19 Oktober 2013

Cewek Ingin Punya Anak dari Suami Pengidap HIV/AIDS


Tanya-Jawab AIDS No 4/Oktober 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya seorang cewek pacaran dengan seorang laki-laki mantan drug user. Dia pernah dua kali rehab di salah satu tempat rehab di Jabar. Kami sudah tiga tahun pacaran. Dia tidak lagi sebagai drug user karena hidupnya sudah baik. Kami belum pernah ML (hubungan seksual-pen.). Kami hanya berciuman secara wajar. Beberapa bulan yang lalu pacar saya terdeteksi mengidap HIV/AIDS. (1) Apakah kami boleh menikah? (2) Bagaimana caranya agar tidak terjadi penularan HIV ketika kami berhubungan badan? (3) Apakah saya berisiko tertular HIV kalau dia pakai kondom? (4) Apakah kami bisa mendapatkan anak yang tidak mengidap HIV/AIDS?

Via SMS (18/10-2013) di Kota “S“

Jawab: (1) Tidak ada UU yang melarang pengidap HIV/AIDS menikah karena menikah merupakan hak asasi. Yang jadi persoalan adalah terkait dengan perilaku dan kesehatan pasangan yang akan menikah. Pengidap penyakit menular, misalnya, tentu akan bisa menularkan penyakit ke pasangannya. Begitu juga dengan pengidap penyakit genetik akan menurunkan penyakit tersebut ke anak mereka.

(2) dan (3) Karena pacar Anda mengidap HIV/AIDS, jika kelak kalian menikah maka suami harus selalu memakai kondom setiap kali sanggama sejak mulai melakukan hubungan seksual sampai ejakulasi. Secara teoritis jika suami selalu memakai kondom ketika sanggama risiko penularan ke istri rendah karena air mani tidak tumpah di dalam vagina. Yang perlu diperhatikan adalah kualitas kondom, tanggal kadaluarsa, cara membuka bungkus dan cara pemakaian kondom.

(4) Jika yang mengidap HIV/AIDS suami, maka bisa mendapatkan keturunan yang tidak tertular HIV tapi kehamilan dilakukan melalui proses bayi tabung. Ini bisa dilakukan karena dalam sperma tidak ada HIV.

Ada juga cara dengan pemantuan virus di dalam darah suami. Jika suami meminum obat antiretroviral (ARV), maka pertumbuhan virus kecil sehngga pada saat tertentu HIV tidak terdeteksi di dalam darah. Nah, pada saat itulah dilakukan hubungan seksual tanpa kondom agar terjadi kehamilan.

Persoalannya adalah ketika kelak menikah pacar Anda belum tentu sudah minum obat ARV karena ada ketentuan medis

Maka, pilihan Anda adalah melalui proses bayi tabung.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap



Tes HIV Gratis Pemprov DKI Jakarta, Penanggulangan HIV/AIDS di Hilir





Tanggapan Berita (20/10-2013) – Kasus demi kasus HIV/AIDS terus terdeteksi di semua daerah di Indonesia. Di Jakarta dilaporkan sudah terdeteksi 23.793 HIV (belum masuk masa AIDS) dan 6.299 AIDS (pengidap HIV yang sudah masuk masa AIDS yaitu yang sudah tertular HIV antara 5-15 tahun dan sebagian besar diserta gejala-gejala khas, seperti jamur di mulut, ruam, diare, TBC, dll.).

Angka yang dilaporkan adalah kasus yang sudah terdeteksi, padahal banyak penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini mengacu ke fenomena gunung es pada epidemi HIV/AIDS yaitu kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, dan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.

Untuk menjangkau penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, maka Pemprov DKI Jakarta akan melakukan tes HIV gratis untuk 10.000 orang (Pemprov DKI Jakarta Gelar Tes HIV Gratis, liputan6.com, 18/10-2013).

Tes HIV adalah langkah penanggulangan di hilir. Artinya, tes HIV akan mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV (di hulu), al. laki-laki yang tertular HIV melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung yang terlihat (di lokasi pelacuran, di jalanan, dll.) dan PSK tidak langsung yang tidak terlihat (di tempat-tempat hiburan, pati pijat plus-plus, cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, dll.).

Maka, tes HIV untuk mendeteksi penduduk yang sudan tertular HIV merupakan pembiaran yaitu membiarkan penduduk tertular HIV karena tidak ada program penanggulangan yang konkret di hulu (Lihat Gambar).

Biar pun tes HIV gratis akan mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV, tapi fenomena gunung es akan terulang kembali karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Soalnya, banyak orang, terutama laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung, yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS.

Celakanya, karena tidak ada gejala AIDS mereka pun menyebarkan HIV secara horizontal antar penduduk, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kalau Pemprov DKI Jakarta ingin menanggulangi HIV/AIDS, maka untuk menurunkan insiden infeksi HIVB baru perlu dilakukan program yang konkret dan sistematis serta terukur di hulu, yaitu:

(1) Melakukan intervensi terhadap laki-laki dewasa yang melacur dengan PSK langsung melalui program ’wajib kondom’. Artinya, laki-laki yang melacur diwajibkan memakai kondom.

(2) Melakukan survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil.

(3) Menjalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Itulah tiga langkah konkret di hulu yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru.

Celakanya, di Jakarta tidak ada pelacuran yang dilokalisir sehingga program intervensi tidak bisa dilakukan secara efektif.

Jika pelacuran dilokalisir melalui regulasi, germo atau mucikari ’diikat’ melalui perjanjian yaitu kalau ada PSK anak asuhnya terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, klamidia, jengger ayam, hepatitis B, dll.,) maka germo atau mucikari akan menerima sanksi hukum, mulai dari teguran, denda sampai kurungan.

Kalau PSK yang diberikan sanksi itu tidak menyelesaikan amsalah karena satu PSK yang dihukum akan ’digantikan’ oleh puluhan bahkan ratusan PSK.

Seperti yang dilakukan oleh Pemkab Merauke, Papua. Di sana sudah belasan PSK yang masuk penjara, tapi Pemkab Merauke tidak menyadari sudah puluhan bahkan ratusan penduduknya yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari seorang PSK yang dipenjarakan karena terderteksi mengidap IMS.

Selama penanggulangan HIV/AIDS hanya dilakukan di hilir, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

14 Oktober 2013

Mau Akhiri Hidup karana Takut (Sudah) Tertular HIV



Tanya-Jawab AIDS No 3/Oktober 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya melakukan kegiatan berisiko tertular HIV pada bulan Agustus lalu. Saya memakai kondom. Saya melakukannya lewat depan dan belakang. Selain itu saya juga dioral oleh cweknya. Kondom saya lepas karena banyak darah di dinding luar kondom. Tapi darah tidak sampai terkena kulit saya. Tangan dan penis saya cuci dengan sabun. Dua minggu kemudian saya demam, flu dan sakit kepala. Itu terjadi selama lima hari. Tujuh minggu kemudian saya tes di laboratorium swasta. Hasilnya negatif. Tapi saya tidak percaya karena saya pernah baca artikel bahwa virus tidak bisa terdeteksi pada masa jendela. Sampai hari ini saya mengalami stres dan depresi berat. Sampai-sampai saya ingin mengakhiri hidup.

(1) Apakah pada priode jendela HIV tidak bisa terdeteksi di dalam darah melalui tes darah?

(2) Apakah ada tes lain yang bisa mendeteksi HIV pada pirode jendela?

(3) Apakah stres dan depresi berat bisa membut kondisi fisik turun terus menjadi deman seperti tanda-tanda HIV?

(4) Apa yang harus saya lakukan menunggu lewat masa jendela?

Kalau hanya menunggu saya takut stres dan depresi akan bertambah berat.

(5) Apakah saya hanya bisa berdiam diri saja?

Saya benar-benar menyesal.

Via SMS (15/10-2013) di Kota Y

Jawab: Sabar. Infeksi HIV bukan akhir dari segala-galanya. Banyak orang yang terular HIV tetap bisa melakukan kegiatan keseharian. Apalagi sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) untuk menekan laju pertambahan virus di dalam darah.

(1) Dalam tes HIV dengan reagen ELISA yang dicari adalah antibody HIV. Secara teoritis antibody HIV yang diproduksi tubuh ketika HIV masuk ke dalam tubuh itu baru bisa terdeteksi paling cepat tiga bulan setelah tertular HIV. Ketika Anda tes itu artinya belum tiga bulan, maka hasilnya bias negatif palsu (virus ada dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV di dalam darah yang dites) atau positif palsu (virus tidak ada tapi reagen reaktif yang mungkin karena ada virus lain dalam darah).

(2) Standar prosedur tes HIV yang baku mewajibkan setiap tes HIV dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, tes HIV dengan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) maka contoh darah yang sama dites lagi dengan tes lain, seperti Western blot. Belakangan WHO merekomendasikan tes konfirmasi dengan reagen ELISA tiga kali tapi dengan reaten dan teknik yang berbeda. Tes yang bisa mendeteksi virus pada masa jendela adalah PCR (polymerase chain reaction), tapi ini jarang dipakai karena mahal.

(3) Soal dampak stres dan depresi silakan konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Terkait dengan tanda atau gejala HIV tidak ada yang khas. Artinya, demam yang Anda derita tidak otomatis terkait dengan infeksi HIV.

(4) dan (5) Anda bisa konsultasi dengan konselor. Saya akan kabari Anda secepatnya.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap