05 Oktober 2013

Cewek Mau Nikah, Tapi Khawatir Sudah Tertular HIV dari Mantan Pacar


Tanya Jawab AIDS No  2/Oktober 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya:  Saya seorang perempuan. Satu setengah tahun yl. saya melakukan hubungan seksual dengan pacar saya tanpa kondom. Saya tidak yakin dia ‘bersih’ sehingga saya khawatir saya bisa tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tsb.  (1) Tapi, saya takut tes HIV karena kalau hasilnya positif saya seperti menanggung dosa dunia akhirat. Jadi aib. Menyusahkan. Huf. Saya takut sekali. Pikiran saya belum tenang. Apalagi saya akan menikah. (2) Kalau hasil tes saya positif jangan jauhi saya, ya, Bang (maksudnya saya, Syaiful W. Harahap, pengasuh rubrik ini). (3) Apakah ada suntikan semacam vaksin untuk mencegah agar tidak tertular HIV?

Via SMS (24/9-2013) Nn “XYZ”

Jawab: (1) Kekhawatiran Anda benar karena orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV tidak bisa dikenali dari perilakunya sehari-hari. Begitu juga dengan orang-orang yang sudah tertular  HIV tidak bisa dikenali dari fisik mereka karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

(2) Untuk menghilangkan kekhawatiran jalan satu-satunya adalah dengan melakukan tes HIV. Hasil tes HIV, negatif atau positif, ada baik buruknya. Baiknya adalah jika hasil tes positif bisa dilakukan langkah-langkah secara medis agar kelak suami Anda tidak tertular HIV. Sisi buruknya adalah kalau hasil tes HIV positif bisa jadi pacar Anda berpikir ulang untuk menikahi Anda.

(3) Sampai sekarang tidak ada vaksin untuk menangkal HIV, sedangkan obat yang sudah ada yaitu obat antiretroviral (ARV) bukan menyembuhkan HIV/AIDS tapi menghambat laju perkembangan HIV di dalam darah. Lagi pula, kalau ada vaksin HIV bisa jadi banyak orang yang tidak takut lagi tertular HIV sehingga melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.

Jangan takut, Abang banyak menerima pertanyaan dan ada juga yang hasil tes mereka positif dan terus berkomunikasi dengan Abang.

Catatan. Kabar terakhir yang diterima dari Nn ”XYZ” adalah hasil tes di Klinik VCT di rumah sakit umum di daerahnya dengan metode ELISA tiga kali hasilnya nonreaktif (negatif). Nn ”XYZ” juga tes HIV di laboratorium swasata hasilnya juga nonreaktif. Kabar gembira lain adalah yang mengantar Nn ”XYZ” tes HIV adalah pacarnya. Kabar gembiara lain setelah dianjurkan si pacar pun bersedia tes HIV sebelum mereka menikah.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Takut Kena AIDS Setelah ML Pertama Tanpa Kondom


Tanya Jawab AIDS No  1/Oktober 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Bulan Maret lalu saya ML (hubungan seksual) tanpa kondom. Itu yang pertama kali saya lakukan. Saya sungguh sangat menyesal. Sampai sekarang saya dibayang-bayangai ketakutan tertular HIV ketika ML tsb. Selama satu bulan ini BAB saya kadang-kadang encer, kadang-kadang padat. BAB kadang-kadang empat kali kadang-kadang lima kali. Malam saya tidur berkeringat. Ada benjolan kecil di bawah rahang kanan saya. (1) Apakah itu ciri-ciri tertular HIV? (2) Saya takut melakukan tes HIV karena karena takut mendengar hasilnya. Apa yang harus saya katakan kalau kelak hasil tes positif? Terus terang itu pertama kali saya ML seumur hidup saya. (3) Apakah dengan sekali ML probabilitas tertular HIV besar? (4) Kalau tidak ada ciri-ciri khas HIV/AIDS maka semua artikel, berita dan tulisan di media massa bohong, dong.

Via SMS (4/10-2013) Mr ”X” di Banten


Jawab: (1) dan (4) Secara khusus memang tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri terkait keluhan kesehatan dan kondisi fisik pada orang-orang yang tertular HIV. Tapi, kalau ada keluhan penyakit yang tidak sembuh atau sulit sembuh, maka gejala itu bisa terkait dengan infeksi HIV jika ybs. pernah atau sering melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), cewek pemijat di panti pijat plus-plus, cewek kafe, cewek pub, anak sekolah, dll.

(2) dan (3) Probabilitas atau kemungkinan terular melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan  HIV. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui dengan pasti pada hubungan seksual yang keberapa akan terjadi penularan HIV. Bisa yang pertama, kedua, kelima, ketiga puluh, kedepalan puluh lima atau yang ke-100. Maka, setiap hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), cewek pemijat di panti pijat plus-plus, cewek kafe, cewek pub, anak sekolah, dll. ada risiko tertular HIV.

Maka, untuk menghilangkan kekhawatiran Anda sebaiknya tes HIV karena hanya melalui tes HIV bisa diketahui dengan pasti apakah seseorang sudah tertular HIV atau belum.

Tentu saja tidak ada gunanya kalau Anda hanya mengatakan menyesal kalau Anda tidak tes HIV. Tapi, hasil tes HIV bisa akurat minimal tiga bulan setelah perilaku berisiko.

Silakan ke Klinik VCT di RSUD Serang, RSUD Tangerang atau di RS Qdar.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

01 Oktober 2013

Tanggapan terhadap "Kritik Islam terhadap Strategi Penanggulangan HIV/AIDS"


Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati berita HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

Jakarta (22 Juli 2009) - Sebuah tulisan berjudul “Kritik Isalam terhadap Strategi Penanggulangan HIV-ADS Berbasis Paradigma Sekuler-Liberal dan Solusi Islam dalam Menangani Kompleksitas Problematika HIV-AIDS”, Faizatul Rosyidah, Pusat Studi Intelektual Muslimah (PSIM) Unair Surabaya, (http://www.scribd.com/doc/17476485/Kritik-Islam-Terhadap-Strategi-Penanggulangan-HivAids-Berbasis-Paradigma-Sekulerliberal-Dan-Solusi-Islam-Dalam-Menangani-Kompleksitas- Problematika-H) menunjukkan pemahaman penulisnya, Faizatul Rosyidah, terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis yang sangat rendah. Tulisan ini pun mengumbar mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS dan moral.  

Sebagai seorang intelektual Faizatul Rosyidah menyebutkan: Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.” Kutipan ini dikutip Faizatul Rosyidah  dari ‘Surat Pembaca’ di Harian “Radar Jember” (11/12-2006) yang saya kirim sebagai tanggapan terhadap sebuah berita HIV/AIDS di koran tersebut.

Faizatul Rosyidah menyimpulkan bahwa HIV/AIDS “ …. berasal dari kalangan berperilaku seks bebas dan menyimpang” berdasarkan penemuan kasus awal yang terdeteksi di kalangan gay.  Padahal, pada rentang waktu yang sama juga terdeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan pekerja seks di bagian lain di Amerika Serikat. Bahkan, setelah WHO menetapkan HIV sebagai penyebab AIDS dan mengakui tes HIV di Norwegia ditemukan contoh darah dari tahun 1959 yang terkontaminasi HIV.

Dalam tulisannya Faizatul Rosyidah sama sekali tidak memberikan defenisi tentang ‘seks bebas’. ‘Seks bebas’ disebutkan 27 kali dalam tulisan tersebut. Istilah ini merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris.

Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV. Sebagai virus, HIV menular melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan tanpa kondom dengan cara zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, dan homoseksual. Ini fakta medis.

Perilaku ’seks bebas dan menyimpang’ adalah tataran normatif yang dilihat dari sudut pandang norma, moral, dan agama. Secara perspektif dalam hubungan seks sebagai kegiatan biologis tidak ada penyimpangan (hubungan) seks. Sebagai virus, HIV menular melalui hubungan seks bukan karena sifat hubungan seks (melacur, zina, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, seks oral dan seks anal, serta homoseksual) tapi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).

Secara global kasus HIV paling banyak terdeteksi dengan faktor risiko (penularan) melalui hubungan seks, tapi tidak semuanya melalui hubungan seks di luar nikah atau zina yang dalam bahasa Faizatul Rosyidah disebutkan sebagai ’seks bebas dan menyimpang’.  Jika ’seks bebas’ dalam pemahaman Faizatul Rosyidah juga termasuk melacur maka ada fakta yang digelapkan. HIV di kalangan pelacur (baca: pekerja seks) justru ditularkan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang heteroseksual atau biseksual yang menjadi suami, duda, atau perjaka. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar manusia.

Disebutkan pula ”Seks bebas sebagai sumber penularan pertama dan utama HV/AIDS, juga terbukti di Indonesia. Kasus AIDS pertama ditemukan di Denpasar, Bali yang merupakan surga bagi penikmat seks bebas.”  Ini tidak akurat karena wisatawan Belanda yang meninggal di Bali (1987) karena penyakit terkait AIDS justru tidak tertular di Bali karena kematian pada orang-orang yang tertular HIV secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun setelah tertular. Wisatawan tadi sudah tertular antara tahun 1972 dan tahun 1982 jauh sebelum dia piknik ke Bali.

Selanjut disebutkan pula ”Selanjutnya, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan epidemi HIV/AIDS terkonsentrasi pada kelompok perilaku seks bebas. Hingga sekarang kondisi ini terus berlangsung.” Kalalu yang dimaksud Faizatul Rosyidah ’kelompok perilaku seks bebas’ adalah pekerja seks maka konsentrasi di kalangan ini besar karena survailans tes HIV (tes HIV pada kalangan tertentu dan pada waktu tertentu untuk mendapatkan angka prevalensi yaitu perbandingan antara yang HIV-negatif dan HIV-positif) hanya dilakukan terhadap pekerja seks.

Sedangkan laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks luput dari target survailans tes HIV. Belakangan setelah ada donor yang mendanai klinik-klinik tes dengan konseling (dikenal sebagai Klinik VCT) mulai terdeteksi kasus-kasus HIV di berbagai kalangan di semua lapisan masyarakat. Celakanya, banyak yang terdeteksi setelah masa AIDS sehingga pada rentang waktu sejak tertular sampai terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya atau pasangan seksnya yang lain (horizontal). Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayinya kelak (vertikal).

Ada lagi pernyataan ”Demikianlah, seks bebas jelas telah menjadi sumber pertama dan utama penularan HIV/AIDS. Hal ini penting diperhatikan, karena akhir-akhir ini banyak diopinikan bahwa penularan HIV/AIDS yang tertinggi adalah akibat penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna jarum suntik atau IDU (intravena drug user). Opini ini jelas telah mengabaikan bahaya penularan akibat perilaku seks bebas, termasuk perilaku seks bebas pada IDU akibat loss kontrol.” Hubungan seks, sekali lagi hubungan seks bukan ’seks bebas’ karena tidak semua hubungan seks terkait penularan HIV dilakukan sebagai zina, tetap merupakan faktor risiko utama dalam penularan HIV.

Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan pengguna narkoba, juga selalu disebutkan pada usia produktif atau remaja, terjadi karena pengguna narkoba suntik yang akan menjalani rehabilitasi diwajibkan tes HIV. Sebaliknya, tidak ada mekanisme yang bisa ’memaksa’ orang-orang yang tertular melalui hubungan seks untuk menjalani tes HIV. Inilah kelak yang akan menjadi bencana karena kasus HIV di luar kalangan ’pelaku seks bebas dan menyimpang’ (meminjam istilah Faizatul Rosyidah) akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Di beberapa negara sudah diterapkan skrining untuk ’menjaring’ kasus HIV di masyarakat melalui skrining rutin, sentinel dan khusus. Di Malaysia, misalnya, ada skrining rutin terhadap pasien IMS, pengguna narkoba, wanita hamil, pokisi, narapidana, darah donor, dan pasien TB. Maka tidak mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia mendekat angka ril di masyarakat. Dengan penduduk 25 juga sudah dilaporkan lebih dari 40.000 kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta baru melaporkan kasus 23.632 kasus HIV/AIDS.

