22 Agustus 2013

Santunan Kematian yang Diskriminatif


Catatan: Kondisi ini terjadi tahun 2007, tapi bisa menjadi perbandingan pada situasi sekarang terkait dengan pengobatan dan asuransi terkait dengan pengidap HIV/AIDS. Redaksi.

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita “Sosialisasi Dana Kematian Rp 2 juta, Mati kena AIDS tak disantuni” di Harian “Monitor Depok” edisi 13 September 2007 merupakan gambaran nyata tentang pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat di banyak kalangan. Berita itu pun menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang tidak adil) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Selain itu pernyataan terkait HIV/AIDS dalam berita itu pun tidak akurat yang justru menimbulkan mitos (anggapan yang salah) terhadap HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan “Warga Depok yang meninggal akibat AIDS/HIV”. Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyebab kematian. Seseorang yang tertular HIV akan sampai kepada masa AIDS (antara 5 – 10 tahun kemudian). Pada masa AIDS ini sistem kekebalan tubuh sudah rapuh sehingga mudah tertular penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik. Penyakit-penyakit inilah, seperti diare, TBC, dll. yang menyebabkan kematian seorang Odha.

HIV adalah virus yang tergolong sebagai retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan perempuan), air mani (laki-laki, di dalam sperma tidak ada HIV), cairan vagina (perempuan), dan air susu ibu/ASI (perempuan). Penularan HIV melalui darah bisa terjadi kalau darah yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui transfusi darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina bisa terjadi kalau air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah. Penularan HIV melalui ASI bisa terjadi pada proses menyusui dengan seorang perempuan yang HIV-positif.

Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS. Yang tertular pun tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena juga tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada diri seseorang ketika dia tertular HIV.

Selama ini materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) tentang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga yang muncul hanya mitos. Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual. Ini mitos karena penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah atau di luar nikah (zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria) dan homoseksual bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan melalui hubungan seks biar pun mereka melakukannya dengan zina, pelacuran, selingkuh, jajan, ‘seks bebas’, waria, dan homoseksual.

Tidak disebutkan alasan yang masuk akal mengapa kematian terkait HIV/AIDS tidak berhak menerima santunan kematian. Inilah salah satu bentuk diskriminasi yang merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

Alasan diskriminasi muncul dari penyataan Walikota Depok “Itu membantu Pemkot mencegah warga melakukan perbuatan melanggar hukum.” Tidak jelas perbuatan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang tertular HIV yang disebut sebahgai ‘perbuatan melanggar hukum’.

Seseorang yang tertular HIV dari transfusi darah sangat jelas tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Secara akidah orang yang melakukan transfusi darah wajib hukumnya jika cara itu akan menyelamatkan nyawanya. Di Malaysia seorang perempuan guru mengaji Alquran tertular HIV di RS Jitra di Kedah, 28 April 2000. Perempuan tadi menuntut pemerintah Malaysia membayar ganti rugi 100 juta ringgit (sekitar Rp 200 miliar). Seandainya kasus itu terjadi di Depok dan orang yang tertular HIV kemudian meninggal, mengapa dia tidak berhak mendapatkan santunan kematian?

Dalam berita disebutkan “Bagaiman jika ada anak yang mendapat AIDS karena turunan dari orang tuanya.” Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit turunan tapi penyakit menular. Seorang perempuan yang tertular HIV berisiko menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya terutama pada saat melahirkan dan menyusui dengan ASI.

Diskriminasi santunan kematian kepada Odha patut dipertanyakan kalau kematian terkait Hepatitis B, kecelakaan lalu lintas, dan penyakit karena dengan pola (perilaku) diberikan santunan. Penularan virus Hepatitis B sama dengan penularan HIV.

Melihat penyebaran HIV yang kian merata di semua lapisan masyarakat di seluruh Nusantara maka tidak tertutup kemungkinan kasus HIV/AIDS juga akan menjadi persoalan (kesehatan) masayarakat di Depok. Secara nasional sudah dilaporkan 15.502 kasus kumuilatif HIV/AIDS. Tapi, angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya karena banyak kasus yang tidak terdeteksi.

Kasus yang tidak terdeteksi itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV yang pada gilirannya kelak akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS, termasuk di Depok. Jika ini yang terjadi maka kematian terkait HIV/AIDS pun tentulah tidak sedikit.

* Penulis adalah pemerhati HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.

[Sumber: Harian “Monitor Depok”, 17 September 2007]

21 Agustus 2013

Angka AIDS yang Kecil adalah Kebanggaan Semu



* Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan jadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS

Opini (20/8-2013) – Tidak sedikit penguasa daerah yang membusungkan dada kalau daerahnya tidak masuk dalam daftar yang memuat laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Kemenkes.

Tapi, sekarang daerah justru melaporkan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di daerahnya karena terkait dengan dana penanggulangan.

Di awal-awal epidemi ada kesan bahwa jika tidak ada kasus yang dilaporkan atau jumlah kasus yang dilaporkan kecil, maka daerah itu ‘bersih’ dari HIV/AIDS.

Tapi, setelah banyak kegiatan terkait HIV/AIDS, seperti penyuluhan, penjangkaua dan penyediaan tempat tes HIV, dikenal sebagai Klinik VCT, kasus demi kasus baru pun mulai terdeteksi.

Satu hal yang dilupakan oleh kepala-kepala daerah adalah bahwa angka kasus HIV/AIDS yang sedikit atau kecil merupakan ‘kebanggaan semu’ karena kasus itu tidak menggambarkan jumlah penduduk yang mengidap HIV/AIDS.

Belakangan ini justru banyak daerah yang kelabakan ketika angka kasus HIV/AIDS di daerahnya tiba-tiba melonjak.

Reaksi yang muncul pun sering tidak bernalar. Mulai dari usulan karantina, isolasi, pelacakan, merancang peraturan yang menghabiskan ratusan juta rupiah uang rakyat, studi banding, seminar, pelatihan, dll.

Padahal, dari aspek epidemiologi penemuan kasus (baru) HIV/AIDS merupakan titik awal dari upaya memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Kasus yang terdeteksi hanyalah sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Dalam epidemi HIV/AIDS dikenal istilah fenomena gunung es. Puncak gunung es yang dapat dilihat di permukaan laut sangat kecil (ini menggambarkan angka yang terdeteksi) tapi bagian yang tidak muncul ke permukaan jauh lebih besar (ini menggambarkan kasus yang tidak terdeteksi). Tidak ada rumus yang bisa menentukan jumlah kasus yang tidak terdeteksi (Lihat Gambar).

Mata Rantai

Kasus AIDS di kalangan pengguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) suntikan merupakan mata rantai penyebaran HIV antar penduduk secara horizontal melalui hubungan seks (dengan pacar, istri, suami, selingkuhan, dan pekerja seks). Jika pengguna narkoba terdeteksi pada tahap AIDS berarti mereka sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelumnya. Nah, tanpa mereka sadari pada rentang waktu antara 5-15 tahun sebelum mereka terdeteksi HIV-positif mereka sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV ke masyarakat.

Yang beristri akan menulari istrinya melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam nikah. Kalau istrinya tertular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). 

Selain itu mereka pun akan menjadi mata rantai penularan HIV kepada pengguna narkoba lain. Andaikan seorang pengguna narkoba yang HIV-positif memakai narkoba dengan jarum suntik secara bergantian dengan lima temannya maka ada risiko penularan kepada lima temannya itu. Tingkat risiko penularan melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian pada pengguna narkoba mendekati 100 persen.

Kalau ada di antara lima temannya tadi yang tertular maka mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV pula. Kepada istri, pacar, PSK atau pengguna narkoba lain. Angka ini terus bertambah bagaikan deret ukur.

Penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena seseorang yang sudah tertular HIV tidak menunjukkan tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain melalui: (a) melalui hubungan seksual pada heteroseksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, (b) transfusi darah, (c) cangkok organ tubuh, (d) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo dan alat-alat kesehatan, (e) menyusui dengan ASI, dan (f) homoseksual tanpa kondom.

Inilah yang membuat kasus HIV/AIDS terus bertambah dengan cepat tanpa bisa dikendalikan karena orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa dikenali melalui fisiknya. Banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV.

Anjuran Tes HIV

HIV adalah virus yang tergolong retrovirus yaitu virus yang bisa menggandakan diri di dalam sel-sel darah putih manusia. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIV sebagai ‘pabrik’ untuk menggandakan diri rusak. HIV yang baru diproduksi dalam jumlah yang banyak akan mencari sel darah putih lain untuk menggandakan diri. Begitu seterusnya tanpa menimbulkan gejala pada kesehatan.

Jika sel-sel darah putih sudah banyak yang rusak maka sampai pada tahap AIDS. Seseorang yang tertular HIV yang sudah sampai pada masa AIDS akan mudah sakit karena berbagai penyakit, baik karena kuman, bakteri atau virus mudah masuk. Hal ini terjadi karena sel-sel darah putih yang menjadi ‘bala tentara’ perlindungan tubuh tidak berdaya lagi menghadapi serangan penyakit. Maka, yang membuat Odha (Orang dengan HIV/AIDS) meninggal adalah penyakit-penyakit yang menyerang pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Penularan HIV dapat dicegah dengan cara-cara yang sangat masuk akal yaitu menghindari agar darah, air mani, cairan vagina atau ASI yang mengandung HIV tidak masuk ke dalam tubuh. 

Persoalannya adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV dari penampilan fisiknya.

Lalu, bagaimana caranya melindungi diri agar tertularHIV/AIDS?

Cara yang masuk akal adalah menghindari perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu:

(a) Tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-poistif

(b) Tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di mana saja dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pelanggan mereka HIV-poistif,

(c) Tidak menerima transfusi darah dan cangkok organ tubuh yang tidak diskrining HIV

(d) Ttidak memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, pisau cukur dan alat-alat kesehatan yang sudah dipakai orang lain.

Nah, kalau ada seseorang, laki-laki atau perempuan, yang pernah melakukan perilaku berisiko, di daerah sendiri, di luar daerah, atau di luar negeri, maka dia sudah berisiko tertular HIV.

Biar pun di daerah sendiri tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran, tapi bisa saja melakukan perilaku berisiko di luar daerah. Soalnya, tidak ada satu negara pun di dunia ini bebas HIV/AIDS.

Maka, kalau ada penduduk di satu daerah yang tertular HIV maka merekalah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual di dalam atau di luar nikah, antar penduduk tanpa mereka sadari.

Langkah yang tepat bagi orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko tinggi adalah menjalani tes HIV secara sukarela untuk mengetahui status HIV: sudah tertular atau belum tertular.

Bagi orang-orang yang terdeteksi sudah tertular melalui tes HIV, maka mereka diminta untuk memutus mata rantai penyebaran HIV yaitu tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, tidak mendonorkan darah, tidak memakai jarum suntik bergantian. Mereka pun dapat pula ditangani secara medis sehingga tetap bisa produktif. Misalnya, pemberian obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan penggandaan HIV di dalam darah.

Sedangkan bagi yang tidak tertular dianjurkan agar menjauhi perilaku berisiko tinggi.

-         AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

20 Agustus 2013

Tes HIV Sebelum Menikah Bisa Jadi Bumerang



* Wacana tes HIV bagi calon pengantin di Sumedang, Jabar, tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV

Tanggapan Berita (21/8-2013) – ”Calon Pengantin di Sumedang Diusulkan Wajib Tes HIV/AIDS”. Ini judul berita di tribunnews.com (21/8-2013).

Wacana itu sudah lama bergulir. Tapi, tanpa disadari jika hal itu dijalankan maka tidak ada manfaatnya. Sia-sia. Menggantang asap.

Mengapa?

Tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun satu pasangan tidak mengidap HIV/AIDS ketika menikah itu tidak jaminan selamanya mereka akan bebas dari HIV/AIDS (Lihat: Sia-sia, Tes HIV Sebelum Menikah - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/sia-sia-tes-hiv-sebelum-menikah_30.html).

Bisa saja setelah menikah salah satu dari pasangan itu tertular HIV, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Selain itu tes HIV pun bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi hasil tes nonreaktif karena reagen tidak bisa mendeteksi antibody HIV yang belum ada di dalam darah).

Hasil tes HIV negatif palsu bisa terjadi jika calon mempelai itu menjalani tes HIV pada masa jendela. Artinya, yang dites tertular HIV di bawah tiga bulan (Lihat Gambar).

Usul  tes HIV bagi pasangan calon pengantin muncul  pada pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS  saat dengar pendapat Panitia Khusus (Pansus) Raperda Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di DPRD Sumedang (20/8-2013).

Sekretaris Pansus, drg Rahmat Juliadi, mengatakan pasangan calon pengantin harus tahu kondisi pasangannya.

Rahmat rupanya lupa kalau kondisi pasangan melalui tes HIV hanya berlaku saat tes HIV itu saja. Artinya, setelah tes HIV bisa saja ada di antara calon pasangan pengantin itu yang tertular HIV (Lihat Gambar 1).

Hasil tes HIV sebelum menikah juga akan jadi bumerang [KBBI: perkataan (perbuatan, ulah, peraturan, dsb) yg dapat merugikan atau mencelakakan diri sendiri] bagi pasangan tsb., terutama istri. Misalnya, setelah menikah terdeteksi anak atau istri mengidap HIV/AIDS.

Maka, suami akan bertolak pinggang, menepuk dada dan menuding istrinya: Kamu selingkuh!

Koq bisa?

Ya, iyalah. Suami ’kan sudah memegang ’surat bebas AIDS’ berdasarkan tes HIV sebelum menikah. Maka, suami pun berpegang teguh pada hasil tes tsb. dan menyalahkan istrinya.

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Sumedang, Hilman Taufik, banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya.

Pertanyaan untuk Hilman: Apakah bisa dibuktikan bahwa suami mengidap HIV/AIDS sebelum menikah?

Ini yang jadi persoalan besar karena kalau suami sudah mengidap HIV/AIDS ketika menikah, maka anak-anak mereka, mulai dari anak pertama berisiko tertular HIV (Lihat Gambar 2).


Kalau dari kasus-kasus ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Kab Sumedang ternyata anak pertama mereka tidak mengidap HIV/AIDS bisa jadi suami tertular HIV sesudah menikah.

Raperda AIDS Kab Sumedang hanya copy-paste dari perda-perda yang sudah ada. Bahkan, di Jabar sudah ada delapan perda (satu provinsi dan tujuh kabupaten/kota) dan satu pergub.

Apakah Pansus Raperda AIDS Kab Sumedang belajar dari perda-perda yang sudah ada?

Jika melihat usulan dan wacana yang muncul pansus itu sama sekali tidak belajar dari kegagalan puluhan perda AIDS yang sudah ada di Indonesia (Lihat: Menyorot Raperda AIDS Kabupaten Sumedang - http://www.aidsindonesia.com/2013/07/menyorot-raperda-aids-kab-sumedang.html).

Maka, yang diperlukan adalah konseling atau bimbingan sebelum menikah yaitu memberikan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS.

Melalui konseling itu calon pengantin diajak jujur pada dirinya sendiri. Kalau ada di antara mereka yang merasa perilakunya berisiko, maka dianjurkan tes HIV.

Konseling sebelum menikah mendorong pasangan itu agar selalu menghindari perilaku berisiko tertular HIV karena tanpa disadari kawin-cerai dan beristri lebih dari satu pun merupakan perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

‘Perkawinan Singkat’ di Pucak, Jabar, (Bisa) Mewariskan AIDS


Opini (22/8-2006) - “Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (”Wapres Dituntut Minta Maaf atas Pernyataannya”, Harian “KOMPAS”, 1 Juli 2006).

Pernyataan Wapres Jusuf Kalla itu bukan lagi sekedar ‘wacana’ karena di Kampung Blok Subur, sebuah desa di kawasan Puncak, Kab. Bogor, Jawa Barat, sejak tahun 1980-an sudah dikenal ‘kawin kontrak’ antara perempuan desa itu dan dari daerah lain dengan turis asal Timur Tengah. Desa itu dikenal sebagai ‘Kampung Janda’. Sekarang ‘kawin kontrak’ sudah ‘merambat’ ke beberapa kampung di kawasan Puncak. Perempuan yang dikawinkan berasal dari berbagai daerah, seperti Cianjur, Sukabumi, Karawang dan Indramayu yang dibawa oleh calo. Lama perkawinan bervariasi mulai dari hitungan hari, minggu, bulan dan tahunan.

Di kala epidemi HIV sudah terdeteksi di semua negara maka ada kemungkinan seorang penduduk atau turis menjadi mata rantai penyebaran HIV antar penduduk di satu negara atau antar negara.. Kalau turis, dari dalam atau luar negeri, yang melakukan pernikahan singkat di Puncak itu HIV-positif maka selain meninggalkan anak yang memiliki gen yang lebih baik juga sekaligus menularkan HIV kepada ‘istrinya’. Selanjutnya, ‘istri’ yang diceraikannya setelah ‘nikah singkat’ itu pun menjadi mata rantai penyebaran HIV. Kepada anak yang dikandungnya atau kepada turis lain atau penduduk yang kelak mengawininya.

Ada salah kaprah dalam bentuk mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Disebutkan HIV menular karena zina, pelacuran, seks oral dan seks anal, serta homoseksual. Ini terjadi karena materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) selalu dibalut dengan moral sehingga tidak akurat. Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS.

Banyak yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena mereka merasa tidak melakukan zina. Biar pun dilakukan dengan pekerja seks tapi mereka ‘menikah’dulu sehingga hubungan seksual yang mereka lakukan sah. Ada lagi yang tidak merasa berisiko tertular HIV biar pun dia menikahi pekerja seks karena hubungan seksual mereka lakukan di dalam ikatan pernikahan. Bahkan, dari sisi moral laki-laki yang menikahi pekerja seks tadi menjadi ‘pahlawan’, tapi dari sisi penularan HIV dia berisiko karena sebelum dinikahinya istrinya merupakan orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV yaitu berganti-ganti pasangan.

Padahal, kegiatan mereka itu berisiko tinggi tertular HIV. Perempuan yang mereka ‘nikahi’ sering berganti-ganti pasangan sehingga berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah ‘menikah’ dengannya HIV-positif.

Persoalan besar pada epidemi HIV adalah penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik seseorang yang sudah tertular HIV sebelum mencapai masa AIDS (antara 5 – 10 tahun setelah tertular HIV). Pada kurun waktu itulah terjadi penularan HIV tanpa disadari.

Laporan UNAIDS, menyebutkan sejak awal epidemi sampai Desember 2005 secara global tercatat 40,3 juta penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS. Kematian mencapai 3,1 juta. Infeksi baru pada tahun 2005 mencapai 4,9 juta. Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan Depkes 10.156, sedangkan kalangan ahli memperkirakan antara 80.000 – 120.000.

Dalam laporan terbaru UNAIDS (AIDS epidemic update December 2005) disebutkan bahwa peningkatan kasus AIDS di Afrika Utara dan Timur Tengah terus berlanjut. Penularan terjadi melalui hubungan seksual dan jarum suntik pada penggunaan narkoba. Dilaporkan pula bahwa program pelayanan dan pencegahan HIV di kawasan ini berlangsung secara sporadis. Pengetahuan tentang HIV/AIDS rendah. Kegiatan pencegahan, termasuk di kalangan yang berisiko tinggi, jarang dilakukan.

Di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah diperkirakan 510.000 kasus HIV/AIDS dengan perkiraan tertinggi 1,4 juta. Sampai akhir 2004 di Arab Saudi dilaporkan 8.919 kasus kasus HIV/AIDS (arabnews.com – 3 September 2005). Bertolak dari fakta ini maka sangat beralasan kalau ada kekhawatiran terjadi penularan HIV kepada perempuan yang dijadikan istri pada pernikahan singkat.

Turis tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV, sedangkan perempuan yang dijadikan ‘istri singkat’ pun tidak menganggap pernikahan itu berisiko karena mereka melakukannya dalam ikatan pernikahan yang sah.

Sebuah organisasi mahasiswa keagamaan pernah mengusulkan agar dilakukan nikah mut’ah di lokalisasi pelacuran (Panji Masyarakat, No. 13, Tahun I, 14 Juli 1997). Biar pun hubungan seksual ‘halal’ tapi penularan HIV dan PMS (penyakit menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) tetap bisa terjadi karena penularan HIV dan PMS melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seksual (di dalam atau di luar nikah) tapi erat kaitannya dengan kondisi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom).

Sejak AIDS diidentifikasi pertama kali (1981) dan HIV diakui oleh WHO sebagai virus penyebab AIDS (1986) kalangan medis sudah mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang realistis.

Tapi, karena di awal epidemi kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan gay dan pekerja seks maka AIDS pun dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya, fakta medis HIV/AIDS pun hilang dan yang muncul hanya mitos. Mitos ini menyesatkan. Penularan HIV pun terjadi diam-diam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV biar pun perilakunya berisiko tinggi. Soalnya, perilaku berisiko itu dilakukan di dalam ikatan pernikahan yang sah.***

- AIDS Watch Indonesia/ Syaiful W. Harahap

18 Agustus 2013

Fenomena Nelayan Thailand dan Epidemi HIV di Kalimantan Barat


Catatan: Tulisan ini menggambarkan pandangan dan pemahaman terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di tahun 2001. Gambaran ini bisa menjadi perbandingan tentang pandangan dan pemahaman terhadap HIV/AIDS di tahun 2013. Redaksi.

Jakarta, 8/11-2001. Dalam laporan bulanan kasus kumulatif kasus HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL, Depkeskesos, sampai Juli 2001 tercatat 50 kasus HIV/AIDS di Kalimantan Barat (Kalbar) yang terdiri atas 49 HIV (28 di antaranya nelayan asing yang sudah dipulangkan ke negaranya) dan 1 AIDS dengan kematian 1. Epidemi HIV di Kalbar selalu dikait-kaitkan dengan kehadiran nelayan Thailand.

Di salah satu sesi pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IV 1997 di Manila, Filipina, pembicara dari Indonesia, ketika itu alm. dr. Hadi M. Abednego, waktu itu Dirjen PPM&PLP Depkes, diprotes oleh seorang remaja Thailand, waktu itu berusia 17 tahun, aktivis di Population Council Thailand, karena menyebutkan penularan HIV di Merauke, Papua (d/h. Irian Jaya) terjadi karena kehadiran nelayan Thailand.

Soalnya, menurut gadis itu, mobilitas penduduk Merauke juga perlu diperhitungkan. Penduduk dari daerah lain di Indonesia juga, ‘kan, datang ke sana. Dia sangat menyesalkan cara penyajian yang mengait-ngaitkan sebuah bangsa dengan epidemi HIV karena tidak hanya nelayan Thailand yang mengunjungi Merauke. Penduduk dari daerah dan negara lain pun ada yang datang Merauke. Begitu pula dengan penduduk Merauke tentu saja mereka juga bepergian pula ke luar daerahnya.

Bertolak dari fakta di atas tentulah cara-cara yang selalu menyalahkan pihak lain dan menuding nelayan suatu bangsa sebagai penyebar HIV tidak etis dan hal itu pun merupakan penyangkalan terhadap epidemi HIV yang sudah ada di depan mata dan penyebarannya pun sudah terjadi secara horizontal antara penduduk setempat. Bisa saja ada penduduk Kalbar yang tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri, atau sebaliknya ada penduduk dari daerah lain atau negara lain yang menulari penduduk Kalbar.

