Jakarta (15/10-2002) - KESAN pertama yang saya peroleh ketika membaca judul
headline Harian “Suara Pembaruan Minggu” edisi 13 Oktober 2002 “Silent
Killer Mengintai Kita” adalah anggapan yang salah (mitos) tentang HIV/AIDS.
Dalam berita
disebutkan Freddie Mercury dan Magic Johnson terinfeksi HIV karena perilaku
seks bebas. Tidak ada
kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui
hubungan seks terjadi karena seseorang melakukan hubungan seks (sanggama)
penetrasi tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam atau di luar
pernikahan. Sebaliknya, walaupun hubungan seks dilakukan di luar pernikahan
(zina) kalau keduanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV.
Istilah ‘seks bebas’ ngawur. Kalau ‘seks bebas’ merupakan terjemahan dari free
sex maka dalam kamus-kamus bahasa Inggris tidak ada entry free sex. Yang ada
hanya free love (The Random House Dictionary, TIME, 1980) yaitu kebiasaan yang
mengizinkan hubungan seks tanpa ikatan nikah yang sah. Lagi pula dalam berita
itu tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’.
Pada bagian lain disebutkan “ …. 20 juta dari mereka telah meninggal karena
AIDS”. Ini pun tidak akurat karena AIDS tidak bisa membunuh seseorang karena
AIDS bukan penyakit tetapi suatu kondisi pada seseorang yang terinfeksi HIV.
Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-10 tahun setelah seseorang
terinfeksi HIV.
Pada masa AIDS seseorang sangat mudah diserang berbagai penyakit baik yang
disebabkan kuman, bakteri, basil maupun virus. Jadi, yang bisa mematikan
seseorang yang sudah mencapai masa AIDS adalah penyakit-penyakit yang menyerang
pada masa AIDS yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Infeksi ini tidak
hanya terjadi pada Odha (Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) karena HIV tetapi
juga pada orang-orang yang sistem kekebalan tubunnya turun karena penyakit
lain.
Memang, kasus HIV/AIDS terbesar di Afrika, tetapi ada fakta lain yang tidak
dikemukakan yaitu sejak awal tahun 1990-an kasus infeksi baru di kalangan
dewasa di Afrika, Eropa, Oseania dan Amerika mulai mulai menunjukkan grafik
yang mendatar. Sebaliknya, di kasawasan Asia kasus baru di kalangan dewasa
justru meroket (AIDS No Time for Complacency, WHO Regional Office for
South-East Asia, New Delhi, 1997).
Hal itu bisa terjadi karena penduduk di kawasan Afrika, Eropa, Oseania dan
Amerika sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu
menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV
yaitu:
(1) Melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi baik heteroseks (laki-laki
dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki),
seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di
dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta homoseks (laki-laki dengan
laki-laki).
(2) Melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi baik heteroseks (laki-laki
dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki),
seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti
pasangan di dalam atau di luar pernikahan yang sah.
(3) Menerima transfusi darah.
(4) Memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran
dan bergantian.
Obat Antiretroviral
HIV adalah fakta medis sehingga hanya dapat didiagnosis melalui tes darah.
Maka, pernyataan staf World Vision Indonesia, “ …. dari pemeriksaan awal
positif HIV” tidak akurat karena dalam tes HIV tidak dikenal pemeriksaan awal
atau akhir. Yang ada adalah tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya,
kalau tes pertama dilakukan dengan ELISA maka konfirmasinya dilakukan dengan
tes Western blot. Itulah sebabnya hasil tes dari survailans, misalnya terhadap
pekerja seks, tidak dapat dijadikan patokan karena hasilnya belum dikonfirmasi.
Hasil itu hanya berguna untuk mengetahui angka prevalensi (perbandingan antara
yang HIV-positif dan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu pada kurun waktu
yang tertentu pula).
Sampai sekarang bukan hanya HIV/AIDS yang belum ada vaksin dan obatnya. Banyak
penyakit yang belum ada vaksin dan obatnya. Seperti diabetes, demam berdarah,
dll. Lagi pula sampai sekarang belum ada obat yang dapat membunuh virus. Yang
ada hanyalah melumpuhkan virus. Obat untuk melumpuhkan HIV juga sudah lama ada
yang dikenal sebagai obat antiretroviral. Yang lebih tepat adalah HIV/AIDS
belum bisa disembuhkan, seperti halnya diabetes, darah tinggi, dll.
Memang, kasus terkait AIDS pertama kali dideteksi pada turis di Bali (1987),
tetapi setehun kemudian ada penduduk asli Indonesia yang juga meninggal karena
penyakit terkait AIDS di Bali (1988). Kalau rentang waktu dari terinfeksi
sampai masa AIDS antara 5-10 tahun maka epidemi HIV sudah ada di Indonesia
antara tahun 1978 dan 1983.
