* Ribuan laki-laki dewasa di Kalsel berisiko tertular HIV/AIDS
Tanggapan Berita (15 November 2013) – ”240 Pekerja Seks di
Kalsel Terindikasi HIV/AIDS.” Ini judul berita di metrotvnews.com (14/11- 2013).
Fakta yang diungkapkan pada judul berita yaitu 240 pekerja seks komersial
(PSK) di Kalsel mengidap HIV/AIDS sama sekali tidak dibawa ke realitas sosial
terkait dengan penyebaran HIV/AIDS.
Kalau saja narasumber dan wartawan yang menulis berita ini menempatkan
fakta tsb. dalam kerangka epidemi HIV/AIDS, maka yang muncul adalah jumlah
laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV yaitu laki-laki yang pernah atau
sering melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Jumlah PSK yang 240 itu merupakan bagian dari 707 kasus kumulatif HIV/AIDS
di Kalsel sampai Juni 2013 yaitu 33,9 persen dari kasus yang ada di Kalsel.
Dari 240 PSK tsb. 222 HIV dan 18 AIDS.
Secara medis seseorang terdeteksi tertular HIV melalui tes HIV minimal sudah tertular tiga bulan. Maka, dengan fakta ini ada 43.200 (240 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) laki-laki dewasa penduduk Kalsel yang berisiko tertular HIV yaitu laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Sedangkan yang berisiko
tertular HIV berdasarkan angka 18 PSK yang sudah masuk masa AIDS itu artinya
mereka sudah tertular antara 5-15 tahun sebelumnya. Maka, ada 64.000-194.400 laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV
yaitu laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan PSK
tanpa kondom.
Dikabarkan jumlah PSK yang mengidap HIV/AIDS tsb.
terdeteksi karena program penanggulangan yang intensif di lokalisasi pelacuran
di kabupaten dan kota di Kalsel. Ini dijelaskan oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Kalimantan Selatan, Rudiansyah.
Agaknya, Rudiansyah lupa terhadap laki-laki yang
menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Biar penjangkauan terhadap PSK gencar dilakukan,
tapi kalau laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak
diintervensi, maka penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di masyarakat, al. melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah yang disebarkan oleh
laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di
masyarakat terbukti melalui kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah
tangga yaitu 79 kasus, terdiri atas 27 HIV dan 52 AIDS, atau 11,2 persen dari
kasus kumulatif HIV/AIDS di Kalsel.
Disebutkan oleh Kadinkes bahwa semakin cepat HIV/AIDS
ditemukan pada PSK, maka penanganan dan pencegahan penyebarannya juga akan
semakin efektif.
Persoalan bukan (lagi) pada PSK, tapi laki-laki
yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Mereka
inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara
horizontal.
Ini pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kalimantan Selatan, Soedarsono Aboe Yahman: "Masalah penyebaran penyakit HIV/AIDS ini telah menjadi masalah kita bersama yang harus kita upayakan penanggulangannya secara bersama-sama pula."
Pertanyaannya adalah: Apa program yang konkret dan
sistematis serta terukur yang dijalankan Pemprov Kalsel untuk menurunkan
insiden infeksi HIV/AIDS pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK?
Tentu saja tidak ada. Bahkan, dalam Perda No 11
Tahun 2012 tentang Penanggulangan AIDS Kota Banjarmasin sama sekali tidak ada
program yang konkret (Lihat: Perda AIDS
Kota Banjarmasin - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-banjarmasin-kalimantan.html).
Secara de
jure tidak ada pelacuran di Kalsel, tapi secara de facto banyak tempat-tempat transaksi seks, seperti lokasi
pelacuran, tempat-tempat hiburan dengan tameng pijat, karaoke, dll.
Selama Pemprov Kalsel tetap berpegang teguh pada de jure, maka praktek-praktek pelacuran
menjadi tempat penyebaran HIV/AIDS jika tidak ada program yang konkret yaitu program
yang mengharuskan laki-laki selalu memakai kondom jika sanggama dengan PSK.
Program keharus memakai kondom hanya bisa
dijalankan jika pelacuran dilokalisir dengan regulasi agar bisa dijangkau
dengan hukum.
Tapi, karena di Kalsel secara de jure tidak ada pelacuran yang diregulasi, maka program
penanggulangan yang efektif melalui hubungan seksual berisiko, yaitu sanggama
dengan PSK, tidak bisa dijalankan.
Pada gilirannya jumlah ibu rumah tangga yang
tertular HIV akan terus bertambah dan pada akhirnya jumlah bayi yang lahir
dengan HIV/AIDS pun akan terus bertambah.
Jika kondisi di atas terjadi, maka akan merusak
sumber daya manusia dan menjadi beban pemerintah provinsi untuk menangani
ibu-ibu rumah tangga dan bayi yang mengidap HIV/AIDS.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap