Selama tiga hari berturut-turut mulai tanggal 8 sampai 10 Mei 2006 Harian “Radar
Tegal” memuat berita tentang HIV/AIDS: (1) 21 Positif HIV, 3 AIDS,
(2) Kabupaten Tegal Epidemi AIDS, dan (3) Dinkes Diminta Proaktif.
Salah satu upaya untuk menanggulangi epidemi HIV adalah penyebarluasan
informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV.
Namun, dalam tiga berita itu justru muncul informasi yang tidak akurat
sehingga bisa menyesatkan.
Pertama, tes HIV terhadap pekerja seks komersial (PSK) bersifat
survailans untuk mendapatkan prevalensi (perbandingan antara HIV-positif dan
HIV-negatif di kalangan PSK pada kurun waktu tertentu) sebagai pegangan dalam
merumuskan langkah-langkah penanggulangan. Kalau ada yang PSK yang terdeteksi
HIV-positif persoalan bukan pada PSK tapi pada penduduk yang sudah pernah
melakukan hubungan seks tanpa kndom dengan PSK karena kalau mereka tertular HIV
maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di
masyarakat. Bagi yang beristri akan menulari istrinya atau perempuan lain yang
menjadi pasangannya.
Kedua, yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki. Maka,
yang paling bersalah adalah laki-laki dan lagi-lagi yang menyebarkan HIV adalah
laki-laki.
Ketiga, disebutkan “ …. dinyatakan mengidap virus HIV dan tiga
orang lainnya positif AIDS.” Ini tidak akurat karena tidak ada yang positif AIDS tapi
sudah mencapai masa AIDS. Seseorang yang tertular HIV akan terdeteksi
HIV-positif melalui tes darah yang sudah dikonfirmasi, tapi belum menunjukkan
gejala-gejala yang khas pada fisik. Setelah 5 – 10 tahun kemudian akan sampai
pada masa AIDS yang ditandai dengan infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll.
Keempat, pernyaaan “ …. Kabupaten Tegal dikenal sebagai daerah
‘wisata malam’ …. juga tidak akurat karena sama sekali tidak ada kaitan
langsung antara ‘wisata malam’ dengan penularan HIV. Ini yang disebut mitos
(anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di
dalam atau di luar nikah pada siang atau malam hari di lokalisasi atau di luar
lokalisasi kalau salah satu satu atau dua-dua dari pasangan itu HIV-positif dan
laki-laki tidak memakai kondom.
Kelima, ada lagi pernyataan “ …. Padalah jika identitas mereka
diketahui, penangangannya akan lebih komprehensif.” Bukan hanya untuk kasus
HIV/AIDS semua keterangan tentang penyakit dalam medical record (catatan
medis) merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui pasien dan dokter. Pembeberan
isi catatan medis harus seizing pasien, jika tidak ada izin maka hal itu
merupakan perbuatan yang melawan hukum yang bisa digugat di pengadilan. Lagi
pula dalam hal HIV/AIDS yang menjadi persoalan justru penduduk yang sudah
tertular tapi tidak terdeteksi sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran
HIV tanpa mereka sadari.
Keenam, disebutkan pula “ …. pekerja seks komersial (PSK) yang
kedapatan positif terserang HIV/AIDS untuk diisolasi” merupakan pernyataan yang
ngawaur karena yang menjadi persoalan besar adalah penduduk yang sudah tertular
HIV tapi tidak terdeteksi. Penduduk Tegal atau Batang bisa saja tertular HIV di
luar daerah atau di luar negeri. Selain itu mengisolasi PSK juga merupakan
perbuatna yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.
Ketujuh, pernyataan “ …. segera diambil langkah-langkah
preventif yang diperlukan agar tidak menyebar ke orang lain” merupakan gambaran
betapa masih banyak yang tidak memahami penularan HIV dengan akurat. Sebagai
virus HIV tidak bisa menyebar karena hanya menular melalui cara-cara yang
sangat spesifik.
Selama materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS
tidak diberikan secara akurat kepada masyarakat maka epidemi HIV akan terus
berlangsung dan akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan HIV/AIDS kelak. ***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap