07 Desember 2013

HIV/AIDS ’Serang’ Ibu Hamil di Tabanan, Bali


Tanggapan Berita (7 Desember 2013) – ”Penyebaran kasus HIV/AIDS di Tabanan, kian ganas. Tak hanya warga berisiko, kaum ibu hamil mulai menjadi sasaran empuk penyakit mematikan ini. ….” Ini lead pada berita ”Kasus HIV/AIDS Serang Ibu Hamil Tabanan” di Harian ”Bali Post” (7/12-2013)

Pernyataan pada lead berita di atas menunjukkan HIV/AIDS dibicarakan dari aspek nonmedis sehingga memunculkan mitos (anggapan yang salah).

Pertama, HIV/AIDS ada di dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI) pada orang yang mengidap HIV/AIDS. Maka, HIV/AIDS bukan makhluk yang menyerang manusia melalui media udara dan air tapi menular melalui cara-cara yang sangat khas, al. hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, transfusi darah, dan menyusui.

Kedua, siapa yang dimaksud dengan ’warga berisiko’? Yang berisiko tertular HIV/AIDS bukan warga, kelompok atau kalangan tertentu tapi orang per orang yaitu seseorang yang perilaku seksnya berisiko tertular HIV, al. pernah atau sering ’jajan’.

Ketiga, tidak ada sasaran khusus HIV/AIDS karena seseorang tertular HIV al. melalui hubungan seksual karena hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dilakukan tanpa kondom dengan orang yang mengidap HIV/AIDS.

Keempat, HIV bukan virus yang mematikan karena belum ada kasus kematian karena HIV. AIDS pun bukan penyakit tapi kondisi seseorang yang sudah tertular HIV antara 5-15 tahun.

Kelima, kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang ada di masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Terkait dengan kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu hamil mereka justru tertular dari suami. Ini membuktikan bahwa perilaku seks suami mereka berisiko tertular HIV, al. pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasnagan, seperti pekerja seks komersial (PSK), cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, ABG, mahsiswi, dll.

Sampai Agustus 2013 kasus kumulatif HIV/AIDS di Tabanan tercatat 521. Tentu saja ini bukan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang tercatat (521) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

” .... penanggulangan HIV/AIDS menjadi tanggung jawab bersama.” Ini pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Tabanan, Ketut Rendem.

Pernyataan di atas tidak tepat karena program penanggulangan yang merupakan regulasi hanya boleh dibuat oleh pemerintah. Setelah ada program yang konkret barulah rakyat menjalankannya.

Pertanyaan untuk Ketut Rendem: Coba Anda tunjukkan program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan sistematis yang bisa dijalankan oleh masyarakat!

Tentu saja tidak ada. Bahkan, dalam Perda Kab Tabanan No 9 Tahun 2011 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tidak ada satu pun pasal yang bisa dijalankan secara konkret untuk menanggulangi AIDS.

Menurut Kadis Kesehatan Tabanan, dr Nyoman Suratmika, sejak kematian tujuh ibu hamil pengidap HIV/AIDS di Tabanan, pihaknya memberlakukan tes HIV/AIDS bagi para ibu hamil.

Pertanyaan untuk dr Nyoman: Apakah suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS juga menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya tidak, maka suami ibu-ibu yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selama ’pintu masuk’ HIV/AIDS ke Kab Tabanan tidak ”disumbat”, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi.

Salah satu pintu masuk HIV/AIDS ke Kab Tabanan adalah melalui laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Jika, ’pintu masuk’ itu tidak disumbat, maka Pemkab Tabanan tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Bupati Kendal, Jateng, Diundang Tes HIV



Tanggapan Berita (7 Desember 2013) – Ini dua judul berita tentang tes HIV di Kab Kendal, Jateng: (1) ”Diundang Tes HIV/AIDS, Bupati Kendal Mangkir.” (kompas.com, 6/12-2013), dan (2) ”Bupati Kendal Mangkir dari Tes HIV/AIDS.” (tribunnews.com, 7/12-2013).

Dua judul berita itu sangat provokatif dan sensasional. Judul itu pun cenderung mendiskreditkan bupati.

Pertana, tes HIV adalah sukarela karena tidak ada UU yang mewajibkan setiap orang menjalani tes HIV.

Kedua, langkah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kab Kendal, Jawa Tengah, yang menggelar tes Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau uji HIV/AIDS adalah penangangan atau penanggulangan di hilir.

Ketiga, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu agar tidak ada lagi penduduk Kendal yang tertular HIV.

Keempat, apakan ada program KPA Kab Kendal untuk menangani insiden infeksi HIV di hulu?

Disebutkan bawah tes VCT dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia untuk umum itu, diikuti oleh penjaja seks komersial (PSK) Alas Karet ( Alaska) Sukorejo, Gambilangu (GBL) Kaliwungu, pelajar, dan masyarakat umum.

Dalam berita disebutkan: Namun sayang, tidak ada satupun pejabat Pemkab Kendal yang ikut serta dalam test VCT tersebut.

Jika dikaitkan sasaran tes dengan perilaku berisiko, maka KPA Kab Kendal sudah menyamaratakan perilaku semua pejabat Pemkab Kendal yaitu mereka berisiko melalui kegiatan dengan PSK.

Menurut Manager Kasus HIV/AIDS Dinas Kesehatan Kendal, Agus Purwanto,  jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kab Kendal pada kurun waktu tahun 2000-2013 mencapai 334. Mayoritas pengidap HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga. Kasus pada bayi pun sudah ada yang terdeteksi.

Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga menunjukkan suami mereka mengidap HIV/AIDS yang tertular al. melalui ’jajan’ dengan PSK.

Pertanyaan untuk KPA Kab Kendal: Apa program yang konret dijalankan di tempat pelacuran untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki?

Kalau tidak ada, maka penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh laki-laki pelanggan PSK akan terus terjadi.

Seorang PSK yang ‘praktek’ di “Alaska” asal Temanggung, Sophie, 22 tahun, mengaku rutin setiap tiga bulan melakukan test HIV. 

Sophie tidak paham kalau dia tes dan terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka itu artinya sudah banyak laki-laki yang tertular HIV dari Sophie, sebagian di antaranya adalah suami.

Yang perlu dilakukan oleh Sophie dkk. adalah tidak melayani laki-laki yang tidak memakai konom untuk melakukan hubungan seksual.

Tentu saja Sophie dkk. harus didukung dengan regulasi yang diterbitkan Pemkab Kendal.

Lalu, apakah ada regulasi yang konkret dijalankan Pemkab Kendal di lokalisasi pelacuran yang ada di Kab Kendal?

Tentu saja tidak ada!

Maka, jumlah ibu-ibu rumah tangga dan bayi yang mengidap HIV/AIDS akan terus bertambah yang pada gilirannya kelak akan sampai pada ‘ledakan AIDS’ di Kab Kendal.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Dibanding PSK, Ibu Rumah Tangga Lebih Banyak yang (Berisiko) Tertular HIV/AIDS





Tanggapan Berita (7 Desember 2013) – ”Ahok: Ibu Rumah Tangga Lebih Rentan Kena HIV/AIDS daripada PSK.“ Ini judul berita di liputan6.com (6/12-2013).

Pernyataan Wagub Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok, itu tidak tepat. Yang pas adalah ibu rumah tangga lebih banyak berisiko tertular HIV daripada PSK karena seorang PSK melayani tiga sampai lima laki-laki setiap malam (Lihat Gambar 1).

Kalau ada di antara tiga sampai lima laki-laki yang melacur tanpa kondom itu suami, maka jika ada di antara suami-suami itu yang tertular HIV/AIDS mereka akan menularkan HIV/AIDS kepada istrinya.

Itu artinya seorang PSK berisiko menularkan HIV kepada tiga sampai lima laki-laki setiap malam. Kita tinggal menghitung-hitung saja. Misalnya, kalau di Jakarta ada 1.000 PSK (PSK langsung dan PSK tidak lansung), maka setiap malam ada 3.000 – 5.000 laki-laki yang berisiko tertular HIV. Jika separuh dari laki-laki itu beristri, maka ada 1.500 – 2.500 istri yang berisiko tertular HIV dari suaminya.

Disebutkan oleh Ahok: "Ibu rumah tangga 5 kali lebih sering terjangkit virus HIV/AIDS daripada PSK sendiri."

Pernyataan di atas juga tidak pas, karena seorang istri hanya melayani seorang suami, sedangkan seorang PSK melayani tiga sampai lima laki-laki setiap malam.

Masih menurut Ahok, untuk mencegah penyebaran penyakit HIV/AIDS agar tidak berlanjut. Semua warga DKI Jakarta, harus bersedia ikut dalam test untuk mengetahui apakah warga tersebut terjangkit HIV atau tidak.

Nah, ini Pak Ahok. Tes HIV itu ada di hilir. Artinya, Anda menunggu dulu ada warga Jakarta yang tertular HIV (di hulu). Ini merupakan pembiaran terhadap warga Jakarta.


Yang perlu Anda lakukan adalah menutup ’pintu masuk’ HIV/AIDS ke Jakarta, al. mencegah agar tidak ada laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui pelacuran.

Persoalannya adalah: pelacuran di Jakarta tidak ada yang diregulasi berupa lokalisasi sehingga tidak bisa dilakukan intervensi berupa program yang mengikat secara hukum.

Selain itu pelacuran tidak langsung dan di luar Jakarta pun jelas tidak bisa dijangkau (Lihat Gambar 2).

Untuk itulah Pemprov DKI Jakarta harus menjalankan intervensi berupa program tes HIV kepada perempuan hamil karena ada kemungkinan suami mereka mengidap HIV/AIDS, al. melalui kegiatan pada Gambar 2. Jika perempuan hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka dijalankan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.


Yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui program kondom di pelacuran. Itu artinya pelacuran harus diregulasi melalui lokalisasi agar intervensi bisa dijalankan secara efektif (Lihat Gambar 3).

Persoalaannya adalah tidak ada kemungkinan (lagi) melokalisir pelacuran. Maka, yang terjadi adalah kejadian pada Gambar 2.

Jika yang di Jakarta adalah terjadi kejadian seperti pada Gambar 2, maka Pemprov DKI Jakarta tinggal menunggu waktu saja untuk menghadapi ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

05 Desember 2013

Laki-laki Pelaku “Seks Bebas“ Justru Tidak Mau Pakai Kondom


 * Alasan yang masuk akal: sudah bayar ratusan ribu rupiah  koq penis dibungkus ....

Opini (6 Desember 2013) – Ketika banyak negara di dunia menggalang kekuatan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Indonesia justru larut dalam ’debat kusir’ tentang kondom.

’Debat kusir’ sejak sepekan sebelum ”Hari AIDS Sedunia” (HAS) 1 Desember 2013 sampai hari ini (6/12-2013). Media cetak, media elektronik, dan media online diramaikan dengan berita seputar kontroversi kondom.

Ibu-ibu Rumah Tangga

Kontroversi itu terjadi justru berawal dari pemerintah yang selalu menyebutkan bahwa penularan HIV/AIDS karena ’seks bebas’ dan ’seks tidak sehat’. Di masyarakat ’seks bebas’ pun dikesankan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tapi yang terkait dengan pelacuran.

Celakanya, hubungan seksual di luar nikah, seperti seks pranikah, perselingkuhan, ’kumpul kebo’, kawin kontrak, dll., yang tidak terkait dengan pelacuran tidak disebut sebagai ”seks bebas”.

”Seks Bebas” adalah terminologi yang ngawur karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak ada dalam kosa kata bahasa Inggris. Tidak ada laman free sex dalam kamus-kamus bahasa Inggris.

Akibatnya, setengah orang pun mengait-ngaitkan kondom dengan ”seks bebas”. Padahal, ada fakta yang luput dari perhatian yaitu laki-laki ’hidung belang’ justru tidak mau memakai kondom ketika melakukan ”seks bebas”.

Laki-laki ’hidung belang’ tidak mau memakai kondom ketika melacur dengan berbagai alasan. Memang, adalah tidak masuk akal seorang laki-laki yang sudah membayar ratusan ribu rupiah untuk sekali hubungan seksual tapi penisnya dibalut.

Mengait-ngaitkan kondom dengan ”seks bebas” adalah asumsi belaka. Faktanya, laki-laki justru tidak mau memakai kondom ketika melakukan ”seks bebas”.

Untuk membuktikan bahwa laki-laki yang melakukan ”seks bebas” tidak mau memakai kondom adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Data menunjukkan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga mendekati angka 5.000.

Secara logika kalau suami-suami yang melakukan ”seks bebas” memakai kondom, maka risiko mereka tertular HIV sangat kecil sehingga jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pun sedikit.

Jika asumsi yang berkembang di masyarakat yang mengatakan bahwa penyebab AIDS adalah ”seks bebas”, maka analoginya adalah: semua orang yang pernah melakukan ”seks bebas” sudah mengidap HIV/AIDS (Lihat Gambar 1).

Mereka yang sudah mengidap HIV/AIDS yaitu pelaku ”seks bebas” yang sudah pernah atau sering melakukan zina, melacur, seks pranikah, selingkuh, ‘kumpul kebo’, ‘jajan’, dan ‘esek-esek’. ’Esesk-esek adalah eufemisme pelacuran.


Nikah Mut’ah

Jika penularan HIV/AIDS disimak dengan objektif dengan pijakan fakta medis, maka seorang laki-laki yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ada enam perilaku atau kegiatan yang memungkinkan penularan HIV terjadi (Lihat Gambar 2).

Hal yang sama juga pada perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ada empat perilaku atau kegiatan yang memungkinkan penularan HIV terjadi (Lihat Gambar 3).

Mengait-ngaitkan ”seks bebas” dengan penularan  HIV merupakan mitos (anggapan yang salah). Dalam matriks di bawah ini bisa dilihat bahwa risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama), bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, dll.).

Dulu ada organisasi mahasiswa berbasis agama yang menganjurkan dilakukan nikah mut’ah (pernikahan singkat) di lokalisasi pelacuran. Ini menunjukkan pemahaman yang jungkir balik. Biar pun hubungan seksual dengan pelacur sah karena di dalam nikah, tapi risiko penularan HIV/AIDS tetap ada kalau ’suami’ tidak memakai kondom.

Yang bisa dilakukan secara realistis bukan menghentikan penyebaran HIV/AIDS, tapi menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui pelacuran.

Orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selama masih ada pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi, maka selama itu pula terjadi penyebaran HIV di masyarakat yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap