07 September 2013

AIDS di Mimika, Papua, Mengabaikan Perilaku Seksual Penduduk Lokal

Catatan: Naskah ini ditulis Oktober 2010 yang merupakan tanggapan terhadap berita waktu itu. Tanggapan ini bisa memberikan perbandingan dengan berita HIV/AIDS dan keterangan narasumber di tahun 2013. Redaksi.

Seluruh Distrik di Mimika Tertular AIDS” Ini judul berita di TEMPO  Interaktif  (15/10-2010). Dalam berita disebutkan: “Seluruh distrik (12 distrik) di Kabupaten Mimika,Papua, sudah tertular HIV/AIDS. Bahkan kampung terpencil seperti Hoeya, Distrik Jila, penduduknya sudah tertular virus yang mematikan itu.”

Di saat informasi yang akurat tentang HIV dan AIDS tetap saja ada yang tidak memahaminya secara komprehensif. Buktinya, dalam berita ini disebutkan ‘virusyang mematikan’. Yang menyebabakan kematian pada Odha (Orang denganHIV/AIDS) bukan virus (HIV) atau kondisi (AIDS), tapi penyakit-penyakit yang ada pada Odha setelah masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV), disebutinfeksi oportunistik, seperti diare, sariawan, TB, dll.

Judul berita ini pun sensasional dan tidak akurat. Yang terinfeksi bukan distrik (daerah),tapi penduduk. Yang menular pun bukan AIDS, tapi HIV. Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai Juni 2010 sebanyak 2.302 merupakan dilema bagi Mimika karena jumlah ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Soalnya, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat.

Kambing Hitam

Ada pula pernyataan: “Bahkan kampung terpencil seperti Hoeya, Distrik Jila, penduduknya sudah tertular virus yang mematikan itu.” Ini mengesankan virus ‘merambah’ ke kampung terpencil. Padahal, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di kampung terpencil di bawa oleh penduduk lokal atau pendatang. Penduduk lokal yang tertular HIV di luar kampung (daerah) akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di kampungnya. Sedangkan pendatang yang mengidap HIV akan menularkan HIV kepada penduduk setempat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.

Kesan yang muncul adalah penduduk kampung terpencil itu menjadi korban karena HIV‘menyerang’ mereka. Ini yang keliru sehingga mendorong penyangkalan dari penduduk. Padahal, perilaku seksual sebagian penduduk yang mendorong penyebaran HIV di kampung terpencil itu. Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Mimika, Reynold Ubra, mengatakan:“ .... prevalensi warga asli Papua dari tujuh suku di Mimika (Amungme, Kamoro,Mee, Nduga, Damal) lebih besar dibanding kelompok warga lainnya (termasuk  pendatang).”

Prevalensi adalah perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu yang tertentu pula.Disebutkan oleh Reynold: “Kalau dari seribu warga pendatang teridentifikasi dua orang positif HIV, dari kelompok tujuh suku asli Mimika ada 21 warga yang positif HIV.” Apakah angka prevelansi ini diperoleh dari survailans tes HIV? Ada kemungkinan angka ini diperoleh dari klinik VCT atau rumah sakit yaitu kasus orang per orang yang datang untuk tes HIV atau berobat.

Bisa saja terjadi kasus infeksi HIV di kalangan penduduk asli lebih awal daripada di kalangan pendatang. Kondisiini membuat infeksi HIV di kalangan penduduk asli sudah mencapai masa AIDSyang memaksa mereka berobat. Disebutkan pula: “KPA Mimika pada Jumat siang mengumpulkan seluruh pengusaha panti pijat, bar, dan kelompok-kelompok pekerja seks komersil di Mimika, untuk memaparkan berbagai program pengendalian HIV/AIDS di Mimika.”

Lagi-lagi hal inimengabaikan fakta empiris tentang penyebaran HIV di Mimika.

Pertama, ada kemungkinan HIV ditularkan oleh penduduk lokal kepada pemijat, cewek  bar atau pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di Mimika. Kalau ini yang terjadimaka ada penduduk lokal, terutama laki-laki, yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi.Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV kepada PSK dan penduduk, khususnya pasangan seks mereka, seperti istri atau selingkuhan.

Kedua, ada kemungkinan pemijat, cewek bar atau PSK yang beroperasi di Mimika sudahmengidap HIV ketika mereka tiba di Mimika. Artinya, mereka tertular HIV di luar Mimika. Kalau ini yang terjadi maka laki-laki penduduk Mimika berisiko tinggi tertular HIV jika mereka melakukan hubungan seks dengan pemijat, cewek bar atau PSK yang beroperasi di Mimika tanpa kondom. Laki-laki yang tertular pun kemudian menjadi matarantai penyebaran HIV pula.Tampaknya, dua kemungkinan di atas diabaikan oleh KPA Mimika. Mereka justru menjadikan (pengelola) industri hiburan dan lokalisasi sebagai ’kambing hitam’.

Gajala umum yang terjadi di Indonesia adalah pemaksaan terhadap pemijat, cewek bar atau PSK agar meminta laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama yang diatur dalam peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Tapi, penggagas dan yang mensahkan perda itu tidak menyadari bahwa pemijat, cewek bar atau PSK berada digenggaman germo atau mucikari. Laki-laki memanfaatkan germo atau mucikari untuk memaksa pemijat, cewek bar atau PSK meladeni mereka tanpa kondom. Celakanya, dalam perda-perda AIDS tsb. tidak ada mekanisme yang konkret untuk menegakkan aturan kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ’hidung belang’.

Penyangkalan

Reynold mengatakan: ”Kelompok suku asli di Mimika mempunyai kecenderungantertular HIV lebih tinggi karena populasi warga tujuh suku di Mimika paling besar dibanding kelompok suku lainnya. Populasi risiko tujuh suku tertinggi, bisa sampaidelapan persen karena pembandingnya masyarakat tujuh suku.” Ini tidak akurat karena kecenderungan tertular HIV melalui hubungan seks bukan karena jumlah populasi, tapi karena perilaku seksual orang per orang.

Pada populasi yang kecil pun kalau banyak penduduknya yang melakukan perilaku berisiko maka kemungkinan jumlah yang tertular HIV pun kian besar. Disebutkan pula: “Sebenarnya menurut laporan pasif, sejak 2003 sudah ada indikasiHIV/AIDS sudah menyebar ke distrik-distrik. Tetapi, dengan kunjungan lapangan pada 2008 kita sudah memastikan HIV di distrik-distrik ini sudah ada.”

Selama ini terjadi penyangkalan di berbagai daerah dan pada berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, pemerintah sendiri dengan tegas menyangkal HIV/AIDS ada di Indonesia pada awalepidemi.Kalau saja pemerintah menanggulangi epidemi HIV sejak kasus HIV/AIDS terdeteksi diIndonesia maka penyebaran HIV dapat ditekan. Tapi, yang terjadi justru penyangkalan.

Kondisinya kian runyam karena fakta medis HIV/AIDS tidak sampai ke masyarakatsehingga banyak orang yang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIVyang akurat. Pejabat-pejbat di Tanah Papua selalu mendengung-dengungkan moral dan agama sebagai ’benteng’ pertahanan terhadap penularan HIV. Bahkan, bupati dan gubernur mengajak ’tobat massal’ untuk mencegah HIV. ’Tobat massal’, pengakuan dosa, dll. tidak akan merubah keadaan karena hal itu tidak  bisa mencegah penyebaran HIV.

Soalnya, banyak penduduk yang tidak menyadaridirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda dan keluhan kesehatan yang khas AIDS sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV).HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, HIV dan AIDS bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secaramedis.

Tapi, karena informasi tentang HIV/AIDS selama ini dibumbui dengan norma,moral dan agama maka fakta tentang HIV/AIDS pun sirna. Yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) sehingga membuat banyak orang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang realistis.

Wakil Bupati Mimika, Abdul Muis, mengatakan: ” .... kasus HIV/AIDS di seluruh wilayah Mimika ini merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Ini tanggung jawabPemda Mimika. Angka 2000-an kasus HIV/Aids di seluruh wilayah Mimika ini sangat mengejutkan. Kami akan mengambil langkah-langkah untuk menekan laju penyebaran HIV/Aids di Mimika.”

Sayang, dalam berita tidak disebutkan langkah-langkah konkret yang akan dijalankan Pemkab Mimika untuk menekan laju penyebaran HIV.

Bom Waktu

Kasus kumulatif akan lebih mengejutkan kalau ada mekanisme yang bisa mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Misalnya, melalui survailans tes HIV rutin padakalangan tertentu di masyarakat, seperti tes HIV bagi perempuan hamil, polisi, pegawai,karyawan, mahasiswa, penderita TB dan IMS (infeksi menualar seksual, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, virus hepatitis B, dll.). Cara ini sudah lama dilakukan di beberapa negara tetangga sehingga kasus yang terdeteksi mendekati angka yang sebenarnya di masyarakat.

Lagi pula kian banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka sebanyak itu pula matarantai penyebaran HIV diputus. Ini akan menekan laju penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Kepala Dinas Kesehatan Mimika, Eren Meokhbun, mengatakan: ’ .... pihaknya akan menggiatkan program kerja KPA di tingkat distrik, untuk menekan HIV/AIDS di distrik hingga ke kampung-kampung terpencil.”

Lagi-lagi tidak ada penjelasan tentang cara yangakan dilakukan untuk menekan penyebaran HIV. Penyebaran HIV di Tanah Papua didorong oleh perilaku seksual penduduk, khususnya sebagian laki-laki yang gemar melacur dengan PSK, maka sasaran penanggulangan adalah laki-laki penduduk lokal bukan pemijat, cewek bar, dan PSK. Tapi, karena ada penyangkalan maka dicarilah ’kambing hitam’ yang dianggap sebagai biang keladi penyebaran HIV, yaitu PSK dkk.

Selama sasaran penanggulangan hanya kepada pemijat, cewek bar dan PSK maka selamaitu pula laki-laki asli Mimika akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Kalau saja dalam perda-perda AIDS yang ada di Tanah Papua (tercatat ada delapan daerah yang sudah memiliki perda AIDS) dicantumkan pasal yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV maka kasus HIV/AIDS bisa ditekan.

Pasal itu berbunyi: ”Setiap laki-laki wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di mana saja dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks langsung (pekerja seks di lokalisasi pelacuran, losmen, hotel, dll.) dan pekerja seks tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL dan PIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.), serta pelaku kawin cerai.

”Tapi, karena kemunafikan dijadikan tameng maka yang muncul selalu berbau moralistis yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan epidemi HIV secara faktual. Yang ditonjolkan hanya iman dan taqwa, ketahanan keluarga, hidup bersih, dll. yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.

Dengan 2.858 kasus AIDS yang terdeteksi di Tanah Papua yang menempatkan Papua pada peringkat keempat maka penyebaran HIV pun kian besar karena masih banyak  penduduk yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi.

Kasus-kasus HIV dan AIDSyang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. Apakah pemerintah daerah di Tanah Papua menunggu AIDS meledak dahulu baru melakukan penanggulangan dengan cara-cara yang konkret?***

-         AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

06 September 2013

Deklarasi HIV/AIDS yang Tidak Bernalar


Catatan: Naskah ini ditulis tahun 2002 yang menggambarkan kondisi tahun 2002. Naskah ini diharapkan bisa dijadikan sebagai perbandingan terkait dengan pandangan terhadap HIV/AIDS. Redaksi.

Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 29/3-2002. Agaknya, walaupun informasi yang objektif dan akurat seputar HIV/AIDS sudah banjir tetapi kalangan LSM dan pakar medis di Surabaya masih ketinggalan kereta. Itulah yang tercermin pada berita “Ketika Masyarakat Mulai Peduli” di Harian "Jawa Pos" (29 Maret 2002).

