Jakarta, aidsindonesia.com (9/4/2014) - "Bima kaget penderita AIDS di Bogor terbanyak ke-5 di Indonesia." Ini adalah judul berita di merdeka.com (9/4/2014).
Disebutkan dalam berita bahwa Wali Kota Bogor, Jabar, Bima Arya Sugiarto,
terkejut penderita HIV/AIDS di kota tersebut menempati peringkat ketiga
terbanyak di Jawa Barat.
Wali kota ini akan lebih kaget lagi kalau disebutkan bahwa 2.015 sebagai
jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS adalah angka kasus yang dilaporkan. Artinya,
ada kasus HIV/AIDS yang belum atau tidak terdeteksi.
Misalnya, disebutka bahwa jumlah kematian terkait HIV/AIDS di Kota Bogor mencapai 79. Sebelum mati ada
kemungkinan 79 orang ini sudah menularkan HIV ke orang lain tanpa mereka
sadari.
Jika di antara 79 tsb. ada laki-laki beristri, maka ada risiko istri-istri
mereka tertular. Kalau ada
yang beristri lebih dari satu, maka kian banyak istri yang tertular HIV.
Kalau di antara 79 itu ada pekerja seks komersial (PSK), maka sudah ratusan
bahkan ribuan laki-laki yang berisiko tertular HIV. Soalnya, seorang pengidap
HIV/AIDS yang meninggal terjadi di masa AIDS yaitu secara statistik setelah
tertular antara 5-15 tahun. Itu artinya seorang PSK pengidap HIV/AIDS yang
meninggal sudah berisiko menularkan HIV kepada 3.600 – 10.800 laki-laki (1 PSK
x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 tahun atau 15 tahun).
Celakanya, fakta ini selalu diabaikan sehingga masyarakat, terutama ibu-ibu
rumah tangga, tidak memahami risiko yang ada di hadapan mereka. Soalnya,
seorang istri wajib patuh dan taat kepada suami sehingga tidak berhak
mencurigai apalagi bertanya tentang perilaku seks suami di luar rumah.
Ini dalam berita ”Bima menyebutkan fakta tersebut sangat memprihatinkan
sehingga perlu penanganan serius agar jumlah penderita dapat ditekan dan
pencegahan dapat dilakukan.”
Yang memprihatinkan bukan angka, tapi perilaku sebagian orang di Kota
Bogor, yaitu laki-laki dewasa yang sebagian beristri, yang: (a) Sering
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti di
dalam dan di luar nikah, dan (b) Sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom
dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Disebutkan pula oleh Pak Wali Kota: "Angka ini mengkhawatirkan, kita
harus segera melakukan koordinasi khusus dari hulu ke hilir, melakukan
pembahasan lebih khusus terkait pencegahan dan mengurangi angkanya."
Ada pernyataan ”mengurangi angkanya”. Kalau yang dimaksud Pak Wali Kota ”mengurangi
angkanya” adalah mengurangi jumlah kasus yang dilaporkan maka itu tidak pas. Soalnya,
cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif yaitu
kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka kasus yang
dilaporkan tidak akan pernah turun biar pun semua penderita HIV/AIDS mati.
Yang bisa dilakukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru. Maka, yang diperlukan
bukan pembahasan secara khusus, tapi menjalankan program yang konkret di hulu
yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan
seksual dengan PSK. Celakanya, langkah ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran
dilokalisir.
Ada pula pernyataan: ”Selain itu, dari 2.015 jumlah penderita, sebanyak 976
orang di antaranya dinyatakan positif AIDS. ....”
Ini tidak jelas pernyataan dari siapa atau kesimpulan wartawan yang menulis
berita ini. Soalnya, yang positif adalah tertular HIV, sedangkan AIDS adalah
masa setelah seseorang positif HIV (baca: tertular HIV) antara 5-15 tahun
kemudian.
Disebutkan oleh Sekretaris Daerah Kota Bogor yang juga Ketua KPAD, Ade
Sarip Hidayat, berbagai upaya dalam pencegahan penularan penyakit mematikan
tersebut telah dilakukan, baik dari penjaringan, sosialisasi hingga
pendampingan.
Sayang, wartawan tidak merinci dengan jelas apa saja upaya yang sudah
dilakukan Pemkot Bogor dalam menanggulangi HIV/AIDS.
Malah pernyataan ”penyakit mematikan” justrut ngawur karena belum ada laporan
kasus kematian pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap
HIV/AIDS terjadi di masa AIDS karena penyakit lain, disebut infeksi
oportunistik, al. diare dan TB.
Disebut lagi oleh Ade, jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Bogor seperti
fenomena gunung es, sehingga perlu penanganan khusus dalam melakukan
pencegahan, karena adanya stigma di masyarakat.
Fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS terjadi di seluruh dunia bukan
hanya di Kota Bogor. Fenomena es itu artinya kasus yang dilaporkan, dalam hal
ini 2.015, (digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan
air laut) tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat (digambarkan
sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut).
Ada lagi penjelasan dari Ade, yaitu: ” .... tetap mengajak masyarakat Kota
Bogor untuk mewaspadai penyebaran HIV/AIDS dengan melakukan pencegahan terhadap
kemungkinan terinfeksi.”
Adalah hal yang mustahil bagi seorang istri untuk melindungi dirinya agar
tidak tertular HIV dari suami-suami yang perilaku seksnya berisiko, al. sering
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Maka, selama Pemkot Bogor tidak menjalankan program yang konkret untuk
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan
seksual dengan PSK, itu artinya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota
Bogor. Kelak akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.