26 Desember 2013

Nasib Mereka yang Tertular Virus HIV*


Darah putrinya baru diambil agi hari oleh dokter puskesmas untuk diperiksa di laboratorium, tapi sore harinya sudah ada berita di koran tentang penyakit anaknya itu.

Itulah yang membuat keluarga Kartam, penduduk Cibuaya, Kab Karawang, Jabar, pusing tujuh keliling.

Pengambilan darah itu pun menurut petugas yang datang ke rumahnya karena putrinya baru pulang dari seberang (maksudnya Prov Riau, khusunya Riau Keplauan).

Tampaknya, pengambilan darah itu sendiri bertolak dari pemberitaan beberapa koran yang terbit hari itu tentang pemulangan tiga wanita asal Karawang oleh Pemda Prov Riau. Ketiga wanita itu dinyatakan seropositif (tertular virus HIV/AIDS) berdasarkan pemeriksaan terhadap wanita-wanita berisiko tinggi yang bekerja di kawasan Riau Kepualuan.

Pemberitaan di koran itu pulalah yang menjadi awal melapetaka yang tidak berkesudahan yang dialami keluarganya sampai hari ini. Rupanya, dalam berita tersebut disebutkan Mh, 21 tahun, putri sulung Kartam, mengidap virus HIV/AIDS.

Mh dan dua penduduk Karawang lainnya (Am penduduk Desa Jorang Mekarpohaci, Kec Tempuran, dan NY penduduk Kp Keceot, Tanjungpura) divonis seropositif setelah diperiksa Dinas Kesehatan Riau sekitar Agustus 1993.

Dinas Kesehatan Riau memeriksa wanita-wanita berisiko tinggi (pelacur dan wanita-wanita penghibur), tapi kepada “Mutiara” Mh bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Romlah, tetangganya di Cibuaya, di Tanjung Batu, Kab Riau Kepulauan, Prov Riau.

Hari-hari berikutnya silih berganti yang dating ke rumahnya, semuanya mencibir dan mencaci-maki. “Jangan dekat-dekat nanti nepa (tertular-Red.),” kata penduduk di sana kepada anak-anaknya yang lewat di depan rumah Mh.

Tidak sedikit pula orang lewat di depan rumahnya hanya untuk melihat mereka dari dekat dan mencibir. Aparat-aparat dari berbagai instansi menuding putrinya membikin malu daerah, anak-anak muda mencercanya sebagai penyebar maut.

Bahkan, seorang polisi dengan berkacak pinggang di depan rumah Kartam memaki-maki Mh: “Kami datang ke sini hanya menularkan penyakit.”

Rupanya, Pak Polisi tadi menuduh Mh sebagai pelacur. Ini pulalah yang membuat Kartam naik pitam, tapi ia hanya mengurut dada. “Kalau ketika itu saya tidak sakit akan saya lawan biar pun dia polisi karena menuduh anak saya pelacur,” kata Kartam dengan terbata-bata menahan tangis.

Tetanggannya tahu persis Mh tidak pernah ke luar rumah sejak dipulangkan dari Riau. Apalagi setelah diberitakan koran dan televisi Mh praktis tidak pernah jauh-jauh dari rumahnya. Hanya beberapa tetangganya yang mau menerimanya bertamu, yang lain menolaknya. “Tidak ada lagi yang mau ampreng-ampreng (bertamu-Red.) ke rumah kami,” kata Mh dengan nada sedih.

Sejak pengambilan darah itu orang-orang pun menjauh. Ketika pengmbilan darah itu pun rupanya banyak orang yang datang ke rumah Kartam bersama petugas puskesmas.

Penduduk mengatakan kalau bersentuhan saja penyakitnya akan menular sehingga tidak ada yang mau dekat-dekat denan Mh dan keluarganya. Tetangganya mencibir dan tidak ada yang mau bergaul lagi. “Tidak ada lagi yang mau membeli telur asin dagangan saya,” kata Bu Tarmen, ibu Mh, sambil mengusap air matanya.

Padahal, dagangan telur itulah salah satu mata pencaharian keluarga ini. Bukan hanya itu. Penduduk kampung itu pun tidak ada lagi yang mau menerima Kartam mengerjakan sawah-sawah mereka.

Bukan cuma bekerja. Pemuda-pemuda di sana pun tidak ada lagi yang mau bergaul dengan Mh. Padahal, sebagai orang tua Kartam dan Tarmen sudah merencanakan akan menikahkan putrinya. “Tidak ada pemuda yang mau mengawini anak saya,” kata Tarmen dengan terisak-isak.

Celakanya, di tempat barunya pun (Kartam dan keluarganya pindah dari desanya ke desa lain di lain kacamatan-Pen.) orang sudah mengetahui perihal Mh. Semula ada seorang pemuda yang sudah mengajaknya menikah, tapi rupanya ada teman sekampung Mh yang membisiki pemuda itu. “Sampai sekarang dia tidak pernah datang lagi,” kata Mh dengan mata berkaca-kaca di rumah petak berdinding gedeg berlantai tanah yang diberikan majikan tempat mereka bekerja di sebuah lio (pembuatan batu bata sekitar 30 km dari Cibuaya-pen.).

Kartam dan keluarganya sampai sekarang tidak mempercayai anaknya mengidap virus HIV/AIDS. “Anak saya sehat, gemuk, tidak pernah mengeluh pusing-pusing kalau sedang bekerja,” kata Kartam dengan nada yakin.

Bahkan, keterangan seorang wartawati sebuah tabloid di Jakarta juga membesarkan hatinya (maksudnya Kartam-pen.), yang mengatakan bahwa putrinya tidak mungkin seropositif karena kelihatan sehat-sehat saja.

Keyakinan Kartam semakin kuat lagi ketika mereka ditolak berobat di RSU Karawang beberapa hari setelah petugas puskesmas mengambil darah anaknya. “Orang sehat, koq, mau diperiksa,” kata petugas di RSU Karawang kepada Kartam dan Mh.

Memang di Indonesia tidak sedikit orang yang masih rancu tentang HIV/AIDS. Ikhwal tentang virus ini masih simpang-siur. Lihatlah penjelasan wartawati tadi yang menjadi anggapan umum di Indonesia.

Tampaknya, banyak orang yang menganggap bahwa pengidap virus HIV/AIDS harus terlentang di tempat tidur atau di rumah sakit. Padahal, gejala penularan virus itu baru bisa diamati secara fisik setelah 7-10 tahun sejak ditanyakan seropositif.

Begitu pula dengan pemeriksaan, aparat kesehatan di daerah, seperti Puskesmas Tempauran, Kab Karawang, Jabar, tidak menghargai Am, salah seorang yang divonis di Riau seropositif, agar darahnya diperiksa di RSCM Jakarta (Lihat: Duka Lara Seorang Wanita yang Divonis Mengidap HIV - http://www.aidsindonesia.com/2013/12/duka-lara-seorang-wanita-yang-divonis.html).

Am dinyatakan seropositif tapi tetap menolak karena darahnya diperiksa di puskesmas. Pendapat Am ini beralasan karena pacarnya, seorang pengusaha di Singapura, mengangap bahwa yang namanya rumah sakit, ya, rumah sakit umum semacam RSCM. Pola pikirnya (maksunya pacar Am-pen.) tentu mengikuti Singapura yang mungkin tidak memiliki puskesmas. Sayang, Puskesmas Tempuran menolaknya. Karena merasa dirinya negatif Am pun sekarang bekerja di sebuah warung nasi di Bekasi.

Tetanggan Mh pun mengatakan bahwa umurnya tinggal dua tahun lagi ketika berita tentang dirinya tersebar luas di beberapa koran dan siaran televisi di “RCTI”. Bahkan, ada tetangganya yang berani bertaruh akan memberikan hadiah kepada Mh kalau bertahan hidup lebih dari dua tahun. “Sekarang sudah empat Lebaran anak saya tetap sehat,” kata Bu Tarmen masih denga mata yang berkaca-kaca.

Yang paling menyakitkan Tarmen adalah ketika berita yang menyebutkan bahwa keluarganya tergolong berada. Memiliki sawah dan rumah bagus. Apalagi berita menggambarkan seolah-olah rumah dan sawah mereka itu merupakan hasil jerih payah Mh selama di Riau. “Ya, ampun, rumah kami di sana (maksudnya di Cibuaya-pen.) cuma rumah gedeg berlantai tanah. Itu pun rumah kakak saya,” kata Tarmen masih dengan terisak-isak.

Sebagai buruh tani Kartam harus menghidupi istri dan emam anaknya. Mh sendiri hanya bekerja di rumah Romal selama delapan bulan.

Berbulan-bulan mereka menghadapi cercaan. Akhirnya, Kartam semakin terpuruk dan tidak bisa lagi menghadapinya. Merek apun sepakat utuk mengizinkan Mh bekerja di Arab Saudi. Melalui PT Sapta Saguna, sebeuah perusahaan pengerah tenaga kerja di Jakarta Timur, Mh berangkat ke Arab.

Keberangkatan Mh itu pulalah yang semakmin membingungkan Kartam karena pemerisaan keseahatan calon TKI ke Arab khususnya dan ke luar negeri umumnya sangat ketat. “Yang rematik saja tidak lolos,” kata Mh sambil menyebut beberapa temannnya yang tidak bisa ikut karena berbagai penyakt “biasa”, seperti darah tinggi, penyakit jantung, dll.

Lebih mengherankan lagi bagi Mh karena ia menilai pemerisaan darah di Tanjung Batu, Kab Riau Kepualuan, Prov Riau, sangatr janggal karena yang menyuruhnya berobat ke rumah sakit, Muchtar, seorang petugas keamanan di sana, tapi yang menyebutkan hasilnya justru orang yang tidak dikenalnya. “Saya baru bertemu orang itu hari itu,” kata Mh tentang laki-laki tegap tinggi berkulit hitam yang menyebutnya positif mengidap virus HIV/ADS.

Muchtar menyuruhkan ke rumah sakit seminggu setelah darahnya diambil. Di rumah sakit Mh bertemu dengan Dokter Eka. Karena dinyatakan berpenyakit Mh pun bersikeras pulang ke kampugnya. Tapi ketika itu Dokter Eka melarangnya pulang dan memintanya tetap di Tanjung Batu.

Cuma, karena penasaran ia tetap bersikeras pulang ke kampungnya. “Untuk memeriksakan kesehatan,” katanya kepada “Mutiara”. Sampai sekarang pun Mh tidak pernah menerima surat resmi dari aparat terkait tentang dirinya. Kartam berhadap agar penjelasan tentang anaknya langsung diterimanya dari pejabat yang berkaitan. Tapi, sampai hari ini tidak ada keterangan resmi deterimanya tentang anaknya.

Cercaan pulalah yang akhirnya memaksanya dan keluarganya pidah dari Cibuaya ke salah satu kota di Jawa Barat untuk mencari sesuap nasi. Kartam pindah sejak enam bulan yang lalu.

Kartam meninggalkan utang sekitar Rp 500.000 kepada beberapa orang di kampugnnya dan di kampung istrinya di Indramayu, masih di Jabar. Itu, semula Rp 600.000, mereka pakai untuk keperluan mengurus keberangkatan Mh ke Arab sebagai TKI.

Mh sendiri Cuma enam bulan di Arab sehingga uang yang dibawanya, sekitar Rp 500.000, tidak cukup untuk membayar utang. Utang kian banyak karena uang itu dipakai juga untuk menyambung hidup karena Kartam dan istrinya tiak bisa bekerja lagi di kampungnya.

Seorang pemuda yang bekerja sebagai anak buah kapal atau pelaut, sebut saja Andi, berumur 30-an tahun, mengakut tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara lagi, karena orang tuanya telah memutuskan hubungan dengannya sejak ia mengaku bahwa dirinya telah tertular virus HIV/AIDS. Hal itu diketahuinya ketika ia menerima kiriman sebuah surat kabar yang memuat iklan pemutusan hubungan itu. Andi masih beruntung karena dalam iklan itu tidak disebutkan alasan pemutusan hubungan tsb. karena tertular HIV/AIDS.

Rupanya, orang tua dan adik-adik Andi marah besar ketika mereka menerima kabar itu. Bahkan, ayahnya seakan-akan menyesali diri mengapa dulu ia memasukkan anaknya ke AIP (Akadimi Ilmu Pelayaran) Jakarta. ”Akibatnya kamu sekarang terkena penyakit kutukan setan itu karena berlayar keliling dunia dengan kapal asing,” kata Andi menirukan bentakan ayahnya.

Andi sendiri mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV/AIDS ketika diadakan pemeriksaan darah rutin di rumah sakit perusahaannya di Singapura. Andi pun mengaku ketika pertama kali ia menerima kabar tentang dirinya ia marah besar. Semua barang-barang di kapal dibuangnya. Hanya satu stel pakaian dan baju kerja di kamar mesin yang disisakannya. Teman-temannya berusaha mengorek alsannya mengapa ia depresi, tapi ia menutupinya karena takut dikucilkan teman-temannya.

Tapi, kini Andi mengaku sudah bisa menerima kenyataan. Ini berkat konseling yang diterimanya di sebuah klinik AIDS di Singapura. Ia selalu menyemapatkan diri ke sana jiak sedang berlabuh di ’Kota Singa’ itu. ”Yah, kalau kondisi saya kuat virus HIV/AIDS itu baru memasuki stadium AIDS 10 atau 15 tahun yang akan datang,” katanya dengan nada yakin.

Sekarang Andi sudah menyisishkan sebagian penghasilannya (gaji bersih yang diterimanya 1.500 dolar AS/bulan) untuk menyumbang sebuah gereja di Indonesia bagian Timur  yang juga mempunyai rumah penampungan orang-orang jompo dan sakit. Rupanya, Andi membayangkan bawah kelak dia akan menjadi salah seorang penghuninya.

Andi merasa ia tertular virus HIV/AIDS antara Indonesia dan Muangthai. “Waktu itu saya lagi getol-getolnya plesiran di Bangkok menikmati gadis-gadis yang cantik dan seksi-seksi,” kata Andi dengan nada parau. Sekarang ia semakin percaya diri karena ia menganggap dirinya sama saja dengan orang yang mengidap kanker ganas yang juga tidak bisa sambuh total.

Seorang ayah di Jakarta, sebut saja Pak Ahmad, mengaku kini sering bertengkar dan saling menyalahkan dengan istrinya sejak salah soerang anaknya dinyatakan seropositif.

“Rasanya seperti mimpi buruk, selalu membayangi pikiran saya di mana saja saya berada,” kata Ahmad seakan menyesali dirinya. Sekarang Ahmad berusaha menutupinya agar tidak diketaui sanak famili, rekan-rekan anaknya, dan relasi bisnisnya.

Anaknya  itu pun sudah dipindahkannya ke sebuah kota hidup dalam suasana pertapaan untuk menjauhkan anaknya dari pergaulan dunia ramai. Sekali sebulan mereka menjenguknya.

Sedangkan Andi, karena tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara lagi setiap kali cuti hanya menghabiskan waktunya di Jakarta. Padahal, biasanya ia selalu terbang ke bagian Timur Indonesia menjumpai orang tua dan sanak familinya.

- M/Syaiful W. Harahap (Karawang) dan Gustaf P (Jakarta).

* Dimuat di Tabloid “Mutiara” Edisi 28 Maret-3 April 1995

Duka Lara Seorang Wanita yang Divonis Mengidap HIV*


“Wah, mungkin jantung saya sudah copot kalau saya lemah jantung,” kata Am, 21 tahun, seorang janda yang sudah dinyatakan positif mengidap HIV (human immunodeficiency virus) atau virus penyebab AIDS (Aqcuired Immuno Deficiency Syndrome atau penyakit yang menurunkan kekebalan tubuh) di sebuah desa di Kab Karawang, Jabar.

Rupanya, namanya termasuk sebagai salah satu dari tiga wanita penghibur asal Jabar yang dipulangkan dari Kepulauan Riau, seperti dari Batam dan Tanjungpinang, ke kampong asalnya, dalam berita-berita di media cetak dan siaran televisi swasta nasional.

Begitu ia sampai di kampong halamannya pada Oktober 1993 orang-orang pun menghindarinya dan tidak sedikit pula yang mencibir dan melihatnya seperti makhluk asing. Keadaannya kian menyedihkan karena petugas dari berbagai instansi, mulai dari tingkat desa sampai provinsi pun mendatanginya silih berganti.

Makanya, ketika Mutiara bertandang ke rumahnya pekan lalu, ia pun sedikit marah. “Saya mau tau siapa, sih, yang membikin ini,” katanya seraya memperlihatkan berita yang dimuat sebuah harian terkemukan Ibukota. Waktu pemberitaan sedang ramai-ramainya ia sendiri masih di Tanjungpinang, ia kecewa terhadap berita-berita itu.

“Tahu sendirilah apa yang saya kerjakan di sana,” katanya sambil mengedip-ngedipkan mata. Memang, dalam berita itu disebutkan bahwa rumahnya di desa itu dibangun berkat kiriman uangnya. Dan, sumber berita itu tidak lain adalah kakek dan neneknya, karena menurut pengakuannya ketika itu dia belum pulang dari Tanjungpinang. Di gang itu memang cuma rumahnya yang berlantai semen dan memilik televisi hitam putih 14 inci dan sebuah radio serta satu compo yang semuanya dihidupkan dengan aki.

Anak Meninggal

Kesedihannya kian memuncak karena ketika sampai di kampungnya ia tidak lagi bisa berjumpa dengan anaknya karena anaknya meninggal ketika ia masih di Tanjungpinang. Dan, orang-orang sekampung pun memilih untuk tidak berdekatan dengannya. Tapi, belakangan berkat penyuluhan yang dilakukan oleh aparat desa mereka telah dapat menerima Am. Mereka tidak lagi takut-takut menonton televisi di rumahnya, atau memakan dan meminum suguhannya.

Tetangganya pun dengan ramah akan menunjukkan rumahnya kalau mereka ditanya. “Masuk aja, Pak,” kata seorang ibu di depan rumahnya ketika Mutiara bertandang ke sana. Ketika itu Am tidak sedang di rumah, lalu disusul oleh kakeknya.

“Oo, mau ke rumah Am,” kata seorang lelaki yang sedang duduk berselonjor sambil mendengarkan dongeng dari radio di depan rumahnya di mulut gang menuju rumah Am.

“Dalam berbagai kesempatan kami selalu menyelipkan masalah HIV,” kata Sukarsana, sekretaris Desa Mekarpohaci, Kec Tempuran, Kab Karawang, kepada Mutiara. Berkat penyuluhan itu masyarakat tahu betul seluk-beluk HIV/AIDS sehingga mereka tidak lagi memusuhi Am. Inilah yang menghibur Am.

Saya ‘kan sehat-sehat saja,” ujarnya. Dalam hal ini ada perbedaan persepsi yang serius. Bagi orang awam, sakit berarti jatuh sakit. (semacam demam) dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan orang yang tertular virus HIV atau mengisap AIDS tidak harus tergeletak di tempat tidur atau diopname di rumah sakit.

Diawasi

Kabarnya, berbagai pihak terus-menerus tindak-tanduk Am. “Ah, nggak ada, saya bebas ke mana-mana,” kata wanita yang hanya sempat mengecap bangku kelas 2 SD ini. Sekitar 5 km dari rumahnya memang ada lokalisasi pelacuran. Kalau memang penyakit itu ada, ia mengatakan sudah nasib, dan ia berjanji akan menjaga diri agar tidak tertular kepada orang lain. Kalau penduduk sudah mengetahui seluk-beluk HIV/AIDS tentulah tidak perlu mengucilkan atau memusihi Am, karena semuanya terpulang kepada orang lain.

Padahal, salah satu alasan mengapa ia mau diajak oleh seorang wanita dari Cibodas, Cikampung, Kab Karawang, ke Tanjungpinang adalah mencari uang untuk menghidupi anaknya. Ketika itu suaminya meninggalkannya dan ia mengaku sangat bingung. Ia tinggal bersama ibunya, juga seorang janda, kakek dan neneknya (neneknya buta). Karena tawaran wanita itu menggiurkan, yang menyebutkan ia akan dipekerjakan di restoran dengan upah Rp 400.000/bulan, ia pun mengaku sangat tertarik.

Am pun berangkat bersama sembilan rekaannya, semuanya dari Kab Karawang ke Tanjungpinang dengan KM Lawit dari Tanjung Priok.

“Malam pertama menerima tamu saya nangis habis-habisan,” katanya sambil mengenang pengalaman pertamanya. Rupanya, di sana mereka dijadikan pelacur, bukan bekerja sebagai pelayan di restoran seperti yang dijanjikan wanita dari Cibodas itu.

Ia tidak bisa menolak lelaki yang disodorkan kepada karena sebelum berangkat wanita tadi, yang kemudian menjadi germonya di Tanjungpinang, memberikan uang Rp 50.000 kepada ibunya sebagai biaya perawatan anaknya yang ketika itu berumur 18 bulan. Itu berupa pinjaman yang bunganya akan berbunga pula.

Mereka ditempatkan di sebuah lokalisasi yang dihuni ratusan pelacur di Batu 16. Beberapa bulan kemudia mereka dipindahkan ke Batu 24. Am ditempatkan di ruman 17 bersama 12 wanita lainnya.

“Kami tidak bisa ke mana-mana, semuanya diawasi dan kompleks itu dijaga ketat,” ujar Am menggambarkan kehidupannya di tanah rantau itu. Agaknya, di rumah itu ia menjadi primadonanya. Setiap malam ia selalu dipesan dan dibawa ke hotel untuk bermalam dengan si hidung belang, yang umumnya warga negara Singapura.

Masa Kelabu

Salah seorang dari langganannya itu kemudian menaruh hati kepadanya. Pria Cina warga negara Singpura itu pun memacarinya dan menebusnya dari germo dengan imbalan Rp 1 juta. Am kemudian diboyong lelaki lajang berumur 60 tahun itu ke rumah 14 di Batu 16.

Di sinilah berawal masa kelabu baginya pada bulan September 1993. Suatu hari petugas kesehatan (mereka memanggilnya “Pak Dokter”) yang biasa bertugas di lokalisasi itu mengumpulkan penghuni rumah 14. “Di rumah ini ada yang sakit,” kata “Pak Dokter”, seperti ditirukan Am. Memang, beberapa minggu sebelumnya darah mereka diambil untuk diperiksa.

Semuanya diam dan saling berpandangan. Tiba-tiba beberapa orang buka suara dan menuding Am yang sakit. “Dia, Pak, dia ‘kan yang sering ke hotel,” kata mereka. Tampaknya, mereka sudah mengetahui sakit yang dimaksudkan petugas kesehatan tadi karena berkaitan dengan pemeriksaan darah dan kaitannya tentu saja dengan lekaki asing.

Memang, rata-rata tamu Am berasal dari Singapura, dan pernah juga lelaki bule. Menurut pengakuan Am ia selalu meminta teman kencannya memakai kondom, walaupun ada juga yang menolak. Menghadapi hal ini Am tidak bisa berbuat banyak dan terpaksa mengikuti selera teman kencannya. Vonis pun jatuh kepada Am dan ia kemudian disekap di pos keamanan lokalisasi itu.

“Ah, ‘Pak Dokter’ itu dendam kepada saya,” kata Am. Rupanya, Am selalu menolak  ajakan petugas kesehatan itu untuk bermalam dengannya. Ia bukannya tidak mau duit, tapi menurut pengakuannya ia menghargai jabatan “Pak Dokter” karena ia sendiri hanya seorang pelacur. Lagi pula, masih menurut Am, petugas kesehatan itu sudah beristri dua.

Dipulangkan

Dua minggu lamanya ia disekap di positu sebelum diantar ke kapal KM Lawit dengan tujuan Tanjung Priok oleh seorang hansip yang biasa menjaga lokalisasi itu.

“Suami saya, sih, tidak percaya,” kata Am tentang pemeriksaan di Tanjungpinang itu yang menyebutkan bahwa ia sudah terinfeksi virus HIV. Suami yang dimaksudkan Am adalah lelaki yang menebusnya itu yang katanya sudah menikahinya di rumahnya Lebaran yang lalu. “Ah, cuma sebagai gendak saja,” kata seorang staf desa tentang perkawinan yang disebut Am.

Ketika dipulangkan Am menerima uang Rp 500.000 dari germonya dan Rp 300.000 dari pacarnya. Uang yang dari germonya ini merupakan pinjaman yang harus dikembalikannya jika ia kebali beroperasi di Tanjungpinang.

“Kalau dihitung-hitung penghasilan saya sudah cukup besar,” katanya. Cuma, semua uang dipegang oleh gerno dan setiap bulan mereka hanya ditunjukkan catatan tentang pendapatan dan pengeluaran. Untuk makan mereka dikenakan biaya Rp 50.000 dan kamar Rp 300.000 per bulan. Belum lagi potongan untuk pembelian baju dan kosmetika. Tarif Am ketika itu sekitar Rp 120.000/malam.

“Saya hanya percaya kalau darah saya diperiksa di Cipto (maksudnya RSCM Jakarta-Red.),” katanya berulang-ulang kepada Mutiara. Darahnya sendiri diambil di Puskesmas Tempuran beberapa hari setelah ia tiba di rumahnya Oktober 1993. Kabarnya, di puskesmas itu pun ia menolak ketika hendak diambil darahnya karena ia hanya mau diperiksa di Cipto.

Tapi, karena petugas yang mengambil darahnya itu bahwa ia juga dari Cipto barulah Am mau memberikan darahnya untuk diperiksa. Kalau saja petugas yang akan mengambil darahnya itu sedikit lebih arif dan bijaksana tentulah keingingan Am dipenuhi agar ia mau menerima hasilnya kelak.

Cuma, sampai sekarang ia tidak menerima hasil pemeriksaan itu. Menurut staf desa pemberitahuan tentang hasil pemeriksaan itu memang tida diberikan kepadanya, tapi cukup ke kantor desa saja.  Menurut pengakuannya ia tidak pernah lagi diperiksa setelah darahnya diambil di Puskesmas Tempuran. Selain itu ia sangat yakin bahwa ia sehat sehingga tidak perlu berobat.

Kini, Am tinggal bersama kakek dan neneknya. “Tiap bulan suami saya ngirim Rp 300.000,” kata Am tentang biaya hidupnya. Uang itu dikirimkan melalui bank dan diambil di Karawang. Jika hubunganya putus dengan suaminya itu barulah ia memulai hidup baru. “Ya, cari suami lagi,” katanya dengan nada yakin.

- M/Syaiful W. Harahap

* Dimuat di Tabloid “Mutiara” Edisi No 709 Minggu IV Mei 1994