Opini (3 Januari 2014) – Dalam laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan
Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tertanggal 31 Oktober 2013 jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS di Prov Banten per 30 September 2013 adalah 3.940 yang terdiri atas 2.983 HIV dan 957 AIDS.
Dengan jumlah yang “kecil” itu dikhawatirkan Pemprov Banten dan pemerintah
kabupaten dan kota di Banten akan anggap enteng.
Ternyata bukan anggapan lagi, tapi sudah kenyataan karena tidak ada program
yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Banten. Perda AIDS
Banten pun hanya memuat pasal-pasal normatif yang tidak bisa dijalankan secara
realistis (Lihat:
Pemkot Tangerang pun menerbitkan Perda Anti Pelacuran, tapi itu tidak jaminan
bahwa di Kota Tangerang tidak ada praktek pelacuran. Perda itu sendiri
tidak memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi pelacuran (Lihat: Perda AIDS Provinsi Banten - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-provinsi-banten.html).
Dikabarkan instansi dan banyak
kalangan di Prov Banten ”mengharamkan” pengucapan dan penggunaan kata dan
tulisan ”kondom” dalam berbagai kegiatan.
Terlepas dari itu semua fakta
menunjukkan praktek pelacuran terjadi di banyak tempat di wilayah Prov Banten,
seperti di perbatasan dengan Kab Bogor, di pantai utara Tangerang, di kawasan
pelabuhan dan stasiun KA Merak, di jalur Labuan-Carita-Anyer, di daerah-daerah
dengan proyek besar. Bahkan, di salah satu daerah tempat pembangunan pembangkit
listrik “pelacuran” melibatkan waria.
Di Bayah, Kab Lebak, Banten, ada
pembangunan pabri semen. Di sekitar jembatan Bayah berdiri warung-warung yang
menyediakan minuman dan cewek dengan tameng tempat karaoke.
Wilayah Lebak ini juga berbatasan
dengan Pelabuhan Ratu di Kab Sukabumi, Jabar. Kegiatan pelacuran dengan tameng
karaoke dan warung tumbuh bagaikan jamur di pesisir pantai Pelabuhan Ratu. Laki-laki ‘penikmat seks’ berdatangan dari
berbagai kawasan di Jabar, Banten dan Jakarta.
Sedangkan di wilayah Cilegon ada praktek pelacuran di sekitar pelabuhan.
Beberapa tempat hiburan pun menyediakan cewek yang bisa diajak kencan untuk
ngeseks.
Di Merak ada pelacuran di sepanjang rel dan di sekitar stasiun kereta api. Penginapan, losmen dan hotel tersedia
dengan rentang tarif dari puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah.
Di pantai utara Kab Tangerang ada kegiatan pelacuran. Pemkab Tangerang,
melalui KPA Kab Tangerang, menjangkau pelacuran ini dengan melibatkan berbagai
kalangan untuk menjalankan program. Tapi, karena tidak didukung dengan
regulasi, maka program itu pun tidak bisa efektif.
Kasus IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah (GO) dan raja
singa (sífilis) serta HIV/AIDS banyak terdeteksi di beberapa kecamatan di
sekitar pantai tsb.
Itu menandakan tetap terjadi hubungan seksual tanpa kondom antara laki-laki
pembeli seks, bisa penduduk lokal bisa pula dari luar daerah, tidak memakai
kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di
sana.
Terlepas dari praktek pelacuran, agaknya, Pemprov Banten, pemerintah
kabupaten dan kota di Banten tidak merisaukan 2.983 penduduk yang mengidap HIV.
Padahal, penduduk yang terdeteksi mengidap HIV ada kemungkinan sudah
menularkan HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Jika 2.983 penduduk itu (dikurangi kasus pada bayi dan anak-anak)
menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari, maka jumlah penduduk yang
tertular HIV sudah lebih dari 5.000. Penduduk yang tertular itu puna da
kemungkinan menularkan HIV kepada orang lain pula sehingga pertambahan jumlah
penduduk yang tertular HIV bagaikan deret ukur.
Salah satu kasus, misalnya, ada seorang laki-laki yang meninggal karena
penyakit terkait AIDS ternyata mempunyai “istri” 13. KPA Kab Tangerang hanya
bisa menjangkau 5 dari 13 perempuang yang menjadi pasangan laki-laki tadi. Itu
artinya ada 8 perempuan yang menjadi mata rantai penyebaram HIV di Banten
(Lihat: Seorang Laki-laki di Kab. Tangerang, Prov.
Banten, Menularkan HIV Kepada 7 Istri dari 13 Istrinya - http://regional.kompasiana.com/2011/12/20/seorang-laki-laki-di-kab-tangerang-prov-banten-menularkan-hiv-kepada-7-istri-dari-13-istrinya-423506.html)/
Semuanya tergantung sikap Pemprov Banten dan pemerintah kabupaten dan kota
di Banten: mengabaikan penyebaran HIV/AIDS karena menanggap tidak ada pelacuran
di Banten dengan konsekuensi penyebaran HIV terus terjadi atau meregulasi
pelacuran agar program penanggulangan bisa dijalankan secara konkret.***[Syaiful
W. Harahap]***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.