Oleh Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia
Jakarta, aidsindonesia.com (30/7-2014) - “Indonesia termasuk negara yang dianggap tertinggal
dalam kemajuan melawan HIV.” Ini ada di dalam siaran pers (press release) UNAIDS: UNAIDS
report shows that 19 million of the 35 million people living with HIV today do
not know that they have the virus (17/7-2014).
Kesimpulan yang dilansir UNAIDS tsb. menunjukkan bukti konkret terkait
dengan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Sejak awal epidemi, ditandai dengan keputusan pemerintah tentang kasus
HIV/AIDS pertama yaitu pada laki-laki gay WN Belanda yang meninggl di RS
Sanglah, Dempasar, Bali, pada tahun 1987 dengan indikasi penyakit terkait
HIV/AIDS.
Mitos AIDS
Sebelum pemerintah menetapkan kasus ini sebagi kasus pertama di Indonesia,
sudah ada beberapa kasus yang mengarah ke HIV/AIDS, tapi pemerintah menolak
mengakuinya karena ketika itu dan sampai sekarang pun pemerintah selalu
mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan ‘penyimpangan seksual’, khususnya homoseksual,
luar negeri, dan bule.
Maka, kloplah sudah “definisi” AIDS yang disebut pemerintah dengan kasus WN
Balanda tsb. sehingga pemerintah pun sambil nemepuk dada mengumumkan bahwa kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia
adalah kasus karena penyimpangan seksual, laki-laki gay, homoseksual, bule dan luar negeri.
Itulah sebabnya kampanye penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya
mengedepankan aspek-aspek moral yang hanya sebatas retorika.
Tahun berjalan kasus terus terdeteksi. Celakanya lagi-lagi pemerintah menepuk
dada karena jumlah kasus yang terdeteksi sangat kecil jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk dan kalau dibandingkan dengan jumlah kasus di negara lain.
Dalam bahasa lain yang dikumandangkan pemerintah dalam menangulangi
HIV/AIDS hanya sebatas mitos (anggapan yang salah), al. (diolah dari berbagai
brosur, bahan ceramah, buku, dll. oleh penulis):
1. HIV/AIDS adalah penyakit bule (maka
banyak orang yang tidak merasa berisiko karena dia bukan bule dan tidak kontak
dengan bule).
2. HIV/ADIS menular melalui zina atau di luar nikah (maka muncul wacana
melakukan nikah mut’ah di pelacuran, di hotel tertentu juga dilakukan nikah mut’ah
sebelum transaksi seks).
3. HIV/AIDS menular pada hubungan seksual sebelum nikah (maka orang-orang
yang sudah menikah merasa aman dengan melakukan hubungan seksual berisiko).
4. HIV/AIDS menular melalui ‘penyimpangan seks’ (maka orang-orang yang
tidak merasa dirinya melakukan hubungan seksual yang menyimpang yaitu
homoseksual merasa aman melakukan hubungan seksual yang berisiko).
5. HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran (maka pemerintah pun menutup
lokalisasi pelacuran, tapi tidak bisa mengontrol pelacuran di berbagai tempat).
6. HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual yang tidak sehat (jargon moral
yang tidak akurat karena semua hubungan seksual adalah sehat).
7. HIV/AIDS menular karena tidak ada ketahanan keluarga (maka orang-orang
yang merasa diri dan keluarganya mempunyai ketahanan merasa aman melakukan
hubungan seksual bersiko).
Laki-laki Pembeli Seks
Mitos itulah yang membuat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia runyam
karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya berisiko tertular HIV al.
karena tidak terkati dengan 7 hal di atas.
Sampai tahun 2006 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia di bawah
10.000 dengan jumlah penduduk 180 juta jiwa. Sedangkan sampai 31 Maret 2014
jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 188.273 yang terdiri atas 134,042 HIV
dan 54,231 AIDS dengan 9,615 kematian (spiritia.or.id).
Di bagian lain siaran pers UNAIDS itu disebutkan pula bahwa “Indonesia
bersama lima negara lain (Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Rusia, dan
Sudan Selatan) menghadapi tiga ancaman, yaitu (a) beban
HIV yang berat, (b) cakupan pengobatan yang rendah, dan (c) tingkat penurunan
infeksi HIV yang sangat rendah.”
Untuk (a) tidak terasa berat karena sampai sekarang pemerintah menyediakan
obat antiretroviral (ARV) gratis. Padahal, harga obat ini Rp 360.000 per
paket/bulan. Untuk pengobatan lain yang muncul terkait dengan infeksi HIV
ditanggung pemerintah melalui program kartu miskin. Tentu akan lain kondisinya
kalau kelak pemerintah tidak lagi menyediakan obat ARV gratis karena akan
banyak pengidap HIV/AIDS yang tidak bisa membeli obat ARV yang akhirnya
berdampak pada tingkat kematian yang
tinggi pada pengidap HIV/AIDS.
Sedangkan untuk (b) juga tidak jadi masalah berat bagi pemerintah karena
banyak orang yang mengdap HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka tidak
membutuhkan obat ARV. Bahkan, kematian mereka pun tidak pula terdeteksi terkait
dengan HIV/AIDS karena meninggal di luar rumah sakit.
Yang jadi masalah besar adalah (c) karena erat kaitannya dengan penyebaran
HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam
dan di luar nikah.
Insiden infeksi HIV baru terus terjadi karena hubungan seksual berisiko al.
dilakukan oleh laki-laki, sebagian besar beristri, dengan pekerja seks
komersial (PSK) tanpa kondom. Jumlah laki-laki yang gemar ngeseks tanpa kondom
dengan PSK mencapai 10 persen dari populasi laki-laki dengan rentang usaia
15-65 tahun. Jumlahnya mencapai 6,7 juta (tempo.co,
25/4-2014).
Di sisi lain tes HIV terhadap 100.926 perempuan hamil pada tahun 2013 menghasilkan 3.135 dari mereka tertular HIV. Sayang,
hanya 1.544 yang mau menjalani program pencegahan HIV
dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Akibatnya, ada 106 anak yang dilahirkan
dengan HIV/AIDS (tempo.co, 25/4-2014).
Gambaran tentang risiko penyebaran HIV dari
suami ke istri yang berakhir pada anak silakan simak di 2,2 Juta Laki-laki ‘Pembeli Seks’ ke PSK
Mempunyai Istri - http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/02/22-juta-laki-laki-pembeli-seks-ke-psk-mempunyai-istri-539465.html.
Yang
bisa dilakukan pemerintan hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki pada hubungan seksual dengan PSK. Ini hanya bisa dilakukan jika
pelacuran atau PSK dilokalisir yaitu melaukan intervensi terhadap laki-laki
berupa pemaksaan agar mereka memakai kondom setiap kali melakukan hubungan
seksual dengan PSK.
Celakanya,
pelacuran di Indonesia tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijangkau untuk
menjalankan program kondom. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus
terjadi yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.