Catatan: Naskah ini ditulis Oktober 2010 yang merupakan tanggapan terhadap
berita waktu itu. Tanggapan ini bisa memberikan perbandingan dengan berita HIV/AIDS dan
keterangan narasumber di tahun 2013. Redaksi.
”Seluruh
Distrik di Mimika Tertular AIDS” Ini judul berita di TEMPO Interaktif (15/10-2010). Dalam berita disebutkan:
“Seluruh distrik (12 distrik) di Kabupaten Mimika,Papua, sudah tertular
HIV/AIDS. Bahkan kampung terpencil seperti Hoeya, Distrik Jila,
penduduknya sudah tertular virus yang mematikan itu.”
Di saat informasi yang akurat tentang
HIV dan AIDS tetap saja ada yang tidak memahaminya secara komprehensif.
Buktinya, dalam berita ini disebutkan ‘virusyang mematikan’. Yang menyebabakan
kematian pada Odha (Orang denganHIV/AIDS) bukan virus (HIV) atau kondisi
(AIDS), tapi penyakit-penyakit yang ada pada Odha setelah masa AIDS
(antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV), disebutinfeksi oportunistik,
seperti diare, sariawan, TB, dll.
Judul berita ini pun sensasional dan
tidak akurat. Yang terinfeksi bukan distrik (daerah),tapi penduduk. Yang
menular pun bukan AIDS, tapi HIV. Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai
Juni 2010 sebanyak 2.302 merupakan dilema bagi Mimika karena jumlah ini
hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Soalnya, epidemi HIV
erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagian
kecil dari kasus yang ada di masyarakat.
Kambing Hitam
Ada pula pernyataan: “Bahkan kampung
terpencil seperti Hoeya, Distrik Jila, penduduknya sudah tertular virus
yang mematikan itu.” Ini mengesankan virus ‘merambah’ ke kampung terpencil.
Padahal, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kampung terpencil di bawa oleh
penduduk lokal atau pendatang. Penduduk lokal yang tertular HIV di luar kampung
(daerah) akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di kampungnya. Sedangkan
pendatang yang mengidap HIV akan menularkan HIV kepada penduduk setempat
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.
Kesan yang muncul adalah penduduk
kampung terpencil itu menjadi korban karena HIV‘menyerang’ mereka. Ini yang
keliru sehingga mendorong penyangkalan dari penduduk. Padahal, perilaku
seksual sebagian penduduk yang mendorong penyebaran HIV di kampung terpencil
itu. Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Mimika, Reynold Ubra,
mengatakan:“ .... prevalensi warga asli Papua dari tujuh suku di Mimika
(Amungme, Kamoro,Mee, Nduga, Damal) lebih besar dibanding kelompok warga
lainnya (termasuk pendatang).”
Prevalensi adalah perbandingan antara
yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu
yang tertentu pula.Disebutkan oleh Reynold: “Kalau dari seribu warga pendatang
teridentifikasi dua orang positif HIV, dari kelompok tujuh suku asli Mimika ada
21 warga yang positif HIV.” Apakah angka prevelansi ini diperoleh dari
survailans tes HIV? Ada kemungkinan angka ini diperoleh dari klinik VCT atau
rumah sakit yaitu kasus orang per orang yang datang untuk tes HIV atau
berobat.
Bisa saja terjadi kasus infeksi HIV di
kalangan penduduk asli lebih awal daripada di kalangan pendatang. Kondisiini
membuat infeksi HIV di kalangan penduduk asli sudah mencapai masa AIDSyang
memaksa mereka berobat. Disebutkan pula: “KPA Mimika pada Jumat siang mengumpulkan
seluruh pengusaha panti pijat, bar, dan kelompok-kelompok pekerja seks
komersil di Mimika, untuk memaparkan berbagai program pengendalian
HIV/AIDS di Mimika.”
Lagi-lagi hal inimengabaikan fakta
empiris tentang penyebaran HIV di Mimika.
Pertama, ada kemungkinan HIV ditularkan oleh penduduk lokal
kepada pemijat, cewek bar atau pekerja seks komersial (PSK) yang
beroperasi di Mimika. Kalau ini yang terjadimaka ada penduduk lokal, terutama
laki-laki, yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi.Mereka inilah yang menjadi
mata rantai penyebaran HIV kepada PSK dan penduduk, khususnya pasangan seks
mereka, seperti istri atau selingkuhan.
Kedua, ada kemungkinan pemijat, cewek bar atau PSK yang
beroperasi di Mimika sudahmengidap HIV ketika mereka tiba di Mimika. Artinya,
mereka tertular HIV di luar Mimika. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki
penduduk Mimika berisiko tinggi tertular HIV jika mereka melakukan
hubungan seks dengan pemijat, cewek bar atau PSK yang beroperasi di Mimika
tanpa kondom. Laki-laki yang tertular pun kemudian menjadi matarantai
penyebaran HIV pula.Tampaknya, dua kemungkinan di atas diabaikan oleh KPA
Mimika. Mereka justru menjadikan (pengelola) industri hiburan dan lokalisasi
sebagai ’kambing hitam’.
Gajala umum yang terjadi di Indonesia
adalah pemaksaan terhadap pemijat, cewek bar atau PSK agar meminta
laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama yang diatur dalam
peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Tapi, penggagas dan yang mensahkan
perda itu tidak menyadari bahwa pemijat, cewek bar atau PSK berada digenggaman
germo atau mucikari. Laki-laki memanfaatkan germo atau mucikari
untuk memaksa pemijat, cewek bar atau PSK meladeni mereka tanpa kondom.
Celakanya, dalam perda-perda AIDS tsb. tidak ada mekanisme yang konkret untuk
menegakkan aturan kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ’hidung belang’.
Penyangkalan
Reynold mengatakan: ”Kelompok suku asli
di Mimika mempunyai kecenderungantertular HIV lebih tinggi karena populasi
warga tujuh suku di Mimika paling besar dibanding kelompok suku lainnya.
Populasi risiko tujuh suku tertinggi, bisa sampaidelapan persen karena
pembandingnya masyarakat tujuh suku.” Ini tidak akurat karena kecenderungan
tertular HIV melalui hubungan seks bukan karena jumlah populasi, tapi karena
perilaku seksual orang per orang.
Pada populasi yang kecil pun kalau
banyak penduduknya yang melakukan perilaku berisiko maka kemungkinan jumlah
yang tertular HIV pun kian besar. Disebutkan pula: “Sebenarnya menurut
laporan pasif, sejak 2003 sudah ada indikasiHIV/AIDS sudah menyebar ke
distrik-distrik. Tetapi, dengan kunjungan lapangan pada 2008 kita sudah
memastikan HIV di distrik-distrik ini sudah ada.”
Selama ini terjadi penyangkalan di
berbagai daerah dan pada berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, pemerintah
sendiri dengan tegas menyangkal HIV/AIDS ada di Indonesia pada
awalepidemi.Kalau saja pemerintah menanggulangi epidemi HIV sejak kasus
HIV/AIDS terdeteksi diIndonesia maka penyebaran HIV dapat ditekan. Tapi, yang
terjadi justru penyangkalan.
Kondisinya kian runyam karena fakta
medis HIV/AIDS tidak sampai ke masyarakatsehingga banyak orang yang tidak
mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIVyang akurat. Pejabat-pejbat di
Tanah Papua selalu mendengung-dengungkan moral dan agama sebagai ’benteng’
pertahanan terhadap penularan HIV. Bahkan, bupati dan gubernur mengajak ’tobat
massal’ untuk mencegah HIV. ’Tobat massal’, pengakuan dosa, dll. tidak akan
merubah keadaan karena hal itu tidak bisa mencegah penyebaran HIV.
Soalnya, banyak penduduk yang tidak
menyadaridirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda dan keluhan
kesehatan yang khas AIDS sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 15 tahun
setelah tertular HIV).HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, HIV dan AIDS bisa
diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara
pencegahannya pun dapat dilakukan secaramedis.
Tapi, karena informasi tentang HIV/AIDS
selama ini dibumbui dengan norma,moral dan agama maka fakta tentang HIV/AIDS
pun sirna. Yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) sehingga membuat banyak
orang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang
realistis.
Wakil Bupati Mimika, Abdul Muis,
mengatakan: ” .... kasus HIV/AIDS di seluruh wilayah Mimika ini merupakan
tanggung jawab pemerintah daerah. Ini tanggung jawabPemda Mimika. Angka 2000-an
kasus HIV/Aids di seluruh wilayah Mimika ini sangat mengejutkan. Kami akan
mengambil langkah-langkah untuk menekan laju penyebaran HIV/Aids di Mimika.”
Sayang, dalam berita tidak disebutkan
langkah-langkah konkret yang akan dijalankan Pemkab Mimika untuk menekan laju
penyebaran HIV.
Bom Waktu
Kasus kumulatif akan lebih mengejutkan
kalau ada mekanisme yang bisa mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV.
Misalnya, melalui survailans tes HIV rutin padakalangan tertentu di masyarakat,
seperti tes HIV bagi perempuan hamil, polisi, pegawai,karyawan, mahasiswa,
penderita TB dan IMS (infeksi menualar seksual, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, virus hepatitis
B, dll.). Cara ini sudah lama dilakukan di beberapa negara tetangga sehingga
kasus yang terdeteksi mendekati angka yang sebenarnya di masyarakat.
Lagi pula kian banyak kasus HIV dan
AIDS yang terdeteksi maka sebanyak itu pula matarantai penyebaran HIV
diputus. Ini akan menekan laju penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Kepala
Dinas Kesehatan Mimika, Eren Meokhbun, mengatakan: ’ .... pihaknya akan menggiatkan
program kerja KPA di tingkat distrik, untuk menekan HIV/AIDS di
distrik hingga ke kampung-kampung terpencil.”
Lagi-lagi tidak ada penjelasan tentang
cara yangakan dilakukan untuk menekan penyebaran HIV. Penyebaran HIV di Tanah
Papua didorong oleh perilaku seksual penduduk, khususnya sebagian laki-laki yang gemar melacur dengan PSK, maka sasaran
penanggulangan adalah laki-laki penduduk lokal bukan pemijat, cewek bar, dan
PSK. Tapi, karena ada penyangkalan maka dicarilah ’kambing hitam’ yang dianggap
sebagai biang keladi penyebaran HIV, yaitu PSK dkk.
Selama sasaran penanggulangan hanya
kepada pemijat, cewek bar dan PSK maka selamaitu pula laki-laki asli Mimika
akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Kalau
saja dalam perda-perda AIDS yang ada di Tanah Papua (tercatat ada delapan daerah
yang sudah memiliki perda AIDS) dicantumkan pasal yang bisa memutus mata rantai
penyebaran HIV maka kasus HIV/AIDS bisa ditekan.
Pasal itu berbunyi: ”Setiap laki-laki
wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar
nikah, di mana saja dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang
sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (pekerja
seks di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak
langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL dan PIL,
perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai.
”Tapi, karena kemunafikan dijadikan
tameng maka yang muncul selalu berbau moralistis yang sama sekali tidak
menyentuh akar persoalan epidemi HIV secara faktual. Yang ditonjolkan hanya
iman dan taqwa, ketahanan keluarga, hidup bersih, dll. yang tidak ada kaitannya
secara langsung dengan penularan HIV.
Dengan 2.858 kasus AIDS yang terdeteksi
di Tanah Papua yang menempatkan Papua pada peringkat keempat maka
penyebaran HIV pun kian besar karena masih banyak penduduk yang
sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi.
Kasus-kasus HIV dan AIDSyang tidak
terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. Apakah
pemerintah daerah di Tanah Papua menunggu AIDS meledak dahulu baru melakukan
penanggulangan dengan cara-cara yang konkret?***
-
AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap