Opini (8 Desember 2013) –
Sejak minggu terakhir November 2013 yaitu menjelang peringatan Hari AIDS
Sedunia (HAS) tanggal 1 Desember 2013 sampai hari ini berbagai kalangan
terus-menerus menolak, menghujat, dan mencaci sosialisasi kondom, al. melalui
Pakan Kondom Nasional.
Sebagian besar media massa
nasional pun menjadikan isu tsb. sebagai ‘barang dagangan’, tapi semua pada
ranah opini.
Diskusi, debat, wawancara,
talkshow, dll. hanya sebatas caci-maki di ranah opini. Tidak ada pembahsan yang
komprehensif dengan membawa isu tsb. ke realitas sosial terkait dengan asumsi
bahwa kondom disebut akan mendorong ‘seks bebas’, al. perzinaan, pelacuran,
dll.
Satu hal yang dilupakan adalah fakta di lokalisasi dan lokasi pelacuran serta di berbagai tempat yang menyediakan transaksi seks, ternyata laki-laki yang melakukan ‘seks bebas’ justru tidak mau memakai kondom (Lihat: Laki-laki Pelaku “Seks Bebas“ Justru Tidak Mau Pakai Kondom - http://www.aidsindonesia.com/2013/12/laki-laki-pelaku-seks-bebas-justru.html).
Tapi, fakta itu diabaikan bahkan
cenderung digelapkan sehingga dikesankan asumi tsb. benar adanya.
Selama penolakan terhadap kondom
hanya ada ranah caci-maki, maka selama itu pula terjadi insiden infeksi HIV
baru pada pelaku-pelaku ‘seks bebas’ karena mereka tidak memakai kondom.
Memang, ada yang tidak pas pada
sosialisasi kondom yaitu sasaran yang dituju selama ini terbuka yaitu
masyarakat. Padahal, di tempat asal program kondom, yaitu Thailand, program
kondom yaitu ‘wajib kondom 100 persen’ dilakukan terhadap laki-laki di
lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Persoalannya adalah di Indonesia tidak ada (lagi) lokalisasi pelacuran yang dikelola oleh pemerintah seperti di era Orba yang dikenal sebagai pusat resosialisasi. Program ini sendiri tidak mencapai tujuan karena program yang top-down (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html).
Terlepas dari semua hal itu akan
lebih arif dan bijaksana kalau para agamawan dan ormas-ormas keagamaan memilih
mengajak ummat agar tidak melakukan ‘seks bebas’.
Kondom sendiri ada di ranah ‘seks
bebas’, sehingga kalau agamawan dan ormas-ormas keagamaan berhasil mengajak
ummat tidak melakukan ‘seks bebas’ maka tidak ada lagi yang akan membeli
kondom. Itu artinya pemasaran kondom berhenti.
Ajakan agamawan dan ormas-ormas
keagamaan terhadap laki-laki dewasa agar tidak melakukan ‘seks bebas’ sangat
mendesak karena data menunjukkan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga terus
terdeteksi. Ini artinya suami mereka melakukan ‘seks bebas’ (tanpa kondom).
Seperti yang dikatakan oleh
Menkes dr Nafsiah Mboi, SpA, MPH: “Kalau para agamawan (yang menolak kampanye
kondom) bisa mencegah agar jangan sampai terjadi perbuatan zina, silahkan, itu
yang terbagus.” (ANTARA News, 6/12-2013).
Memang,
dalam kondisi epidemi HIV/AIDS yang sudah ada di masyarakat maka pilihan pun
sangat terbatas, yaitu: (1) Mengajak laki-laki dewasa dan remaja putra agar
tidak melakukan seks bebas, (2) Laki-laki dewasa dan remaja putra memakai
kondom jika melakukan seks bebas, atau (3) Laki-laki dewasa melakukan seks
bebas tanpa kondom, tapi pakai kondom ketika sanggama dengan istri.
Sejalan
dengan harapan Bu Menkes, maka yang kita harapkan adalah pilihan nomor (1).
Untuk
mencapai piliha nomor (1) harapan kita ada pada kalangan agamawan dan
ormas-ormas keagamaan.
Jika
pilihan nomor (1) tercapai, maka segemuruh apa pun sosialisasi kondom tidak
akan mempan dan pemasaran kondom pun padam dengan sendirinya.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap