Jakarta, aidsindonesia.com (19/7-2014) - The Joint United Nation Program onHIV/AIDS (UNAIDS)
mencatat Indonesia masih mempunyai rapor merah dalam penanggulangan AIDS.
Badan PBB yang
bertanggung jawab mengurusi program penanggulangan AIDS ini baru saja mendapat
laporan “GAP Report”. Isinya terkait kemajuan program penanggulangan AIDS
secara global.
Dalam lembar faktanya, mereka menyoroti keprihatinan terhadap Indonesia.
Kasus infeksi baru telah meningkat sebesar 47 persen sejak tahun 2005.
Dilihat dari proporsi angka infeksi baru, Indonesia masuk peringkat 8 besar
dunia dengan angka infeksi baru HIV terbesar dengan menyumbang empat persen
angka infeksi baru HIV di dunia.
Bahkan, data ini berlawanan dengan data yang menyebutkan negara-negara
seperti India, Cambodia, Thailand dan Myanmar telah berhasil menurunkan angka
infeksi baru.
Salah satu penyebab dari masih tingginya angka kematian terkait AIDS di
Indonesia ini adalah karena masih rendahnya cakupan terapi obat ARV bagi ODHA
(Orang dengan HIV).
Laporan ini mencatat bahwa cakupan pengobatan ARV pada ODHA baru sebesar 8
persen dari total orang yang terinfeksi HIV.
Di aspek hak asasi manusia, Indonesia bersama beberapa negara masih
disoroti karena mencatat bahwa praktik sterilisasi paksa pada perempuan dengan
HIV masih terjadi.
Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif dari Indonesia AIDS Coalition (IAC)
mengatakan bahwa pekerjaan rumah belum selesai.
"Meski beberapa data laporan UNAIDS itu masih perlu disesuaikan dengan
konteks Indonesia, misalnya apakah angka infeksi baru yang meningkat disebabkan
oleh epidemic yang memang meluas atau keberhasilan dari program case
finding," ujar Aditya Wardhana, dalam pernyataannya, Sabtu (19/7/2014).
Namun ini adalah peringatan keras agar seluruh rakyat Indonesia
meningkatkan upaya dalam program penanggulangan AIDS.
"Persoalan ini hanya bisa diselesaikan jika komitment politik
ditingkatkan, alokasi pendanaan yang dibutuhkan dipenuhi, kepemimpinan
diperkuat serta upaya dari masing-masing propinsi dan kabupaten kota perlu di
lipat duakan. Serta yang tidak kalah penting adalah pemerintah harus
menggandeng komunitas terdampak AIDS sebagai inti dari program. Bekerja bersama
ODHA dan bukan sekedar bekerja untuk ODHA," katanya.
Organisasi IAC sendiri berharap bahwa pemerintahan yang baru nanti
meningkatkan komitmentnya terhadap program penanggulangan AIDS.
Dalam sambutannya, Michel Sidibe, Direktur Eksekutif UNAIDS, mengatakan
"kita bisa akhiri epidemic AIDS ini di tahun 2030 jika kita benar-benar
bekerja keras."
Untuk Indonesia sendiri, tahun-tahun mendatang menjadi sebuah tantangan
besar. Di saat laporan GAP ini menunjukan bahwa Indonesia perlu perhatian
serius namun tampaknya pemerintah masih berjalan santai.
Salah satu bukti dari santainya pemerintah Indonesia adalah masih tingginya
tingkat ketergantungan pada bantuan luar negeri bagi program AIDS serta masih
tingginya kebergantungan pada obat Impor dan bahkan beberapa adalah obat-obatan
paten.
“Satu peluang emas bagi kita dalam memutus tingginya kebergantungan pada
dana bantuan luar negeri adalah dengan mengakomodir pengobatan ODHA yang
mencakup ARV serta tes-tes laboratorium penunjang dalam JKN. Dengan semua
digratiskan, besar harapan angka cakupan pengobatan bisa diperluas," tutur
Aditya. (tribunnews.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.