Dalam konteks HIV/AIDS seseorang dapat melindungi dirinya secara aktif agar tidak tertular HIV yaitu dengan menghindarkan diri melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi media penularan HIV yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), homoseks (laki-laki dengan laki-laki), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) menerima transfusi darah yang tercemar HIV, dan (3) memakai jarum suntik dan semprit yang tercemar HIV.

Persoalannya adalah kita tidak bisa mengetahui apakah seseorang HIV-positif atau HIV-negatif karena tidak ada gejala-gejala fisik yang khas. Untuk itulah seseorang dianjurkan agar menghindarkan diri dari perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Perilaku berisiko tinggi yaitu (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempan), homoseks (laki-laki dengan laki-laki), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (2) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks (laki-laki dengan perempan), homoseks (laki-laki dengan laki-laki), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar pernikahan yang sah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Berbeda dengan epidemi TB, kita tidak dapat secara aktif melindungi diri. Misalnya, jika ada penumpang pesawat terbang yang TB-nya sedang aktif maka akan terjadi penularan terhadap penumpang lain. Begitu pula dengan flu, hepatitis A, diare, dll. Maka, jika bertolak dari pernyataan “Deklarasi Masyarakat Peduli AIDS” maka semua penduduk yang mengidap penyakit harus dibeberkan identitasnya agar diketahui orang lain sehingga merek apun dapat pula menjaga diri.

“Salah satu bukti ketidakadilan itu, berupa tes darah dengan sistem identitas tak dikenal yang sampai saat ini masih dilakukan. Akibatnya, masyarakat tidak bisa mengetahui, siapa di antara mereka yang mengidap virus HIV/AIDS.” Pernyataan ini pun jelas tidak akurat karena semua hasil tes laboratorium bersifat rahasia. Bukan hanya hasil tes HIV tetapi semua hasil tes rahasia. Buktinya, hasil tes dari laboratorium selalu dimasukkan ke dalam amplop tertutup dan ditujukan langsung kepada dokter yang memberikan pengantar tes ke laboratorium.

Hasil tes laboratorium bersifat rahasia karena terkait dengan banyak aspek, terutama stigmatisasi dan diskriminasi. Jika ini terjadi hanya karena pembeberan hasil tes tentulah hal itu sudah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Jangkan hasil tes HIV, hasil tes hepatitis atau sifilis pun akan menimbulkan dampak. Jadi, lagi-lagi kalau mau konsisten dan konsekuen maka semua hasil tes laboratorium semua jenis penyakit pun harus dibeberkan kepada masyarakat.

Dalam tes HIV ada kemungkinan positif palsu dan negatif palsu. Jadi, kalau ada pekerja seks, waria, dll. yang diidentifikasi HIV-positif melalui tes surveilans HIV maka hasil itu tidak bisa dijadikan patokan karena bisa positif palsu. Untuk memastikan hasil tes tersebut contoh darah yang sama harus dikonfirmasi dengan tes lain, seperti Western blot.

“ …. selama ini penanganan HIV/AIDS terkesan tidak adil. Lantaran lebih condong melindungi mereka yang mengidap HIV/AIDS”. Pernyataan ini pun ngawur karena yang terjadi adalah pemberdayaan terhadap Orang dengan HIV/AIDS (Odha) karena mereka mengalami stigmatisasi dan diskriminasi.

Pada bagian lain disebutkan pula "Kita tidak bisa seperti ini selamanya. Apalagi, metode surveilans (pengamatan dengan disertai tindakan untuk mencegah peningkatan atau mempertahankan jumlah pengidap HIV/AIDS, Red.) yang selama ini kita anggap paling tepat untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini ternyata tidak efektif. Bukannya turun atau tetap, jumlah pengidap dari tahun ke tahun terus meningkat." Pernyataan ini pun jelas tidak akurat karena surveilans adalah salah satu cara untuk mengetahui prevalensi penyakit tertentu pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula. Prevalensi dipakai sebagai patokan untuk langkah-langkah yang terkait dengan pencegahan, pengobatan, dll.

“Tak hanya hak pengidap HIV/AIDS yang perlu dilindungi, hak orang sehat pun perlu diperhatikan.” Apa hak orang sehat? Menghujat, menstigma atau mendiskriminasi Odha? “Itu sebabnya, lewat forum Masyarakat Peduli AIDS, Sustini mendesak agar segera diambil langkah untuk melindungi mereka yang sehat ini.” Setiap orang dapat melindungi dirinya secara aktif yaitu dengan menghindarkan diri dari perilaku berisiko. Ini fakta. Lalu, bagaimana sikap forum ini terhadap risiko orang sehat tertular flu atau TB? Kalau ingin konsekuen dan konsisten setiap orang berhak pula agar tidak tertular penyakit menular bahkan penyakit yang diturunkan secara genetika.

“Kini, pengidap HIV/AIDS yang kedapatan menularkan penyakitnya kepada orang lain dituntut dengan ancaman penjara puluhan tahun. Kemudian, para napi yang hendak masuk penjara diwajibkan mengikuti tes darah. Begitu pula perempuan yang hendak melahirkan bayinya.” Di mana pun perbuatan yang melawan hukum jelas bisa dituntut. Begitu pula dengan di Indonesia. Dalam kaitan ini ada fakta yang hilang: Bagaimana bisa dibuktikan seseorang menularkan HIV kepada orang lain? Yang dipersoalkan adalah penularan HIV melalui kekerasan seks, seperti perkosaan. Artinya, jika seseorang mengalami kekerasan seks dan kemudian terbukti dia tertular HIV maka pelakunya dapat dijerat dengan hukum kalau memang pelaku kekerasan seks itu HIV-positif.

Biar pun napi diwajibkan tes darah tetapi tes HIV dilakukan dengan standar prosedur operasi yang baku yaitu setelah menerima konseling sebelum tes dan yang bersangkutan menyatakan kesediaannya secara tertulis (informed consent) yang menunjukkan yang bersangkutan sudah memahami semua hal yang terkait dengan HIV/AIDS. Apakah hal ini dilakukan di LP kita? Wallohuaklam.

Sedangkan tes HIV terhadap wanita hamil dimaksudkan untuk menyelamatkan anaknya agar tidak tertular HIV ketika persalinan. Di Malaysia pun wanita hamil menjadi sasaran surveilans rutin. Surveilans di kalangan wanita hamil ini pun dapat memberikan gambaran epidemi HIV di populasi pada kalangan yang berisiko rendah.
Angka-angka itu memberikan gambaran prevalensi di kalangan laki-laki beristri.

"Bahkan di New York, para dokter harus melaporkan nama pengidap HIV/AIDS yang ditanganinya kepada pemerintah. Selanjutnya, pemerintah yang melakukan intervensi." Busyet. Jauh amat ke NY. Di Indonesia pun ada aturan ini. Tetapi, banyak dokter dan rumah sakit yang enggan melaporkannya karena berbagai alasan. Hal inilah yang membuat angka kasus kumulatif HIV/AIDS sangat kecil.

Jika dibandingkan dengan Malaysia angka kasus kumulatif kita seakan-akan tidak realistis. Sampai penghujung tahun 1999 saja di Malaysia sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan yang terdiri atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal. Bandingkan dengan Indonesia yang sampai 31 Desember 2001 angkanya baru mencapai 2.575 yang terdiri atas 1.904 HIV dan 671 AIDS (jumlah kasus ini sudah termasuk orang asing yang dites positif di Indonesia, seperti nelayan, dll.).

"Bila perlu mendesak perubahan ketentuan perundang-undangan yang kontraproduktif dengan upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit ini.” Untuk mencegah penularan HIV tidak diperlukan UU karena dapat dilakukan dengan cara-cara yang sangat realistis yaitu dengan menghindarkan diri dari perilaku berisiko tinggi tertular HIV.***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

05 September 2013

Hasil Tes HIV Negatif, tapi Diare Terus-menerus


Tanya-Jawab AIDS No  1/September 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya sudah tes HIV pertama kali setelah tiga bulan melakukan hubungan seksual berisiko. Tes dilakukan di klinik VCT di rumah sakit umum di kota saya. Hasilnya negatif. Tes kedua saya lakukan tiga bulan setelah tes pertama. Hasilnya juga negatif. Tes ketiga saya lakukan lima bulan setelah tes HIV kedua. Hasilnya negatif.  Tes kedua dan ketiga di laboratorium swasta. Tapi, kalau buang air besar selalu yang keluar hanya air. Saya sudah ke dokter tapi dikatakan itu sebagai sakit tifus. Tapi, jika obat habis kembali lagi penyakit yang sama. Saya jadi ketakutan.

(1) Berapa kali tes HIV dan bagaimana priode yang dianjurkan setelah melakukan hubungan seksual berisiko?

(2) Apakah tes HIV di laboratorium swasta yang dikatakan dengan tiga metode sudah akurat?

Via SMS (13/8-2013), Tn “A” Kota “P” Jateng

Jawab: (1) dan (2) Jika Anda jujur bahwa hanya sekali Anda melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK), maka risikonya kecil yaitu 1:100. Dalam 100 kali hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan mengidap HIV/AIDS ada satu kali kemungkinan tertular HIV.

Yang menjadi persoalan besar adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan HIV. Bisa yang pertama, kedua, kesepuluh, kesembilan puluh, dst. Artinya, setiap hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan mengidap HIV/AIDS selalu ada risiko tetular HIV.

Tidak ada gejala khas yang terkait langsung dengan HIV/AIDS. Soal penyakit yang Anda derita sudah dijelaskan oleh dokter adalah sakit tifus.

Hasil tes tsb. sudah akurat karena sudah dilakukan lebih dari tiga bulan, tapi yang jadi persoalan adalah tes terakhir. Apakah dilakukan sesuai dengan standar operasi yang baku? Dalam tes HIV hasil tes harus dikonfirmasi dengan tes lain. Salam ini hasil tes pertama, misalnya dengan ELISA, dikonfirmasi dengan tes Western blot. Tapi, WHO memberikan cara lain yaitu tes konfirmasi dengan ELISA tiga kali tapi dengan reagent dan teknik yang berbeda.

Apakah di antara tiga kali tes itu Anda tidak pernah melakukan perilaku berisiko? Dalam kaitan inilah kejujuran Anda juga sangat menentukan hasil tes HIV.

Terkait dengan penyakit Anda yang selalu kambuh lagi, coba berobat ke dokter lain, tapi tidak menyebutkan bahwa Anda sudah pernah melakukan tes HIV.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


03 September 2013

Catatan Sosial Menggugat (rencana) tes HIV (massal) terhadap pelajar di Sulut






Oleh Syaiful W. Harahap*

Catatan: Naskah ini dimuat di Harian “Swara Kita” Manado di halaman 1 edisi Senin, 2 September 2013.

Pelajar Sulawesi Utara Bakal Dites HIV/AIDS”. Ini adalah judul berita di salah satu media Ibukota (30/8-2013).

Judul berita tsb. sangat provokatif dan sensasional, tapi sekaligus juga naif.

Pertama, jika semua pelajar di Sulut menjadi tes  HIV, maka langkah itu sudah menyamaratakan perilaku semua pelajar.

Kedua, tidak semua orang, dalam hal ini pelajar, di Sulut harus menjalani tes HIV karena tidak semua pelajar melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. Melakukan hubungan seksual dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) baik PSK langsung (mangkal di tempat-tempat pelacuran) dan PSK tidak langsung (cewek pub, cewek disko, ’ABG’, ’mahasiswi’, cewek pemijat, dll.).

Intervensi Perilaku

Ketiga, terkait dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada pelajar tidak dirinci berdasarkan faktor risiko atau kemungkinan cara penularan. Soalnya, banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Lagi pula tes HIV bukan vaksin sehingga biar pun sudah menjalani tes HIV dan hasilnya negatif itu bukan jaminan bahwa pelajar yang sudah tes HIV tidak akan pernah lagi tertular HIV. Bisa saja mereka melakukan perilaku berisiko setelah tes HIV.

Dalam berita disebutkan bahwa Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Utara, Harold Monareh, tes HIV terhadap pelajar untuk mengantisipasi peningkatan jumlah pengidap HIV/AIDS, terutama di kalangan anak muda.

Jika ditilik dari pernyataan Manoreh tsb., maka itu menunjukkan Manoreh tidak memahami HIV/AIDS secara benar.

Tes HIV adalah untuk mendeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV. Maka, tes HIV bagi pelajar akan menambah jumlah pelajar yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulut sampai Oktober 2012 disebutkan 1.603. Dari jumlah ini ada 33 mengidap HIV/AIDS sejak remaja.

Maka, patut dipertanyakan:

(1) Apakah 33 remaja itu tertular HIV di masa remaja?

(2) Apakah 33 remaja itu tertular HIV dari ibu yang mengandung mereka (penularan vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya)?

Jawaban dari dua pertanyaan di atas akan menguji apakah langkah yang akan dilakukan Dinas Pendidikan Sulut itu masuk akal atau tidak.

Celakanya, berdasarkan kasus HIV/AIDS pada remaja itu dikatakan bahwa “ .... pemerintah akan melakukan tes darah. Uji darah itu rencananya dilakukan ke remaja usia sekolah. Bahkan, hal ini akan menjadi rencana prioritas dari Dinas Pendidikan.“

Kalau saja Kadis Pendidikan Sulut memahami epidemi HIV secara akurat, maka yang perlu dilakukan adalah intervensi yaitu program yang konkret tentang cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV. Ini dilakukan agar tidak ada pelajar yang tertular HIV (Lihat Gambar).

Intervensi adalah memberikan pemahaman kepada pelajar tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang akurat sehingga mereka bisa melindungi diri agar tidak tertular HIV.

Apakah selama ini Dinas Pendidikan Sulut memberikan informasi tentang cara-cara pencegahan yang akurat kepada pelajar?

Kalau jawabannya tidak, maka jika ada pelajar yang tertular HIV/AIDS itu merupakan kesalahan dinas pendidikan karena pelajar tidak dibekali dengan pengetahuan tentang cara-cara mencegah HIV.

Tes HIV Guru

Tes HIV kepada pelajar bisa berdampak buruk karena jika tes HIV dengan reagent ELISA pada masa jendela, maka hasil tes bisa positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV adaa di dalam darah tapi tidak terdeteksi sehingga hasil tes nonreaktif).

Di sisi lain pelajar yang tidak terdeteksi mengidap HIV atau lolos dari tes HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV dan kelak akan sampai pada masa AIDS. Ini akan jadi beban bagi Pemprov Sulut karena di masa AIDS mereka akan memerlukan pengobatan dan bisa jadi harus dirawat di rumah sakit.

Dikabarkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, Maxi Rondonuwu, dikabarkan justru mendukung rencana tes HIV terhadap pelajar karena diperlukan untuk mengetahui penyebaran HIV/AIDS di tingkatan remaja bisa terdeteksi.

Tes HIV terhadap pelajar merupakan tindakan diskriminasi karena fakta menunjukkan di Sulut penyebaran HIV justru dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan bukti kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.

Diskriminasi adalah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

Agar tes HIV tidak diskriminatif, maka sasaran tes HIV masalah bukan hanya pelajar tapi laki-laki dewasa. Bisa dilakukan terhadap pengawai negeri sipil/PNS, karyaan perusahaan swasta, tentara, polisi, nelayan, sopir angkutan umum, mahasiswa, dll.

Agar tes HIV adil, selain pelajar guru-guru dan pegawai di lingkunan Dinas Pendidikan provinsi, kabupaten dan kota di Sulut juga wajib ikut tes HIV karena disebutkan bahwa tes HIV akan dilakukan di semua sekolah di Sulut (*Syaiful W. Harahap adalah Koresponden Khusus Kesehatan Harian ”Swara Kita” di Jakarta).

02 September 2013

PNS Pengidap HIV/AIDS di Kota Cirebon


Tanggapan Berita (3/9-2013) – "Sedikitnya lima orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kota Cirebon diketahui positif terinfeksi HIV-AIDS. Gaya hidup seks bebas diduga sebagai penyebabnya.” Ini lead pada berita “Lima PNS di Kota Cirebon Positif HIV-AIDS” (www.pikiran-rakyat.com,

Gaya hidup seks bebas diduga sebagai penyebabnya’ pantas disebut “hari gini masih saja tidak paham cara penularan HIV/AIDS?”

Kalau ‘seks bebas’ yang ada dalam pernyataan itu diartikan sebagai zina, al. melacur, selingkuh, ‘kumpul kebo’, ganti-ganti pasangan, dll., maka pernyataan tsb. ngawur bin ngaco.

Penularan HIV melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seksual (zina, seks bebas, melacur, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali snggama).

Dikabarkan bahwa Wali Kota Cirebon, Ano Sutrisno, menyebut kondisi itu sebagai situasi yang memalukan.

Yang memalukan bukan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada lima PNS itu, tapi perilaku PNS yang berzina al. melacur tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).

"Kemungkinan, jumlah PNS yang terinfeksi HIV-AIDS lebih banyak lagi. Karena lebih banyak orang yang segan memeriksakan dirinya secara sukarela ke tempat-tempat layanan." Ini pernyataan Sekretaris 1 Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cirebon Sri Maryati.

Terkait dengan jumlah PNS yang diperkirakan tertular HIV merupakan konsekuensi logis dari kehidupan mereka. Dengan penghasilan yang besar dan tetap mereka bisa memakai uangnya untuk membeli seks, al.  dengan PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak mangkal di lokasi pelacuran, seperti cewek panggilan, ABG, cewek di warem, dll.

PSK tidak langsung dipilih banyak orang karena mereka menganggap tidak berisiko tertular HIV. Ini terjadi karena selama ini informasi yang sampai ke masyarakat menyebutkan bahwa HIV/AIDS menular melalui PSK di lokalisasi pelacuran.

Yang terjadi bukan banyak orang yang segan memeriksakan diri, tapi mereka tidak merasa berisiko. Apalagi pejabat dan pengusaha yang melakukan zina dengan cewek gratifikasi seks merasa aman karena cewek itu bukan pelacur dan zina dilakukan di hotel berbintang.

Maka, kalau Sri merasa ada lagi PNS yang berisiko tinggi tertular HIV dan tidak mau memeriksakan diri, maka perlu dipikirkan tes HIV yang sistematis. Di Amerika Serikat, misalnya, semua pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah wajib tes HIV. Nah, bisa saja Pemkot Cirebon menjalankan program tes HIV bagi PNS dan keluarganya yang memakai fasilitas Askes. Ini bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), karena ada pilihan yaitu berobat tanpa Askes di rumah sakit swasta.

Menurut Sri, lima PNS itu memeriksakan diri secara sukarela. Mungkin mereka sudah memahami risiko tertular HIV jika melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Persoalannya adalah: Apakah semua PNS yang perilakunya berisiko, al. sering berzina tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung, menyadari perbuatannya berisiko tertular HIV?

Disebutkan oleh Sri bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS d Kota Cirebon sampai Juni 2013 mencapai 548. Tentu saja angka ini tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya.

Dikatakan lagi oleh Sri bahwa Kota Cirebon sudah memiliki Perda No 1/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS.

Pertanyaan untuk Sri: Apakah ada pasal yang konkret untuk mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS dalam perda itu?

Tentu saja tidak ada karena perda itu hanya berisi pasal-pasal yang normatif. Lihat: Perda AIDS Kota Cirebon, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-cirebon-jawa-barat.html).

Selama Pemkot Cirebon tidak melokalisir praktek pelacuran, maka selama itu pula perilaku berisiko terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap