Jakarta, aidsindonesia.com (14/4/2014) - Stigma terhadap
pasien pengidap HIV oleh tenaga kesehatan ataupun lembaga pelayanan kesehatan
akan kontraproduktif terhadap upaya pencegahan HIV. Padahal, perubahan perilaku
pengidap HIV akan terjadi jika tenaga medis memperlakukan pasien dengan baik.
Hal
tersebut disampaikan Gabriel John Culbert, pengajar dari Yale School of
Medicine, pada lokakarya HIV Prevention Science: Behavioral and Biomedical
Approaches di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI), Sabtu (12/4).
Menurut
situs LSM yang bergerak di bidang pencegahan HIV, www.avert.com, stigma dan
diskriminasi terkait HIV/AIDS merujuk pada prasangka, perilaku negatif, dan
perundungan terhadap pengidap HIV dan AIDS. Akibat dari stigma dan
diskriminasi, antara lain pengidap dijauhi keluarga, teman, dan masyarakat,
perawatan tak memadai dari fasilitas pelayanan kesehatan, perlakuan tak
semestinya dari pihak sekolah, pengurangan hak, gangguan psikologi, serta akan
berefek buruk terhadap keberhasilan tes HIV dan pengobatan.
Culbert mengatakan, stigma terhadap pasien
pengidap HIV tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal itu juga ditemui di negara
lain, bahkan di negara maju.
Keyakinan
tenaga kesehatan akan sangat memengaruhi perilaku pasien HIV. Jika tenaga
kesehatan berasumsi bahwa pasien HIV yang dirawat tidak mau mengonsumsi metadon
atau obat antiretroviral (ARV), pasien akan benar-benar tidak mau mengonsumsi
metadon dan ARV.
Menurut
Culbert, berbagai riset menunjukkan, dengan menghilangkan stigma terhadap
pasien HIV dan merawat mereka dengan sepenuh hati justru akan berpengaruh
positif terhadap pencegahan penyebaran HIV.
”Pasien
yang dirawat dengan baik, perilakunya akan berubah. Pasien akan cenderung
mengikuti pengobatan sehingga penularan berkurang,” ujarnya.
Culbert
menambahkan, selama ini berbagai pihak di dunia menjalankan program pencegahan
dan pengobatan HIV secara terpisah.
Namun,
perkembangan penelitian mengubah hal itu. Upaya pencegahan bisa dilakukan
bersama dengan upaya kuratif. ”Pendekatan ini mengubah paradigma kita,” katanya.
Pemahaman belum baik
Dosen
FIK UI, Agung Waluyo, yang juga menjadi pembicara di lokakarya tersebut,
menambahkan, riset yang ia lakukan pada 2010-2011 menunjukkan, pemahaman
perawat terhadap HIV belum baik. Riset dilakukan terhadap 400-an perawat di
empat rumah sakit di Jakarta.
Perawat
cenderung menolak untuk merawat pasien HIV. Hal itu karena perawat tidak begitu
paham dengan seluk-beluk HIV dan cara merawat pengidap. Ada kekhawatiran,
mereka akan tertular. Akibatnya, pasien HIV diperlakukan berbeda oleh tenaga
kesehatan.
”Jika
bisa memilih, perawat cenderung memilih untuk tidak merawat pasien HIV,” ujar
Agung.
Menurut
Agung, hal tersebut bukan semata-mata kesalahan perawat. Fasilitas pelayanan
kesehatan tempat perawat bekerja juga ikut andil. Hal itu karena rumah sakit
atau klinik tempat perawat bekerja tidak memfasilitasi sumber daya manusianya
dengan pembekalan tentang HIV/AIDS. Bisa juga rumah sakit tidak memiliki
kebijakan yang baik terhadap pasien HIV.
Agung
menyarankan, tenaga kesehatan terus mengikuti perkembangan terkini terkait
pencegahan, pengobatan, dan penanggulangan HIV. (ADH/kompas.com).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.