02 November 2013

Menyoal Promosi Obat, Obat Herbal dan Pengobatan di Televisi


Oleh SYAIFUL W. HARAHAP - AIDS Watch Indonesia

*  Acara-acara pengobatan di televisi adalah iklan yang disamarkan sebagai advertorial

Opini (3 November 2013) - Pernyataan yang menyebutkan bawah obat, obat herbal dan pengobatan tertentu bisa menyembuhkan penyakit, yang disertai dengan testimoni atau kesaksian, yang disiarkan stasiun televisi swasta nasional tidak termasuk kriteria berita (news) karena tidak dilengkapi dengan bukti medis.

Pertama, nama penyakit yang disebutkan bisa diobati merupakan hasil penelitian berdasarkan teori ilmu kedokteran.

Definisi Medis

Kedua, karena penyakit itu dihasilkan oleh teori ilmu kedokteran, maka cara-cara diagnosis dan pengobatan penyakit tsb. juga harus melalui ilmu kedokteran.

Ketiga, jika sebuah penyakit dikatakan sembuh melalui obat dan pengobatan di luar medis, maka harus mengacu ke kriteria kesembuhan dalam ilmu kedokteran.

Karena dalam acara televisi tsb. tidak ada aspek medis dan tidak pula ada dokter yang menjadi narasumber pembanding, maka acara televisi yang menyiarkan obat, obat herbal dan pengobatan alternatif itu bukan berita tapi advertorial (iklan yang disamarkan jadi berita tapi tidak mengandung unsur-unsur layak berita dan kelengkapan berita).

Ada aturan bahwa iklan obat-obatan dan pengobatan di televisi tidak boleh menampilkan kesaksian karena kesembuhan tidak dibuktikan secara medis.

“ .... karena teori tentang penyakit dan penyembuhan penyakit dikembangkan oleh dunia kedokteran, maka jika ada obat, obat herbal dan pengobatan alternatif yang menyatakan bisa menyembuhkan penyakit harus dibuktikan secara medis sesuai dengan kriteria yang ditetapkan ilmu kedokteran mulai dari diagnosis sampai kriteria sembuh.” (dr Kartono Mohamad, Majalah “TEMPO”, 18/7-1992, dalam “Pers Meliput AIDS”, Syaiful W. Harahap, PT Pustaka Sinar Harapan-Ford Foundation, Jakarta, 2000).

Dalam jurnalistik hal itu merupakan pelanggaran terhadap kode etik karena dari awal tidak disebutkan bahwa acara itu adalah advertorial bukan (siaran) berita. Celakanya, acara-acara advertorial pengobatan tsb. dikemas sehingga terkesan sebagai berita.

Karena dalam advertorial obat-obatan, obat herbal dan pengobatan tsb. dipakai nama-nama penyakit yang merupakan definisi medis, maka dalam perbincangan harus ada dokter.

Advertorial adalah acara di televisi atau tulisan di media cetak yang menjadi ajang untuk mempromosikan produk atau layanan dengan membayar slot waktu (media elektronik) dan kolom atau halaman (media cetak).

Untuk itulah diharapkan acara promosi obat-obatan, obat herbal dan pengobatan alternatif tidak memakai nama-nama penyakit yang dihasilkan berdasarkan riset dan diagnosis medis jika tidak disertai dengan bukti-bukti medis.

Belakangan ini banyak jenis dan nama obat, obat herbal dan pengobatan alternatif yang menyebutkan bisa menyembuhkan HIV/AIDS.

Buah Merah

Buah merah dari Papua, misalnya, di awal tahun 2000-an diiklankan sebagai obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS. Produsen buah merah memakai seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) perempuan sebagai model iklan. Odha itu pun berhenti minum obat antiretroviral (ARV) yang diganti dengan buah merah.

Apa yang terjadi kemudian?

Hanya hitungan bulan Odha itu meninggal. Sayang, produsen tidak jujur karena berita tentang kematian Odha itu tidak segencar iklan buah merah.

Dalam beberapa pelatihan penulisan HIV/AIDS bagi wartawan di Papua dan Papua Barat, penulis selalu diserang oleh wartawan di sana. ”Mengapa pemerintah tidak mengembangkan buah merah sebagai obat?”

Untunglah diskusi dengan dr Zulazmi Mamdy, MPH, dosen di FKM UI, menghasilkan jawaban yang cespleng karena sebelumnya tidak ada jawaban yang baik.

”Kalau benar buah merah bisa menyembuhkan HIV/AIDS, maka tidak akan pernah ada orang Papua yang mengidap HIV/AIDS!”

Soalnya, buah merah itu sayur dan dimakan sejak dikandungan. Artinya, ibunya maka buah merah. Setelah lahir sampai mati pun mereka makan buah merah.

Yang terjadi adalah sebaliknya. Belasan ribu orang Papua mengidap HIV/AIDS.

Belum ada satu pun jenis virus yang bisa dimatikan di dalam tubuh manusia, maka kalau ada obat, obat herbal dan pengobatan yang menyebutkan bisa menyembuhkan HIV/AIDS itu artinya dusta.

Obat, obat-obatan dan pengobatan alternatif boleh-boleh saja, tapi hanya sebagai tambahan (lebih dikenal sebagai supplement) untuk meningkatkan stamina seseorang bukan mengobati penyakit.***[Syaiful W. Harahap]***

AIDS Bisa Disembuhkan dengan Racun Madu dan Obat Herbal?


Tanya Jawab AIDS No 1/November 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: (1) Apakah betul racun madu dan obat herbal dapat membunuh virus HIV? (2) Apakah hasil tes HIV akurat bila dua jam sebelum tes minum obat mag dan obat herbal?

Via SMS (2/11-2013)

Jawab: (1) Sampai hari ini belum ada satu pun jenis virus yang bisa dibunuh di dalam tubuh manusia. Bahkan, virus flu pun tidak bisa dimatikan. Yang dilakukan terhadap orang yang menderita flu adalah mengobat symptom atau gejala yang ada, seperti deman, batuk, dll.

Obat-obatan herbal bisa saja diminum tapi untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan menjaga stamina, tapi bukan untuk mengobati HIV/AIDS.

Kalau pun ada kesaksian tentang obat-obatan herbal yang disebutkan bisa mengobati HIV/AIDS sampai sekarang belum ada pembuktian secara medis.

Jika ada pengakuan bahwa sebelum minum racun madu atau obat herbal hasil tes HIV positif, lalu setelah minum racun madu atau obat herbal hasil tes negatif itu tidak membuktikan HIV tidak ada lagi dalam darah. Kondisi itu adalah HIV tidak terdeteksi! Hal yang sama terjadi pada pengidap HIV/AIDS yang minum obat antiretroviral (ARV).

(2) Akurasi hasil tes HIV bukan karena minum obat mag dan obat herbal, tapi terkait langsung dengan masa jendela.

Tes HIV bukan mencari virus di dalam darah, tapi mencari antibody HIV. Antibody ini baru bisa terdeteksi melalui tes HIV dengan reagen ELISA tiga bulan setelah tertular. Ini dikenal sebagai masa jendela. Jika tes sebelum tiga bulan maka hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif).

Kalau Anda memang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV, misalnya pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), maka sebaiknya lakukan segera tes HIV.

Hanya dengan mengetahui status HIV, artinya sudah tertular atau belum, langkah berikutnya bisa dilakukan. Sekarang sudah ada obat ARV yaitu obat yang bisa menekan laju perkembangan-biakan HIV di dalam darah.

Tapi, obat (ARV) diminum dengan ketentuan CD4 di bawah 350. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh dokter. Silakan ke klinik VCT di rumah sakit di tempat Anda.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

01 November 2013

HIV/AIDS sebagai Fakta Medis


Oleh Syaiful W. Harahap*

Catatan: Naskah ini dimuat di Harian “Radar Banten”, Serang, Banten, edisi 13 September 2007

Berita “Kondom Tak Aman Cegah HIV” di Harian “Radar Banten” edisi 11 September 2007 justru (bisa) menyesatkan karena ada beberapa pernyataan yang tidak didukung fakta

Berita “Kondom Tak Aman Cegah HIV” di Harian “Radar Banten” edisi 11 September 2007 justru (bisa) menyesatkan karena ada beberapa pernyataan yang tidak didukung fakta. Berita yang dikutip berdasarkan pernyataan yang tidak akurat akan menghasilkan mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, masyarakat tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis sehingga banyak yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat. Maka, jangan heran kalau kasus HIV/AIDS secara nasional dan regional, seperti di Banten, terus bertambah. Secara nasional sejak 1 April 1987 -30 Juni 2007 kasus HIV/AIDS mencapai 15.502, sedangkan di Prov. Banten dilaporkan 43 kasus AIDS dengan 11 kematian (Ditjen PPM & PL, Depkes RI).

Dalam berita disebutkan “ …. langkah efektif dalam mencegah penyebaran virus mematikan ini adalah tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang berpotensi penularan, seperti seks bebas, pelacuran, homoseksual, dan penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik”. Ini tidak akurat.

Pertama, semua kuman, bakteri, dan virus mematikan. Bahkan virus flu burung mematikan dalam hitungan hari, sedangkan HIV tidak mematikan karena yang mematikan adalah penyakit-penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik setelah penularan HIV mencapai 5 – 10 tahun pada diri seseorang.

Kedua, penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan biar pun ‘seks bebas’ (istilah ini rancu karena merupakan terjemahan bebas dari ‘free sex’ yang tidak dikenal dalam kosakata Bahasa Inggris), melacur, homoseksual, dll. Maka, penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi berdasarkan kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif) bukan berdasarkan sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah).

Ketiga, penularan HIV melalui penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik (bisa) terjadi kalau di antara penyalahguna ada yang HIV-positif dan mereka memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran. Kalau seseorang memakai narkoba dengan jarum suntik sendirian atau memakai ramai-ramai tapi tidak memakai jarum bergantian maka tidak ada risiko penularan HIV.

Keempat, ada pernyataan Prof Dr dr Dadang Hawari “Yang bilang kondom aman 100 persen itu menyesatkan”. Tidak ada yang pernah mengatakan hal itu. Lagi pula mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, adalah dengan cara jangan melakukan hubungan seks dengan orang HIV-positif. Ini fakta. Nah, jika hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dilakukan dengan orang yang HIV-positif atau dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya maka mencegah penularan HIV adalah hindari pergesekan langsung antara penis dan vagina karena pada pergesekan itulah terjadi risiko penularan disebabkan ada luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop).

Kelima, dalam berita tidak disebutkan apa penyebab kegagalan kondom dalam hal mencegah penularan HIV dan KB. Banyak faktor yang membuat kondom tidak efektif. Misalnya, kualitas kondom, masa kadaluarsa, kondisi kondom, dan cara memasangnya. Kondom yang berpori-pori adalah kondom yang terbuat dari usus hewan (kondom ini tidak ada di Indonesia, di Amerika kondom tersebut dijual dengan harga sekitar 5 dolar) yang memang hanya untuk mencegah kehamilan. Sedangkan kondom yang terbuat dari getal lateks tidak mempunyak pori-pori (kondom jenis ini yang ada di Indonesia).

Keenam, Prof Dadang menyebutkan:“Langkah paling aman untuk mencegah HIV/AIDS adalah tidak melakukan perzinahan.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks (perzinahan), tapi kondisi hubungan seks (salah satu atau dua-duanya HIV-positif, serta penis dan vagina bergesekan secara langsung). Sebaliknya, biar pun perzinahan (sifat hubungan seks) kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV.

Ketujuh, selama ini ada fakta yang sering luput dari perhatian masyarakat yaitu tentang siapa yang menularkan HIV kepada pekerja seks (pelacur). Seolah-olah pekerja sekslah yang menjadi biang keladi penyebaran HIV. Ini salah karena yang menularkan HIV kepada pekerja seks adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, lajang, remaja, pelacar, mahasiswa, pegawai, duda, dll. Kalau ada pekerja seks yang tertular HIV maka laki-laki yang kemudian melakukan hubungan seks dengan pekerja seks tadi maka laki-laki itu berisiko tertular HIV.

Tapi, karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular) maka penularan pun terjadi tanpa disadari. Maka, laki-lakilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Bagi yang beristri maka penularan pun terjadi kepada istrinya (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandung istrinya kelak (vertikal). Bisa juga dia menularkan kepada perempuan lain, seperti pacarnya atau pekerja seks yang lain.

Anjuran Bupati Serang Taufik Nuriman yang dibacakan Kepala Bawasda Serang Martedjo: “Masyarakat harus bersama-sama memerangi penyakit masyarakat” tidak akan berhasil karena selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos.

Untuk memerangi HIV/AIDS, bukan memerangi Odha (Orang dengan HIV/AIDS), masyarakat harus memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Inilah salah satu kuncinya.

* Penulis seorang pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.

[URL: http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=16554]

Kupu-kupu Ungu: Sinetron tentang HIV/AIDS


Oleh Syaiful W. Harahap

Catatan: Naskah ini dimuat di Newsletter “HindarAIDS“ No. 6, 5 Oktober 1998

Penyebaran informasi seputar masalah HIV/AIDS mulai menyentuh semua aspek media massa. Kali ini Stasiun Televisi “RCTI“, akan menayangkan tiga belas episode Kupu-kupu Ungu sinetron bertema HIV/AIDS mulai tanggal 6 Oktober 1998 pukul 21.30 WIB, selanjutnya akan ditayangkan tiap hari Selasa pada jam yang sama. Sinetron yang mengangkat aspek-aspek seputar HIV/AIDS didukung oleh Ford Foundation dan Departemen Kesehatan RI.

Sinetron pertama yang menampilkan tema HIV/AIDS ditayangkan ”TVRI” (1994) melalui serial Onah dan Impiannya. Nano Riantiarno, penulis skenarionanya, merasa kurang puas dan terus mengembangkannya sampai akhirnya mencul Kupu-kupu Ungu. Skenario serial ini ditulis Nano setelah ia mempelajari seluk-beluk HIV/AIDS pada pakar HIV/AIDS nasional selama lebih dari dua tahun.

Sinetron ini bertolak dari pengalaman dr. Halimah (Nurul Arifin) yang merawat seorang Odha yang tertular karena transfusi darah untuk hemofilianya dan akhirnya meninggal dunia. Halimah kemudian mendirikan Klinik Hematologi "Hati Putih" untuk Odha. Halimah bertemu dengan Nirwan Hudoyo (Gito Gilas), wartawan yang tertarik kepada masalah HIV/AIDS. Upaya Halimah untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap HIV/AIDS disampaikannya melalui Nirwan.

Mendramatisasi persoalan seputar HIV/AIDS yang dimaksudkan sebagai salah satu cara agar penonton tertarik sehingga informasi yang disampaikan tepat sasaran justru bisa sebaliknya. Soalnya, dari beberapa adegan yang dipertunjukkan pada preview sinetron ini di hadapan wartawan (Kamis, 17/9) jelas tidak menggambarkan persoalan nyata (realitas) yang dihadapi Odha.

Sebagai wartawan yang menggeluti masalah HIV/AIDS saya belum penah menemukan kasus pengeroyokan Odha atau pelemparan rumah Odha dengan batu, seperti yang digambarkan pada sinetron itu. Yang sering terjadi hanyalah sebatas sikap yang tidak bersahabat yang ditunjukkan masyarakat, termasuk aparat pemerintah, dengan cibiran dan menjauhi Odha dan keluarganya, yang lebih bersifat psikologis daripada fisik.

Nano sendiri mengatakan sinetron ini bukan kisah nyata, tapi juga bukan kisah fiktif. Materi untuk skenario sinetron ini diperolehnya dari cerita yang disampaikan banyak orang kepadanya tentang Odha. Saya mengkhawatirkan sikap terhadap Odha yang digambarkan dengan cara unjuk kekuatan, melempari rumah dan mengeroyok Odha, justru akan mendorong orang untuk melakukan hal yang sama jika mereka mendapatkan tetangganya benar-benar seorang Odha. Soalnya, mitos yang berkembang membuat masyarakat bersikap tidak objektif terhadap Odha. Misalnya, HIV disebut penyakit kalangan orang yang berperilaku menyimpang, menular melalui pergaulan sosial, dan lain-lain.

Tulisan ini hanya berdasarkan cuplikan tiga episode dan tanya jawab wartawan dengan pendukung sinetron sehingga tidaklah mungkin menulis resensi yang komprehensif. Untuk mendapatkan pandangan pemirsa terhadap sinetron itu HindarAIDS sendiri akan menyebarkan angket kepada pemirsa “RCTI”.

Mengatasi dugaan atau tudingan masyarakat kepada seseorang, misalnya, terhadap mantan pekerja seks, sebagai Odha hanya dengan menunjukkan hasil tes negatif tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Soalnya, bagaimana kalau wanita tadi benar-benar positif: apa yang akan terjadi? Inilah yang seharusnya diantisipasi sehingga sinetron ini dapat menggiring penonton untuk bersikap objektif dan realitis terhadap Odha.

Saya khawatir peranan dr. Halimah tidak objektif karena Nurul Arifin sendiri mengaku shock waktu pertama kali bertemu dengan Odha. Saya tahu persis, Odha yang ditemui Nurul itu belum menunjukkan gejala stadium AIDS, seperti yang banyak digambarkan media massa, sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk shock karena secara fisik tidak ada perbedaan antara Odha itu dengan Nurul Arifin.

Akan jauh lebih bermanfaat kalau yang dipersoalkan masalah yang berkaitan dengan persoalan yang akan ditemui Odha. Misalnya, pernikahan antar Odha atau penanganan mayat Odha yang selama ini sering menjadi masalah. Pernikahan Odha di Ujungpandang, misalnya, sampai sekarang tidak habis-habisnya menjadi pembicaraan. Bahkan, belakangan pasangan itu pun tidak bisa mendapatkan rumah karena tidak ada penduduk yang mau mengontrakkan rumahnya kepada pasangan Odha itu.

Pada salah satu adegan yang menunjukkan seorang Odha mencoba memotong urat nadi di tangannya menyebutkan bahwa ia wanita yang setia ketika rumahnya dilempari penduduk. Dalam kaitan ini akan muncul lagi mitos (anggapan yang keliru) yang mengarahkan penonton kepada sikap bahwa HIV tertular karena tidak setia. Padahal, penularan HIV terjadi karena kondisi hubungan seksual bukan sifatnya. Artinya, kalau keduanya negatif, atau mereka menerapkan seks aman dengan memakai kondom, tentu tidak akan terjadi penularan biar pun hubungan seksual itu dilakukan di luar nikah.

Sayang, tidak disebutkan rujukan untuk peranan wartawan karena selama ini banyak kalangan yang menilai berita-berita seputar HIV/AIDS di media massa tidak objektif dan sering menyudutkan Odha yang pada gilirannya justru menghambat sosialisasi pencegahan penyebaran HIV. Ford Foundation sendiri mendanai program pelatihan ‘jurnalisme empati’, kepada wartawan media cetak dan elektronik yang dilaksanakan oleh PMP-AIDS LP3Y Yogyakarta. Melalui jurnalisme empati ini diharapkan wartawan juga sekaligus berperan sebagai pendamping Odha dan ikut meningkatkan kepedulian masyarakat.

Resensi yang komprehensif kelak akan menghasilkan sinetron yang benar-benar bisa meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap HIV/AIDS termasuk sikap yang positif terhadap Odha. Judul serial ini sendiri sudah membawa penonton ke arah yang tidak objektif karena selama ini kata kupu-kupu sangat erat kaitannya dengan kupu-kupu malam (pekerja seks) sehingga bisa jadi ada kesan HIV/AIDS hanya berkaitan dengan kupu-kupu malam.

Jika hal ini terjadi tentu akan menguatkan mitos lagi yang melihat HIV hanya tertular dan menular di kalangan pekerja seks dan pelanggannya sehingga orang lain yang merasa dirinya tidak termasuk ke dalam kelompok perilaku itu akan mengabaikan penyebaran HIV. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan HIV sudah masuk ke komunitas di luar kelompok berperilaku yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV, seperti ibu rumah tangga dan anak-anak.***

31 Oktober 2013

Tidak Ada Sekolah yang Rawan HIV


Catatan: Naskah ini dimuat di rubrik ”Surat Pembaca” Harian ”Bali Post”, Denpasar, Bali, edisi Senin Wage, 26 Juni 2006.

Berita berjudul ''Westra Enggan Jamah PSK'' di harian ini edisi 15 Juni 2006 lagi-lagi mengandung mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Dalam berita disebutkan, ''...mempetakan sekolah yang dinilai rawan penularan HIV/AIDS...''

1. Tidak ada sekolah yang rawan HIV/AIDS karena HIV tidak menular melalui udara, air dan pergaulan sosial sehari-hari. Lagi pula sebagai virus, HIV tidak terdapat di lingkungan sekolah karena HIV hanya ada dalam darah di tubuh orang yang HIV-positif. Yang rawan HIV adalah perilaku seseorang bukan kelompok atau kalangan tertentu. Seseorang berisiko tinggi tertular HIV kalau dia (a) pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, dan (b) pernah memakai jarum suntik secara bergiliran dan bergantian. Tidak ada sekolah yang bisa melakukan kedua hal ini. Maka, tidak ada sekolah yang rawan penularan HIV/AIDS.

2. ''Menjamah'' PSK dalam konteks epidemi HIV adalah untuk meningkatkan pemahaman PSK terhadap risiko tertular dan menularkan HIV. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang bisa saja seorang suami, pemuda, remaja atau duda dari berbagai kalangan dan jenis pekerjaan. PSK menjadi ''terminal'' karena laki-laki datang menularkan dan tertular HIV.

3. Kasus HIV/AIDS di kalangan remaja jelas pada usia sekolah. Karena kebanyakan mereka tertular melalui penggunaan narkoba dengan jarum suntik maka mereka dikeluarkan dari sekolah. Lagi pula, apakah kalau anak sekolah yang tertular HIV langsung tidak diakui sebagai anak sekolah? Jika ini yang terjadi maka hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

4. Penularan HIV melalui hubungan seks sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan zina, pelacuran, seks pranikah, selingkuh, jajan, wanita dan homoseksual. Penularan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah bisa terjadi karena salah satu atau kedua orang dari pasangan itu HIV-positif.

Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Syaiful W. Harahap
Direktur Eksekutif
LSM InfoKespro

[URL: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/6/26/s1.htm]

Menyoal Kerawanan Banten terhadap HIV/AIDS


Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Naskah ini dimuat di Harian “Radar Banten”, Serang, Baten, edisi Sabtu, 22 Maret 2008.

Berita “Banten Rawan HIV/AIDS, Masuk 7 Besar Daerah Penyebaran” di Harian “Radar Banten” edisi 15/3-2008 mengesankan sensasi daripada fakta.

Berita “Banten Rawan HIV/AIDS, Masuk 7 Besar Daerah Penyebaran” di Harian “Radar Banten” edisi 15/3-2008 mengesankan sensasi daripada fakta. Terkait dengan epidemi HIV/AIDS maka yang rawan adalah perilaku orang per orang bukan daerah. Tidak ada daerah atau negara yang rawan HIV/AIDS. Angka yang dikemukakan sensasional untuk ukuran Baten sehingga bisa menimbulkan penafsiran yang salah terhadap HIV/AIDS.

Angka kasus HIV/AIDS diperoleh dari estimasi dan prediksi yang dihitung berdasarkan beberapa faktor yang terkait langsung dengan penularan HIV, dan yang dilaporkan (kasus HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang baku yaitu hasil tes pertama harus dikonfirmasi dengan tes lain). Maka, pertanyaan yang sangat mendasar dari angka yang dikemukakan dalam berita (6.590 kasus HIV/AIDS) adalah: dari mana sumber angka itu?

Pertama, kalau angka itu merupakan estimasi atau prediksi maka angka itu tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang baku. Angka itu merupakan peringatan bagi penduduk Banten agar menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Perilaku berisiko tinggi tertular HIV terkait dengan hubungan seks adalah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Perilaku Berisiko

Kedua, kalau angka itu merupakan jumlah kasus yang dilaporkan maka itu artinya bencana besar akan dihadapi Pemprov Banten. Memang, saat ini belum ada dampak langsung karena ada kemungkinan infeksi HIV belum mencapai masa AIDS sehingga tidak ada keluhan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS. Tapi, 5-10 tahun ke depan akan terjadi ‘ledakan AIDS’ karena banyak di antaranya sudah mencapai masa AIDS sehingga sudah ada keluhan kesehatan. Jika sudah pada masa AIDS maka penyakit, disebut infeksi oportunistik, akan mudah menyerang sehingga Odha (Orang dengan HIV/AIDS) akan memerlukan perawatan medis. Jika infeksi oportunistik tidak ditangani secara medis maka akan menyebabkan kematian pada Odha.

Hal itulah yang dialami Thailand. Dua dekade lalu ahli-ahli epidemilogi sudah mengingatkan Negara Gajah Putih itu terhadap epidemi HIV. Tapi, penguasa negara itu menampik peringatan ahli-ahli Barat. Rupanya, penguasa di sana melihat rakyatnya berbudaya dan beragama. Apa yang terjadi kemudian? Kasus HIV/AIDS meledak sampai mendekati angka satu juta kasus.

Di sebuah provinsi yang terkenal dengan gadis-gadisnya yang cantik terjadi kontra produktif karena ledakan AIDS. Banyak gadis dari provinsi itu yang menjadi PSK di Bangkok dan kota-kota tujuan wisata lain di Thailand. Ketika mereka bekerja sebagai PSK mereka mengirimkan uang ke kampung halamannya. Keluarganya di kampung pun memakai uang untuk usaha. Tapi, ketika mereka mulai sakit karena penyakit yang terkait dengan infeksi HIV/AIDS maka mereka pulang kampung. Harta yang dibeli dari uang kiriman pun habis untuk membiayai pengobatan.

Beruntunglah Thailand karena biksu mau menampung dan merawat korban AIDS di vihara.

Bercermin dari pengalaman Thailand itu maka Prov Banten perlu mawas diri. Ketika kasus hanya hitungan jari, kegiatan untuk pananggulangan AIDS rendah sehingga banyak kasus yang tidak terdeteksi yang berpotensi mendorong ledakan AIDS. Dari mana kasus HIV/AIDS itu?

Kasus HIV/AIDS terdeteksi pada orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang melakuklan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu (a) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) orang-orang (laki-laki) yang yang sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang (perempuan, seperti PSK atau perempuan panggilan) yang sering berganti-ganti pasangan, (c) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (d) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang memakai jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian, terutama pada pengguna narkoba dengan suntikan. Orang-orang inilah yang menghasilkan angka HIV/AIDS.

Dalam berita disebukan “Sebanyak 6.590 penderita HIV/AIDS yang terdapat di Banten merupakan ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dewasa. Dari jumlah estimasi itu yang baru ditemukan sekitar 1.005 penderita”. Dari pernyataan itu jelas bahwa angka 6.590 adalah angka estimasi. Tapi, disebutkan bahwa sudah terdeteksi 1.005 penderita. Ini akan menjadi beban bagi Pemprov Banten ketika mereka sudah mencapai masa AIDS.

Bom Waktu

Disebutkan pula dalam berita bahwa kasus terbanyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba. Di sini ada fakta yang tidak muncul sehingga mengesankan kasus HIV/AIDS lebih banyak di kalangan pengguna narkoba. Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba karena pengguna narkoba yang akan menjalani rehabilitasi (pengobatan) diwajibkan menjalani tes HIV. Tapi, sampai sekarang tidak ada mekanisme yang bisa menjaring kasus HIV/AIDS di kalangan laki-laki dan perempuan yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV. Kasus HIV/AIDS di kalangan yang perilaku seksnya berisiko tinggi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan kasus AIDS.

Jika kelak terjadi ladakan AIDS apakah rumah sakit di Banten siap menampung Odha dengan keluhan infeksi oportunistik? Begitu pula dengan biaya: rumah sakit, dokter, obat antiretroviral, dan obat infeksi oportunistik. Bagi yang mampu tidak ada masalah, tapi kalau ledakan AIDS terjadi pada rakyat miskin apakah rumah sakit mau merawat mereka secara gratis? Apakah rumah-rumah ibadah di Banten mau menampung dan merawat mereka seperti yang dilakukan biksu di Thailand?

Jika kita tidak ingin hal itu terjadi di Banten maka mulai sekarang galakkan penyuluhan HIV/AIDS dengan materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang akurat yang mendepankan fakta medis. Soalnya, selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama sehingga masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, jajan, selingkuh, seks pranikah, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu ata kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks tanpa kondom dilakukan dengan zina, melacur, jajan, selingkuh, seks pranikah, ‘seks menyimpang’, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.

Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani, cairan vagina dan ASI. Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV bisa terjadi melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui air susu ibu yang mengandung HIV bisa terjadi melalui proses menyusui. Mencegah penularan HIV adalah mencegah agar darah, air mani, cairan vagina, dan ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke tubuh. Ini fakta medis. Tapi, karena selama ini fakta ini tidak muncul ke permukaan maka banyak orang yang tidak mengetahuinya dengan akurat.

Untuk itu dianjurkan kepada orang-orang yang perilaku seksnya berisiko tinggi tertular HIV agar mau menjalani tes HIV dengan sukarela. Semakin banyak orang yang terdeteksi HIV-positif maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. (*)

* Pemerhati berita HIV/AIDS di media massa

[URL: http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=24002]

Diskriminasi terhadap Pengidap HIV


Oleh Syaiful W Harahap

Catatan: Naskah ini dimuat di Harian “Pontianak Post”, Pontianak, Kalbar, edisi  2 Desember 2003.

Dengan 472 kasus HIV/AIDS (282 HIV positif dan 190 AIDS), Jawa Timur berada pada peringkat tiga nasional. Angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya. Perlakuan buruk terhadap Odha (orang yang hidup dengan AIDS) menyulitkan penanggulangan epidemi HIV/AIDS.

Melalui Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2003 -hari ini- masyarakat diajak agar tidak melakukan stigmatisasi (memberi cap buruk) dan diskriminasi (mengasingkan, mengucilkan, membeda-bedakan) terhadap orang-orang yang hidup dengan AIDS (Odha) karena akan  memperburuk epidemi HIV/AIDS. Stigmatitasi dan diskriminasi pun merupakan perbuatan melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Selama ini di Surabaya sering dilakukan razia untuk menangkap pekerja seks. Yang tertangkap diambil darahnya untuk tes HIV tanpa melalui standar prosedur tes HIV yang baku (konseling sebelum dan sesudah tes, pernyataan kesediaan, asas anonimitas, dan  konfidensialitas). Hal ini dilakukan seakan-akan sebagai cara menanggulangi epidemi HIV/AIDS karena pekerja seks yang terdeteksi HIV positif akan 'diawasi'.

Perlakuan itu membuat Odha mengalami stigmatisasi dan diskriminasi sehingga ada kemungkinan orang-orang yang terinfeksi HIV 'menyembunyikan' diri di masyarakat. Padahal, penanganan pasca tes HIV sangat penting untuk mendorong orang tersebut agar tidak berperilaku berisiko.

Perilaku Berisiko

Mengawasi pekerja seks yang terdeteksi HIV positif tidak banyak manfaatnya. Yang lebih 'berbahaya' justru laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman dengan pekerja seks. Mereka berisiko tinggi tertular HIV. Jika ada laki-laki yang tertular HIV, dia akan menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat. Dia akan menulari istrinya (horizontal). Jika istrinya tertular, ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi (vertikal), terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Surabaya umumnya terdeteksi di kalangan pekerja seks.

Jadi, ada risiko tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) dengan pekerja seks. Celakanya, banyak orang yang tidak menyadari dirinya tertular HIV karena tidak ada keluhan yang khas. Tidak ada pula gejala-gejala klinis yang khas HIV/AIDS. Gejala baru muncul jika sudah mencapai masa AIDS (5-10 tahun). Tapi, perlu diingat bahwa biarpun belum mencapai masa AIDS, seseorang yang HIV positif sudah dapat menularkan HIV melalui cara-cara yang sangat spesifik.

Sebagai virus, HIV hanya dapat menular melalui (1) hubungan seks yang tidak aman (tak memakai kondom) dengan pasangannya di dalam dan di luar nikah, (2) transfusi darah, (3) jarum suntik, dan (4) dari ibu yang HIV positif ke bayi yang dikandungnya pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI. Karena tidak ada gejala-gejala klinis yang terkait dengan HIV/AIDS, yang diperlukan ialah kesadaran setiap orang untuk menimbang-nimbang: Apakah dirinya berperilaku berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Jika jawabannya "ya", orang tersebut berisiko tertular HIV.

Perilaku berisiko tinggi tertular HIV adalah (1) melakukan hubungan seks (sanggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) yang tidak aman (tidak memakai kondom) di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Materi KIE

Setiap orang dapat melindungi diri sendiri dengan aktif agar tidak tertular HIV, yaitu dengan menghindari perilaku berisiko. Tapi, hal itu tidak mudah karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak akurat. Materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, disebutkan HIV menular melalui zina, seks di luar nikah, 'seks bebas' (istilah ini rancu), seks menyimpang, pelacuran, dll.

Padahal, tidak ada hubungan langsung antara penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah, seks menyimpang, atau pelacuran. HIV menular melalui hubungan seksual yang tidak aman jika salah satu dari pasangan itu HIV positif di dalam dan di luar nikah.

Informasi yang menyesatkan itulah kemudian yang membuat masyarakat tidak waspada. Banyak yang merasa tidak akan tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks di luar lokalisasi. Ada pula yang merasa aman karena kencan dengan 'anak sekolah'.

Kalau hubungan seksual yang tidak aman dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti, baik 'anak sekolah', 'orang baik-baik', dll, tetap berisiko tertular HIV. Soalnya, bisa saja di antara teman kencan tersebut ada yang HIV positif.

Ketika epidemi HIV sudah menjadi ancaman yang nyata terhadap kesehatan masyarakat, langkah yang perlu  ditempuh adalah menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat. Salah satu informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Selain itu, ada anjuran agar orang-orang yang pernah berperilaku berisiko tinggi mau menjalani tes HIV sukarela sesuai standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Dengan mengetahui status HIV lebih dini sebelum mencapai masa AIDS, orang tersebut dapat diajak kompromi agar tidak menulari orang lain. Selain itu, yang bersangkutan mendapat perawatan medis. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (obat yang dapat menahan laju perkembangan HIV di dalam darah) sehingga kondisi kesehatan sampai ke masa AIDS tetap baik. 

(Syaiful W. Harahap, direktur Eksekutif LSM "InfoKespro" Jakarta yang bergerak dalam bidang selisik media/media watch berita HIV/AIDS).