lain.
Maka, langkah konkret yang bisa dilakukan oleh Pemkot
Surabaya untuk mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS adalah dengan merancang
regulasi, seperti peraturan daerah (Perda), al.:
(1) Mewajibkan perempuan hamil konseling HIV/AIDS bersama
suami atau pasangan jika memeriksakan kehamilan ke sarana kesehatan pemerintah.
(2) Mewajibkan semua orang yang berobat ke sarana kesehatan
pemerintah untuk menjalani tes HIV.
Sedangkan untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru,
khususnya pada laki-laki dewasa, hanya bisa dilakukan melalui hubungan seksual
dengan PSK jika pelacuran dilokalisir. Yang terjadi di Kota Surabaya adalah
pelacuran tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijalankan program yang bisa
menurunkan insiden infeksi HIV baru.
Itu artinya Pemkot Surabaya tinggal menunggu waktu saja
untuk “panen AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.