14 Juni 2014

Perda AIDS Kota Banjarbaru, Kalsel, Membuktikan Ada Praktek Pelacuran

Oleh Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia

Jakarta, aidsindonesia.com (12/6-2014) - Pemkot Banjarbaru, Prov Kalimantan Selatan, melarang praktek pelacuran atau prostitusi berdasarakan peraturan daerah (Perda) yaitu Perda Kota Banjarbaru No 6 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Pelacuran, tapi di sisi lain Perda Kota Banjarbarau No 1 Tahun 2014 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Banjarbaru justru membuktikan ada praktek pelacuran.

Hal itu ada di Paragraf 3 ”Pencegahan pada Tenpat Hiburan dan Tempat Potensi lainnya”.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Untuk apa ada program pencegahan HIV/AIDS di tempat hiburan?

Tempat Hiburan

Tempat hiburan yang dimaksud dalam perda itu pun tidak jelas karena bioskop, karaoke, mal, diskotek, dll. juga tempat hiburan.

Dalam perda di Pasal 1 ayat 25 disebutkan ”Pemilik atau pengelola tempat hiburan adalah seseorang yang memiliki usaha jasa penginapan (hotel, losmen, dll), atau yang bersifat hiburan malam (cafe, diskotik, karaoke, bilyard).”

Itu artinya ada praktek pelacuran di hotel, losmen, cafe, diskotek, karaoke, dan bilyard. Tapi, perda ini mengabaikan praktek pelacuran di rumah (kontrakan, kos-kosan, dll.) dan hotel berbintang.

Dalam Perda AIDS di pasal Pasal 11 disebutkan: (1) Setiap pemilik/pengelola tempat hiburan dan tempat potensial lainnya wajib:

a. melaporkan data karyawannya secara berkala dalam rangka perencanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;

b. memberikan penyuluhan, informasi dan edukasi tentang bahaya penularan IMS, HIV, dan AIDS pada karyawannya;

c. berperan aktif dalam upaya penanggulangan IMS, HIV, dan AIDS, dengan melakukan pemeriksaan rutin untuk karyawannya;

Kalau tempat-tempat hiburan dimaksud tidak ada pratek pelacuran yaitu hubungan seksual tentulah tidak perlu ada program penanggulangan dan pencegahan karena tidak ada perilaku berisiko tertular HIV.

Tapi, pada pasal 1 ayat a, b, dan c secara eksplisit ada risiko penularan HIV itu artinya ada praktek pelacuran.

Maka, amatlah beralasan kalau kemudian ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan di tempat-tempat hiburan tsb.

Celakanya, dalam perda cara-cara pencegahan agar tidak menularkan dan tertular HIV justru tidak konkret.

Simak saja di Pasal 7: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu:

a. tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah;

b. hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah;

c. menggunakan kondom bagi pasangan yang sah dengan HIV positif;

d. menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif dan alat suntik;

Ayat (a) dan (b) tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, pasangan yang tidak sah), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan seksual berlangsung).

Kondom 100 Persen

Penularan HIV pada ibu rumah tangga terjadi melalui hubungan seskual yang sah di dalam ikatan pernikahan yang sah pula. Itu artinya ayat (b) tidak akurat.

Sedangkan ayat (c) justru jadi bumerang karena risiko penularan HIV justru banyak terjadi melalui hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah melalui praktek zina (ganti-ganti pasangan, perselingkuhan, dll.) dan pelacuran (di lokasi pelacuran, losmen, hotel melati, hotel berbintang, apartemen, dll.) dengan PSK langsung (PSK di lokasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (PSK di luar lokasi pelacuran) serta cewek gratifikasi seks.

Pengalaman Thailand dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki justru terjadi pada praktek pelacuran, yaitu melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur. Tapi, program ini hanya bisa dilakukan di pelacuran yang dilokalisir.

Celakanya, dalam perda ini tidak ada program yang merupakan intervensi terhadap laki-laki yang melacur agar memakai kondom. Maka, laki-laki yang melacur di berbagai tempat di Kota Banjarbaru dan di sekitarnya, seperti di Kota Banjarmasin, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, al. kepada istrinya.

Seorang aktivis yang bergerak di bidang AIDS di Kalsel memberikan data yang merupakan faktor penyebaran HIV/AIDS di Kalsel. Dari beberapa kasus yang mereka tangani berawal dari deteksi kasus pada laki-laki yang dirawat di rumah sakit. Melalui istri yang menjaga diketahui bahwa pasien mempunyai istri lebih dari satu. Rata-rata kasus yang ditangani ternyata istri pasien empat.

(Di Kalsel, Istri Muda Terdeteksi HIV setelah Suami Meninggal - http://edukasi.kompasiana.com/2013/04/25/di-kalsel-istri-muda-terdeteksi-hiv-setelah-suami-meninggal--554719.html).

Itu artinya ada empat perempuan yang berisiko tertular HIV secara horizontal dari suami dan ada pula empat bayi yang berisiko tertular HIV secara vertikal dari ibunya. Celakanya, dalam perda ini tidak ada program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Kota Banjarbaru sebanyak 54.

Stigma dan Diskriminasi

Mitos (anggapan yang salah) bahwa HIV/AIDS terkait dengan moral diimplikasikan di Pasal 22 ayat (1) huruf b: Perawatan terhadap ODHA dilakukan melalui pendekatan agama. Yang diperlukan adalah penangangan secara psikologis yang melibatkan psikolog.

Penanggulangan HIV/AIDS pada perda ini kian tidak realistis karena di Bab V Peran Serta Masyarakat pada Pasal 27 ayat (1) huruf a dan b disebutkan: Masyarakat dapat berperan serta dalam upaya Penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:

a. mempromosikan perilaku hidup sehat;

b. meningkatkan ketahanan keluarga;

Risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi bukan karena perilaku hidup yang tidak sehat, tapi karena hubungan seksual yang tidak aman atau tidak terlindungi yaitu laki-laki tidak memakai kondom selama hubungan seksual.

Lagi pula, apa, sih, yang dimaksud dengan perilaku hidup sehat?

Hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sehat.

Huruf a dan b justru mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) karena dikesankan orang-orang yang tertular HIV/AIDS adalah yang perilakunya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.

“Hari gini” mitos masih saja dipakai sebagai andalan dalam menanggulangi HIV/AIDS, seperti dalam perda ini.


Maka, penanggulangan HIV/AIDS pun tidak akan bisa dilakukan dengan pijakan perda ini. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di masyarakat di Kota Banjarbaru yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.