22 November 2013

Langkah Mundur Penanganan HIV di Kalbar*

Oleh Syaiful W. Harahap

Berita tentang tes HIV terhadap 38 nelayan Thailand di Pontianak, Kalbar (38 Nelayan Thailand Terjangkit HIV, Kompas, 2/10-1999) kembali menunjukkan langkah mundur dalam hal penanganan masalah HIV/AIDS di Indonesia. Dalam berita itu disebutkan, "Sambil menunggu deportasi, ke-38 penderita HIV dilokalisasi dalam ruang khusus, dikhawatirkan virus berbahaya itu akan menular ke nelayan lain."

Pernyataan itu saja sudah menggambarkan betapa pejabat-pejabat di Kalbar buta tentang HIV/AIDS di saat informasi tentang HIV/AIDS sudah menyebar (walaupun belum merata). Soalnya, HIV tidak menular melalui pergaulan, salaman, tidur bersama (asalkan tidak melakukan hubungan seksual: heteroseksual dan homoseksual, oral dan anal seks tanpa kondom). Sebagai pejabat seharusnya yang memberikan statement ini perlu menjelaskan dengan rinci mengapa nelayan itu harus diisolasi karena selain virus tidak menular melalui udara juga tidak ada ketentuan yang mengatur agar Odha diisolasi.

Pejabat yang mengeluarkan pernyataan itu sangat gegabah karena menggelapkan fakta tentang penularan HIV. Dalam kutipan itu digambarkan seolah-olah nelayan Thailand yang positif HIV sangat berbahaya karena virus yang mereka idap akan menulari nelayan Kalbar. Bagaimana caranya nelayan Thailand itu bisa menulari semua nelayan Kalbar, yang sedang melaut atau yang sedang di darat.

Tidak ada pula UU yang menetapkan Odha harus dideportasi sehingga tidak alasan hukum untuk mendeportasi mereka hanya karena HIV positif. Jika ini terjadi akan menjadi bumerang bagi kita, khususnya TKI. Soalnya, Thailand akan membalasnya dengan mewajibkan tes HIV (mandatory test) bagi TKI kita. Saat ini pun di beberapa negara TKI kita menghadapi beban berat karena sebagai pekerja pendatang mereka harus menjalani mandatory test. Lain halnya kalau ada perjanjian tertulis antara pekerja (dalam hal ini nelayan Thailand) dengan perusahaan yang memperkerjakan mereka dapat saja dilakukan tes HIV tapi tetap mengacu ke standar baku tes HIV yaitu: sukarela, ada jaminan kerahasiaan, informed consent dan konseling.

Dalam kaitan inilah dr. Firman Lubis, Yayasan Kusuma Buana (YKB) Jakarta, melihat Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) jelas tidak berjalan sesuai dengan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS. Firman melihat seharusnya KPAD yang aktif menanganinya agar tidak terjadi kesimpangsiuran yang merugikan berbagai pihak, termasuk mengganggu agenda strategi penanggulangan AIDS secara nasional.

Patut pula dipertanyakan apakah tes yang dilakukan Kanwil Depkes Kalbar terhadap nelayan Thailand itu sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku dalam tes HIV, yaitu konseling prates, kesediaan tertulis (informed consent), dan apakah contoh darah diperlakukan secara anonim. Soalnya, ketika dr. Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM & PLP Depkes, berbicara di Kongres AIDS Asia Pasifik di Manila (Oktober 1997) dia diprotes seorang gadis aktivis LSM di Bangkok karena tidak menerima pernyataan yang menyebutkan penduduk Merauke terinfeksi dari nelayan Thailand. "Apakah nelayan Anda tidak pergi ke luar negeri," katanya dengan nada kecewa.

Untuk memastikan positif HIV hasil spot genelabs harus dikonfirmasi dengan dua tes ELISA yang berbeda atau tes Western Blot. Jadi, sebelum dikonfirmasi, hasil tes itu tidak bisa disebut sebagai positif HIV, kecuali hanya untuk keperluan tes surveilans. Jadi tes surveilans yang dilakukan terhadap nelayan Thailand itu perlu pula dipertanyakan prosedurnya karena tes ini harus secara sukarela dan dengan asas anonimitas. Kalau yang dilakukan Kanwil Depkes Kalbar itu sebagai mandatory test tentu perlu dipikirkan dampaknya terhadap pekerja kita di negara lain.

Kalau memang ada kebijakan menerapkan mandatory test terhadap pekerja asing perlu diumumkan agar pekerja pendatang yang akan masuk ke Indonesia mengetahuinya. Kalau mandatory test bagi pekerja asing merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan AIDS secara nasional, Firman mengingatkan agar tes HIV dilakukan sesuai dengan prosedur tes HIV yang baku.

Dalam berita itu disebutkan pula, "...besar kemungkinan penyidikan dilanjutkan terhadap yang tak terjangkit HIV." Tidak jelas penyidikan apa yang dimaksud polisi terhadap nelayan Thailand itu: apakah karena mereka masuk ke wilayah Indonesia tanpa izin atau karena mereka tidak terbukti positif HIV sehingga perlu diselidiki lagi status HIVnya. Jika hanya berkaitan dengan HIV tentu tidak ada hukum yang membenarkan penyidikan terhadap Odha karena orang-orang yang terinfeksi HIV bukan pelaku kriminalitas. Maka, "Kalau berkaitan dengan HIV tidak ada urusan polisi," kata Firman.

Sekali Firman melihat KPAD Kalbar tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan aturan main yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal itu terjadi, menurut Firman, karena pengurus KPAD merupakan jabatan rangkap dengan jabatan fungsional di Pemda. Pengalaman Firman menunjukkan kepedulian pengurus KPAD terhadap HIV/AIDS sangat tergantung kepada minat orang per orang yang menjadi pengurus KPAD itu terhadap HIV/AIDS. Jadi, "Sebaiknya ada pengurus harian dengan melibatkan LSM yang benar-benar peduli terhadap HIV/AIDS," kata Firman.

Dengan melibatkan LSM maka usaha-usaha penanganan AIDS pun akan serius. Selama ini kegiatan di banyak tempat hanya bersifat seremonial sehingga gaungnya tidak sampai ke sasaran sehingga kepedulian terhadap HIV/AIDS pun tetap jalan di tempat, bahkan mandeg dan mundur seperti yang terjadi di Kalbar itu.

Cara penanganan nelayan Thailand ini akan membawa dampak buruk dan negatif, terutama untuk masyarakat Kalbar. Soalnya, masyarakat akan melihat HIV hanya milik nelayan Thailand. Padahal, HIV tidak mengenal tempat, ras, agama dan pekerjaan.


Lagi pula penduduk Kalbar sendiri pun bisa terinfeksi dari penduduk setempat atau dari pendatang, atau di luar Kalbar jika penduduk Kalbar bepergian dan berperilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV (melakukan hubungan seksual yang tidak aman dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah, menggunakan jarum suntik bersama, dll).***

Catatan: Naskah ini dimuat di Newsletter ”HindarAIDS” No. 31, 25 Oktober 1999

Penyaringan HIV di Jambi Melanggar HAM*

Oleh Syaiful W. Harahap

Di kala informasi seputar HIV/AIDS sudah sangat luas dan merata, di Jambi masalah HIV/AIDS justru seakan-akan masih di awang-awang. 

Buktinya, pernyataan dokter dan tokoh-tokoh masyarakat di sana tidak realistis. Hal ini dapat disimak dalam berita Hasil Penyaringan di Lokasi Pelacuran (Media Indonesia, 25/10-1999).

"Kini Jambi tak steril lagi (dari HIV)," kata Kepala Dinas Kesehatan Jambi dr. H. Abdul Hamid Syam. Pernyataan ini jelas ngawur karena HIV tidak bisa dibendung dengan benteng atau tembok. Kalaupun selama ini di Jambi belum ditemukan penduduk yang HIV-positif itu hanya karena tes surveilans di sana tidak berjalan dengan mulus.

Selain itu tidak ada daerah yang bisa dikategorikan bebas HIV/AIDS karena virus itu tidak kasat mata. Orang yang terinfeksi HIV tidak dapat dikenali secara fisik, bahkan seseorang dengan gejala-gejala mayor dan minor AIDS pun tidak dapat dipastikan sudah terinfeksi HIV sebelum melakukan tes HIV. Biar pun di satu daerah tidak ditemukan ada yang positif HIV, bisa saja penduduk setempat terinfeksi di luar daerahnya karena mobilitas penduduk yang tinggi baik antara daerah maupun antar negara.

Menurut, dr. Hadi M. Abednego, mantan Dirjen PPM & PLP Depkes, ada baiknya kalau kasus kumulatif bulanan yang dikeluarkan pemerintah secara resmi, dalam hal ini dikeluarkan oleh Ditjen PPM & PLP Depkes, dilihat sebagai satu masukan secara nasional bukan per propinsi. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi daerah yang menyatakan dirinya bebas HIV/AIDS hanya karena di daerah itu belum ditemukan kasus HIV/AIDS. Soalnya, tidak ada yang dapat membatasi hubungan antar daerah sehingga bisa saja penduduk dari daerah yang belum terdeteksi HIV berkunjung ke daerah yang sudah ada kasus HIV atau sebaliknya penduduk yang HIV-positif berkunjung ke daerah yang belum ditemukan kasus HIV.

Cara yang diterapkan di Jambi, yang disebut sebagai penyaringan, jelas bertentangan dengan asas konfidensialitas dan anonimitas sesuai dengan yang ditetapkan dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS (Keppres No 36/1994) yang diatur dalam Kepmenko Kesra No 9/Kep/Menko/Kesra/IV/1994. Pernyataan yang menyebutkan: "…pemeriksaan terhadap para wanita penghibur tersebut sudah dilakukan secara teliti, ketat dan cukup dipercaya" menunjukkan arogansi karena tidak dijelaskan metode yang dilakukan dan jenis tesnya. Sayangnya, wartawan yang mengutip pernyataan dokter itu pun tidak menanyakannya.

Soalnya, cara yang tepat untuk diterapkan seharusnya tes surveilans yang bersifat anonim. Dalam kaitan ini jelas cara yang diterapkan di Jambi itu sudah melanggar asas tes surveilans karena darah yang positif dikenali. Cara ini pun jelas sudah melanggar hak asasi manusia (HAM). Jika dalam suatu tes surveilans ada darah yang positif tidak perlu dicari-cari pemiliknya karena hal itu hanya merupakan gambaran. Selain itu kalau tes HIV dalam tes surveilans itu dilakukan dengan tes cepat (rapid test) jelas hasilnya tidak bisa disebut positif sebelum dikonfirmasi.

HIV antara lain menular melalui hubungan seks yang tidak aman dengan orang yang sudah terinfeksi HIV sehingga tidak ada kaitannya dengan seks bebas dan zina. Infeksi dapat terjadi jika salah satu di antara pasangan yang melakukan hubungan seks tanpa kondom sudah HIV-positif di dalam atau di luar nikah, zina atau bukan zina. Penularan HIV pun tidak ada kaitannya dengan perbuatan maksiat karena HIV juga menular melalui transfusi darah, penggunaan alat-alat kesehatan dan dari ibu yang positif kepada anak yang dikandungnya.

Maka tidak hanya yang positif HIV yang dianjurkan untuk bertobat karena penyakit-penyakit lain pun ada yang tertular karena perilaku, seperti hepatitis B, sifilis, kencing nanah dan lain-lain. Rokok pun memicu banyak penyakit tetapi kita tidak pernah melihatnya dari sisi moral. Begitu pula dengan penyakit yang terjadi karena alkohol kita juga tidak melihatnya dari aspek moral. Padahal, merokok dan meminum alkohol jelas merupakan perilaku yang amoral jika dilihat dari aspek kesehatan.

Tidak pula ada kaitan antara infeksi HIV dengan keterbukaan daerah sehingga pernyataan yang menyebutkan: "Jambi memang sangat terbuka dengan daerah tetangga, yang lebih dahulu dilanda HIV, seperti Riau, Batam, dan Sumatera Selatan, sehingga ikut terimbas masuknya virus yang mematikan itu" jelas tidak objektif karena HIV bukan makhluk yang dapat berjalan ke sana ke mari. Daerah yang tertutup sekali pun bisa saja ada penduduknya yang terinfeksi HIV di luar daerahnya jika mereka berperilaku yang berisiko tinggi, seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

Kita pun patut mempertanyakan peranan KPAD (Komisi Penanggulangan AIDS Daerah) Jambi dalam masalah penyaringan di lokalisasi itu. Seharusnya KPAD dapat berperan aktif sehingga tidak terjadi pelanggaran HAM dalam tes surveilans itu. Seharusnya KPAD hanya merekomendasikan tes surveilans di lokalisasi pelacuran.

Sikap Jambi yang tidak akan mengisolasi orang yang terinfeksi HIV merupakan tindakan terpuji karena HIV tidak menular melalui pergaulan sosial sehari-hari.Kita nantikan saja kenyataan yang akan terjadi.***

Catatan: Naskah ini dimuat di Newsletter ” HindarAIDS” No. 35, 20 Desember 1999

21 November 2013

Kramat Tunggak di Milis AIDS-INA*



Oleh Syaiful W. Harahap

Kemajuan teknologi informasi (IT) juga sudah merambah ke arena diskusi dan debat. Kini, diskusi tidak harus dilakukan berhadap-hadapan di meja, tapi sudah berlangsung melalui internet dengan memanfaatkan fasilitas E-mail.

Salah satu arena diskusi melalui E-mail telah dikembangkan oleh AIDS-INA melalui mailing list, yang lebih populer dengan sebutan ‘milis’. Para peserta diskusi, jika ingin ikut harus mendaftarkan diri, bebas menyampaikan pendapat, ide atau gagasannya seputar masalah HIV/AIDS/PMS atau menanggapi persoalan yang dilontarkan di milis itu.

Agaknya, yang banyak terjadi justru tanggapan terhadap suatu masalah. Tiga bulan terakhir ini, misalnya, isu yang banyak ditanggapi peserta diskusi adalah masalah Lokalisasi Pelacuran Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Isu ini bermula dari peluncuran buku tentang Kramat Tunggak.

Salah satu aspek yang mendapat tanggapan ramai adalah soal dampak positif dan negatif lokalisasi. Rupanya, dalam makalah Depkes yang dibacakan pada peluncuran buku tadi dinilai banyak kalangan terdapat kontradiksi yang mereka sebut sebagai missed opportunity.

Di satu pihak disebutkan bahwa lokalisasi dapat meningkatkan upaya-upaya promotif, kuratif dan rehabilitatif. Tapi, di pihak lain disebutkan pula justru angka kejadian PMS lebih tinggi pada pekerja seks di lokalisasi daripada di luar lokalisasi. Inilah yang banyak ditanggapi. Peserta milis melihatnya dari berbagai sisi.

Misalnya, ada yang melihat angka di lokalisasi karena memang di sana surveilansnya berjalan lancar dan rutin, sedangkan di luar lokalisasi tidak ada surveilans yang rutin. Selain ada pula data yang dikemukakan berdasarkan penelitian di Surabaya yang menunjukkan angka PMS di kalangan pekerja seks di lokalisasi tidak jauh berbeda dengan pekerja seks di luar lokalisasi (Pattern of STD in female sex workers in Surabaya).

Masalah lokalisasi kian meruncing karena berbagai pihak melihatnya dari berbagai sisi dan aspek pula. Ditilik dari kesehatan masyarakat, lokalisasi dapat menjadi salah satu bagian dalam upaya untuk mempromosikan pencegahan PMS dan HIV, pengobatan dan rehabilitasi. Tapi, di pihak lain ada yang melihat lokalisasi sebagai penyebar PMS.

Ini semua terjadi karena sebagian kita menggunakan moral pribadi sebagai ukuran. Persoalannya, di negara-negara yang secara de facto dan de jure tidak terdapat (lokalisasi) pelacuran, tetap saja banyak terjadi PMS dan HIV/AIDS (lihat laporan UNAIDS Juni 1998).

Masalah lokalisasi kian runyam karena dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Padahal, seharusnya hal itu tidak perlu terjadi karena di luar lokalisasi pun terjadi hubungan seksual di luar nikah, seperti perselingkuhan, PIL, WIL, dan lain-lain.

Karena prostitusi tidak mungkin untuk dihapuskan maka lebih baik kalau ditangani dari sisi kesehatan masyarakat. Persoalannya, tidak jelas pihak mana yang paling berkompeten menangani lokalisasi. Selama ini lokalisasi berada di tangan Depsos. Padahal, lokalisasi jelas lebih berat ke aspek kesehatan masyarakat sehingga menjadi bagian dari pekerjaan Depkes.

Kelihatannya pemerintah melihat lokalisasi dari aspek sosial karena pelacuran berkaitan dengan patologi sosial. Padahal, dampak prostitusi yang lebih parah justru pada aspek kesehatan, seperti penyebaran penyakit-penyakit menular seksual, HIV dan hepatitis B. Depsos sendiri menangani lokalisasi dan pekerja seks berkaitan dengan upaya rehabilitasi (sosial), sedangkan aspek kesehatan masyarakatnya nyaris luput.

Karena lokalisasi juga berkaitan dengan masalah perkotaan ada pula yang mengusulkan agar dibentuk semacam forum kesehatan kota yang dikaitkan dengan model kota sehat. Soalnya, kalangan LSM sudah sering mengajukan usulan mengenai penanganan prostitusi dan lokalisasi di perkotaan, tapi "Ibarat menggarami laut." Akibatnya, banyak yang kecewa dan tidak peduli lagi. Jika ini yang terjadi tentu amat berbahaya karena epidemi HIV/AIDS dan penyebaran PMS sudah masuk ke populasi, dan lokalisasi merupakan salah satu mata rantainya.

Debat lokalisasi ini pun akhirnya ditanggapi oleh Menkes, dr. FA Moeloek, yang dalam E-mail-nya ke milis AIDS-INA mengajak kalangan yang peduli untuk membicarakan masalah tersebut. Namun, debat soal lokalisasi seakan tenggelam dan tidak ada kata sepakat yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menangani lokalisasi.

Ada pula yang mempersoalkan sampul buku Perempuan-perempuan Kramat Tunggak yang memakai foto dua perempuan yang matanya ditutup. Cara ini jelas mengingatkan kita kepada pelaku kriminalitas. Biar pun kedua perempuan itu sudah setuju fotonya untuk dijadikan sampul buku, tetapi dampak sosialnya tentu akan sangat besar. Bayangkan, jika suatu saat orang tua, keluarga atau pun anak-anak kedua perempuan itu kelak melihat sampul buku itu, tentu hal ini akan menimbulkan persoalan bagi mereka. Mereka pun tahu kalau anak atau ibunya ternyata dulu perempuan di Kramat Tunggak (baca: pekerja seks). Ini tentu menyangkut tanggung jawab moral karena menyangkut etika pemuatan foto yang bisa dikaitkan dengan latar belakang (kehidupan) yang dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial dan agama.

Alangkah baiknya kalau ada kelanjutan gagasan pembentukan forum kesehatan kota dan pembicaraan dengan Menkes juga dirilis di milis AIDS-INA agar informasinya menyebar.

Milis ini seharusnya dapat dijadikan sebagai forum untuk menjembatani berbagai pihak dengan berbagai kalangan untuk memecahkan suatu persoalan bersama. Sayang, debat soal lokalisasi di milis ini tidak ditanggapi oleh Depsos.***

Catatan: Naskah ini dimuat di Newsletter ”HindarAIDS” No. 29,  20 September 1999

PSK Idap AIDS Diisolasi di Musi Banyuasin, Sumsel



Tanggapan Berita (22 November 2013) – Para PSK yang terjaring penertiban akan dilakukan pemeriksaan kesehatannya untuk mendeteksi kemungkinan mengidap virus HIV&AIDS. Sehingga jika diketahui terjangkit virus tersebut, yang bersangkutan diisolasi sehingga tidak terus menularkan penyakit mengerikan itu.

Pernyaaan di atas ada dalam berita “Perketat Penyebaran HIV, PSK di Banyuasin Ditertibkan” di seruu.com (19/11-2013). Berita ini dari Kab Musi Banyuasin di Sumatera Selatan.

Ada beberapa hal yang luput dari perhatian wartawan yang menulis berita ini, al.:

Pertama, mengisolasi seseorang yang mengidap penyakit yang bukan wabah (penyakit yang mudah dan cepat menular secara massal) adalah perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Kedua, biar pun PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS diisolasi penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah yaitu dengan penyebar (mata rantai) laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK.

Ketiga, HIV/AIDS bukan penyakit yang mengerikan karena belum ada kasus kematian dalam rentang waktu yang singkat sejak seseorang tertular HIV. Kematian pada orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS yang secara statistik terjadi setelah tertular  HIV antara 5-15 tahun. Kematian juga bukan karena HIV/AIDS tapi karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.

Tiga hal di atas luput dari perhatian wartawan yang menulis berita ini sehingga berita ini sama sekali tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Disebutkan pula bahwa Satuan Polisi Pamong Praja Pemkab Musi Banyuasin, Sumsel, terus memperketat penyebaran virus HIV&AIDS di daerah tersebut yang penderitanya mulai terdeteksi cukup banyak.

Caranya?

Dengan mengisolasi PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak kasus HIV/AIDS akan terus terdeteksi di Muba karena mata rantai penyebaran tidak ditangani yaitu laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.

Ada lagi pernyataan yang menyebutkan bahwa operasi penertiban bersama antara anggota Satpol PP dan KPA Daerah Muba diharapkan bisa mendeteksi PSK terinveksi virus HIV&AIDS sehingga tidak menyebar luas.

PSK pengidap HIV/AIDS diisolasi, tapi laki-laki pengidap HIV/AIDS terus menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat.

Dikatakanbahwa penertiban PSK perlu diintensifkan karena dalam setahun terakhir ditemukan delapan warga Muba terjangkit penyakit HIV&AIDS.

Pertanyaan: Apakah delapan warga itu tertular HIV/AIDS dari PSK?

Bisa saja terjadi justru ada di antara yang delapan itu yang menularkan HIV/AIDS ke PSK.

Menurut Kabag Humas Setda Musi Banyuasin, Dicky Meiriando, penyakit HIV&AIDS salah satu penyebab utamanya ditularkan dari hubungan seks bebas.

Dicky sudah menyebarkan mitos (anggapan yang salah) karena kalau ‘seks bebas’ di artikan zina, maka tidak ada kaitan langsung antara zina dan penularan HIV/AIDS. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama (kondisi hubungan seksual) bukan karena zina, melacur, dll. (sifat hubugan seksual).

Lagi pula kalau benar zina yang menyebabkan penularan HIV/AIDS, maka semua orang yang pernah berzina adalah pengidap HIV/AIDS.

Disebutkan lagi oleh Dicky bahwa PSK yang berpotensi menyebarkan virus penyakit itu perlu ditertibkan dan dilakukan pembinaan agar tidak melakukan pekerjaannya yang dapat memperluas penyebaran penyakit itu.

Lagi-lagi Dicky tidak memahami epidemi HIV/AIDS secara akurat. Yang menyebarkan HIV/AIDS bukan PSK, tapi laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK.

Jika Pemkab Muba dan KPA Muba tidak mengubah paradigma berpikir tentang penyebaran HIV/AIDS, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap