Oleh Syaiful W. Harahap
Berita tentang tes HIV terhadap 38 nelayan Thailand di Pontianak, Kalbar
(38 Nelayan Thailand Terjangkit HIV, Kompas, 2/10-1999) kembali
menunjukkan langkah mundur dalam hal penanganan masalah HIV/AIDS di Indonesia.
Dalam berita itu disebutkan, "Sambil menunggu deportasi, ke-38 penderita
HIV dilokalisasi dalam ruang khusus, dikhawatirkan virus berbahaya itu akan menular
ke nelayan lain."
Pernyataan itu saja sudah menggambarkan betapa pejabat-pejabat di Kalbar
buta tentang HIV/AIDS di saat informasi tentang HIV/AIDS sudah menyebar
(walaupun belum merata). Soalnya, HIV tidak menular melalui pergaulan, salaman,
tidur bersama (asalkan tidak melakukan hubungan seksual: heteroseksual dan
homoseksual, oral dan anal seks tanpa kondom). Sebagai pejabat seharusnya yang
memberikan statement ini perlu menjelaskan dengan rinci mengapa nelayan
itu harus diisolasi karena selain virus tidak menular melalui udara juga tidak
ada ketentuan yang mengatur agar Odha diisolasi.
Pejabat yang mengeluarkan pernyataan itu sangat gegabah karena menggelapkan
fakta tentang penularan HIV. Dalam kutipan itu digambarkan seolah-olah nelayan
Thailand yang positif HIV sangat berbahaya karena virus yang mereka idap akan
menulari nelayan Kalbar. Bagaimana caranya nelayan Thailand itu bisa menulari
semua nelayan Kalbar, yang sedang melaut atau yang sedang di darat.
Tidak ada pula UU yang menetapkan Odha harus dideportasi sehingga tidak
alasan hukum untuk mendeportasi mereka hanya karena HIV positif. Jika ini
terjadi akan menjadi bumerang bagi kita, khususnya TKI. Soalnya, Thailand akan
membalasnya dengan mewajibkan tes HIV (mandatory test) bagi TKI kita.
Saat ini pun di beberapa negara TKI kita menghadapi beban berat karena sebagai
pekerja pendatang mereka harus menjalani mandatory test. Lain
halnya kalau ada perjanjian tertulis antara pekerja (dalam hal ini nelayan
Thailand) dengan perusahaan yang memperkerjakan mereka dapat saja dilakukan tes
HIV tapi tetap mengacu ke standar baku tes HIV yaitu: sukarela, ada jaminan
kerahasiaan, informed consent dan konseling.
Dalam kaitan inilah dr. Firman Lubis, Yayasan Kusuma Buana
(YKB) Jakarta, melihat Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) jelas tidak
berjalan sesuai dengan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS. Firman melihat
seharusnya KPAD yang aktif menanganinya agar tidak terjadi kesimpangsiuran yang
merugikan berbagai pihak, termasuk mengganggu agenda strategi penanggulangan
AIDS secara nasional.
Patut pula dipertanyakan apakah tes yang dilakukan Kanwil Depkes Kalbar
terhadap nelayan Thailand itu sesuai dengan standar prosedur operasi yang baku
dalam tes HIV, yaitu konseling prates, kesediaan tertulis (informed consent),
dan apakah contoh darah diperlakukan secara anonim. Soalnya, ketika
dr. Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM & PLP Depkes, berbicara di
Kongres AIDS Asia Pasifik di Manila (Oktober 1997) dia diprotes seorang gadis
aktivis LSM di Bangkok karena tidak menerima pernyataan yang menyebutkan
penduduk Merauke terinfeksi dari nelayan Thailand. "Apakah nelayan Anda
tidak pergi ke luar negeri," katanya dengan nada kecewa.
Untuk memastikan positif HIV hasil spot genelabs harus dikonfirmasi
dengan dua tes ELISA yang berbeda atau tes Western Blot. Jadi, sebelum
dikonfirmasi, hasil tes itu tidak bisa disebut sebagai positif HIV, kecuali
hanya untuk keperluan tes surveilans. Jadi tes surveilans yang dilakukan
terhadap nelayan Thailand itu perlu pula dipertanyakan prosedurnya karena tes
ini harus secara sukarela dan dengan asas anonimitas. Kalau yang dilakukan
Kanwil Depkes Kalbar itu sebagai mandatory test tentu perlu dipikirkan
dampaknya terhadap pekerja kita di negara lain.
Kalau memang ada kebijakan menerapkan mandatory test terhadap
pekerja asing perlu diumumkan agar pekerja pendatang yang akan masuk ke
Indonesia mengetahuinya. Kalau mandatory test bagi pekerja asing
merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan AIDS secara nasional, Firman
mengingatkan agar tes HIV dilakukan sesuai dengan prosedur tes HIV yang baku.
Dalam berita itu disebutkan pula, "...besar kemungkinan penyidikan
dilanjutkan terhadap yang tak terjangkit HIV." Tidak jelas penyidikan apa
yang dimaksud polisi terhadap nelayan Thailand itu: apakah karena mereka masuk
ke wilayah Indonesia tanpa izin atau karena mereka tidak terbukti positif HIV
sehingga perlu diselidiki lagi status HIVnya. Jika hanya berkaitan dengan HIV
tentu tidak ada hukum yang membenarkan penyidikan terhadap Odha karena
orang-orang yang terinfeksi HIV bukan pelaku kriminalitas. Maka, "Kalau
berkaitan dengan HIV tidak ada urusan polisi," kata Firman.
Sekali Firman melihat KPAD Kalbar tidak menjalankan fungsinya sesuai dengan
aturan main yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal itu terjadi, menurut Firman,
karena pengurus KPAD merupakan jabatan rangkap dengan jabatan fungsional di
Pemda. Pengalaman Firman menunjukkan kepedulian pengurus KPAD terhadap HIV/AIDS
sangat tergantung kepada minat orang per orang yang menjadi pengurus KPAD itu
terhadap HIV/AIDS. Jadi, "Sebaiknya ada pengurus harian dengan melibatkan
LSM yang benar-benar peduli terhadap HIV/AIDS," kata Firman.
Dengan melibatkan LSM maka usaha-usaha penanganan AIDS pun akan serius.
Selama ini kegiatan di banyak tempat hanya bersifat seremonial sehingga
gaungnya tidak sampai ke sasaran sehingga kepedulian terhadap HIV/AIDS pun
tetap jalan di tempat, bahkan mandeg dan mundur seperti yang terjadi di Kalbar
itu.
Cara penanganan nelayan Thailand ini akan membawa dampak buruk dan negatif,
terutama untuk masyarakat Kalbar. Soalnya, masyarakat akan melihat HIV hanya
milik nelayan Thailand. Padahal, HIV tidak mengenal tempat, ras, agama dan
pekerjaan.
Lagi pula penduduk Kalbar sendiri pun bisa terinfeksi dari penduduk setempat
atau dari pendatang, atau di luar Kalbar jika penduduk Kalbar bepergian dan
berperilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV (melakukan hubungan
seksual yang tidak aman dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di
luar nikah, menggunakan jarum suntik bersama, dll).***
Catatan: Naskah ini dimuat di Newsletter ”HindarAIDS” No. 31, 25 Oktober 1999