30 November 2013

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia (Hanya) dengan Sosialisasi dan Bagi-bagi Kondom



Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2013

Sejak pemerintah mengakui kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia pada April 1987 sampai sekarang yang dilakukan pemerintah hanya sosialisasi dan membuat peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS.

Celakanya, sosialisasi juga dilakukan oleh berbagai kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga swadaya masyarakat dikenal sebagai LSM.

Sedangkan Perda AIDS, sudah 74 daerah, mulai dari provinsi, kabupaten dan kota yang mempunyai Perda AIDS. Tapi, semua perda itu hanya berisi pasal-pasal penanggulangan yang normatif sehingga tidak menyentuh akar persoalan.

Karena pemerintah hanya mengandalkan sosialisasi maka yang menjalankan program penanggulangan yang konkret pun tidak jalan. Kondisinya kian runyam karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dibalut dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Regulasi Pelacuran

Materi KIE dengan muatan moral menjadi bahan orasi pelitis pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Dengan penduduk 240 juta lebih kasus HIV/AIDS yang terdeteksi sampai 30 Juni 2013 tercatat 152.267 yang terdiri atas 108,600 HIV dan 43,667 AIDS dengan 8,340 kematian.

Kasus yang terdeteksi itu tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat. Ini terjadi karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi merupakan bagian kecil (digambarkan puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (digambarkan bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut).

Yang perlu dilakukan sekarang adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru yaitu:

(1) Melalui laki-laki yang tertular HIV di Indonesia atau di luar negeri melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan waria dan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang ada di lokasi pelacuran dan jalanan) serta PSK tidak langsung (cewek panggilan, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, cewek pemijat, ABG, mahasiswi, cewek gratifikasi seks, dll.). Kondisi ini tidak bisa dijangkau melalui program penanggulangan HIV/AIDS (Gambar 1).

Untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui laki-laki yang tertular melalui kondisi nomor (1) dilakukan intervensi yaitu mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV. Agar tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), maka perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV adalah yang memeriksa kehamilan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit umum. Atau tes HIV diwajibkan bagi perempuan hamil yang memakai Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dll.

Terhadap perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dilakukan intervensi yaitu program penanggulangan yakni pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Di sisi lain suami atau pasangan perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pun diwajibkan pula menjalani konseling. Atau bisa juga perempuan hamil menjalani konseling pasangan sebelum dilakukan tes HIV.


Dengan mendeteksi satu perempuan hamil, maka terdeteksi pula satu laki-laki dan menyelamatkan seorang bayi dari risiko tertular HIV (Lihat Gambar 3).

(2) Melalui laki-laki yang tertular HIV di Indonesia melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan waria dan PSK langsung serta PSK tidak langsung (Gambar 2).

Kondisi nomor (2), khususnya dengan PSK langsung, bisa diintervensi melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK langsung. Ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran dilokalisir sebagai bentuk regulasi dari penanggulangan HIV/AIDS.



Panen AIDS

Biar pun program jalan, tapi tetap saja ada laki-laki yang tidak memakai kondom, terutama dengan PSK tidak langsung, maka untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui laki-laki yang tertular melalui kondisi nomor (2) juga dilakukan intervensi yaitu mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV. Agar tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), maka perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV adalah yang memeriksa kehamilan ke posyandu, puskesmas dan rumah sakit umum. Atau diwajibkan bagi perempuan hamil yang memakai Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dll.

Perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dilakukan pula program penanggulangan pun dilakukan melalui pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Celakanya, pemerintah sama sekali tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis dengan hasil yang terukur untuk menjangkau kondisi nomor (1) dan (2).

Agaknya, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota selalu berdalih bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran. Memang, lokasi atau lokalisasi pelacuran yang dibentuk melalui regulasi seperti di masa Orde Baru, dikenal dengan program resosialisasi, tidak ada. Tapi, praktek pelacuran terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Beberapa daerah, seperti Kota Surabaya, Jatim, menutup lokasi pelacuran dengan mengentaskan PSK. Tapi, ini bisa dipastikan hanya menghilangkan pelacuran yang kasat mata, sedangkan pelacuran dengan berbagai bentuk yang terjadi di berbagai tempat tidak akan pernah hilang. Program yang gencar di masa Orde Baru tetap tidak berhasil (Lihat:Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html).

Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes RI dan dinas-dinas kesehatan di provinsi, serta Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kabupaten dan kota tetap menjadikan sosilisasi sebagai andalan utama mereka dalam program penanggulangan HIV/AIDS.

Program ‘konkret’ yang dilakukan pemerintah saat ini adalah tes HIV. Tapi, perlu diingat bahwa langkah ini, yaitu tes HIV, adalah kegiatan di hilir. Artinya, pemerintah menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru ditangani.: 

 

Sedangkan di hulu insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Maka, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi tanpa kendali sehingga menjadikan epidemi HIV/AIDS sebagai ’bom waktu’ yang kelak bermuara pada ledakan AIDS.

Tampaknya, pemerintah memilih bersikap ’masa bodoh’ karena berpijak pada fakta tidak ada lokalisasi pelacuran dengan konsekuensi insiden infeksi HIV baru terus terjadi.

Maka, kita tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

28 November 2013

Mematikan Kepedulian Remaja*


Oleh Syaiful W. Harahap

Di saat epidemi penyakit menular seksual (PMS), termasuk virus hepatitis B, dan HIV mulai masuk ke populasi yang antara lain ditandai dengan infeksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak, diperlukan kepedulian untuk melindungi diri sendiri secara aktif agar tidak tertular PMS dan HIV.

Karena hubungan seksual yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pasangan yang berganti-ganti (di dalam dan di luar nikah) merupakan salah satu jalur penyebaran PMS dan HIV. Maka salah satu upaya untuk melindungi diri tentulah dengan menerapkan seks aman (safer sex) yaitu dengan memakai kondom. Cara inilah yang rasional untuk mencegah penularan PMS dan HIV dari hubungan seks. Teknologi kedokteran pun hanya mengenal pemakaian kondom sebagai cara untuk mencegah penularan PMS dan HIV melalui hubungan seks karena tidak ada vaksin yang dapat menangkal PMS dan HIV.

Bertolak dari fakta di atas tentulah berita di Harian Republika edisi 3/11-1999 (Operasi Narkoba Temukan Kondom di halaman 9) yang menyebutkan kondom belum layak dikonsumsi siswa kelas 2 SMU tidak objektif. Rupanya, tim gabungan dari Kodya Bogor yang melakukan razia narkotik ke empat SMU di Bogor justru menemukan dua buah kondom di tas salah seorang siswa. Jika dilihat dari aspek hukum pun tidak ada aturan yang melarang seseorang memakai dan membawa kondom. Jadi, jika bertolak dari asas praduga tak bersalah tentulah tidak ada alasan tim itu untuk menyita kondom dari tas siswa karena kondom bukan barang yang dilarang dibawa dan dipakai. Dalam kaitan ini penyitaan hanya dapat dilakukan jika ada surat perintah dari ketua pengadilan negeri setempat.

Dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS (Keppres No. 36/1994 yang diatur dalam Keputusan Menko Kesra No. 9/Kep/Menko/Kesra/IV/1994) antara lain disebutkan "...penyediaan dan pemanfaatan kondom dan lain-lain, merupakan unsur-unsur penting dalam pelaksanaan yang efektif dari kebijaksanaan ini (maksudnya strategi penanggulangan AIDS secara nasional--pen.)." Maka, kalau kita menyebut diri sebagai bangsa yang hidup di negara yang berdasarkan hukum tentulah sikap dan tindakan aparat, seperti tim gabungan Kodya Bogor tadi, harus mengacu ke Strategi Nasional Penanggulangan AIDS sehingga tidak gegabah menyudutkan dan menyalahkan siswa yang membawa kondom sebagai seorang pesakitan.

Jika disimak dari aspek pengurangan kerugian (harm reduction), baik untuk diri sendiri maupun orang lain, cara yang ditempuh siswa tadi, yaitu dengan memanfaatkan kondom, merupakan langkah yang tepat dan rasional. Sayang, aparat pemda tidak melihatnya dengan jernih dan memakai moralitas mereka yang sangat subjektif dalam bertindak.

Kalau dilihat dari usia tentulah siswa kelas 2 SMU, seperti siswa yang membawa kondom tadi, sudah berumur antara 16 dan 17 tahun yang secara biologis mereka sudah dewasa. Pada usia inilah justru hasrat seks sangat tinggi sehingga membutuhkan penyaluran. Bagaimana pun tidak ada yang dapat dijadikan sebagai substitusi penyaluran hasrat seks selain hubungan seks atau onani. Sayang, banyak pihak yang selalu menyepelekan onani dan mengaitkannya dengan berbagai efek yang negatif.

Penemuan kasus PMS dan HIV/AIDS pada usia remaja membuka mata kita tentang perilaku mereka, terutama dalam masalah seks. Kasus-kasus itu menunjukkan mereka sudah melakukan hubungan seks yang tidak aman. Data resmi kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PLP Depkes pada November 1999, umpamanya, menunjukkan pada rentang usia 15-19 tercatat 70 kasus dari 1.005 kasus HIV/AIDS (7%). Usia ini tentu saja berada pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA. Pada rentang usia 20-29 justru kasus terbanyak yaitu 442 kasus (44%).

Penelitian juga menunjukkan banyak remaja yang melakukan hubungan seks pertama dengan pekerja seks. Seorang penjual ‘obat kuat’ (obat yang disebut dapat membuat seseorang melakukan hubungan seks yang lama--pen.) di Jatinegara, Jakarta Timur, misalnya, mengatakan justru kalangan remaja yang paling banyak membeli ‘obat kuat’. Rupanya, mereka ingin membuktikan kejantanannya dengan cara bisa ‘tahan lama’ dalam hubungan seks. Jika remaja ini tidak memakai kondom tentulah mereka berisiko tertular PMS dan HIV. Apalagi kalau prevalensi PMS dan HIV di kalangan pekerja seks tinggi tentu risikonya semakin besar pula.

Persoalannya kian rumit karena berbagai mitos di seputar hubungan seks membuat mereka lengah. Misalnya, penjual obat di tempat-tempat pelacuran (lokalisasi) selalu menawarkan obat-obat antibiotik sebagai penangkal PMS dan HIV. Karena cara yang ditawarkan itu tidak bisa menangkal penularan PMS dan HIV, maka remaja yang terinfeksi PMS biasanya akan mengobati dirinya sendiri dengan membeli obat di pedagang obat kaki lima.

Cara ini tidak selamanya berhasil. Buktinya, seorang remaja terpaksa dibawa ke rumah sakit karena suhu badannya sangat tinggi. Orang tua remaja tadi, seorang dokter, terkejut membaca hasil laboratorium yang menunjukkan anaknya terinfeksi sifilis. Rupanya, ketika anak itu mengalami gejala-gejala PMS dia pun membeli obat di kaki lima.

Kalau penemuan kondom itu dikaitkan dengan barang-barang yang ditemukan pada tas siswa tadi, seperti VCD porno dan majalah Playboy tentulah amat wajar dan masuk akal kalau ada kondom di tas mereka karena akumulasi dari kegiatan menonton video porno dan membaca Playboy pastilah hubungan seks. Betapa naifnya kita apabila menghubung-hubungkan kondom dengan moral sedangkan yang menyimpan kondom itu justru ingin menghindarkan dirinya dan orang lain dari bencana yaitu penyebaran PMS dan HIV.

Dalam kaitan ini yang membuat seseorang celaka yakni terinfeksi PMS dan HIV justru lebih tidak bermoral.***

* Dimuat di Newsletter “HindarAIDS” No. 33, 22 November 1999

Epidemi HIV di Irian Jaya*

Oleh Syaiful W. Harahap

Ketika membaca berita berjudul "Awas, Ancaman HIV/AIDS di Irian Jaya" (Kompas, 29/8-2000), khususnya tentang pernyataan: "Penyakit ini pertama kali diketahui di Merauke dari empat nelayan Thailand tahun 1994" saya langsung teringat pada salah satu sesi di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik di Manila (Oktober 1997). Ketika itu dr. Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM&PLP Depkes, diprotes oleh seorang remaja putri Thailand (Kanokwan Tharawan, waktu itu berusia 17 tahun, staff associate Population Council, South East Asia-Thailand Office) karena menyebutkan penularan HIV di Merauke terjadi karena kehadiran nelayan Thailand.

Soalnya, menurut gadis itu, mobilitas penduduk Merauke juga perlu diperhitungkan. Namun, dr. Abednego tetap pada pendiriannya karena sub-tipe virus di Merauke E, sub-tipe virus yang ada di Thailand. Gadis ini tidak puas atas jawaban tadi. Di luar ruangan pun gadis itu terus marah, "Penduduk dari daerah lain di Indonesia juga, 'kan, datang ke sana," katanya dengan nada tinggi ketika saya wawancarai. Dia sangat menyesalkan cara penyajian yang mengait-ngaitkan sebuah bangsa dengan epidemi HIV karena tidak hanya nelayan Thailand yang mengunjungi Merauke, sebaliknya penduduk Merauke pun bepergian pula ke luar daerahnya.

Maka, amat wajar pulalah mengapa seorang peserta kongres dari Kamboja marah besar, pada sesi lain di kongres itu, ketika dia mengetahui tentara Indonesia yang dikirim sebagai pasukan perdamaian ke negaranya tidak menjalani tes HIV dahulu, "Jangan-jangan tentara Anda yang menulari penduduk kami." Ia pun tambah berang karena dalam sesi itu terungkap salah satu tentara yang dikirim ke sana rupanya HIV-positif.

Lagi pula kalau wartawan yang menulis berita tadi lebih jeli tentulah perlu kehati-hatian mengaitkan epidemi HIV di Merauke dengan kehadiran nelayan Thailand karena ada beberapa hal yang terkait dengan masalah tesebut.

Pertama, penduduk Irian Jaya juga bepergian ke luar daerah. Kedua, penduduk dari daerah lain di Indonesia pun datang ke Irian Jaya. Ketiga, berdasarkan data kasus kumulatif yang dikeluarkan Ditjen PPM&PLP Depkes, ternyata sampai dengan 31 Maret 1995 sudah ada tiga kasus AIDS di Irian Jaya. Andaikan ada penularan dari nelayan Thailand pada Januari 1994. Apakah dalam kurun waktu 15 bulan infeksi HIV sudah mencapai masa AIDS? Bahkan, juga berdasarkan data Ditjen PPM&PLP sampai dengan 30 November 1995 dari delapan kasus AIDS di Irian Jaya lima di antaranya meninggal dunia. Ini, lagi-lagi kita berandai-andai, jika memang ada penularan pada Januari 1994 berarti dalam kurun waktu 23 bulan infeksi HIV sudah membawa orang ke liang lahat.

Dengan berpatokan pada fakta di atas apakah kita tetap mengaitkan kehadiran nelayan Thailand di sana? Mengapa kita tidak memperhitungkan kehadiran penduduk dari daerah lain di sana? Apakah kita mengabaikan mobilitas penduduk Irian Jaya?

Jika kita tetap mengait-ngaitkan epidemi HIV dengan nelayan Thailand (yang sudah pulang ke negaranya) akan berdampak buruk karena penduduk pun akan lengah. Mereka tidak akan melindungi dirinya secara aktif karena mereka menganggap penularan HIV hanya dari nelayan Thailand. Celakanya, nelayan Thailand memang tidak ada lagi di sana sehingga penduduk pun merasa aman, tetapi epidemi HIV sudah ada di sana. Inilah yang tidak mereka sadari. Kondisi itu tentu dapat memicu penyebaran HIV pada penduduk lokal. Ini terbukti dari angka-angka laporan kasus kumulatif HIV/AIDS pada tahun-tahun berikutnya.

Per April 1995 tercatat 65 kasus HIV dan tiga AIDS (50 kasus HIV terdeteksi pada nelayan Thailand) sehingga 15 kasus pada penduduk lokal. Pada 30 November 1995 sudah tercatat 38 kasus HIV (angka pada laporan 88, tetapi 50 nelayan Thailand)dan delapan AIDS. Per 30 November 1999 tercatat 128 HIV dan 90 AIDS serta 79 kematian. Per 30 Juni 2000 tercatat 166 HIV dan 101 AIDS serta 82 kamatian.

Mobilitas penduduk Indonesia selalu diabaikan dalam masalah HIV. Kita selalu melihat orang luar yang akan menularkan HIV di Indonesia. Simaklah pernyataan Chris Triwinasis, ketua panitia Hari AIDS 1 Desember 1999. tentang kasus HIV di Batam (Riau) ini: "Turis asal Singapura, khususnya yang berperilaku sering mencari wanita penghibur di Pulau Batam, potensial menularkan maupun tertular HIV ....." (Kompas, 1/12-1999). Ketua panitia tadi membuktikannya dengan peningkatan kasus HIV/AIDS di Batam. Tetapi, mengapa tidak diperhitungkan penduduk Batam yang pergi ke luar daerah dan luar negeri serta kedatangan penduduk dari daerah lain?

Pernyataan dr. Krisman Hutajulu, Kasubdin Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular pada Dinas Kesehatan Irian Jaya tentang HIV/AIDS di Irian Jaya: "dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan, Irian Jaya paling berpeluang diserang virus HIV/AIDS" jelas tidak akurat karena sebagai virus, HIV tidak bisa menyerang (penduduk) Irja. Dalam berita itu tidak dijelaskan mengapa dan bagaimana HIV akan menyerang Irian Jaya. Ini penting agar penduduk bisa melindungi diri. HIV sendiri sebagai virus tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sosial. Yang bisa terjadi adalah epidemi HIV akan menjadi masalah besar di Irian Jaya jika upaya-upaya untuk mencegah penularan HIV tidak ditingkatkan.

Kasus Irian Jaya merupakan contoh nyata bagaimana kita menanggapi epidemi HIV dengan menyalahkan orang lain dan menyangkal epidemi HIV di komunitas kita hanya karena kita menyebut diri sebagai bangsa yang berbudaya, beragama, dan lain-lain. Padahal, bangsa mana, sih, di muka bumi ini, katakanlah bangsa yang prevalensi HIVnya tinggi, yang tidak berbudaya dan beragama?

Catatan: Nama Irian Jaya dipakai sesuai dengan berita Kompas. Redaksi.

*  Dimuat di Newsletter “HindarAIDS” No. 54, 2 Oktober 2000

27 November 2013

Wartawan "Berburu" Odha*


Catatan Kecil dari Workshop PMP AIDS (Bagian VI)

Oleh Syaiful W. Harahap

Catatan: Pusat Media dan Pelatihan AIDS (PMP AIDS)-LP3Y Yogyakarta dan The Ford Foundation menyelenggarakan workshop penulisan jurnalisme empati masalah HIV/AIDS untuk wartawan media cetak 16 angkatan (dua kali di Denpasar, sekali di Bandung dan Makassar), radio (7, sekali di Cianjur, Jabar) dan televisi (2). Setiap angkatan diikuti 20 wartawan dari seluruh Indonesia (satu wartawan media cetak dari Kuala Lumpur, Malaysia). Tulisan ini berdasarkan pengalaman sebagai peserta, narasumber dan fasilitator workshop untuk wartawan media cetak. Bagian pertama tanggapan wartawan terhadap kondom. Redaksi.

Pada awal-awal workshop peserta dihadapkan dengan "Odha". Hal ini dilakukan karena banyak wartawan yang mengeluh belum pernah bertemu dengan Odha. Pada angkatan II/Juli 1995, misalnya, ada dua "Odha" yang siap diwawancarai.

Wartawan pun berebut mewawancarai "Odha", tetapi karena hanya ada dua maka yang bisa wawancara hanya dua kelompok (setiap kelompok terdiri atas lima wartawan). Wawancara dilakukan malam hari di kantor sebuah LSM di Yogyakarta. Sebelum berangkat wartawan diingatkan agar tidak memotret dan merekam pembicaraan. Selain itu hasil wawancara pun tidak boleh dijadikan sebagai bahan berita.

Esok harinya wartawan yang mewawancarai "Odha" mempresentasikan hasil wawancara mereka. Beberapa wartawan mengaku tidak bisa bertanya karena hanyut dalam kesedihan cerita "Odha" yang mereka wawancarai. "Bayangkan, dia tidak tahu apa yang terjadi kalau orang tuanya mengetahui dia tertular HIV," kata seorang wartawan dengan nada tersendat-sendat. Walhasil, wartawan yang ditugaskan mewawancarai "Odha" tadi praktis sebagai pendengar. Mereka mengaku tidak bisa berbuat banyak karena mereka sedih mendengar keluhan "Odha" yang mereka wawancarai.

Dua kelompok wartawan tadi pun merasa beruntung karena bisa mewawancarai "Odha". Pembicaraan pun terus-menerus seputar kepedihan "Odha" yang mereka wawancarai. Namun, kebanggaan mereka sirna ketika pada malam penutupan workshop disebutkan bahwa "Odha" yang mereka wawancarai hanyalah relawan yang tidak terinfeksi HIV dari sebuah LSM. Dua kelompok wartawan tadi pun menggerutu.

Sekretaris PMP AIDS tidak bisa menolak permintaan wartawan yang ingin mengirimkan faks ke kantornya. Padahal, saat itu kegiatan di kelas sedang berlangsung. Rupanya ada wartawan angkatan III/Desember 1995 yang mengirimkan hasil wawancaranya dengan "Odha". Padahal, sudah diingatkan wawancara itu tidak bisa dijadikan berita. Untuk mengatasi hal itu penanggung jawab workshop pun mengirimkan faks ke pemimpin redaksi wartawan yang mengirimkan berita tadi dengan menyebutkan bahwa yang mereka wawancarai bukan "Odha" tetapi hanya relawan.

Lagi-lagi wartawan yang mewawancarai "Odha" kecewa berat. Bahkan, mereka sudah sepakat untuk mengumpulkan sumbangan bagi "Odha" yang mereka wawancarai. Namun, belakangan PMP AIDS menghadirkan Odha. Mereka diikutkan di kelas dan diperkenalkan sebagai relawan di LSM.

Pada mulanya ada wartawan yang kaget melihat Odha yang diwawancarainya itu ternyata temannya ngobrol di kala istirahat atau pada saat rehat dan makan. Cuma, akhirnya hal itu bocor juga karena ada wartawan yang sudah dibisiki temannya yang sebelumnya sudah mengikuti workshop sehingga mereka sudah mengetahui kalau "relawan" yang ikut di kelas itu Odha.

Ada baiknya wartawan dihadapkan kepada Odha dan "Odha" agar mereka melihat kenyataan yang riil. Artinya, mereka tidak bisa membedakan Odha dengan "Odha" hanya dengan mata telanjang dan berdasarkan wawancara atau "pengakuan". Ini perlu untuk meningkatkan apresiasi wartawan terhadap realitas.***

* Dimuat di Newsleter ” HindarAIDS” No. 53, 18 September 2000