Kondisi epidemi HIV/AIDS di Indonesia kian runyam karena materi KIE (komunikasi, informasi, edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama. Akibatnya, masyarakat tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Inilah awal bencana karena banyak orang kemudian yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala tau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS.

Disebutkan pula ”Kondomisasi (100% kondom) sebagai salah satu butir dari strategi nasional tersebut yang telah ditetapkan sejak tahun 1994 hingga sekarang.” Ini menyesatkan karena dalam berbagai program penanggulangan HIV di Indonesia tidak ada program ’kondomisasi’. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom (upaya pembelajaran kepada masyarakat) sebagai alat untuk mencegah penularan IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) serta HIV.

Terkait dengan ’100% kondom’ ini mengacu ke program di Thailand yang dikabarkan berhasil menekan laju insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa yaitu kewajiban memakai kondom pada hubungan seks berisiko tertular HIV. Hubungan seks berisiko adalah hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan. Program ’100 persen kondom’ di Thailand dilakukan di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.

Namun, program ’wajib kondom 100 persen’ Thailand hanyalah ekor dari rangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Nah, Indonesia justru mengekor ke ekor program. Inilah yang terjadi pada 30 peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Akibatnya, terjadi pemahaman yang salah dan penolakan terhadap sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks berisiko.

Ada lagi pernyataan ”Namun kenyataannya kondomisasi ini tidak terbukti mampu mencegah penyebaran HIV/AIDS. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian menghimpit masyarakat dan maraknya industri prostitusi, kondomisasi jelas akan membuat masyarakat semakin berani melakukan perzinahan apalagi dengan adanya rasa aman semu yang ditanamkan dengan menggunakan kondom.” Walaupun sosialisasi kondom gencar tapi banyak orang, di semua negara, yang enggan memakai kondom pada hubungan seks berisiko dengan berbagai macam alasan. Selain itu kualitas kondom, cara pemakaian dan konsistensi pemakaian juga menjadi faktor yang mempengaruhi penyebaran HIV melalui hubungan seks yang berisiko.

Perihal kondom pun di Indonesia terjadi penyesatan karena ada informasi yang tidak akurat. Dalam tulisan Faizatul Rosyidah juga ada pernyataan: ” …. ternyata kondom sendiri terbukti tidak mampu mencegah transmisi HIV. Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex (karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti mempunyai serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap pori berukuran 70 mikron, 26 yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang hanya berdiameter 0,1 mikron.” Justru kondom yang terbuat dari lateks tidak mempunyai pori-pori. Kondom yang berpori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang yang tidak ada di Indonesia. Sebagai virus, HIV tidak bisa melepaskan diri dari cairan tempatnya hidup.

Ini juga pernyataan Faizatul Rosyidah ”Di AS, kampanye kondomisasi yang dilaksanakan sejak tahun 1982 bahkan terbukti menjadi bumerang. Hal ini dikutip oleh Hawari, D (2006) dari pernyataan H. Jaffe (1995), dari Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (US: CDC: United State Center of Diseases Control). Evaluasi yang dilakukan pada tahun 1995 amat mengejutkan, karena ternyata kematian akibat penyakit AIDS menjadi peringkat no 1 di AS, bukan lagi penyakit jantung dan kanker. Selain itu, kondom memang dirancang hanya untuk mencegah kehamilan, itupun dengan tingkat kegagalan mencapai 20%. Selain kondom untuk pria, saat ini di Indonesia juga dipopulerkan kondom perempuan.” Biar pun sosialiasi kondom gencar tapi tingkat pemakaian pada hubungan seks berisiko tetap tidak bisa dikontrol karena terpulang kepada pilihan setiap orang: pakai atau tidak pakai. Tidak pula dijelaskan apa penyebab kegagalan kondom sebagai pencegah kehamilan.

Ini pernyataan Faizatul Rosyidah ”Sehingga, tidak heran setelah program kondomisasi dijalankan kasus HIV/AIDS justru semakin meningkat pesat. Dengan demikian, kondomisasi sama saja dengan penghancuran terselubung umat manusia.” Peningkatan angka kasus HIV/AIDS yang terdeteksi terjadi karena kasus HIV/AIDS direkapitulasi secara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus baru begitu seterusnya sehingga kasus HIV/AIDS akan terus bertambah atau meningkat.

Faizatul Rosyidah ‘menawarkan’ strategi jitu Islam menghadapi HIV/AIDS melalui preventif dan kuratif. Solusi Islam sebagai preventif disebutkan al. menghindarikan pacaran, perzinaan, seks menyimpang dan khamar. Kalau ditilik dari aspek medis maka hal ini tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Lagi pula semua agama melarang hal-hal tersebut baik secara eksplisit maupun implisit.

Sedangkan solusi kuratif secara Islam yang ditawarkan Faizatul Rosyidah terhadap orang-orang yang terkena virus HIV/AIDS, adalah:

1. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudah menikah dihukum rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan selanjutnya dikarantina.

2. Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.

3. Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba maka dicambuk selanjutnya dikarantina.

4. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak langsung) misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan sebagainya, maka orang tersebut dikarantina.

5. Penderita HIV/AIDS yang tidak karena melakukan maksiat dengan sangsi hukuman mati, maka tugas negara adalah mengkarantina mereka.

Faizatul Rosyidah menyebutkan bahwa ”Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka peluang untuk terjadinya penularan harus dilakukan, terutama kepada pasien terinfeksi fase AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat” (HR Bukhori). “Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya danapabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu, janganlah kamu keluar melarikan diri” (HR. Ahmad, Bukhori,Muslim dan Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf).

Lagi-lagi pemahaman Faizatul Rosyidah terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah. Ini merupakan gambaran karena selama ini HIV/AIDS selalu dilihat dari aspek norma, moral, dan agama sehingga menggelapkan mata (hati) terhadap fakta medis tentang HIV/AIDS.

Pertama, HIV bukan wabah karena tidak menular secara massal melalui udara, air dan pergaulan sosial. Penularan HIV hanya melalui cara-cara yang sangat spesifik. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagian (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tattoo, jarum tindik, jarum akupunktur, alat-alat kesehatan dan cangkok organ tubuh. Sedangkan penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi kalau air mani atau cairan vagina masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) pada hubungan seks, seks penetrasi, oral atau anal, di dalam atau di luar nikah yang tidak memakai kondom. Penularan HIV melalui ASI terjadi jika ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.

Kedua, perihal karantina yang disebutkan Faizatul Rosyidah ”Mengkarantina agar penyakit tersebut tidak menyebar luas ….”. Biar pun orang-orang yang sudah terdeteksi HIV-positif dikarantina perlu diingat bahwa di masyarakat jauh lebih banyak orang (laki-laki dan perempuan) yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Orang-orang inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Sejauh ini orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV yang baku (dengan konseling sebelum dan sesudah tes, informed consent, anonimitas dan konfidensial) selalu menyatakan tidak akan menularkan HIV kepada orang lain.

Ada pula pernyataan ”Karena HIV-AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan hingga saat ini …” Bukan hanya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Ada beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan seperti darah tinggi, diabetes, thalasemia, dll. Ada pula penyakit yang tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Sampai sekarang belum ada obat yang bisa membunuh virus di dalam tubuh manusia. Selain itu penemuan obat dan vaksin beberapa penyakit memerlukan waktu puluhan sampai ratusan tahun. Sedangkan HIV baru disahkan oleh WHO tahun 1986.

Kritik yang disebut Faizatul Rosyidah dalam tulisannya sebagai ‘kritik Islam’ terhadadap penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia lebih tepat disebut sebagai ‘kritik Faizatul Rosyidah’ sebagai pribadi. Mengatasnamakan Islam tapi tidak proporsional dan menyesatkan tentulah merugikan Islam sebagai agama.***

Mata Rantai Penyebaran HIV di Sumatera Utara


Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati masalah HIV/AIDS dan penulis buku (1) Pers Meliput AIDS dan (2) Kapan Anda Tes HIV?]

Jakarta (28 Oktober 2002) - Sampai 30 September 2002 kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara tercatat 49 yang terdiri atas 28 HIV dan 21 AIDS. Secara nasional tercatat 3.374 kasus HIV/AIDS dan 40 juta kasus global. Untuk mengingatkan penduduk dunia tentang dampak epidemi HIV maka setiap 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tema tahun ini adalah Tetap Hidup dengan Tegar: Stigma dan Diskriminasi.

Berita Harian “Waspada” Medan edisi 28 Oktober 2002 berjudul “Fenomena Di Sumut Seks Dianggap Hiburan, Penyakit Kelamin Tinggi” merupakan salah satu indikasi yang menunjukkan angka kasus HIV/AIDS di Sumut tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Kalau PMS (penyakit-penyakit menular seksual), seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), hepatitis B, kandida, dll. sudah menggejala di Sumut maka kasus HIV/AIDS pun tidak bisa lagi dianggap enteng.

Soalnya, bagi orang-orang yang terinfeksi PMS maka risiko tertular HIV semakin besar karena ada luka-luka yang disebabkan infeksi (luka-luka ini ukuran mikroskopis artinya hanya bisa dilihat dengan mikroskop) di sekitar alat kelamin. Jika seseorang terinfeksi PMS maka yang bersangkutan sudah melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom) sehingga risiko tertular HIV pun sama besarnya dengan risiko tertular PMS.

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sejenis retrovirus yang dapat menggandakan diri pada sel darah manusia yang ditumpanginya, sel-sel darah putih, yang dapat menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu cacat kekebalan tubuh dapatan yang ditandai dengan penyakit-penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, jamur, sariawan, TB, dll.

Seseorang berada pada risiko tinggi tertular dan menularkan HIV jika (1) melakukan hubungan seks (sanggama)  penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan),  biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki),  seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki dengan laki-laki) yang tidak aman; (2) melakukan hubungan seks penetrasi baik heteroseks,  biseks, seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, di  dalam atau di luar pernikahan yang sah; (3) menerima transfusi darah; dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Penularan Horizontal

Lagi pula epidemi HIV/AIDS sangat erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya, kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya. Tetapi, kalau ditemukan satu kasus tidak pula otomatis ada sekian kasus lain. Fenomena ini bisa menjadi patokan kalau di satu daerah prevalensi HIV besar (perbandingan antara yang HIV-positif dengan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu di masyarakat pada suatu kurun waktu).

Jumlah kasus yang sedikit itu terjadi karena beberapa faktor, antara lain (a) dokter dan rumah sakit tidak melaporkan kasus HIV/AIDS yang mereka deteksi, (b) survailans (tes HIV terhadap kalangan tertentu di masyarakat pada kurun waktu tertentu) tidak dijalankan dengan kontiniu, (c) ada penduduk lokal yang menjalani tes di daerah lain, terutama di Jakarta, karena kerahasiaan terjamin dan ada pula LSM yang mendukung.

Jadi, jumlah kasus yang sedikit bukan kebanggaan tetapi bisa menjadi bumerang dan bom waktu karena penduduk akan lengah dan tidak menghindari perilaku berisiko. Persoalan kian pelik kalau kasus HIV/AIDS yang tercatat di Sumut terdeteksi di kalangan pekerja seks karena laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks itu berisiko tertular HIV. Kalau ada pelanggan yang tertular maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk lokal.

Mereka akan menularkan HIV kepada istrinya bagi yang sudah beristri. Jika istrinya tertular maka akan terjadi pula penularan vertikal dari ibu ke anak yang dikandungnya (mother-to-child-transmission/MTCT) terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Bagi yang belum beristri mereka akan menularkannya kepada pasangannya atau kepada pekerja seks.

Memang, probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui hubungan seks yang tidak aman 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seks kemungkinan tertular satu kali. Tetapi, tidak bisa diketahui kapan terjadi penularan. Apakah pada hubungan seks pertama, kedua, kelima, kelima puluh atau keseratus? Jadi, karena tidak bisa diketahui kapan HIV (akan) menular maka tidak ada pilihan lain selain menghindari perilaku berisiko.

Jumlah kasus HIV/AIDS di Sumut kian tidak mendekati kenyataan kalau di daerah ini dideteksi pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) melalui jarum suntik ke urat nadi (injecting drug use/IDU). Risiko penularan di kalangan IDU sangat tinggi (89,5%) karena darah yang mengadung HIVdi dalam jarum suntik dan semprit langsung disuntikkan ke urat nadi.

Tidak Disadari

Ada semacam ‘budaya’ di kalangan IDU untuk memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran sebagai tanda setia kawan. Kalau di antara mereka ada yang HIV-positif maka semua yang memakai jarum suntik dan semprit bersiko besar tertular HIV.

Belakangan diketahui banyak pula IDU yang tertular virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV). Bahkan, ada yang sekaligus terinfeksi HIV dan HCV. IDU ini pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk lokal. Bagi yang beristri akan menularkannya kapada istrinya, sedangkan yang belum beristri akan menularkannya kapada pasangannya atau kepada pekerja seks.

Jadi, melihat kenyataan perilaku di Sumut seperti yang diberitakan “Waspada” maka jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan itu tidak bisa dijadikan patokan. Persoalan kian pelik karena banyak orang yang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV tidak menyadari kalau dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas dan kesehatan pun tidak terganggu.

Kehidupan seseorang yang HIV-positif mulai terganggu setelah mencapai masa AIDS karena sudah mulai muncul berbagai penyakit berupa infeksi oportunistik. Penyakit inilah yang dapat menyebabkan kematian karena tidak ada lagi benteng yang menjadi pertahanan diri. Pada kondisi ini sel-sel darah putih yang menjadi benteng yang melawan penyakit tidak kuat lagi karena sudah dirusak oleh HIV.

Tetapi, biar pun belum mencapai masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah terinfeksi) dan belum ada gejala-gejala yang terkait dengan AIDS seseorang HIV-positif sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain melalui perilaku berisiko.

Kondisi inilah yang bisa menjadi ‘bom waktu’ epidemi HIV. Tanpa disadari seseorang menjadi mata rantai penyebaran HIV. Untuk itulah diperlukan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang objektif, akurat dan jujur tentang HIV/AIDS. Selama ini informasi HIV/AIDS dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah), misalnya, penularan HIV dikait-kaitkan dengan zina, pelacur, selingkuh, jajan, dll.

Padahal, secara medis HIV hanya menular (1) melalui hubungan seks penetrasi  yang tidak terlindungi (tidak memakai kondom) baik heteroseks, biseks, seks oral dan seks anal di dalam dan di luar nikah serta homoseks dengan seseorang yang HIV-positif; (2) melalui transfusi darah yang tercemar HIV; (3) melalui jarum suntik, semprit, jarum tindik, jarum tattoo, dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV; dan (4) dari seorang ibu yang HIV-positif kepada anak yang dikandungnya.

Mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk di Sumut dapat diputus dengan anjuran agar laki-laki yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV menjalani tes HIV. Dengan mengetahui status HIV, seseorang dapat menempuh langkah yang tepat untuk mencegah agar dia tidak menularkan HIV kepada orang lain.

Selain itu seseorang yang diketahui status HIV-nya lebih dini maka akan dapat dilakukan tindakan-tindakan medis dan nonmedis agar yang bersangkutan tetap bisa hidup seperti biasa dan produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah untuk menunda masa AIDS.***

Stigmatisasi terhadap Remaja


Oleh Syaiful W. Harahap
LSM ”InfoKespro” Jakarta

Tentang tawuran siswa SMK di Padang, Sumatera Barat  pada acara “Reportase” yang disiarkan “TransTV” tanggal 23 Desember 2004 pagi. Dalam berita itu penyiar menyebutkan “ …dalam tas siswa ditemukan KONDOM ….”. Pernyataan ini bersifat konotatif dan dapat memberikan gambaran buruk terhadap remaja.

Kalau saja wartawan “TransTV” yang meliput kejadian itu memahami epidemi PMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks tanpa memakai kondom, seperti hepatitis B, sifilis, GO, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS sudah sudah masuk ke populasi (masyarakat) tentulah fakta tentang kondom akan bermakna positif sehingga tidak perlu menyebut-nyebut (penemuan) kondom dalam berita itu. Begitu pula dengan polisi tidak perlu mempersoalkan kondom yang ditemukan di tas atau saku pelajar. Soalnya, dari aspek kedokteran kondom merupakan alat yang dapat mencegah penularan PMS dan HIV melalui hubungan seks.

Jadi, pelajar itu sudah memahami kegunaan kondom. Ini yang dibutuhkan saat ini karena epidemi HIV sudah menjadi persoalan kesehatan masyarakat. Sampai tanggal 30 September 2004 dari 5.701 kasus HIV/AIDS secara nasional, yang dilaporkan Ditjen PPM&PL Depkes RI, 1.325 (23,24%) terdeteksi di kalangan remaja pada rentang umur 15-29 tahun. Angka ini sangat memprihatinkan.

Jadi, saat ini urusan moral dalam konteks epidemi HIV/AIDS sangat tidak layak dibicarakan lagi karena tidak ada kaitan langsung antara moral dengan penularan HIV/AIDS. Dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, biar pun zina, pelacuran, selingkuh, di luar nikah, dll. kalau kedua pasangan itu HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV atau kalau pasangan itu memakai kondom maka risiko penularan HIV dapat ditekan sampai nol persen.

Yang disayangkan adalah untuk apa masalah kondom disebut-sebut dalam berita itu? Apakah ada kaitan langsung antara kondom dengan tawuran? Apakah ada UU yang melarang seseorang membawa kondom? Apakah ada UU yang menyebutkan kondom sebagai barang terlarang?

Lagi pula kita (baca: orang dewasa) selalu menaruh curiga terhadap remaja yang membawa-bawa kondom terkait dengan seks. Ini hanya asumsi. Hal ini juga merupakan stigmatisasi terhadap remaja. Lalu, apakah orang dewasa yang membawa kondom tidak terkait dengan seks (di dalam atau di luar nikah)? ***

Melacak PSK Melanggar HAM


Oleh  Syaiful W. Harahap
LSM “InfoKespro” Jakarta

Berita “PSK Di Besitang Terjangkit HIV Positif” di “Waspada” edisi 15 Juni 2006 menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak komprehensif.

Judul berita tidak akurat karena HIV menular sehingga yang benar adalah tertular HIV sehingga orang yang tertular disebut HIV-postif. Untuk mengetahui seseorang sudah tertular HIV atau belum hanya dapat dilakukan dengan tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku yaitu (a) ada konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes, (b) menganut asas anonimitas (contoh darah tidak diberikan tanda atau kode yang dapat menunjukkan pemilik darah), (c) asas konfidensialitas yaitu hasil tes dirahasiakan hanya diketahui oleh dokter, konselor (yang memberikan bimbingan) dan yang bersangkutan.

Tes yang dilakukan Dinas Kesehatan Langkat terhadap PSK di Besitang sifatnya survailans yaitu untuk mengetahui prevalensi HIV di kelangan PSK (angka perbandingan antara yang positif dan negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu). Setiap saat prevalensi ini berubah.

Hasil tes pada survailans tidak menunjukkan kepastian karena hasil tes itu belum dikonfirmasi dengan tes lain. Dalam tes HIV semua hasil tes, misalnya dengan ELISA atau rapid test harus dikonfirmasi dengan tes lain, seperti Western blot.

Namun, hasil tes pada PSK di Besitang sudah bisa memberikan gambaran nyata tentang epidemi HIV di sana. Yang perlu dikhawatirkan adalah penduduk setempat atau pendatang yang sering ke lokasi itu karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang bisa saja sebagai suami, duda atau lajang. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Dalam berita disebutkan “ …. pihaknya sudah menyelusuri mereka yang mengidap HIV, tetap tidak berada ditempat.” Hal ini melanggar standar prosedur operasi tes HIV dan merupakan perbuatan yang melawan hukum serta pelanggaran berat terhadap HAM.

Lagi pula untuk apa mencari-cari PSK yang tertular HIV? Yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK di Besitang. Mereka adalah laki-laki yang menularkan HIV kepada lima PSK dan kemudian laki-laki datang melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan PSK di sana. Mereka inilah yang menjadi penyebar HIV.

Risiko tertular HIV tidak hanya bisa terajdi di kawasan Besitang itu tapi  semua penduduk (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom di mana saja di muka bumi ini karena mereka sudah berada pada risiko tinggi tertular HIV. ***

Tanggapan terhadap “PERDA SYARI’AH UNTUK PENANGGULAN HIV/AIDS”


Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta]

Jakarta, 26 Agustus 2009 - Ketika negara-negara lain banting tulang menanggulangi HIV/AIDS di awal-awal epidemi pada awal tahun 1980-an Indonesia justru ‘bersilat lidah’ dengan membusungkan dada mengatakan bahwa HIV/AIDS tidak akan masuk ke Indonesia karena masyarakatnya berbudaya, religius dan ber-Pancasila. Begitu pula ketika dalam pidato pembukaan Kongres  Internasional AIDS Asia Pasifik VI, Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif  UNAIDS, secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU di Indonesia (AIDS di Indonesia Jadi Sorotan, Syaiful W. Harahap, Harian “SUARA PEMBARUAN”, 6 Oktober 2001) Tapi, tetap saja tidak ada reaksi. Ibarat ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’.

Tapi, apa yang terjadi satu dekade kemudian? Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara di Asia yang pertambahan kasus HIV/AIDS-nya paling tinggi setelah India dan Cina. Kalau saja Indonesia mau belajar dari sejarah tentulah epidemi HIV/AIDS di Indonesia bisa ditanggulangi. Soalnya, Thailand pun ketika diingatkan oleh ahli-ahli epidemiologi Barat tentang epidemi HIV/AIDS di negeri itu awal tahun 1990-an penguasa di Neger Gajah Putih itu juga menamping. Mereka mengatakan masyarakatnya berbudaya dan bergama. Apa yang terjadi satu dekade kemudian? Kasus HIV/AIDS di sana mendekati angka satu juta. Devisa yang diperoleh neger itu dari sektor pariwisata yang menjadi andalahnya hanya cukup untuk dua pertiga untuk dana penanggungalan HIV/AIDS.

Belakangan pakar-pakar epidemiologi di negeri itu putar otak. Mereka menjalankan serangkaian program yang komprehensif untuk menanggulangi HIV/AIDS. Salah satu program yang dikabarkan bisa menekan insiden kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa adalah ‘pemakaian kondom 100 persen’.

Celakanya, Indonesia yang sudah berada pada posisi ‘bak kebakaran jenggot’ meniru program ‘pemakaian kondom 100 persen’ secara telanjang. Hasilnya? Penolakan besar-besaran. Mengapa hal itu terjadi?

Ternyata ‘pemakaian kondom 100 persen’ yang dijalankan Thailand merupakan ekor dari serangkaian program yang komprehensif. Maka, Indonesia pun mengekor ke ekor program.

Program penanggulangan dimulai dari pendidikan masyarakat tentang HIV/AIDS secara akurat melalui media massa secara intens. Sebaliknya di Indonesia penyebarluasan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS justru dibalut dengan noram, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Materi KIE AIDS di Indonesia hanya menonjolkan ‘aurat’ (baca: zina). Akibatnya, muncul kesan yang kuat di Indonesia bahwa penularan HIV melalui hubungan seks karena zina yaitu hubungan seks dilakukan di luar nikah, seperti melacur, seks pranikah, jajan, selingkuh, dan homoseksual.

Sebagai fakta medis HIV dalam jumlah yang dapat ditularkan terdapat dalam: (a) cairan darah (laki-laki dan perempuan), (b) air mani (laki-laki, dalam sperma tidak ada HIV), (c) cairan vagian (perempuan), (d) air susu ibu/ASI (perempuan).

Penularan HIV melalui darah (bisa) terjadi jika darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh.

Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina (bsia) terjadi kalau air mani dan cairan vagina masuk ke dalam tubuh ketika melakukan hubungan seks di dalam atua di luar nikah jika tidak memakai kondom.

Penularan HIV melalui ASI (bisa) terjadi kalau ASI yang mengandung HIV masuk ke tubuh melalui proses menyusui.

***

Dalam tulisannya Fajar Hidyanto, dosen tetap FIAI UII, Yogyakarta, menyebutkan “Selain itu hubungan gelap berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom juga terus menjadi faktor penyebab/epidemi ini bertambah.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (di luar nikah, zina, jajan, dll.) [“PERDA SYARI’AH UNTUK PENANGGULAN HIV/AIDS” di http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/248/243]

Pernyataan “hubungan gelap berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom” sebagai penyebab epidemi HIV tidak akurat karena hal ini dikenal sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Biar pun hubungan seks gelap, zina, melacur, jajan, selingkuh, homoseksual kalau kedua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV.

Di bagian lain Fajar Hidayanto menyebut “ …. namun kampanye “kondomisasi” itu sendiri akan memperburuk keadaan, karena justru mendorong langgengnya penyebab utama AIDS, yaitu kebebasan seksual”. Ini juga tidak akurat.

Pertama, tidak ada kampanye kondomisasi. Yang dilakukan pemerintah dan berbagai kalangan adalah sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks pada perilaku berisiko yaitu (1) hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (2) hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Kedua, tidak ada kaitan langsung antara penyebab utama AIDS dengan kebebasan seksual. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kalu melakukan hubungan seks.

Ada pula pernyataan “Tampaknya ada anggapan di sebagian kalangan, bahwa AIDS hanya masalah kalangan kedokteran. Padahal Keppres No.36 Tahun 1996, tentang Komisi Penanggulangan AIDS, menetapkan bahwa masalah penanggulangan AIDS sebenarnya bukan hanya tugas dunia kedokteran, ….”. HIV/AIDS adalah masalah kedokteran (fakta medis) karena HIV/AIDS dapat diuji secara medis di laboratorium kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahan dikenal di dunia medis.

Ada pernyataan ” …. persoalan penanganan AIDS inipun menjadi bertambah rumit ketika berhadapan dengan budaya masyarakat.” Ini terjadi karena penanggulangan HIV/AIDS dari aspek medis dibenturkan dengan norma, moral, dan agama. Kalau saja masing-masing berjalan pada relnya dengan tujuan yang sama yaitu menyadarkan masyarakat untuk menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV maka tidak akan ‘bertambah rumit’.

Ada pula kesan yang ngawur di Indonesia yaitu (a) seolah-olah hanya masyarakat Indonesia yang berbudaya (Timur) dan beragama, (b) hanya Islam yang melarang zina. Semua negara atau bangsa di muka bumi ini mempunyai kebudayaan dan agama. Perilaku sebagian orang di Eropa Barat dan AS bukan budaya tapi merupakan perilaku individu.  Namun, di Indonesia ada anggapan perilaku orang per orang di Barat yang mereka simak dari film dan televisi dikategorikan sebagai budaya Barat.

Kita sering berkoar-koar sebagai bangsa yang suka saling membantu (baca: gotong royong). Sampai ada presiden yang menamakan kabinetnya sebagai kabinet gotong royong. Tapi, mengapa sepak bola yang dilakukan secara gotong royong tidak bisa menembus dunia? Sedangkan di Barat yang kita sebut sebagai masyarakat individualis ternyata jawara di bidang olah raya gotong royong.

Ada lagi pernyataan “Di Irian Jaya misalnya, sejak tahun 1990 mempunyai kebiasaan free sex sebagai bagian ritual keagamaan. Dan perilaku seksnya cenderung violent.” Istilah free sex tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Inggris sehingga penyebutan ini merupakan ungkapan normatif dari aspek moral yang menggambarkan perilaku, tapi perlu diingat itu perilaku orang per orang bukan budaya suatu bangsa atau negara. Di beberapa daerah di Indonesia sejak zaman dahulu sampai sekarang dikenal ‘kumpul kebo’ yaitu hidup sebagai suami-istri di luar nikah.

Keberhasilan Thailand menurunkan insiden penularan HIV baru di kalangan dewasa melalui ‘program kondom 100 persen’ pun menjadi ‘kiblat’ penanggulangan epidemi HIV/AIDS Indonesia. Padahal, perlu diingat itu hanya ekor dari serangkaian program yang komprehensif.

‘Pengekoran’ pun diwujudkan melalui peraturan daerah (Perda) penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS. Sampai Agustus 2009 sudah 30 daerah mulai dari provinsi, kota sempai kabupaten di Nusantara yang menelurkan Perda. Dimulai di Kab. Nabire, Tanah Papua, yang menelurkan Perda No. 18 Tahun 2003.

Apakan perda-perda AIDS itu bisa menanggulangi epidemi HIV?

Tentu saja tidak. Mengapa?

Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang bisa menjadi sasaran ‘program kondom 100 persen’. Soalnya, pemantauan dilakukan terhadap pekerja seks. Jika ada yang terdeteksi mengidap infeksi menular seksual/IMS, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll. Maka itu menunjukkan ada PSK yang melakuka hubungan seks dengan laki-laki yang tidak mekakai kondom. Maka, program itu pun mustahil dijalankan di Indonesia.

Kedua, penolakan besar-besaran terhadap kondom. Banyak kalangan yang mengait-ngaitkan kondom dengan zina. Padahal, para pezina atau ‘lelaki hidung belang’ justru enggan memakai kondom.

Penolakan ini terjadi karena pemahaman masyarakat terhadap cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang tidak akurat karena selama ini informasinya dibalut dengan norma, moral, dan agama. Ini terjadi karena sosialiasi kondom dilakukan ketika masyarakat belum memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

***

Di bagian lain disebutkan “Bahwa Peraturan Daerah (Perda) bernuasa syariah bukanlah sebuah pembelengguan bagi masyarakat. Justru kehadirannya untuk memberikan koridor secara moral bagi masyarakat dalam melakukan aktivitasnya yang sarat dengan berbagai godaan dunia.”  Ini lagi-lagi mengaitkan HIV/AIDS sebagai fakta medis dengan norma, moral, dan agama. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV melalui hubungan seks dengan norma, moral, dan agama.

Di negara-negara yang menjadikan kitab suci sebagai UUD pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Di Arab Saudi, misalnya, yang menjadi Alquran sebagai UUD sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS. Begitu juga di negara-negara yang menerapkan agama secara ketat tetap saja terdeteksi kasus HIV/AIDS.

Disebukan pula ”Daerah yang sudah memiliki perda HIV/AIDS adalah provinsi Jawa Timur, Kabupaten Jayapura, DKI Jakarta, Banten, NTT dan Kaliamntan Barat sedang dalam proses.” Ini tidak akurat karena tulisan Fajar Hidayanto dirilis tahun 2006. Sampai akhir 2006 daerah-daerah yang sudah menelurkan Perda AIDS adalah: provinsi (Jawa Timur,  Bali dan Riau), kabupaten (Nabire, Merauke, Jayapura, Puncak Jaya, Manokwari, Teluk Bintuni, dan Serdang Bedagai), dan kota (Sorong, dan Jayapura). Perda AIDS NTT disahkan tahun 2007, Perda AIDS DKI Jakarta disahkan tahun 2008. Sedangkan Banten sampai Agustus 2009 belum memiliki Perda AIDS. Kalimantan Barat disahkan Februari 2009.

Sampai Agustus 2009 sudah 30 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten sampai kota yang menelurkan Perda AIDS. Apakah perda-perda itu (bisa) bekerja menanggulangi penyebaran HIV?

Tentu saja tidak. Mengapa? Karena perda-perda itu mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai cara pencegahan HIV. Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan bahwa pencegahan HIV dapat dilakukan dengan ’meningkatkan iman dan taqwa’. Pertama, apa alat yang bisa mengukur iman dan taqwa? Kedua, siapa yang berhak mengukur iman dan taqwa? Ketiga, bagaimana iman dan taqwa bisa mencegah penularan HIV? Keempat, bagaimana ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV?

Konsekuensi dari perda itu adalah orang-orang yang tertular HIV berarti tidak beriman dan tidak bertaqwa. Ini mendorong masyarakat untuk melakukan stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membeda-bedakan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Hal yang sama terjadi pada semua perda. Tidak ada satu pasal pun yang bisa membuka mata penduduk untuk menghindari perilaku-perlaku yang berisiko tinggi tetular HIV.

Karena perda-perda AIDS di Indonesia mengekor ke Thailand terkait dengan ’program pemakaian kondom 100 persen’ maka dalam perda-perda itu pun ada pasal penggunaan kondom. Tapi, ada yang luput dari perhatian. Program itu bisa berjalan di Thailand karena ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga bisa dipantau. Sedangkan di Indonesia ada gerakan penutupan lokalisasi dan pebuatan perda anti pelacuran dan anti maksiat sehingga tidak memungkinkan ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Maka, pasal yang mengatur ’penggunaan kondom 100 persen’ dalam perda itu pun ’bak menggantang asap’. Pekerjaan yang sia-sia.

Di bagian sikap agama (Islam) terhadap HIV/AIDS juga tidak jujur karena hanya HIV/AIDS yang dikaitkan dengan zina. Soalnya, penularan virus hepatitis B pun persis sama dengan penularan HIV. Maka, kalau jujur orang-orang yang terdeteksi mengidap hepatitis B pun dipandang dari agama Islam juga harus melakukan hal yang sama dengan Odha.

Ada lagi pernyataan ”Dan manakala ajal telah tiba bagi penderita AIDS yang beragama Islam hendaklah tetap dalam keimanannya, …. ” Mengapa hal ini hanya untuk penderita AIDS?

”Virus ganas ini tidak hanya menyerang pendosa, orang baik-baik pun di lalapnya.” Ini juga pernyataan dalalm tulisan Fajar Hidayanto. Ini bukan bahasa medis terkait HIV tapi bahasa moral yang bermuatan mitos. Sebagai virus HIV tidak (pernah) menyerang. Virus yang tergolong retrovirus (bisa menggandakan diri dalam sel-sel darah putih manusia) ini menular melalui cara-cara yang sangat spesifik tanpa terkait secara langsung dengan jenis kelamin, umur, suku, bangsa, ras, dan agama.

Masalah besar dalam epidemi HIV adalah justru lebih dari 90 persen penularan terjadi tanpa disadari. Ini menunjukkan lebih dari 90 persen orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Untuk itu jika ada upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui perda atau undang-undang maka pasal yang harus ada adalah: (1) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti; (2) Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan; (3) Setiap perempuan wajib memaksa pasangannya memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti atau dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti.

Selanjutnya ada pula pasal yang menyebutkan: (1) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti wajib menjalani tes HIV; (2) Setiap laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan perempuan atau laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV; (3) Setiap perempuan yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti yang tidak memakai kondom wajib menjalani tes HIV, (4) Setiap perempuan yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan laki-laki atau dengan seorang laki-laki yang sering melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom wajib menjalani tes HIV.

Hanya dengan materi HIV/AIDS yang akurat yang dapat membuka mata hati masyarakat memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis. Informasi yang akurat membantu masyarakat melindungi dirinya agat tidak tertular atau menular HIV kepada orang lain.***