Jakarta, AIDS Watch Indonesia ,
31 Maret 2014 - ”Penyebaran
virus HIV/AIDS di Situbondo semakin mengkhawatirkan. Penderita virus mematikan
yang mayoritas penularannya melalui hubungan seks bebas tersebut banyak
menyerang pekerja seks komersial (PSK) di beberapa lokasi esek-esek di
Kota Santri itu.” Ini lead di berita ”36 Persen PSK di Situbondo Positif
HIV/AIDS.” (www.jpnn.com, 27/3-2014).
Pernyataan pada lead berita ini pun sudah menunjukkan pemahaman wartawan terhadap
HIV/AIDS sangat jelek.
Pertama, disebutkan ”penderita virus mematikan”.
Kalau yang dimaksud wartawan virus mematikan adalah HIV, maka pernyatana itu
salah karena belum ada kasus kematian karena HIV. Kematian pada pengidap
HIV/AIDS bukan karena HIV (virus), tapi karena penyakit-penyakit lain, disebut
infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll. Yang muncul di masa AIDS (suatu
kondisi pengidap HIV/AIDS secara statistik setelah tertular HIV antara 5-15
tahun).
Kedua, disebutkan pula ”mayoritas penularannya
melalui hubungan seks bebas”. Ini adalah pernyataan yang menyesatkan karena jika
yang dimaksud ”seks bebas” adalah zina dan melacur. Soalnya tidak ada kaitan
langsung antara penularan HIV dengan ”seks bebas”. Penularan HIV melalui
hubungans seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika: salah satu dari
pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom
setiap kali sanggama.
Ketiga, ada pula pernyataan ”banyak menyerang
pekerja seks komersial (PSK) di beberapa lokasi esek-esek di Kota Santri
itu.” Sebagai virus HIV tidak menyerang tapi menular, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami epidemi HIV dengan
benar, maka data ”36 Persen PSK di Situbondo Positif HIV/AIDS” merupakan fakta
yang bisa dikembangkan secara empiris sehingga berita pun akan mencerahkan
masyarakat.
Itu artinya ada 27 dari 75 PSK di dua lokasi pelacuran di Situbondo, Jatim, mengidap HIV/AIDS. Lokasi
pelacuran tsb. Adalah Gunung Sampan (GS), Desa Kotakan, Kecamatan Situbondo,
dan Rajawali, Kecamatan Banyuglugur.
Fakta I: Ada 27 laki-laki dewasa yang mengidap
HIV/AIDS yang menularkan HIV kepada 27 PSK tsb. Laki-laki tsb. dalam kehidan sehari-hari
bisa sebagai seorang suami. Maka, jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV banyak
karena bisa di antara 27 laki-laki pengidap HIV/AIDS itu mempunyai istri lebih
dari satu, mempunyai pasangan seks lain, misalnya, selingkuhan dan ”jajan” ke
PSK di lokasi pelacuran lain.
Fakta II: Jika setiap malam 1 PSK melayani 3
laki-laki, maka setiap malam ada 51 laki-laki yang berisiko tertular HIV. Seorang
yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS minimal dia sudah tertular HIV 3 bulan. Itu
artinya dengan 27 PSK pengidap HIV/AIDS sudah ada 4.960 laki-laki yang berisiko tertular HIV (1 PSK x
3 laki-laki/malam x 27 PSK x 20 hari/bulan x 3 bulan).
Sayang, dua fakta di atas tidak dipaparkan oleh
wartawan dalam berita tsb.
Sedangkan Kepala Dinas Kesehatan Situbondo, Abu Bakar Abdi, sulit menanggulangi penyebaran
virus tersebut. Sebab, mereka tidak terlokalisasi dan selalu berpindah-pindah
tempat. Hal itu membuat pengawasan terputus.
Kalau saja kepala dinas kesehatan ini memakai cara-cara yang konkret, tentulah
penyebaran HIV/AIDS bisa diturunkan yaitu dengan membuat regulasi yang memaksa
laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, di Indonesia tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang
konkret. Semua hanya mengedepankan moral. Akibatnya, penyebaran HIV/AIDS terus
terjadi yang kelak bermuara pada ”ledakan AIDS”. ***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.