09 November 2013

Tiap Hari Satu Kasus HIV/AIDS Dilaporkan di Jember, Jatim



Tanggapan Berita (10 November 2013) – "Kalau sudah pernah jajan di luar, lalu berhubungan dengan istrinya di rumah, maka risiko seorang istri tertular sangat besar." Ini pernyataan Kepala Humas RSD Subandi Jember, Jatim, Justina Evy Tyaswati dalam berita “Setiap Hari, Satu Orang Lapor Positif HIV/ AIDS ke RS Jember” (kompas.com, 9/11-2013).

Pernyataan Evy inilah salah satu faktor yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang cara-cara penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual, dalam kaitan pernyataan Evy adalah jajan, tapi karena kondisi (saat terjadi) hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Laki-laki yang disebut Evy yaitu ”pernah jajan di luar” adalah laki-laki yang perilakunya berisiko. Bisa saja laki-laki tertular HIV dari pasangan sah jika ada di antara istri atau pasangannya yang mengidap HIV/AIDS. Risiko tertular HIV/AIDS kian besar kalau di antara pasangan atau istri ada yang sudah pernah menikah. Soalnya, tidak bisa diketahui perilaku suami atau pasangan mereka sebelumnya.

Di bagian lain Evy mengatakan: "Saya saja merasa ngeri dengan kondisi tersebut. Sangat mengkawatirkan."

Yang mengerikan bukan kasus yang terdeteksi, tapi program penanggulangan yang tidak ada. Artinya, pemerintah, dalam hal ini di Jember, tidak menjalankan program yang konkret untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang jajan di luar.

Kondisinya kian mengerikan karena laki-laki yang tertular HIV ketika jajan di luar tidak menyadari dirinya tertular HIV sehingga dia pun menularkan HIV ke pasangannya, al. istri. Jika istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak.

Menurut Evy dalam satu bulan bisa menemukan 30-50 orang positif terinfeksi HIV/AIDS. Sejak Klicik VCT Rumah Sakit Daerah (RSD) Subadi Jember dibuka tahun 2006 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jember mencapai 1.095.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tiap bulan tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Seorang laki-laki dewasa yang terdeteksi HIV/AIDS dia sudah menularkan HIV ke istrinya. Bisa juga ke perempuan lain jika istrinya lebih dari satu.

Kalau yang terdeteksi HIV/AIDS seorang pekerja seks komersial (PSK), maka sudah puluhan bahkan ratusan laki-laki yang berisiko tertular HIV yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Jika setiap malam seorang PSK meladeni tiga laki-laki, maka sebelum PSK itu tes HIV itu artinya minimal tiga bulan, ada 180 (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan). Kalau PSK itu terdeteksi HIV di masa AIDS itu artinya dia tertular antara 5-15 tahun sebelum tes. Maka, ribuan laki-laki sudah berisiko terular HIV/AIDS.

Penemuan kasus-kasus baru itu menjadi bukti bahwa insiden infeksi HIV terus terjadi, al. melalui ’jajan di luar’ yaitu hubungan seksual dengan PSK langsung yaitu PSK yang mangkal di tempat pelacuran, di jalanan atau panggilan, serta PSK tidak langsung yaitu perempuan yang tidak mangkal di tempat pelacuran, tapi melakukan kegiatan seperti pelacur yaitu melayani hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Mereka itu adalah cewek kafe, cewek disko, cewek pub, cewek pemijat, pelajar, mahasiswi, ABG, ibu-ibu, dll.

Jika pemerintah Jember tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi sehingga penyebaran HIV di masyarakat menjadi ’bom waktu’ yang kelak akan sampai pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Pengidap HIV/AIDS Ditandai dengan Tattoo dan Dikarantina?



Tanggapan Berita (10 November 2013) – ”usul: penderita HIV harusnya di tato di bagian tubuh tertutup. tujuannya agar yg mau hubungan sex akan sadar kalau ybs punya HIV. di bagian yg tertutup spy ybs tetap bisa bersosialisasi ....  penderita flu burung di karantina, kenapa HIV dibiarkan "membunuh" lebih banyak orang?... STOP PEMBUNUHAN!!!!”

Kutipan di atas adalah komentar dari Rani dalam berita “Setiap Hari, Satu Orang Lapor Positif HIV/ AIDS ke RS Jember” (kompas.com, 9/11-2013)

Jika disimak komentar Rani di atas, maka ada beberapa hal yang tidak dipahami oleh Rani secara akurat terkait dengan HIV/AIDS, al.:

Pertama, biar pun semua pengidap HIV/AIDS ditattoo sebagai tanda bahwa ybs. mengidap HIV/AIDS penyebaran HIV/AIDS di masyarakat justru akan terus terjadi karena masih banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.

Kedua,  salah satu materi konseling sebelum tes HIV adalah ajakan kepada yang mau tes HIV agar jika kelak terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka ybs. akan menghentikan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya. Jika ybs. sudah menyetujui akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya jika terdeteksi mengidap HIV/AIDS barulah tes HIV dilakukan. Tapi, kalau ybs. tidak menyatakan dengan tegas bahwa dia akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya, maka konseling akan terus dilakukan sampai ybs. menyatakan bersedia.

Ketiga, HIV/AIDS bukan wabah karena tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sosial sehari-hari sehingga tidak perlu dikarantina. Sedangkan pengidap flu burung bukan dikarantina, tapi ditangani secara medis di ruang isolasi. Pengidap HIV/AIDS tidak otomatis memerlukan perawatan dan pengobatan.

Keempat, biar pun pengidap HIV/AIDS dikarantina tidak akan menghentikan penyebaran HIV/AIDS karena banyak orang yang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kelima, HIV/AIDS tidak membunuh. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit yang muncul pada masa AIDS yaitu kondisi pengidap HIV/AIDS setelah tertular antara 5-15 tahun. Penyakit-penyakit tsb. disebut infeksi oportunistik, seperti jamur di mulut, radang paru-paru, diare, TBC, dll.

Pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS sangat rendah karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang selama ini disebarluaskan melaui brosur, pamflet, poster, ceramah, berita di media massa selalu dibalut dan dibumbui dengan moral sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS kabur. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian orang seperti Rani ini menyampaikan usul yang tidak menyelesaikan masalah.

Salah satu pintu masuk HIV/AIDS ke masyarakat adalah:

(1) Melalui laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti.

(2) Melalui laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang mangkal di tempat pelacuran, di jalanan atau panggilan, serta PSK tidak langsung yaitu perempuan yang tidak mangkal di tempat pelacuran, tapi melakukan kegiatan seperti pelacur yaitu melayani hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Mereka itu adalah cewek kafe, cewek disko, cewek pub, cewek pemijat, pelajar, mahasiswi, ABG, ibu-ibu, dll.

Celakanya, pemerintah tidak menjalankan program yang konkret, sistematis dan terukur untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung.

Akibatnya, insiden infeksi HIV baru terus terjadi dan laki-laki yang tertular menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selama pemerintah tidak menjalankan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV di masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

08 November 2013

Di Kota Jayapura, Papua: Penanggulangan HIV/AIDS di Hilir


Kasus kumulatf HIV/AIDS di Kota Jayapura sampai 31 Desember tahun 2012 mencapai 2.666 dengan 140 kematian. Sedangkan kasus kumulatif di Prov Papua dilaporkan 13.276 (Sumber: Dinkes Prov Papua).

Tanggapan Berita (8 November 2013) – ”Wakil Wali Kota Jayapura, Nuralam, berpendapat laju penyebaran atau pun pertumbuhan penyakit HIV/AIDS di daerah tersebut sangat menghawatirkan, karena dalam data yang diperoleh dari KPA setempat, ibu kota Provinsi Papua itu berada di peringkat ke-dua setelah Kabupaten Mimika.” Ini lead pada berita ”Penyebaran HIV/AIDS di Jayapura Dinilai Mengkhawatirkan” (republika.co.id, 7 November 2013).

Pertanyaan yang sangat mendasar terhadap pernyataan di atas adalah:

(1) Mengapa laju penyebaran HIV/AIDS di Kota Jayapura mengkhawatirkan?

(2) Siapa yang ‘menyebarkan’ HIV/AIDS diKota Jayapura?

(3) Bagaimana cara ‘penyebaran’ HIV/AIDS di Kota Jayapura?

(4) Bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi di Kota Jayapura?

(5) Apakah semua data kasus HIV/AIDS yang tercatat di Kota Jayapura semua terdeteksi pada penduduk Kota Jayapura?

Kalau wartawan menulis berita dengan perspektif jawaban dari lima pertanyaan di atas, maka yang mengkhawatirkan bukan penyebaran dan pertambahan kasus HIV/AIDS. Yang mengkhawatirkan adalah fakta bahwa ada penduduk Kota Jayapura, terutama laki-laki dewasa, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(1) Laju penyebaran HIV/AIDS di Kota Jayapura terus terjadi melalui mata rantai laki-laki dewasa yaitu mereka yang tertular HIV di Kota Jayapura, di luar Kota Jayapura atau di luar negeri. Mereka adalah: (a) laki-laki dewasa yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, dan (b) laki-laki dewasa yang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di lokasi pelacuran atau di jalanan, cewek bar, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat di panti pijat plus-plus, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, dll.

Jika Pemkot Jayapura tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa pada perilaku (b), maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi dan laki-laki yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

(2) Yang menyebarkan HIV/AIDS di Kota Jayapura terutama laki-laki dewasa dengan perilaku (a) dan (b) di atas.

(3) Penyebaran HIV/AIDS di Kota Jayapura al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalan dan di luar nikah. Laki-laki yang perilakunya berisiko (a) dan/atau (b) menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(4) Kemungkinan besar kasus HIV/AIDS yang ada di Kota Jayapura terdeteksi ketika berobat di rumah sakit. Itu artinya mereka sudah lama tertular HIV sehingga rentang waktu antara tertular dan terdeteksi tanpa mereka sadari mereka sudah menularkan HIV ke orang lain, al. suami ke istri.

(5) Karena fasilitas untuk tes HIV dan pengobatan yang baik ada di Kota Jayapura, maka ada kemungkinan kasus yang terdeteksi di Kota Jayapura bukan penduduk Kota Jayapura.

Dalam berita Nuralam mengatakan: "Sebagai Ketua KPA kota dimana-mana saya selalu bicara masalah bahaya HIV/AIDS karena angka korbannya dari waktu ke waktu bertambah. Data dari KPA, jumlah yang sudah terjangkit di kota ini kurang lebih 7.000 orang dan yang datang memeriksakan diri lebih banyak yang sudah stadium tinggi."

Yang diperlukan bukan bicara tapi langkah konkret yaitu menjalankan program untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Program yang konkret terbukti perlu karena, seperti dikatakan Nuralam ” .... yang penyebabnya 99 persen karena hubungan seks.”

Celakanya, yang dilakukan Pemkot Jayapura adalah ” .... pihaknya terus intens memberikan pelayanan terhadap orang dengan HIV/AIDS.”

Menangani orang dengan HIV/AIDS adalah langkah di hilir. Artinya, Pemkot Jayapura menunggu ada dulu penduduknya yang tertular HIV baru ditangani. Ini sama saja dengan pembiaran.

Yang diperlukan adalah program yang konkret berupa regulasi untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Jika tidak ada program yang konkret, terutama regulasi yang sistematis dan terukur, yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Celakanya, Perda AIDS No 16 Tahun 2011 sama sekali tidak memberikan langkah-langkah yang konkret, sistematis dan terukur untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: AIDS dan ’Tempat-tempat Risiko Tinggi’ di Kota Jayapura, Papua - http://www.aidsindonesia.com/2013/11/aids-dan-tempat-tempat-risiko-tinggi-di.html].

Pada gilirannya laki-laki yang baru tertular HIV/AIDS akan menjadi mata rantai penyebaran HIV yang berpotensi sebagai ’bom waktu’ yang pada akhirnya akan terjadi ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

07 November 2013

AIDS dan ’Tempat-tempat Risiko Tinggi’ di Kota Jayapura, Papua


* Menyibak peran Perda AIDS Kota Jayapura Tahun 2011dalam penanggulangan HIV/AIDS

** Kasus kumulatf HIV/AIDS di Kota Jayapura sampai 31 Desember tahun 2012 mencapai 2.666 dengan 140 kematian. Sedangkan kasus kumulatif di Prov Papua dilaporkan 13.276 (Sumber: Dinkes Prov Papua).

Media Watch (8 November 2013) – Pemkot Jayapura, Papua, sudah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No 7 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan IMS dan HIV/AIDS yang disahkan tanggal 12 Oktober 2006.

Belakangan Pemkot Jayapura merevisi perda tsb. melalui Perda No 16 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual, Human Immunodeficiency dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome di Kota Jayapura yang disahkan tanggal 6 Desember 2011.

Kedua perda itu setali tiga uang. Perbedaan hampir tidak ada. Yang ada al. judul Bab IV. Perda 2006 menyebutkan Kewajiban dan Larangan, sedangkan pada Perda 2001 disebutkan Hak dan Kewajiban.

Yang jelas dua perda tsb. sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret dan sistematis serta terukur untuk menanggulangi (penyebaran) HIV/AIDS.

Bahkan, perda ini diusung dengan pijakan moral yang justru mengaburkan fakta. Misalnya, penyebutan “tempat-tempat risiko tinggi” sebagai eufemisme untuk menyebutkan tempat pelacuran.

Di pasal 1 ayat 14 disebutkan: Tempat Populasi Risiko Tinggi untuk penularan IMS dan HIV adalah tempat dimana beroperasinya kelompok Resiko tinggi seperti: Bar, Restoran, Hotel, Salon, Panti Pijat.

Pasal 1 ayat 14 membuktikan bahwa di bar, restoran, hotel, salon dan panti pujat yang ada di Kota Jayapura terjadi praktek pelacuran.

Kondom

Bahkan, dalam Perda 2011 terdapat hal yang bertolak belakang yaitu bunyi pasal yang seling bertentangan.

Coba simak bunyi Pasal 7 ayat 3 (Perda 2011) ini: Kewajiban Pemilik Tempat-tempat Risiko Tinggi yaitu:

a. melakukan pemeriksaan secara berkala kepada karyawannya;

b. membiayai perawatan dan pengobatan tenaga kerjanya bila terbukti mengidap IMS sampai sembuh dan juga yang  mengidap HIV;

c. tidak mempekerjakan tenaga kerja yang mengidap IMS dan HIV;

d. memasang informasi tentang bahaya IMS, HIV dan AIDS di tempat yang mudah dilihat dan dibaca pada tempat risiko tinggi; dan

e melarang pekerjanya untuk melakukan kegiatan prostitusi dan kegiatan yang beresiko tinggi menularkan HIV.

f. menyediakan tempat penyimpanan kondom pria dan perempuan yang mudah dijangkau di tempat usahanya;

g. mempermudah akses bagi petugas instansi terkait untuk melaksanakan pemeriksaan IMS dan HIV bagi pekerjanya; dan

h. melindungi semua pekerjanya terhadap kemungkinan mendapatkan penularan penyakit dari klien

Bunyi huruf e bertentangan dengan bunyi pada huruf a, b, c, d, f, g dan h.

Kalau di tempat-tempat berisiko tinggi dilarang “melakukan kegiatan prostitusi dan kegiatan yang beresiko tinggi menularkan HIV”, maka tidak perlu pernyataan pada huruf a, b, c d, f, g dan h.

Di sisi lain bunyi pada huruf a “melakukan pemeriksaan secara berkala kepada karyawannya” tidak berguna lagi dalam penanggulangan HIV/AIDS karena kalau ada karyawan di tempat-tempat berisiko terdeteksi mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus, maka ada kemingkinan:

(a) IMS atau HIV/AIDS yang terdeteksi pada karyawan tempat-tempat risiko tinggi bisa jadi ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk Kota Jayapura. Kalau ini yang terjadi, maka laki-laki yang menularkan IMS atau HIV/AIDS ke karyawan tempat-tempat risiko tinggi akan jadi mata rantai yang menularkan IMS atau HIV/AIDS ke istrinya bagi yang beristri atau PSK, serta ke pacar atau pasangan atau PSK bagi yang tidak beristri.

(b) Karyawan tempat-tempat risiko tinggi yang terdeteksi mengidap IMS atau HIV/AIDS bisa jadi mereka sudah mengidap IMS atau HIV/AIDS ketika mulai ‘praktek’ di tempat-tempat risiko tinggi di Kota Jayapura. Jika ini yang terjadi, maka laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi berisiko tertular HIV/AIDS. Maka, laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS. Kalau ada laki-laki dewasa penduduk Kota Jayapura yang tertular IMS atau HIV/AIDS dari karyawan tempat-tempat risiko tinggi mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, yang beristri menularkan IMS atau HIV/AIDS ke istri atau PSK, yang tidak beristri menularkan ke pacar, pasangan atau PSK.

Pasal 7 ayat 3 huruf b disebutkan: membiayai perawatan dan pengobatan tenaga kerjanya bila terbukti mengidap IMS sampai sembuh dan juga yang  mengidap HIV.

Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak ada langkah konkret untuk mendeteksi IMS dan HIV/AIDS pada laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Itu artinya laki-laki yang menularkan IMS atua HIV/AIDS ke karyawan tempat-tempat risiko tinggi dan yang tertular dari karyawan tempat-tempat risiko tinggi menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS di masyarakat tanpa mereka sadari.

Di Pasal 7 ayat 2 disebutkan: Kewajiban Kelompok Populasi Risiko Tinggi:

a. menggunakan kondom pada setiap kali kontak seksual yang beresiko menularkan ims dan hiv;

b. menolak melakukan hubungan seks tanpa mengunakan kondom;

d. berobat dan tidak menularkan kepada orang lain jika mengetahui dirinya terinfeksi IMS dan HIV; dan

d. berobat ke layanan kesehatan yang tersedia bila sudah terinfeksi HIV dan menjaga kualitas hidupnya.

Siapa populasi risiko tinggi?

Di Pasal 1 ayat 13 disebutkan: Populasi Risiko Tinggi adalah kelompok yang mempunyai perilaku resiko tinggi terhadap penularan IMS dan HIV yaitu Penjaja Seks, Pelanggan Penjaja Seks, Pasangan tetap dari Penjaja Seks, kelompok lain dari Pria Berhubungan seks dengan pria, Narapidana, Anak Jalanan, Pengguna Napza suntik, Pasangan pengguna napza suntik yang tidak menggunakan napza suntik.

Lalu, apa pula yang dimaksud dengan ‘perilaku resiko tinggi terhadap penularan MS dan HIV?

Di Pasal 1 ayat 33 disebutkan: Perilaku seksual Risiko Tinggi adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa mengunakan kondom.

Yang jadi persoalan besar adalah banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak ganti-ganti pasangan di tempat-tempat risiko tinggi. Artinya, mereka mempunyai pasangan tetap di kalangan karyawan tempat-tempat risiko tinggi. Maka, pasal 1 ayat 33 tidak menyasar laki-laki yang mempunyai pasangan tetap di kalangan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Perilaku Berisiko

Disebutkan bahwa kelompok populasi risiko tinggi wajib menggunakan kondom pada setiap kali kontak seksual yang beresiko menularkan ims dan hiv.

Dalam perda tidak ada penjelasan kapan disebut hubungan seksual sebagai ’kontak seksual yang beresiko menularkan ims dan hiv’.

Pasal 7 ayat 2 huruf a ini tidak jelas siapa yang diwajibkan memakai kondom: laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi atau karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Begitu pula dengan Pasal 7 ayat 2 huruf b yang menyebutkan kelompok populasi risiko tinggi wajib menolak melakukan hubungan seks tanpa mengunakan kondom.

Lagi-lagi tidak jelas tentang siapa yang wajib menolak hubungan seksual: laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi atau karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Dalam perda tidak ada mekanisme yang sistematis dan terukur untuk mengawasi pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Masih di Pasal 7 ayat 2, di huruf c disebutkan bahwa kelompok populasi risiko tinggi wajib berobat dan tidak menularkan kepada orang lain jika mengetahui dirinya terinfeksi IMS dan HIV.

Persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS.

Maka, yang terjadi adalah banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya dan mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di Pasal 7 ayat 5 disebutkan: Kewajiban orang yang tidak terinfeksi HIV, yaitu:

a. memahami cara pencegahan IMS, HIV dan AIDS serta Kesehatan Reproduksi.

b. meningkatkan kwalitas diri supaya tidak berperilaku hidup beresiko terinfeksi HIV dan AIDS.

c. meningkatkan ketahanan keluarga untuk pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS sesuai dengan aliran kepercayaan yang dianut; dan

d. tidak melakukan stigma dan diskriminasi baik langsung maupun tidak langsung bagi mereka yang terinfeksi HIV termasuk keluarganya.

Persoalannya adalah: Bagaimana memastikan jika seseorang sudah memahami huruf a dan b akan menerapkannya ketika melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi?

Tentu saja tidak bisa!

Maka, yang bisa dilakukan adalah membuat regulasi yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Program yang dimaksud adalah ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan karyawan tempat-tempat risiko tinggi.

Tentu saja program itu hanya bisa dijalankan jika ‘tempat-tempat risiko tinggi’ diregulasi yaitu melokalisir kegiatan risiko tinggi agar bisa dijerat dengan hukum.

Jika tempat-tempat risiko tinggi tidak dilokalisir dengan regulasi, maka program penanggulangan tidak bisa dijalankan dengan efektif.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap