Oleh Syaiful W. Harahap
“Sepakbola Tanpa APBD.” Ini judul teks foto di Harian “Analisa”
Medan (6/1-2011).Dikabarkan masyarakat sepak bola nasional mendukung program
Liga Primer Indonesia (LPI) yang akan digelar mulai tanggal 8/1 di Stadion
Manahan, Solo. Mereka menyerukan agar LPI tidak lagi memakai dana APBD untuk
kegiatan sepak bola.
Celakanya, PSSI justru menentang LPI. Lebih celaka lagi klub-klub yang
‘setia’ bernaung di ‘ketiak’ Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI)
justru memanfaatkan dana APBD. Padahal, pemerintah sudah mengingatkan agar APBD
tidak dipakai lagi secara langsung untuk mendanai klub sepak bola (Lihat: Syaiful W. Harahap, Dana APBD: Antara Sepak Bola dan
(Penanggulangan) AIDS,
http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/22/dana-apbd-antara-sepak-bola-dan-penanggulangan-aids/).
Di saat dana untuk kepentingan masyarakat secara luas dibutuhkan, terutama
penanggulangan epidemi HIV yang sudah merata di Tanah Air, tapi dana APBD
justru dipakai untuk membayar pemain asing. Pertandingan sepak bola antarklub
di bawah PSSI justru memproduksi bencana yaitu tawuran dan perusakan fasilitas
umum, radikalisme, dll. Lihatlah di Papua. Persentase penduduk yang tertular
HIV besar, dana penanggulangan AIDS justru bergantung kepada donor asing.
Memang, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, meminta kepada setiap daerah
di Indonesia agar tak menggunakan dana APBD secara langsung ke klub-klub sepak
bola. Dana harus melalui lembaga semi pemerintah seperti KONI. Dari KONI ini
nanti akan diatur berapa untuk cabang olahraga sepak bola dan berapa untuk cabang
olahraga lainnya (TEMPO Interaktif, 21/11-
2010). Pernyataan Mendagri ini hanya ‘basa-basi’ karena tetap saja dana APBD
dipakai melalui ‘tangan lain’ yang justru bisa ‘menggerogoti’ dana tsb.
Penggunaan dana APBD untuk sepak bola merugikan masyarakat secara luas.
Diperkirakan dana APBD yang digerogoti sepak bola antara 10-15 miliar rupiah
setiap tahun. Persipura, misalnya, menerima dana APBD Rp 15 miliar (Suara
Perempuan Papua, 6/10-2008). Dana yang dibutuhkan sebuah klub sekitar
Rp 50 miliar/tahun. Pemprov Sumut mengeluarkan dana APBD untuk pengobatan Odha
(Orang dengan HIV/AIDS) Rp 11 miliar/tahun. Kalau ada klub sepak bola yang
didanai APBD di Sumut tentulah Odha di sana tidak akan memakai obat
antriretroviral (ARV).
Indonesia beruntung karena ada
donor asing (baca: hibah dari luar negeri, khususnya dari Eropa Barat,
Australia, dan AS) yang mendanai penanggulangan AIDS di Indonesia. Kalau donor
ini kelak hengkang maka penanggulangan AIDS di Indonesia akan terbengkalai.
Jika ledakan AIDS terjadi maka semua dana APBD pun tidak cukup untuk mendanai
pengobatan Odha.
Ketika masyarakat Indonesia terbuai oleh hyperreality Timnas PSSI yang berlaga di Piala AFF
2010 yang disuburkan media massa nasional (terutama stasiun televisi) dan
pengurus PSSI ada angin segar yang digulirkan oleh kalangan di luar PSSI yaitu
piala LPI (Lihat: Syaiful
W. Harahap, Timnas
PSSI Korban Hyperreality Stasiun Televisi Nasional,
http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/27/timnas-pssi-korban-hyperreality-stasiun-televisi-nasional/).
Tapi, PSSI justru menentang LPI dengan berbagai alasan.
Kalau saja (pengurus) PSSI memandang LPI sebagai mitra tentulah tidak
terjadi pertentangan antara PSSI dan pemrakarsa LPI. Kalau PSSI berjiwa besar
maka tidak perlu menunggu LPI ‘sowan’ tapi memberi dukungan karena LPI sudah
meringankan beban PSSI. Celakanya, PSSI selalu berlindung di balik formalitas
melalui UU. Tapi, PSSI juga tidak melihat realitas sosial terkait dengan upaya
pihak di luar PSSI untuk memajukan persebakbolaan nasional.
Upaya LPI untuk mendorong persepakbolaan nasional ‘diganjal’ Polri dengan
alasan izin pertandingan hanya berikan jika ada rekomendasi dari induk
organisasi. Ya, lagi-lagi berlindung di balik formalitas yang tidak adil karena
tidak sedikit kejadian yang terjadi di luar formalitas terjadi di depan mata
tapi tidak ditindak. Lihatlah pelaku tawaruan pada pertandingan sepak bola
PSSI. Masyarakat menderita. Tidak ada ganti rugi.
Begitu pula dengan tindakan kriminal pemain dan pengurus klub-klub sepak
bola yang menendang dan memukul wasit sama sekali tidak disentuh oleh Polri. Apakah
pemain dan pengurus klub sepak bola PSSI kebal hukum?
Agaknya, PSSI patut mengajukan pertandingan baru ke FIFA yaitu pertandingan
menendang wasit (soalnya
mendengan bola kalah terus, biar pun menang tapi tidak juara) dan tawuran
antarpendukung klub sepak bola. Saya yakin kita akan meraih piala emas. ***[Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/06/dana-apbd-direnggut-klub-sepak-bola-pssi-332550.html
- OPINI | 06 January 2011]***
[Sumber: http://baranews.co/web/read/10286/dana.apbd.direnggut.klub.sepak.bola.pssi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.