28 Agustus 2013

Raperda AIDS Kab Sumedang Tidak Tepat Sasaran



Tanggapan Berita (29/8-2013) – Dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Sumedang disebutkan bahwa ada sanksi pidana berupa denda atau kurungan bagi penderita HIV/Aids yang berhubungan seks tanpa menggunakan kondom karena tindakan itu akan menularkan penyakit tersebut kepada orang lain (Raperda HIV/Aids Kab. Sumedang Memuat Sanksi Pidana Bagi Penderita, Pikiran Rakyat,












Disebutkan sanksi pidana dalam raperda yaitu di Pasal 26 ayat 4 berupa denda Rp 50 juta dan kurungan penjara tiga bulan. Ini adalah sanksi standar yang bisa diterapkan dalam perda. Dan ini ada di semua perda AIDS yang sudah ada di Indonesia yang jumlahnya 70-an.

Menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) Penanggulangan HIV/Aids, Dadang Romansah, S.Hut., M.Si., sanksi pidana terhadap pelanggar perda HIV/Aids tersebut, sebagai bentuk terapi kejut dalam upaya mengantisipasi penularan HIV/Aids.

Tapi, koq di daerah yang sudah ada perda tetap saja penyebaran HIV/AIDS terjadi, seperti di Kab Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kab Indramayu, Kab Purwakarta dan Kab Subang?

Menurut Sekretaris KPA (Komisi Penanggulangan Aids) Kab. Sumedang, Dr. H. Hilman Taufik, MKes, pemakaian kondom menjadi salah satu cara efektif mencegah penularan HIV/Aids, terutama bagi penderita. Oleh karena itu, dalam raperda disebutkan bagi para penderita HIV/Aids diwajibkan menggunakan kondom saat berhubungan seks.

Dalam standar prosedur operasi tes HIV yang baku salah satu bagian konseling sebelum tes adalah meminta kepada orang-orang yang kelak terdeteksi mengidap HIV/AIDS untuk memutus penularan HIV mulai dari dirinya.

Yang jadi persoalan besar adalah pada orang-orang, terutama laki-laki, yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Tanpa mereka sadari mereka menularkan HIV kepada orang lain.

Maka, intervensi yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru adalah terhadap laki-laki dewasa yaitu mewajibkan mereka memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Selain itu adalah program yang konkret dan sistematis berupa survailans tes HIV rutin terhadap ibu hamil dan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Sayang, hal ini luput dari rancangan perda.

Disebutkan lagi bahwa ada dua cara lainnya untuk mencegah penularan HIV/Aids, yakni tidak melakukan hubungan seks di luar nikah dan setia kepada pasangan.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama).***

-         AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

AIDS Bukan Pembunuh Terselubung


Jakarta (15/10-2002) - KESAN pertama yang saya peroleh ketika membaca judul headline Harian “Suara Pembaruan Minggu” edisi 13 Oktober 2002 “Silent Killer Mengintai Kita” adalah anggapan yang salah (mitos) tentang HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan Freddie Mercury dan Magic Johnson terinfeksi HIV karena perilaku seks bebas. Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks terjadi karena seseorang melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam atau di luar pernikahan. Sebaliknya, walaupun hubungan seks dilakukan di luar pernikahan (zina) kalau keduanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV.

Istilah ‘seks bebas’ ngawur. Kalau ‘seks bebas’ merupakan terjemahan dari free sex maka dalam kamus-kamus bahasa Inggris tidak ada entry free sex. Yang ada hanya free love (The Random House Dictionary, TIME, 1980) yaitu kebiasaan yang mengizinkan hubungan seks tanpa ikatan nikah yang sah. Lagi pula dalam berita itu tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘seks bebas’.

Pada bagian lain disebutkan “ …. 20 juta dari mereka telah meninggal karena AIDS”. Ini pun tidak akurat karena AIDS tidak bisa membunuh seseorang karena AIDS bukan penyakit tetapi suatu kondisi pada seseorang yang terinfeksi HIV. Secara statistik masa AIDS terjadi antara 5-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.

Pada masa AIDS seseorang sangat mudah diserang berbagai penyakit baik yang disebabkan kuman, bakteri, basil maupun virus. Jadi, yang bisa mematikan seseorang yang sudah mencapai masa AIDS adalah penyakit-penyakit yang menyerang pada masa AIDS yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Infeksi ini tidak hanya terjadi pada Odha (Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) karena HIV tetapi juga pada orang-orang yang sistem kekebalan tubunnya turun karena penyakit lain.

Memang, kasus HIV/AIDS terbesar di Afrika, tetapi ada fakta lain yang tidak dikemukakan yaitu sejak awal tahun 1990-an kasus infeksi baru di kalangan dewasa di Afrika, Eropa, Oseania dan Amerika mulai mulai menunjukkan grafik yang mendatar. Sebaliknya, di kasawasan Asia kasus baru di kalangan dewasa justru meroket (AIDS No Time for Complacency, WHO Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1997).

Hal itu bisa terjadi karena penduduk di kawasan Afrika, Eropa, Oseania dan Amerika sudah menerapkan cara-cara pencegahan yang realistis yaitu menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV yaitu:

(1) Melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki).

(2) Melakukan hubungan seks (sanggama) penetrasi baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di dalam atau di luar pernikahan yang sah.

(3) Menerima transfusi darah.

(4) Memakai jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Obat Antiretroviral

HIV adalah fakta medis sehingga hanya dapat didiagnosis melalui tes darah. Maka, pernyataan staf World Vision Indonesia, “ …. dari pemeriksaan awal positif HIV” tidak akurat karena dalam tes HIV tidak dikenal pemeriksaan awal atau akhir. Yang ada adalah tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, kalau tes pertama dilakukan dengan ELISA maka konfirmasinya dilakukan dengan tes Western blot. Itulah sebabnya hasil tes dari survailans, misalnya terhadap pekerja seks, tidak dapat dijadikan patokan karena hasilnya belum dikonfirmasi. Hasil itu hanya berguna untuk mengetahui angka prevalensi (perbandingan antara yang HIV-positif dan yang HIV-negatif pada kalangan tertentu pada kurun waktu yang tertentu pula).

Sampai sekarang bukan hanya HIV/AIDS yang belum ada vaksin dan obatnya. Banyak penyakit yang belum ada vaksin dan obatnya. Seperti diabetes, demam berdarah, dll. Lagi pula sampai sekarang belum ada obat yang dapat membunuh virus. Yang ada hanyalah melumpuhkan virus. Obat untuk melumpuhkan HIV juga sudah lama ada yang dikenal sebagai obat antiretroviral. Yang lebih tepat adalah HIV/AIDS belum bisa disembuhkan, seperti halnya diabetes, darah tinggi, dll.

Memang, kasus terkait AIDS pertama kali dideteksi pada turis di Bali (1987), tetapi setehun kemudian ada penduduk asli Indonesia yang juga meninggal karena penyakit terkait AIDS di Bali (1988). Kalau rentang waktu dari terinfeksi sampai masa AIDS antara 5-10 tahun maka epidemi HIV sudah ada di Indonesia antara tahun 1978 dan 1983.

Pengungkapan kasus HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug use/IDU) terjadi karena setiap pengguna narkoba yang akan masuk pusat rehabilitas narkotik diwajibkan menjalani tes HIV. Inilah yang membuat lonjakan angka dari kalangan pengguna narkoba. Ada persoalan lain di balik fakta ini yaitu: Dari mana sebenarnya mereka tertular HIV: melalui penggunaan jarum suntik yang bergantian atau melalui hubungan seks yang tidak aman? Bisa jadi di antara mereka ada yang tertular dari hubungan seks yang tidak aman. Kalau perempuan mungkin bisa dibuktikan mereka tertular melalui jarum suntik kalau yang bersangkutan masih perawan. Tetapi, laki-laki, bagaimana membuktikannya?

Sedangkan kasus HIV/AIDS di luar pengguna narkoba tidak bisa deteksi karena tidak ada gejala-gejala yang khas. Deteksi baru terjadi kalau seseorang sudah mencapai masa AIDS. Padahal, risiko penularan melalui hubungan seks sangat besar karena frekuensi hubungan seks sangat tinggi. Dalam berita itu disebutkan ada 74 juga aktivitas seks yang berisiko.

Namun, perlu diingat hubungan seks yang berisiko tertular HIV bukan hanya ‘jajan’ karena penularan HIV tidak tergantung kepada sifat hubungan seks (di dalam atau di luar nikah) tetapi kondisi hubungan seks (aman atau tidak aman). Hubugnan seks yang aman adalah (1) Menghindarkan diri dari melakukan hubungan seks penetrasi tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar nikah; (2) Menghindarkan diri dari melakukan hubungan seks penetrasi tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan (seperti pekerja seks, atau perempuan yang sering kawin-cerai) di dalam atau di luar nikah.

Masa Jendela

Transfusi darah merupakan salah satu kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV (Pedoman Mengurangi Dampak Buruk Narkoba di Asia, Edisi Indonesia, The Centre for Harm Reduction, Macfarlane Burnet Centre for Medical Research and Asian Harm Reduction Network, 2001).

Biar pun darah yang akan ditransfusikan sudah diskrining tetap ada risiko karena kalau seseorang yang tertular HIV (yang bersangkutan tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV) mendonorkan darahnya pada masa jendela (window priod) yaitu rentang waktu di bawah enam bulan sejak tertular maka hasil skrining bisa negatif palsu. Artinya, darah yang bersangkutan sudah tercemar HIV tetapi tidak bisa dideteksi oleh tes yang dipakai untuk skrining HIV. Jadi, jika seseorang memerlukan darah untuk transfusi akan lebih baik kalau mencari sanak saudara yang bisa dijamin jauh dari perilaku berisiko tinggi tertular HIV.

Di Malaysia seorang perempuan guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah (2000). Perempuan ini menuntut pemerintah 100 juta ringgit dan pengobatan gratis sepanjang hidupnya. Untuk menghindarkan kejadian yang sama pemerintah Malaysia menerapkan standar baku laboratorium melalui ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of testing and calibration laboratories) yang dikeluarkan ISO (International Organization for Standardization) yaitu badan internasional yang menelurkan standar mutu (Hak Bebas HIV Melalui Transfusi Darah, Harian ”Suara Pembaruan”, 1/12-2000).

HIV/AIDS bukan silent killer (pembunuh terselubung) karena HIV adalah virus yang merupakan fakta medis dan dapat dicegah penularannya melalui cara-cara yang sangat realistis. Persoalannya adalah selama ini fakta (medis) tentang HIV/AIDS sering hilang dan digelapkan karena HIV/AIDS dibicarakan dan diberitakan dari aspek agama dan moral yang sama sekali tidak ada kaitanya secara langsung dengan HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, dll. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara pelacuran dengan HIV karena hubungan seks yang berisiko tinggi tertular HIV tidak hanya terjadi di lokalisasi pelacuran. Buktinya, di negara-negara yang tidak ada lokalisasi pelacuran pun ada kasus HIV/AIDS.

Akibatnya, mitos seputar HIV/AIDS pun tumbuh subur di masyarakat sehingga mereka lalai melindungi diri yaitu menghindarkan diri dari kegiatan berisiko tertular HIV. Padahal, dengan menghindarkan diri dari kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi tertular HIV sudah merupakan cara yang realistis untuk mencegah agar seseorang tidak tertular HIV.

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

27 Agustus 2013

Jutaan Rupiah Hanya untuk Tes HIV



* Itu yang dialami oleh penduduk Kab Sangihe dan Kab Talaud, Sulut

Seorang pria dengan penyakit yang terkait HIV/AIDS meninggal dunia sebelum sempat menjalani tes HIV. Pria itu dirawat di puskesmas kemudian ke rumah sakit.

Karena ada gejala-gejala terkait AIDS, ”Kita merencanakan membawa pria itu tes HIV ke Manado,” kata Hendro Dededaka, aktivis di GMIST (Gerjela Masehi Injili Sangihe Talaud), di sela-sela ”Pelatihan Dasar Radio & Film: Mengasah Nurani Menumbuhkan Jurnalistik Empatik” yang diselenggarakan YAKOMA di Jakarta (26-31 Agustus 2013).

Hendro memutar otak memikirkan biaya yang harus dikeluarkan dari Tahuna ke Kota Manado karena hanya di kota itulah yang ada tes HIV. Kejadian tahun lalu itu mendorong Hendro lebih giat menjalankan sosialisasi ke semua lapiran masyarakat, terutama umat gereja, dan pendampingan terhadap pengidap HIV/AIDS.

Itulah sebabnya Hendro dengan tekun mengikuti pelatihan. Tapi, kerja keras Hendro kelak tidak ada artinya jika di Kab Sangihe dan Kab Talaud tidak ada tempat tes HIV.

Bayangkan ongkos dari pelabuan Tahuna ke Kota Manado dengan kapal laut Rp 135.000 sekali jalan. Ini belum termasuk ongkos dari rumah yang mau tes HIV ke pelabuhan Tahuna.

Sesampainya di Manado tentu perlu penginapan. Sewa losmen paling murah Rp 150.000/malam. Jika dihitung-hitung ongkos Tahuna-Manado pp, penginapan, makan dan minum diperlukan lebih dari satu juta rupiah.

Biaya yang lebih besar diperlukan penduduk Kab Talaud jika ingin tes HIV ke Manado karena ibu kota Talaud, Melonguane, lebih ke utara lagi dari kota Tahuna.

Laki-laki yang meninggal itu meninggalkan istri dan anak sehingga mereka pun perlu menjalani tes HIV agar bisa dilakukan pendampingan terhadap mereka. Tapi, jika harus ke Manado tentulah mustahil bagi Hendro membawa keluarga itu karena membutuhkan dana yang besar.

Banyak laki-laki dewasa di Sangihe dan Talaud yang menunjukkan penyakit dengan gejala-gejala terkait HIV/AIDS. “Paling tidak ada 30-an,” kata Hendro mengingat-ingat yang pernah dia dampingi. Tapi, lagi-lagi Hendro tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada sarana untuk tes HIV.

Laki-laki dari Sangihe dan Talaud banyak yang bekerja di Papua dan Papua Barat. Seperti diketahui di Tanah Papua prevalensi HIV/AIDS tinggi dan pelacuran ada di semua kota.

Celakanya, program penjangkauan yaitu ‘kewajiban memakai kondom’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) tidak dijalankan dengan regulasi yang komprehensif.

Akibatnya, banyak laki-laki yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:

(1) Laki-laki penduduk asli Tanah Papua dan pendatang ada yang mengidap HIV/AIDS sehingga mereka menularkan HIV kepada PSK. Selanjutnya, laki-laki penduduk asli Tanah Papua dan pendatang yang sanggama tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV/AIDS.

(2) PSK yang ‘praktek’ di Tanah Papua sudah mengidap HIV/AIDS ketika mereka tiba di sana. Maka, laki-laki penduduk asli Tanah Papua dan pendatang yang sanggama tanpa kondom dengan PSK berisiko tertular HIV/AIDS.

Kondisi itulah yang tidak dipahami oleh laki-laki penduduk asli Tanah Papua dan pendatang, termasuk laki-laki perantau dari Sangihe dan Talaud.

Tentu saja hal itu jadi tantangan untuk Hendro dkk. yang sedang mengikuti pelatihan di Jakarta yaitu membuat materi siaran radio dan film dokumenter untuk memasyarakatkan cara-cara pencegahan HIV/AIDS yang konkret.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

25 Agustus 2013

Menyoal Kutipan dari ‘Surat Pembaca’ di Harian “Radar Jember”


Catatan. Tulisan ini dibuat tahun 2008 yang diharapkan bisa menjadi pedoman untuk memahami pandangan sebagian orang terhadap HIV/AIDS setelah lima tahun. Redaksi.

Ketika membaca artikel: ”KRITIK ISLAM TERHADAP STRATEGI PENANGGULANGAN HIV-AIDS BERBASIS PARADIGMA SEKULER-LIBERAL DAN SOLUSI ISLAM DALAM MENANGANI KOMPLEKSITAS PROBLEMATIKA HIV-AIDS”, Faizatul Rosyidah, Pusat Studi Intelektual Muslimah (PSIM) Unair Surabaya (http://www.scribd.com/doc/17476485/Kritik-Islam-Terhadap-Strategi-Penanggulangan-HivAids-Berbasis-Paradigma-Sekulerliberal-Dan-Solusi-Islam-Dalam-Menangani-Kompleksitas-Problematika-H) saya penasaran karena ada kutipan dari Harian “Radar Jember”.

Dalam tulisan itu Faizatul Rosyidah menyebutkan: Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa “Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.” Sesuai dengan catatan kaki dalam tulisan Faizatul Rosyidah itu, maka ini merupakan kutipan dari “Surat Pembaca”  di Harian “Radar Jember” edisi 11 Desember 2006 dengan judul “Info KesPro. Berita Aids yang Menyesatkan”.

Belakangan saya ingat bahwa saya pernah mengirimkan tanggapan terhadap berita ”Kondom Tak Efektif Atasi AIDS” yang dimuat di Harian ”Radar Jember” edisi 11 Desember 2006 untuk “Surat Pembaca”.  Karena “Surat Pembaca” tidak bisa dibaca di situs koran ini maka tanggapan itu kemudian saya muat di Newsletter ”infoAIDS”, Nomor 11/I/Januari 2008.

Faizatul Rosyidah menulis: Sungguh suatu kebodohan yang menyesatkan, menyatakan bahwa ”Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.” Karena kutipan ini ditandai dengan tanda petik berarti kutipan langsung. Setelah saya baca ulang surat yang saya kirimkan ke redaksi Harian ”Radar Jember” di newsletter ”infoAIDS” ternyata tidak ada kalimat itu.

Karena saya tidak membaca surat pembaca yang berisi tanggapan saya maka saya tidak tahu persis bagaimana surat saya diedit oleh Redakai Harian ”Radar Jember”. Kalau berpatokan kepada surat yang saya kirim sama sekali tidak ada pernyataan: ”Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas.”

Lalu, dari mana Faizatul Rosyidah mengutip pernyataan: ”Masalah HIV hanyalah masalah medis semata yang tidak berkaitan dengan perilaku seks bebas” sebagai kutipan dari ’Surat Pembaca’ di Harian ”Radar Jember”? Soalnya, dalam ”Surat Pembaca” tidak ada pernyataan itu.

Ini copy 'Surat Pembaca' yang saya kirim ke Harian ”Radar Jember” yang kemudian dimuat di Newsletter ”infoAIDS”.

Surat Pembaca
Berita AIDS yang Menyesatkan

Berita ”Kondom Tak Efektif Atasi AIDS” yang dimuat di harian Harian ”Radar Jember” edisi 11 Desember 2006 lagi-lagi menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat. Akibatnya, yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam berita itu sehingga akan menyesatkan masyarakat yang pada gilirannya membuat masyarakat lengah karena tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, disebutkan ” …. kondom hanya bisa mencegah masuknya sperma saat berhubungan seks, tetapi tidak menjamin bisa menghalangi masuknya virus mematikan itu melalui kondom. ” Ini tidak akurat karena HIV tidak bisa melepaskan diri dari air mani (bukan sperma karena di sperma tidak ada HIV) sehingga kalau air mani sudah tertampung di dalam kondom maka HIV pun ada di dalam kondom. Pemakaian virus mematikan tidak pas karena HIV tidak mematikan.

Kedua, disebutkan pula ” …. yang diperlukan bukan kondomisasi, namun gerakan moral semua elemen masyarakat untuk mencegah penyimpangan seks maupun kebebasan seks di tengah-tengah masyarakat.” Tidak ada kegaitan kondomisasi. Ini pernyataan yang menyesatkan. Kemudian tidak ada kaitan langsung antara penyimpangan seks dan kebebasan seks dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki atau perempuan tidak selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-dua HIV-negatif maka tidak ada penularan HIV biar pun ’penyimpangan seks’, ’kebebasan seks’, melacur, zina, anal atau oral seks, jajan, selingkuh, atau homoseksual.

Ketiga, pemateri dr Rifa tidak fair karena tidak menyebutkan keberhasilan penggunaan kondom dalam menurunkan insiden penularan HIV melalui hubungan seks seperti yang terjadi di Afrika, Thailand, dll.

Keempat, disebutkan ” …. bahan yang digunakan kondom adalah pori-pori lateks yang hanya berdiameter 1/60 mikron. Maka, pori-pori kondom lebih besar daripada virus HIV/AIDS.”  Ini tidak akurat karena kondom yang dipasarkan di Indonesia adalah yang terbuat dari getah lateks yang sama sekali tidak mempunyai pori-pori. Kondom yang berpori-pori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang dan tiadk dijual di Indonesia.

Kelima, disebutkan pencegahan penyebaran HIV/AIDS dengan ’mencegah meluasnya pergaulan seks di kalangan masyarakat.” Ini jelas mitos karena yang menjadikan agama dan kitab suci sebagai UUD pun tetap ada kasus HIV. Di Arab Saudi, misalnya, sampai awal tahun ini sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS.

Keenam, disebutkan HIV/AIDS belum ditemukan obatnya. Untuk diketahui ada penyakit yang tidak ada obatnya (demam berdarah), dan ada pula penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan (diabetes dan darah tinggi). HIV/AIDS bisa diobati karena sudah ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan.

Ketujuh, disebutkan ” …. penyebab utama penularan virus tersebut adalah seks bebas, homoseks dan lesbianisme.” Lagi-lagi ini tidak akurat dan hanya mitos. Tidak ada kaitan langsung antara seks bebas, homoseks, dan lesbianisme dengan penularan HIV. Apa, sih, yang dimaksud dengan seks bebas? Kalau seks bebas diartikan zina maka jelas tidak ada kaitan langsung antara zina dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi kalau salah atau atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan tidak memakai kondom setiap hubungan seks. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada penularan HIV biar pun seks bebas, homoseks atau lesbianisme.

Selama materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS tetap dibalut dengan moral dan agama maka yang akan ditangkap masyarakat hanya mitos. Inilah yang menyesatkan karena masyarakat tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat dan realistis. Pada gilirannya pandemi HIV akan menjadi ’bom waktu’ bagi ledakan kasus AIDS.

Syaiful W. Harahap
LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta

[Sumber: Newsletter ”infoAIDS”, Nomor 11/I/Januari 2008]