Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
Koq bisa?
Itulah realitas
sosial, khususnya di Surabaya, karena biaya untuk melacur yang sangat besar. Polda
Jatim, misalnya, menangkap tiga germo (KBBI: induk semang bagi perempuan
pelacur; muncikari) yang mempekerjakan cewek-cewek panggilan yang
tinggal di apartemen mewah dengan tarif Rp 5 juta.
Tiga germo yang ditangkap polisi itu adalah pria yang tinggal di Surabaya, mereka
adalah Gery, 29 tahun, asal NTT, Indro dan Halim keduanya asal Jakarta (tribunNews.com, 18/7-2014).
Cewek-cewek
panggilan yang datang dengan menyetir sendiri mobil mewah mereka hanya mau “berlaga”
di hotel bintang lima. Nah, itu artinya sekali “tembak” membutuhkan uang minimal
Rp 7,5 juta.
Nah, siapa yang
punya uang sebesar itu? Tentu saja hanya pegawai, aparat dan pengusaha dengan
penghasilan besar dan mempunyai sumber dana yang tidak terbatas hanya pada gaji
atau upah bulanan.
Selain yang punya
uang, yang bisa “mencicipi” cewek-cewek kelas atas itu adalah mereka yang dapat
“durian runtuh” yaitu pegawai, aparat dan pengusaha sebagai imbalan atau
pelicin untuk menggolkan sesuatu sebagai cewek gratifikasi seks.
Sedangkan
kalangan menengah ke bawah tidak mempunyai “peraduan” yang terjangkau lagi
karena tempat pelacuran dengan tarif Rp 50.000 - Rp 250.000 sudah tidak ada
lagi setelah “Dolly” dan tempat pelacuran lain ditutup oleh Pemkot Surabaya.
Kalangan
berkantong tipis akan bergerilya mencari pelacur yang sesuai dengan koceknya di
berbagai tempat. Dan, itu tidak sulit karena ada saja tempat yang menyediakan
pelacur kelas bawah dengan perantaraan tukang becak, tukang ojek, sopir taksi,
karyawan penginapan dan losme, dll.
Cewek-cewek
panggilan tsb. adalah perempuan yang perilakunya berisiko tinggi tertular dan
menularkan HIV/AIDS karena mereka melayani laki-laki yang berganti-ganti untuk
melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tsb. tidak memakai kondom.
Dalam kondisi
lain cewek-cewek panggilan itu menjadi cewek gratifikasi seks yang diumpankan
kepada pegawai, aparat dan pengusaha. Jika ini terjadi maka laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks berisiko tinggi tertular
HIV jika tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual.
Dalam bahasa lain
cewek-cewek panggilan dan cewek-cewek gratifikasi seks adalah pekerja seks
komersial (PSK) tidak langsung yaitu PSK yang melakukan praktek pelacuran yang
tidak kasatmata. Mereka adalah pelacur yang tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang karena mereka “main” di hotel berbintang, bahkan ada yang hanya mau
di hotel bintang lima.
Celakanya, tidak
ada sosialisasi pemakaian kondom pada laki-laki ketika melakukan hubungan
seksual dengan cewek panggilan dan cewek gratifikasi seks. Mereka tidak bisa
diintervensi karena tidak tinggal di tempat setelah melayani laki-laki “berlayar”.
Mereka hanya datang setelah ada “deal” melalui germo, lalu keluar kamar hotel
setelah laki-laki “berlabuh” di peraduan.
Begitu juga
dengan pelacuran yang tidak dilokalisir akan menjadi ‘sentral’ penyebaran HIV
yaitu dari laki-laki ke PSK dan dari PSK ke laki-laki karena intervensi
sosialisasi kondom pun tidak bisa dilakukan terhadap pelacur yang tidak
dilokalisir.
Celakanya, ada
mitos (anggapan yang salah) bahwa penyebaran HIV/AIDS hanya terjadi pada
pelacuran di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Ini yang menyesatkan tapi sudah
menjadi acuan laki-laki ‘hidung belang’. Padahal, yang terjadi justru
sebaliknya. Pelacuran yang dilokalisir bisa diintervensi untuk sosialisasi
kondom, sehingga insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan.
Kasus kumulatif HIV/AIDS
di Kota Surabaya sampai Mei bulan 2014 dilaporkan 1.035 yang terdiri atas 672
HIV dan 363 AIDS (news.detik.com, 17/7-2014). Angka ini tentulah tidak bisa
dianggap sepele karena angka ini pun bukan jumlah penduduk yang mengidap
HIV/AIDS karena banyak penduduk Kota Surabaya yang tidak terdeteksi mengidap
HIV/AIDS yang dikenal sebagai dark number.
Maka, biar pun “Dolly”
dkk. ditutup penyebaran HIV/AIDS di Kota Surubaya akan terus terjadi, al. dengan
mata rantai penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, serta
laki-laki yang ngeseks tanpa kondom dengan
cewek-cewek panggilan kelas atas dan dengan cewek gratifikasi seks.
Pada gilirannya
HIV/AIDS akan menyebar ke istri dan terakhir HIV akan berlabuh di tubuh
anak-anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang mengidap HIV/AIDS karena tertular
dari suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.