Pengungkapan kasus HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting
drug use/IDU) terjadi karena setiap pengguna narkoba yang akan masuk pusat
rehabilitas narkotik diwajibkan menjalani tes HIV. Inilah yang membuat lonjakan
angka dari kalangan pengguna narkoba. Ada persoalan lain di balik fakta ini yaitu:
Dari mana sebenarnya mereka tertular HIV: melalui penggunaan jarum suntik yang
bergantian atau melalui hubungan seks yang tidak aman? Bisa jadi di antara
mereka ada yang tertular dari hubungan seks yang tidak aman. Kalau perempuan
mungkin bisa dibuktikan mereka tertular melalui jarum suntik kalau yang
bersangkutan masih perawan. Tetapi, laki-laki, bagaimana membuktikannya?
Sedangkan kasus HIV/AIDS di luar pengguna narkoba tidak bisa deteksi karena
tidak ada gejala-gejala yang khas. Deteksi baru terjadi kalau seseorang sudah
mencapai masa AIDS. Padahal, risiko penularan melalui hubungan seks sangat
besar karena frekuensi hubungan seks sangat tinggi. Dalam berita itu disebutkan
ada 74 juga aktivitas seks yang berisiko.
Namun, perlu diingat hubungan seks yang berisiko tertular HIV bukan hanya
‘jajan’ karena penularan HIV tidak tergantung kepada sifat hubungan seks (di
dalam atau di luar nikah) tetapi kondisi hubungan seks (aman atau tidak aman).
Hubugnan seks yang aman adalah (1) Menghindarkan diri dari melakukan hubungan
seks penetrasi tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau
di luar nikah; (2) Menghindarkan diri dari melakukan hubungan seks penetrasi
tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan (seperti
pekerja seks, atau perempuan yang sering kawin-cerai) di dalam atau di luar
nikah.
Masa Jendela
Transfusi darah merupakan salah satu kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV
(Pedoman Mengurangi Dampak Buruk Narkoba di Asia, Edisi Indonesia, The
Centre for Harm Reduction, Macfarlane Burnet Centre for Medical Research and
Asian Harm Reduction Network, 2001).
Biar pun darah yang akan ditransfusikan sudah diskrining tetap ada risiko
karena kalau seseorang yang tertular HIV (yang bersangkutan tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV) mendonorkan darahnya pada masa jendela (window
priod) yaitu rentang waktu di bawah enam bulan sejak tertular maka hasil
skrining bisa negatif palsu. Artinya, darah yang bersangkutan sudah tercemar
HIV tetapi tidak bisa dideteksi oleh tes yang dipakai untuk skrining HIV. Jadi,
jika seseorang memerlukan darah untuk transfusi akan lebih baik kalau mencari
sanak saudara yang bisa dijamin jauh dari perilaku berisiko tinggi tertular
HIV.
Di Malaysia seorang perempuan guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah
(2000). Perempuan ini menuntut pemerintah 100 juta ringgit dan pengobatan
gratis sepanjang hidupnya. Untuk menghindarkan kejadian yang sama pemerintah
Malaysia menerapkan standar baku laboratorium melalui ISO/ICE 17025:1999 (general
requirements for the competence of testing and calibration laboratories)
yang dikeluarkan ISO (International Organization for Standardization)
yaitu badan internasional yang menelurkan standar mutu (Hak Bebas HIV
Melalui Transfusi Darah, Harian ”Suara Pembaruan”, 1/12-2000).
HIV/AIDS bukan silent killer (pembunuh terselubung) karena HIV adalah virus
yang merupakan fakta medis dan dapat dicegah penularannya melalui cara-cara
yang sangat realistis. Persoalannya adalah selama ini fakta (medis) tentang
HIV/AIDS sering hilang dan digelapkan karena HIV/AIDS dibicarakan dan
diberitakan dari aspek agama dan moral yang sama sekali tidak ada kaitanya
secara langsung dengan HIV/AIDS.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, dll. Padahal,
tidak ada kaitan langsung antara pelacuran dengan HIV karena hubungan seks yang
berisiko tinggi tertular HIV tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran.
Buktinya, di negara-negara yang tidak ada lokalisasi pelacuran pun ada kasus
HIV/AIDS.
Akibatnya, mitos seputar HIV/AIDS pun tumbuh subur di masyarakat sehingga
mereka lalai melindungi diri yaitu menghindarkan diri dari kegiatan berisiko
tertular HIV. Padahal, dengan menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang
berisiko tinggi tertular HIV sudah merupakan cara yang realistis untuk mencegah
agar seseorang tidak tertular HIV.
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap