Oleh Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia
Jakarta, aidsindonesia.com (14/6-2014) - Sejak Pemkab
Nabire, Papua, menelurkan peraturan daerah (Perda) melalui Perda No 18 Tahun
2003 terkait dengan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, banyak daerah mulai
dari provinsi, kabupaten dan kota yang berlomba-lomba membuat perda sejenis.
Sampai Mei 2014 tercatat 21 provinsi, 44 kabupaten dan 16 kota sudah
menerbitkan perda AIDS. Selain itu ada pula 4 peraturan gubernur (Pergub),
peraturan bupati (Perbup) dan 5 peraturan walikota (Perwali) tentang
penanggulangan AIDS.
Perda-perda AIDS
sendiri dibuat dengan ‘kiblat’ program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand
yaitu ‘wajib kondom 100 persen’. Program ini adalah ekor program penanggulangan
HIV/AIDS dengan skala nasional di Thailand, sedangkan di Indonesia program tsb.
dijadikan program utama. Itu artinya program penanggulangan dengan ‘wajib
kondom 100 persen’ di Indonesia adalah “mengekor ke ekor program (Thailand)”
(Lihat: Syaiful W. Harahap, Penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia ’Mengekor’ ke Ekor Program Thailand -
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/04/penanggulangan-hivaids-di-indonesia-%E2%80%99mengekor%E2%80%99-ke-ekor-program-thailand-444213.html).
Celakanya, semua
perda, pergub dan perwali itu tidak menyentuh akar persoalan yaitu pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS karena pasal-pasal di perda-perda itu hanya
normatif dan bermuatan moral. Padahal, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
adalah dengan cara-cara yang konkret karena HIV/AIDS adalah fakta medis yang
bisa ditangani dengan teknologi kedokteran.
Lihat saja Perda
Kab Wajo, Prov Sulsel, No 13 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV dan AIDS ini (secara nasional perda ini ada pada urutan ke-73).
Pintu Masuk
AIDS
Di Pasal 1 ayat 9 disebutkan: Pencegahan adalah upaya-upaya agar
penyebarluasan virus HIV tidak meluas dan terkonsentrasi di masyarakat memalui
berbagai intervensi perilaku pada penjaja seks dan pelanggan dengan penggunaan
alat pencegah, penggunaan jarum suntik dan alat kesehatan lain yang steril,
pengguna narkoba, skrining donor darah pada transfusi darah, penerima donor,
penerima organ atau jaringan tubuh, ibu hamil yang telah terinfeksi HIV dan
bayi yang dikandungnya serta kewaspadaan umum pada tenaga kesehatan.
Tapi, tidak ada satu pun pasal dalam perda ini yang secara konkret,
sistematis dan terukur yang (akan) dijalankan untuk pencegahan dan
penanggulangan penyebaran HIV/AIDS.
Di Bab III tentang Pencegahan dan Penanggulangan sama sekali tidak ada satu
pun pasal yang menukik ke akar persoalan yaitu cara-cara mencegah penularan
HIV/AIDS pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks
komersial (PSK).
Pemkab Wajo
boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan bahwa di wilayah Kabuparen Wajo
tidak ada pelacuran.
Itu benar adanya.
Tapi, perlu
diingat bahwa yang tidak ada adalah lokasi atau lokalisasi pelacuran. Sedangkan
praktek pelacuran terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat yang
melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Paling tidak ada
empat “pintu masuk” utama HIV/AIDS ke Kab Wajo, yaitu:
1. Melalui
laki-laki dewasa penduduk Kab Wajo yang pernah atau sering melakukan hubungan
seksual tanpa kondom di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah
(perselingkuhan, dll.) dengan perempuan yang berganti-ganti di Kab Wajo atau di
luar Kab Wajo.
2. Melalui
laki-laki dewasa penduduk Kab Wajo yang pernah atau sering melakukan hubungan
seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, al.
PSK langsung (PSK yang kasat mata di lokasi atau lokalisasi, di jalanan, dll.)
dan PSK tidak langsung (perempuan sebagai PSK di penginapan, losmen, hotel
melati, hotel berbintang, kafe, diskotek, panti pijat, biliar, ‘anak sekolah’,
ABG, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu’, cewek gratifikasi seks, dll.) di Kab Wajo atau di
luar Kab Wajo.
3. Melalui perempuan
dewasa penduduk Kab Wajo yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual
tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti
di Kab Wajo atau di luar Kab Wajo.
Stigma dan
Diskriminasi
4. Melalui
penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik
secara bersama-sama dengan memakai jarum suntik secara bergantian.
Di Pasal 8 ayat (1) disebutkan: Kegiatan pencegahan dilakukan secara
komperehensif, integratif, partisipatif, dan berkesinambungan, yang meliputi 11
hal, tapi tak satu pun dari 11 hal itu yang menyentuh “pintu masuk” nomor 1, 2
dan 3 di atas.
Maka, amatlah beralasan kalau kemudian penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di
wilayah Kab Wajo. Data menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Wajo per Desember
2012 mencapai 175 (sindonews.com, 17/1-2013). Angka ini menempatkan Kab
Wajo pada peringakt ketiga dengan jumlah kasus terbesar di Sulsel.
Pada Pasal 8 ayat 1 huruf i disebutkan:
Kegiatan pencegahan dilakukan secara komperehensif, integratif,
partisipatif, dan berkesinambungan, yang meliputi memfasilitasi pengembangan
penatalaksanaan pelayanan untuk program PMTCT, termasuk pengembangan sumber
daya manusianya.
Tapi, dalam perda tidak ada langkah atau cara yang konkret dan sistematis untuk
mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Maka, ada risiko bayi lahir dengan
HIV/AIDS dari ibu pengidap HIV/AIDS.
Perda ini seperti halnya perda-perda lain justru mendorong masyarakat
melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap
orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena di Bab V tentang Peran Serta
Masyarakat pada Pasal 16 ayat 1 disebutkan: Pemerintah Daerah memberi ruang dan
kesempatan yang sama bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan serta dalam
kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:
a. Berperilaku hidup sehat;
b. Meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk mencegah penularan HIV dan
AIDS;
Pernyataan (a) dan (b) mengesakan bahwa orang-orang yang tertular HIV/AIDS
karena berperilaku hidup yang tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan
keluarga.
Tidak ada kaitan langsung antara perilaku hibup sehat dan ketahanan keluarga dengan penularan HIV/AIDS.
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di
luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau kedua-duanya mengidap
HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali melakukan
hubungan seksual (kondisi hubungan seksual).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.