Oleh Syaiful W.
Harahap – AIDS Watch Indonesia
“Data dari dinkes, angka
kasus HIV/AIDS di beberapa kawasan di Surabaya
seperti Benowo, Krembangan, Pabean Cantikan, Sawahan dan Wonokromo cukup
tinggi. Sebelumnya,
di kawasan tersebut berdiri lokalisasi atau karena berdekatan dengan lokalisasi.”
(Penyebaran HIV/AIDS di
Surabaya Banyak Terdampak dari Lokalisasi, detikNews, 17/7-2014).
Ada beberapa hal yang jadi pertanyaan yang sangat mendasar dari
pernyataan di atas, yaitu:
Pertama, pada siapa-siapa
saja kasus HIV/AIDS tsb. terdeteksi? Ini penting karena akan menunjukkan fakta
sebagai realitas sosial karena kalau kasus yang dimaksud cukup tinggi
terdeteksi pada pekerja seks komersial (PSK) tentulah hal yang masuk akal
karena PSK merupakan orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi tertular
HIV/AIDS. Ini terjadi karena mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki
yang berganti-ganti tanpa kondom.
Kedua, bagaimana cara
yang dilakukan Dinkes Kota Surabaya untuk menemukan kasus-kasus HIV/AIDS tsb.? Jika
kasus yang disebut cukup tinggi tsb. diperoleh dengan cara survailans tes
terhadap PSK, maka itu bukan merupakan kasus faktual karena survilans bukan
untuk menemukan kasus HIV/AIDS.
Ketiga, mengapa tidak
ada angka pembanding pada daerah di luar lokalisasi? Ini juga bisa memberikan
gambaran terkait dengan penyebaran HIV/AIDS.
Yang jadi persoalan besar bukan kasus HIV/AIDS yang cukup tinggi pada
PSK, tapi banyak laki-laki dewasa, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai
seorang suami, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV, yaitu (a) laki-laki
yang menularkan HIV kepada PSK, dan (b) laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Maka, pernyataan ”Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya meneliti beberapa
kawasan yang sebelumnya difungsikan sebagai lokalisasi, menjadi sumber
kemunculan penyakit HIV/AIDS” menunjukkan pemahanan yang sangat dangkal
terhadap epidemi HIV/AIDS secara faktual.
HIV/AIDS tidak muncul dengan sendirinya, tapi merupakan penyakit yang
ditularkan yaitu (virus) HIV.
Laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS menularkan HIV kepada PSK karena
laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Laki-laki
ini menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah kepada istri, pacar, pasangan
seks lain dan PSK.
Lalu banyak pula laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK karena karena
laki-laki ini tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan
PSK. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah kepada istri, pacar,
pasangan seks lain dan PSK.
Ada lagi pernyataan Kabid Pengendalian Masalah Kesehatan Dinkes Kota
Surabaya, dr Mira Novia: "Kasus HIV/AIDS banyak ditemukan di kawasan
tersebut (eks lokalisasi) karena dampak dari keberadaan lokalisasi. Selain itu,
di kawasan terdapat hot spot seperti
tempat hiburan.”
Ada fakta yang digelapkan dari pernyataan dr Mira yaitu tentang laki-laki
yang membawa HIV/AIDS ke lokalisasi pelacuran dan laki-laki yang membawa
HIV/AIDS dari lokalisasi pelacuran.
HIV/AIDS yang terdeteksi pada PSK justru ditularkan oleh laki-laki yang
jadi sebagai pelanggan PSK, tapi bisa juga dari laki-laki yang menjadi ”suami” atau
”pacar” PSK. Di beberapa lokalisasi ”suami” atau ”pacar” PSK mereka sebut kiwir-kiwir.
Disebutkan pula oleh dr Mira bahwa sumber kemunculan penyakit di lokalisasi
membuat angka penderita HIV/AIDS di Surabaya tinggi.
