Opini (3 Januari 2014) –
Dalam laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PP & PL,
Kemenkes RI, tertanggal 31 Oktober 2013 kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov
Sumatera Utara (Sumut) 8.103 yang terdiri atas 7.588 HIV dan 515 AIDS.
Kalau berpatokan pada kasus AIDS,
maka peringkat Sumut secara nasional ada pada posisi ke-14. Tapi, jika bertolak
dari kasus HIV yang jumlahnya 7.588, maka posisi Sumut kelak, berdasarkan data
kasus per 30 September 2013, ada pada peringkat ke-7 dengan jumlah kasus
kumulatif HIV/AIDS sebanyak 8,103.
Pemprov Sumut dan jajaran yang
terkait dengan HIV/AIDS boleh-boleh saja menepuk dada jika berpatokan pada
peringkat berdasarkan kasus AIDS yaitu posisi ke-14. Tapi, kasus-kasus HIV yang
terdeteksi akan mencapai masa AIDS sehingga jumlah penduduk pengidap HIV yang
ada pasa masa AIDS akan besar sehingga menempati peringkat ke-7.
Yang menjadi persoalan besar dan
luput dari perhatian Pemprov Sumut adalah penduduk yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS bisa jadi sudah menularkan HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari sebelum
tes HIV.
Jika sudah tes HIV, dengan
catatan tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka
kecil kemungkinan orang-orang yang terdeteksi HIV akan menularkan ke orang
lain. Soalnya, salah satu syarat prates HIV adalah kesediaan untuk menyatakan
bahwa jika hasil tes HIV positif, maka mereka berjanji akan menghentikan
penularan HIV mulai dari dirinya.
Persoalan yang muncul jika tes
HIV tidak sesuai dengan standar yang baku adalah tidak ada jaminan orang-orang
terdeteksi HIV akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya.
Salah satu faktor yang mendorong
penyebaran HIV/AIDS di Sumut adalah:
(1) Perilaku sebagian laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Sumut dan di luar
wilayah Sumut.
(1) Perilaku sebagian laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondomdengan perempuan yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung
(PSK yang kasat mata, seperti di tempat-tempat pelacurna, tempat hiburan, dll.)
dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata, seperti cewek panggilan,
cewek pub, cewek disko, cewek karaoke, anak sekolah, mahasiswi, dll.) di
wilayah Sumut dan di luar wilayah Sumut.
Terkait dengan kondisi nomor (1)
adalah mustahil untuk menjalankan program langsung kepada laki-laki. Yang bisa
dilakukan hanya program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Tapi, harus ada regulasi yang mewajibkan semua perempuan hamil menjalani tes
HIV dan didahului dengan konseling pasangan.
Pertanyaannya adalah: Apa langkah
konkret berupa program yang sistematis yang dijalankan Pemprov Sumut untuk
mencegah penularan HIV pada nomor (2)?
Tentu saja tidak ada karena
Pemprov Sumut sertak pemerintah kabupaten dan kota di Sumut akan berteriak
lantang: di daerah kami tidak ada pelacuran!
Mereka benar adanya.
Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada bukan praktek pelacuran tapi
lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ditangani pemerintah lokal.
Praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat, seperti di tempat-tempat yang menyediakan cewek untuk
transaksi seks, dan sembarang waktu.
Kondisi itulah yang membuat
penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di Sumut karena tidak ada program yang bisa menjangkau
laki-laki yang melacur. Ini terjadi karena kegiatan pelacuran tidak bisa
dilihat. Mereka melakukannya di rumah, kos-kosan, penginapan, losmen, hotel
melati, hotel berbintang dan apartemen.
Selama Pemprov Sumut dan
pemerintah kabupaten dan kota di Sumut tetap berpatokan pada kenyataan hukum (de
jure) bahwa di Sumut tidak ada pelacuran, maka selama itu pula penyebaran
HIV/AIDS akan terus terjadi karena secara nyata (de facto) ada praktek
pelacuran yang tersebar luas di wilayah Sumut.
Sudah beberapa daerah di Sumut
yang menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS, yaitu (1)
Kab Serdang Bedagai tahun 2006, (2) Kota Tanjungbalai tahun 2009, dan Kota
Medan tahun 2012. Celakanya, perda-perda itu sama sekali tidak memberikan
langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, seperti Perda AIDS Kota
Medan ini (Lihat: Perda AIDS Kota Medan- http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kota-medan.html).
Kunci ada pada Pemprov Sumut dan
pemerintah kabupaten dan kota di Sumut: tetap menanggap tidak ada pelacuran
dengan konsekuensi penyebaran HIV terus terjadi atau meregulasi pelacuran agar
program penanggulangan bisa dijalankan secara konkret.***[Syaiful W. Harahap]***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap