Medan, aidsindonesia.com (2/5/2014). Sejak 2005 hingga Maret 2014, jumlah kumulatif anak di bawah usia 15 tahun yang terinfeksi HIV mencapai 172 orang. Mereka selama ini dirawat khusus di RSUP Haji Adam Malik dan RS Haji Medan.
Menurut Manager Officer Global Fund Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumut, Andi Ilham Lubis, Jumat (2/5), dari jumlah itu, ada 21 laki-laki dan 14 perempuan di bawah usia satu tahun. Sedangkan untuk usia 1-14 tahun, ada 81 laki-laki dan 56 perempuan.
“Penularannya semua dari ibu ke anak. Untuk itu kami juga memfokuskan perhatian pada ibu karena penularan dari ibu berdampak pada anak yang dilahirkan,” tuturnya.
Namun, ujar Andi, Dinkes Sumut hanya menangani masalah penyakitnya. Soal bagaimana penderita setelah keluar dari rumah sakit, diharapkan peran instansi terkait lainnya.
“KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) daerah sebagai koordinator diharapkan bisa mendorong agar Odha yang keluar dari rumah sakit bisa mendapatkan haknya dan tidak didiskriminasi,” ucap Andi.
Kepala Sekretariat KPA Provsu, Ahmad Ramadhan mengatakan, peran aktif dinas pendidikan (Disdik) untuk masalah ini perlu ditingkatkan. Seharusnya, ada intervensi kebijakan dari pemerintah agar anak-anak ini juga bisa mengenyam pendidikan yang layak.
“Harusnya dinas pendidikan juga turut memerhatikan karena rata-rata anak yang hidup dengan HIV/AIDS, putus sekolah dan tak pernah mengenyam pendidikan,” sebut Ramadhan.
Dijelaskan, anak yang menderita HIV/AIDS sejak dilahirkan cukup banyak. Dengan strategi pengobatan yang dilakukan, banyak juga anak yang bertahan hidup hingga usia 10 tahun. Namun, sayangnya, anak-anak dengan HIV/AIDS ini banyak yang tidak mengenyam pendidikan.
“Bahkan, yang sudah sekolah terpaksa putus sekolah karena mendapatkan diskriminasi,” tuturnya.
Karenanya, KPA berharap pemahaman dari dinas atau SKPA (Satuan Kerja Perangkat Daerah), terkait penanggulangan HIV dapat ditingkatkan, bukan hanya pada program penyuluhan dan sosialisasi saja. KPA berharap Disdik tak hanya sekadar sosialisasi, perlu peran aktif dinas untuk penanggulangan masalah ini.
“Seperti peran aktif Disdik dalam membantu Odha yang terpaksa putus sekolah karena diskriminasi yang diterima anak di sekolah. Seharusnya ada kebijakan intervensi sehingga tidak ada risiko putus sekolah pada anak-anak ini. Secara spesifik program itu belum kami dapatkan,” tuturnya.
Karena kelangsungan kehidupan sosial Odha ini sangat berpengaruh, peran dinas sosial juga dituntut lebih besar. Karena biasanya, anak yang hidup dengan HIV/AIDS, lebih dahulu ditinggalkan orangtuanya. (nai/analisa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.