Kasus HIV/AIDS berdasarkan data Dinkes Kota Surbaya pada periode Januari sampai
Mei 2014 ditemukan 281 kasus baru dengan rincian 171 HIV dan 110 AIDS. Ini menambah jumlah kasus HIV/AIDS karena
pada tahun 2013 terdeteksi 754
kasus dengan rincian 501 HIV dan 253 AIDS. Sedangkan di tahun 2012 ditemukan
752 kasus dengan rincian 418 HIV dan 300 AIDS. Itu artinya di Kota Surabaya terdeteksi
1.753 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 1.090 HIV dan 663 AIDS.
Lagi-lagi tidak ada penjelasan pada siapa kasus ini terdeteksi. Kalau semua kasus itu terdeteksi pada PSK, maka itu artinya ada puluhan ribu bahkan ratusan ribu laki-laki yang berisiko tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Lagi-lagi tidak ada penjelasan pada siapa kasus ini terdeteksi. Kalau semua kasus itu terdeteksi pada PSK, maka itu artinya ada puluhan ribu bahkan ratusan ribu laki-laki yang berisiko tertular HIV jika mereka tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Tentang PSK yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS disebutkan bahwa ”Mereka
kebanyakan berasal dari luar kota seperti Bandung, Indramayu, Malang dan Jember."
Persoalannya adalah laki-laki yang menjadi pelanggan PSK asal luar Kota
Surabaya itu sebagian besar adalah penduduk Kota Surabaya.
Maka, pertanyaannya adalah: Apa langkah konkret yang selama ini dijalankan
Pemkot Surabaya untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan PSK?
Tentu saja tidak ada. Bahkan, dalam Perda AIDS Kota Surabaya pun sama
sekali tidak ada pasal yang mengatur penanggulangan HIV/AIDS di lokalisasi
pelacuran (Lihat: Perda
AIDS Kota Surabaya - http://www.aidsindonesia.com/2013/07/perda-aids-kota-surabaya.html).
Celakanya, biar
pun dalam perda tsb. tidak ada disebutkan lokasi atau lokalisasi pelacuran,
tapi dalam perda itu justru diakui ada kegiatan pelacuran (Lihat: Dolly Ditutup,
Dalam Perda AIDS Kota Surabaya Justru Ada (Praktek) Pelacuran - http://www.aidsindonesia.com/2014/06/dolly-ditutup-dalam-perda-aids-kota.html).
Fakta ini
menunjukkan bahwa perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS di Kota
Surabaya tetap ada biar pun semua tempat pelacuran yang kasat mata ditutup. Soalnya,
pelacuran terjadi di sembarang rempat dan sembarang waktu. Bahkan, awal bulan
ini Polda Jatim membongkar kasus pelacuran yang melibatkan cewek panggilan
dengan tarif jutaan rupiah dengan tempat transaksi seks di hotel berbintang
lima (Lihat: Pasca Penutupan “Dolly”, Kasus HIV/AIDS (Akan) Banyak
Terdeteksi pada Pegawai, Aparat dan Pengusaha - http://www.aidsindonesia.com/2014/07/pasca-penutupan-dolly-kasus-hivaids.html).
Disebutkan pula
bahwa ”Pihaknya berharap dengan alih fungsi
lokalisasi yang dilakukan Pemkot Surabaya, jumlah penderita HIV/AIDS bisa terus
menurun.” Ini tentu saja tentu saja tidak realistis karena perilaku berisiko al. melalui
praktek pelacuran tetap terjadi.
Bahkan, dengan kondisi pelacuran tidak dilokalisir upaya untuk melakukan
intervensi berupa sosialisasi pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’
tidak bisa dilakukan. Akibatnya, risiko penularan HIV pada praktek pelacuran
terus terjadi sehingga penyebaran HIV/AIDS pun terus terjadi yang pada akhirnya
akan mendorong ”ledakan AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.