20 September 2013

Pegiat AIDS Jakarta Minta Pelacuran di Subang Diregulasi


Kamis, 19 September 2013

TINJAU SUBANG- Pegiat Aids Watch Indonesia, Syaiful W Harahap mendesak pemerintah setempat meregulasi aktivitas pelacuran. Usulan itu sebagai salah satu upaya menekan penularan angka virus HIV/AIDS.

Hal itu disampaikan Syaiful pada temu media dengan KPA Subang, Dinas Kesehatan dan instansi terkait. Dalam agenda yang mengusung tema "Orientasi Penulisan AIDS bagi Media" di RM. Bale Desa, Jl. Darmodihardjo, Subang.

Syaiful memaparkan, urgensi regulasi aktivitas pelacuran itu untuk memudahkan proses pendataan dan pemeriksaan kaitannya dengan upaya pencegahan penyebaran virus HIV/AIDS. "Selama pelacuran tidak diregulasi sulit dilakukan (pencegahan), sehingga bisa data, setiap minggu mereka dilakukan test. Kalau ada yang sipilis yang ditindak itu germonya bukan PSK, sehingga usernya harus menggunakan alat pengaman," kata Saiful kepada TINTAHIJAU.com, Kamis (19/9/2013).

Syaiful menegaskan, pemerintah, seharusnya tidak terjebak hanya dengan kegiatan sosialisasi, namun aksi di lapangan. Tidak hanya pada penangan, sambung Syaiful, tapi harus dilakukan secara massif pada upaya pencegahan. "Sosialisasi itu tugas media. Jangan hanya sosialisasi, tapi harus action, ga ada manfaatnya ceramah ke sana-kesini," tegasnya. [annas nashrullah l @jejakAnnas]

[Sumber: http://www.tintahijau.com/ragam/38-nusantara/4815-pegiat-aids-jakarta-minta-pelacuran-di-subang-diregulasi]

Perda Dinilai Kurang Efektif Antisipasi HIV/AIDS


Oleh: Zaenal Mutaqin

Pantura - Kamis, 19 September 2013

INILAH.COM, Subang - Editor in Chief AIDS Watch Indonesia, Syaiful W Harahap menilai peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV dan AIDS terlalu normatif.

”Ya bisa dikatakan mubazir karena isinya banyak normatif sehingga perlu program pencegahan lain yang lebih realistis, seperti wajibnya tes hamil dan lokalisasi WPS harus jelas," kata Syaiful saat ditemui dalam acara 'Media Mencari Isu AIDS yang Layak Liput' di Bale Desa Jalan Darmodiharjo, Subang, Kamis (19/9).

Menurutnya, tidak sedikit dana dikeluarkan untuk sebuah peraturan daerah. Namun di balik itu, penyebaran HIV/AIDs terus berkembang karena sejak ditemukan 1 Januari 1987 hingga Maret 2013 tercatat ada 103.759 kasus HIV dan 43.347 AIDS di Indonesia.

“Kasus ini yang terdeteksi sehingga jelas lebih banyak yang tidak terdatanya, sedangkan jumlah daerah yang sudah memiliki Perda baik provinsi maupun kabupaten/kota sebanyak 70, termasuk Subang,“ kata Syaiful.

Dia menjelaskan, banyak pemahaman terhadap HIV/AIDS yang salah sehingga dikatakan penyakit. Padahal kondisi yang terjadi pada seseorang yang sudah tertular retrovirus HIV (humans immunodeficiency virus) karena kerusakan system kekebalan ditandai dengan beberapa jenis penyakit, seperti jamur, sariawan, diare, TBC, dan lainnya yang sangat sulit disembuhkan.

Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Subang Abdurakhman akan berusaha melengkapi Perda dengan Perbub-nya. Sebab, Raperda penanggulangan HIV dan AIDS dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga dapat mencegah penularan HIV dan AIDS.

Selain itu, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan pelayanan kesehatan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. “Setiap orang dilarang melakukan stigma dan diskriminasi dalam bentuk apa pun kepada yang diduga atau disangka telah terinfeksi HIV dan AIDS,“ katanya.[jul]

http://www.inilahkoran.com/read/detail/2030923/perda-dinilai-kurang-efektif-antisipasi-hivaids

16 September 2013

Tes HIV Terhadap PNS di Kab Mimika, Papua: Program di Hilir




Tanggapan Berita (17/9-2013) – Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Mimika, Papua dalam waktu dekat akan melakukan tes HIV terhadap para Pegawa Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemda setempat. Ini adalah lead pada berita ”PNS Mimika akan dites HIV” (ANTARA News, 16/9-2013).

Judul berita ini sensasional, tapi berita tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang dampak buruk dan manfaat tes HIV tsb.

Disebutkan dalam berita bahwa dari tahun 1996 sampai tahun 2013 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kab Mimika tercatat sekitar 3.600 kasus dengan 300 lebih kematian.

Langkah KPA Mimika tsb. merupakan langkah di hilir. Artinya, KPA Mimika menunggu ada dulu PNS yang tertular HIV baru menjalani tes HIV.

Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS, maka yang diperlukan adalah program yang konkret berupa intervensi melalui regulasi untuk memaksa  laki-laki yang ’membeli seks’ ke pekerja seks komersial (PSK) memakai kondom setiap kali melalukan hubungan seksual dengan PSK.

Lagi pula PNS yang sudah menjalani tes tidak menjami jaminan bahwa mereka tidak akan pernah lagi ’membeli seks’ ke PSK. Maka, itu artinya tetap saja ada risiko tertular HIV bagi PNS yang sudah tes HIV dengan hasil negatif.

Selain itu ada lagi kendala yaitu masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan). Jika tes HIV dilakukan pada masa jendela ada kemungkinan hasil tes negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi karena tes HIV mencari antibody HIV yang belum ada di dalam darah) atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi tes reaktif).

Itulah sebabnya setiap tes HIV harus dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, hasil tes dengan reagen ELISA dikonfirmasi dengan tes Western blot. Tapi, belakangan WHO memberikan cara lain tes konfirmasi yaitu dengan ELISA tiga kali tapi dengan reagen dan teknik yang berbeda.

Disebutkan bahwa pada tahun 2009, KPA Mimika juga melakukan tes HIV di kalangan PNS. Dari 471 PNS di lingkungan Pemkab Mimika yang bersedia menjalani tes HIV, hanya satu yang hasil tesnya reaktif (positif).

Tidak dijelaskan dalam berita apakah tes HIV tsb. memperhatikan masa jendela.

Dengan prevalensi 0,21 persen kasus HIV/AIDS pada PNS menunjukkan PNS di Pemkab Mimika tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. tidak pernah ’membeli seks’ ke PSK atau mereka memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Maka, dengan kondisi itu: Untuk apa (lagi) melakukan tes HIV terhadap PNS?

Salah satu faktor yang menjadi pendorong penyebaran HIV adalah penyangkalan. Banyak daerah yang menyangkal perilaku sebagian laki-laki dewasa.

Seperti yang disampaikan aktivis peduli masalah HIV-AIDS di Kabupaten Mimika, Papua, Pastor Bert Hogendoorn OFM ini. Dia menilai angka penularan kasus tersebut sangat sulit dikendalikan di Kabupaten Mimika akibat tingginya arus urbanisasi warga dari daerah lain ke wilayah itu (ANTARA Sulsel, 9/9-2013).

Pastor ini mencari kambing hitam yaitu PSK, terutama asal Pulau Jawa, yang ’praktek’ di berbagai tempat di Mimika.

Tapi, Tuan Pastor lupa bahwa yang ’membeli seks’ ke PSK adalah laki-laki dewasa penduduk asli Mimika atau pendatang. Selama laki-laki dewasa penduduk asli Mimika tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, maka sudah bisa dijamin selama itu pula tidak akan pernah ada penduduk asli Mimika yang tertular HIV melalui hubungan seksual dengan PSK asal Pulau Jawa (Lihat: AIDS di Mimika, Papua, Mengabaikan Perilaku Seksual Penduduk Lokal - http://www.aidsindonesia.com/2013/09/aids-di-mimika-papua-mengabaikan_7.html).

 

Kalau saja Tuan Pastor ini mengajak ummatnya, khususnya laki-laki dewasa, agar tidak ada yang ’membeli seks’ ke PSK, maka itu merupakah langkah yang sangat berarti dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Mimika.

Disebutkan bahwa epidemi HIV/AIDS di Mimika berkembang sangat pesat hanya dalam kurun waktu 16 tahun semenjak kasus itu pertama kali ditemukan pada tiga PSK di Lokalisasi Pelacuran Kilo 10, Kampung Kadun Jaya, Timika.

Pernyataan ini tidak akurat, karena:

(1) Ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada tiga PSK justru laki-laki dewasa penduduk asli Mimika atau pendatang.

(2) Yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di Kab Mimika bukan tiga PSK itu, tapi laki-laki dewasa yang menularkan HIV kepada tiga PSK itu dan laki-laki dewasa yang tertular HIV dari tiga PSK tsb.

(3) Sebelum tiga PSK tersebut terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka sudah ratusan bahkan ribuan laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan tiga PSK itu.

Menurut Sekretaris KPA Mimika, Reynold Ubra, penularan HIV tidak semata akibat melakukan hubungan seks tidak aman, tetapi bisa juga melalui jarum suntik, pisau cukur dan lainnya. Karena itu dibutuhkan keterlibatan semua kalangan untuk bersama-sama menanggulangi masalah besar ini.

Agaknya, pernyataan di atas juga merupakan salah satu bentuk penyangkalan karena kasus HIV lebih banyak menular dengan faktor risiko hubungan seksual tidak aman.

Untuk itulah Reynold merinci jumlah kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual tidak aman, jarum suntik dan pisau cukur

Data kasus berdasarkan faktor risiko akan menjadi patokan bagi Pemkab Mimika untuk menjalankan program penanggulangan yang komprehensif.***

 - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap