Oleh Syaiful W. Harahap
Epidemi HIV sudah
terdeteksi di seluruh daerah di Nusantara. Data bulan September 2010 menunjukkan
sudah terdeteksi 21.770 kasus AIDS. Jika penduduk yang tertular HIV sudah masuk
masa AIDS (secara statistik antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV) maka
diperlukan dana untuk pembelian obat antiretroviral (ARV) dan obat-obat untuk
infeksi oportunistik (penyakit di masa AIDS). Sedangkan unutk kasus AIDS di
kalangan pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) diperlukan dana
untuk harm reduction,
seperti rumatan metadhon (narkoba sintetis).
Indonesia benapas
lega karena hampir 80 persen dana penanggulangan epidemi HIV saat ini merupakan
‘sedekah’ (baca: hibah) dari donor-donor di luar negeri, terutama dari AS,
Australia dan Eropa Barat. Maka, saat ini Odha yang sudah harus
meminum ARV bisa mendapat obat gratis. Begitu pula dengan pengguna narkoba
suntik yang mendapatkan rumatan metadhon gratis.
Padahal, “80 persen dana masih dari luar negeri.,” kata Nafsiah Mboi, Sekretaris
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (Tempo Interaktif, 30/8-2010). Disebutkan
pula: Komisi mengukur ada kebutuhkan biaya 50 dolar AS per orang per tahun bagi
layanan alat suntik steril dan 132 dolar AS per orang per tahun bagi Program
Terapi Rumatan Metadon. Total biaya harm
reduction menghabiskan 15,7
juta dolar AS. Nilainya jauh lebih kecil ketimbang total biaya penanganan HIV
baru di kalangan penasun yang bisa mencapai 92 juta dolar AS. Dengan harm
reduction bisa 140.000 orang yang terselamatkan per tahun dan menghemat dana 76
juta dolar AS.
Sampai kapan kita
harus menadahkan tangan? Menurut Nafsiah, seperti dilansir Tempo Interaktif, “Pemberiannya bisa saja berhenti.” Donor tidak selamanya menjadikan satu
negara sebagai tujuannya selama-lamanya. Saat ini donor yang besar al., adalah: Global Fund (GF) danHCPI/AusAID yang mendanai penanggulangan AIDS di
beberapa provinsi.
Sebagai gambaran
di Sumatera Utara (Sumut) seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) membutuhkan dana
Rp 3,6 per bulan. Dengan kasus 444 Pemprov Sumut mengeluarkan dana Rp 19
miliar/tahun (Waspada, 5/11-2009).
Akan terjadi
tarik-menarik kepentingan terhadap dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah). Salah satu pengeluaran APBD adalah untuk klub sepak bola. ”Persatuan
Sepak Bola Seluruh Indonesia meminta klub-klub peserta Liga Super Indonesia
membatasi penggunaan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk belanja
pemain.” (Tempo Interaktif, 31/8-2010).
Rupanya, selama
ini persepakbolaan daerah didanai dengan uang rakyat. ’Supporter’ klub sepak
bola justru tawuran dan merusak fasilitas umum serta harta benda penduduk.
Pemain pun tidak jarang yang justru mempertontonkan adu bogem di lapangan hijau
tinimbang kemampuan mengocek bola. Pemerintah daerah mendanai ’supporter’ untuk
merusak fasilitas umum. Prestasi sepakbola nasional di kancah internasional pun
tenggelam. Ironis.
Dikabarkan:
”Rata-rata klub itu pakai dana APBD Rp 10-18 miliar termasuk untuk belanja
pemain.” Dana sebesar ini dipakai untuk kegiatan yang tidak langsung
menyumbangkan keuntungan bagi (rakyat) daerah. Bayangkan, andaikan dana Rp 19
miliar dipakai oleh Pemprov Sumut membiayai klub sepakbola, lalu bagaimana
nasib 444 Odha di sana?
Celakanya, biar
pun sudah ada Peraturan Pemerintah No 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah dan Permendagri No 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Ada lagiSurat Mendagri No 903/187/SJ tentang larangan penggunaan dana APBD
untuk klub sepak bola.Tapi dikabarkan sejumlah daerah di Indonesia tetap ngotot membiayai klub sepak bola dengan dana
dari APBD. Rupanya, daerah lebih memilih implemenasi UU Sistem Keolahragaan
Nasional daripada membiayai kesehatan penduduknya.
Di Tanah Papua,
misalnya, hampir semua kota dan kabupaten memiliki klub sepak bola. Beberapa
pemain merupakan pemain luar daerah dan luar negeri. Uang dari APBD
dihambur-hamburkan untuk mendanai liga sepak bola. Pada saat yang sama puluhan
sampai ratusan penduduk di kabupaten atau kota sedang bergelut melawan
kemiskinan dan penyakit (baca: AIDS).
Sekretaris
Jenderal PSSI, Nugraha Besoes, mengatakan: “Banyak klub menolaknya, karena
masih dihadapkan dengan banyak kendala. Antara lain, perbaikan stadion, gaji
pemain, pelatih, tim ofisial, dan lainnya.” (bolanews.com, 31/8-2010).
Tapi, pada saat yang sama juga dana besar dibutuhkan untuk mengentaskan
kemiskinan dan penanggulangan epidemi HIV.
Di beberapa
daerah belum ada alokasi dana khusus untuk penanggulangan AIDS. Tapi, Asisten Khusus Presiden RI Bidang
Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, Velix Wanggai, justru mengatakan:
”Pemerintah Indonesia mengatakan belum bisa menentukan tenggat waktu tertentu
untuk klub sepak bola Indonesia berhenti menerima dana APBD. Pertimbangannya,
saat ini masih merupakan masa transisi.” (bola.kompas.com, 27/8-2010).
Pada rentang tenggat waktu itu penyebaran HIV terus terjadi yang kelak akan
bermuara pada ledakan AIDS. Jika ini terjadi maka dana yang dibutuhkan untuk
penanganan Odha akan menguras APBD.
Era Otonomi Daerah
(Otda) yang nyaris tanpa kontrol sekarang ini mendorong ’raja-raja kecil’ di
daerah untuk memakai kekuasaannya. UU
No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
dimanfaatkan oleh “raja-raja kecil”, yaitu pemerintah daerah dan DPRD, yang
menjadi penguasa Daerah Otonom untuk memakai dana APBD. Sayangnya, penggunaan
dana APBD untuk klub sepak bola tidak melihat skala prioritas di daerahnya.
Boleh-boleh saja
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota menganggap remeh epidemi HIV karena di
beberapa daerah kasus HIV/AIDS belum menjadi masalah besar.Tapi, ketika terjadi
ledakan AIDS akan lain situasinya. Tidak ada alasan pemerintah daerah untuk
mengabaikan penduduk yang sakit terkait AIDS karena kesehatan merupakan hak
asasi rakyat.
Dikabarkan juga:
” …. selama ini dana APBD
tersedot untuk membeli pemain sehingga perbaikan dan perawatan infrastruktur
menjadi terkendala.” (tribun-timur.com, 2/9-2010). Ini ironi di tengah
kemiskinan dan epidemi HIV yang menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup.
Pengelolaan yang
tidak profesional membuat klub-klub sepak bola nasional hanya menengadahkan
tangan dengan menepis tengadahan tangan yang lebih membutuhkan.
Penggalangan dana
dari ’supporter’, penjualan kaos, dll. bisa diandalkan. Pemerintah daerah pun
bisa merangkul perusahaan untuk menyumbangkan dana ke klub sepak bola.
Persoalannya
adalah banyak kalangan yang ragu-ragu menyumbang karena tidak ada
pertanggungjawaban keuangan yang transparan. Sudah saatnya klub-klub sepak bola
diaudit oleh akuntan publik agar bisa menarik donatur. ***[Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/22/dana-apbd-antara-sepak-bola-dan-penanggulangan-aids-265685.html
- OPINI, 22 September 2010].***
[Sumber: http://baranews.co/web/read/10229/dana.apbd.antara.sepak.bola.dan.penanggulangan.hivaids#.U0pN-VWSxAU]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.