Oleh Syaiful W.
Harahap – AIDS Watch Indonesia
Jakarta, aidsindonesia.com (8/7-2014) - ''Itulah kenapa kita ingatkan untuk mengikuti test HIV, karena itu sudah menjadi hak
setiap orang, jangan lagi merasa tabu, karena yang merasa aman belum tentu
bebas dari HIV dan AIDS.'' Ini pernyataan Ketua Bangun Desa Payung Negeri (BDPN)
Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Prov Riau, Zainal Arifin, dalam berita ” Waduh, Kasus HIV/AIDS di Inhil Didominasi
Ibu Rumah Tangga” (goriau.com,
7/7-2014).
Pernyataan Zainal itu terkait dengan temuan kasus HIV/AIDS
pada ibu rumah tangga (IRT) sampai bulan Mei 2014 sebanyak 18 dari 88 kasus
yang ada di Inhil.
Jumlah yang terdeteksi itu pun tidak menggambarkan kasus
yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang mengidap HIV/AIDS tidak
menyadarinya, al. karena tidak ada gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas
AIDS pada fisik mereka, dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas AIDS.
Untuk mengetahui
apakan seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya bisa dilakukan melalui tes
HIV. Tapi, yang perlu diingat adalah tes HIV merupakan langkah penanggulangan
di hilir. Artinya, Zainal membiarkan dulu ibu-ibu rumah tangga tertular HIV dari
suami baru menjalani tes HIV.
Dalam
penanggulangan HIV/AIDS di hulu yang diperlukan bukan tes HIV, tapi program
yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga.
Tentu saja sasarannya bukan ibu-ibu rumah tangga, tapi suami karena suamilah
yang menularkan HIV kepada ibu rumah tangga (baca: istri).
Disebutkan oleh
Zainal ” .... karena yang merasa aman belum tentu bebas dari HIV dan AIDS.”
Seseorang akan
aman dari risiko tertular HIV jika tidak pernah melakukan kegiatan yang
berisiko tertular HIV, al. (1) tidak pernah melalukan hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (2)
tidak pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering
ganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Bagi orang-orang
yang tidak pernah melakukan nomor (1) atau nomor (2) atau dua-duanya, maka dia
aman sehingga tidak perlu tes HIV.
Disebutkan lagi
bahwa penemuan HIV dan AIDS lebih banyak ditemukan pada IRT dikarenakan umumnya
IRT tidak mengetahui bahwa suaminya beresiko terkena HIV.
Dikatakan oleh
Zainal: ''Terkadang mereka merasa aman, tapi tidak mengetahui bahwa sang suami
juga jajan sembarangan.''
Adalah hal yang
mustahil bagi seorang istri untuk bertanya tentang perilaku seksual suaminya di
luar rumah. Untuk itulah diperlukan intervensi agar laki-laki, dalam hal ini
suami, tidak melakukan perilaku berisiko yaitu nomor (1) dan (2) atau
dua-duanya.
Intervensi yang
bisa dilakukan adalah membuat regulasi untuk memaksa laki-laki memakai kondom
ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, ini hanya bisa efektif jika
pelacuran dilokalisir. Kalau pelacuran tidak dilokalisir, maka intervensi tidak
bisa dijalankan karena pelacuran terjadi di sembaran waktu dan sembarang
tempat. Bisa di penginapan,
losmen, hotel melati, hotel berbintang, dll.
Celakanya, Pemkab
Inhil akan menepuk dada: Di daerah kami tidak ada pelacuran!
Pemkab benar
karena memang di Inhil sccara de jure tidak ada pelacuran yang dilokalisir,
tapi secara de facto pelacuan terjadi di banyak tempat dalam berbagai bentuk.
Maka, jika Pemkab Inhil
tidak membuat regulasi yang mengatur pemakaian kondom bagi laki-laki di
pelacuran, maka insiden infeksi HIV akan terus terjadi yang kelak bermuara pada
kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak.
Jumlah kasus
HIV/AIDS pada ibu rumah tangga kian banyak kalau banyak laki-laki yang beristri
lebih dari satu. Pada gilirannya semakin banyak pula anak-anak yang lahir
dengan HIV/AIDS. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.