Dalam masalah HIV/AIDS seseoarang berisiko tertular HIV jika (1) melakukan hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (2) melakukan hubugnan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa kondom dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan di dalam dan di luar nikah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4) memakai jarum suntik dan semprit secara bersama dengan bergantian.

Maka biar pun prevalensi HIV/AIDS di Kalbar per 100.000 penduduk 0,02 tetapi kalau seseorang melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko maka kemungkinan tertular pun tetap ada. Probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui sanggama yang tidak aman antara pria dengan wanita yang HIV-positif berkisar antara 0,03-5,6 persen untuk setiap kontak, tetapi karena hubungan seks sering dilakukan, apalagi dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang suka berganti-ganti pasangan, maka risiko tertular pun meningkat pula.

Namun, biar pun HIV/AIDS merupakan fakta medis tetapi tidak sedikit orang, termasuk jajaran Depkes, yang panik. Misalnya, ada pernyataan Kakanwil Depkeskesos Kalbar yang mengatakan akan mengetes darah penduduk Kepulauan Karimata, Kabupaten Ketepang hanya karena ada nelayan Thailand yang mampir ke pulau itu jelas tidak rasional. Soalnya, belum tentu semua penduduk melakukan kegiatan berisiko, seperti bayi dan orang-orang yang sudah uzur. HIV tidak menular melalui pergaulan sosial.

Sebagai virus, HIV hanya bisa hidup di dalam larutan yaitu darah, sperma dan cairan vagina. HIV tidak bisa disebar-sebarkan karena hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa kondom dengan seseorang yang HIV-positif di dalam dan di luar nikah yang sah, (2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.

Fenomena Gunung Es

Laporan resmi pemerintah melalui Ditjen P2M&PL Depkessos sampai tanggal 31 Mei 2001 menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seks adalah (a) heteroseks atau antara pria dan wanita adalah 54,62%, (b) homoseks adalah 6,44%. Lagi pula yang perlu diingat tidak semua hubungan seks heteroseks di luar nikah. Dalam agama Islam nikah sah jika sudah memenuhi rukun yaitu (1) ada calon suami, (2) ada calon istri, (3) wali, (4) dua saksi, dan (5) ijab dan kabul.
Jadi, biar pun tidak dicatat di KUA pernikahan tetap sah.

Bukti lain menunjukkan ada 27 ibu-ibu rumah tangga yang terikat dalam perkawinan yang sah terinfeksi HIV di 13 provinsi (Media Indonesia, 6/7-2000). Selain itu penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya positif HIV (Media Indonesia, 2/12-2000).

Lagi pula tidak ada dasar hukum yang mengharuskan penduduk menjalani tes HIV dan tidak ada pula kekuatan hukum yang membuat Kakanwil melakukan tes HIV kepada penduduk. Jika ini terjadi berarti merupakan perbuatan yang melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Kalau nelayan yang mampir di pulau itu diketahui ada yang HIV-positif, maka kepada penduduk yang melakukan perilaku-perilaku yang berisiko tinggi dianjurkan menjalani tes HIV secara sukarela dan bersifat anonim dengan disertai konseling prates dan pasca tes. Hal yang sama bukan hanya kepada penduduk di pulau itu, tetapi dianjurkan juga kepada semua orang yang (pernah) melakukan perilaku berisiko, terutama di tempat-tempat yang prevalensi HIV-nya tinggi.

Karena HIV/AIDS merupakan fakta medis yang dapat diuji di laboratorium, maka tidak ada alasan untuk menduga-duga seseorang sudah tertular HIV biar pun ada gejala-gejala minor dan mayor yang terkait dengan AIDS karena status HIV hanya dapat diketahui melalui diagnosis tes HIV. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kondisi sistem kekebalan tubuh seseorang yang sudah dirusak oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan lebih dari 70 jenis penyakit infeksi oportunistik. Masa AIDS terjadi antara 7-12 tahun setelah seseorang tertular HIV.

Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan dunia luar muncul pula kesan Kalbar sebagai daerah rawan HIV/AIDS. Ini pun jelas mitos karena rawan atau tidak rawan bukan karena letak geografis tetapi sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan penduduk apakah mereka melakukan kegiatan berisiko atau tidak. Jadi, biar pun banyak turis asing yang datang ke Kalbar kalau penduduk menghindarkan diri dari kegiatan berisiko maka tidak akan pernah terjadi penyebaran HIV.

Banyak negara yang “terisolir” dari dunia luar, tidak ada bar, karaoke, panti pijat dan tidak ada pula lokalisasi pelacuran tetapi tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Dalam laporan WHO/UNAIDS (Report on global HIV/AIDS epidemic, Juni, 1998), misalnya, sampai akhir tahun 1997 Arab Saudi sudah melaporkan 334 kasus AIDS, Bahrain 37, Brunei 10, Irak 104, Iran 154, Kuwait 24, Mesir 153, Qatar 85, Uni Emirat Arab 8. Hal ini bisa saja terjadi karena penduduk negara yang bersangkutan bisa saja melakukan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi tertular HIV di luar negaranya.

Karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) artinya angka yang muncul hanya merupakan sebagian kecil dari angka yang tidak terdeteksi maka diperlukan suatu sistem untuk mendapatkan angka yang realistis melalui surveilans tes HIV. Angka-angka yang muncul merupakan prevalensi HIV (epidemi suatu penyakit pada waktu tertentu dan pada kalangan tertentu). Malaysia, misalnya, melakukan tes rutin terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit menular seksual, seperti kencing nanah/GO, sifilis, hepatitis B), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB. Sedangkan di Indonesia surveilans hanya dilakukan terhadap pekerja seks dan waria itu pun hanya sporadis.

Materi Kampanye

Maka tidak mengherankan kelau kemudian angka yang muncul di Indonesia tidak realistis. Sampai 31 Mei 2001, umpamanya, kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen P2M&PL, Depkeskesos, di Indonesia yang berpenduduk 200 juta baru mencapai 1.956 (angka ini termasuk orang asing yang terdeteksi di Indonesia yaitu 277, tidak diketahui 68 dan tidak disebut 47, dan tes surveilans). Bandingkan dengan Malaysia yang sampai penghujung tahun 1999 saja sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan yang terdiri atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal.

Surveilans terhadap pekerja seks sering pula melanggar hak asasi manusia (HAM) karena tidak sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang sudah disepakati secara internasional, antara lain harus menerapkan asas anonimitas (contoh darah tidak boleh diberikan kode atau tanda yang memungkinkan seseorang mengetahui identitas pemilik contoh darah tsb.) dan disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes.

Prevalensi dikeperlukan untuk epidemiologis, seperti perencaan kebijakan pencegahan dan pengoatan. Prevalensi HIV diketahui melalui surveilans tes, sedangkan untuk pengobatan dan perawatan status HIV seseorang diketahui melalui diagnosis dengan tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi. Jadi, tidak perlu mencari-cari status HIV pendudu, misalnya dengan menjalankan tes terhadap calon TKI. Tes untuk calon TKI dapat dilakukan dalam kerangka surveilans untuk mendapatkan gambaran epidemi di kalangan calon TKI.

Dalam masalah HIV/AIDS akan lebih baik kalau yang dikedepankan fakta medis karena pembicaraan HIV/AIDS di luar fakta medis akan menyuburkan mitos (anggapan yang keliru) sehingga usaha untuk memutus mata rantai epidemi HIV pun tidak akan berhasil. Mitos yang sudah berkembang, misalnya, HIV menular melalui zina, hubungan seksual menyimpang dan pengunaan obat-obatan terlarang, dll.
Hal ini jelas salah kaprah karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan zina. Dalam ikatan pernikahan yang sah pun bisa terjadi penularan HIV jika salah satu pasangan tersebut HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa kondom.

Dalam kaitan peningkatan kewaspadaan terahdap epidemi HIV diperlukan kampanye yang efektif, antara lain melalui KEI (komunikasi, edukasi dan informasi). Persoalannya, selama ini materi KIE seputar HIV/AIDS tidak objektif. Misalnya, cara mengindari HIV disebutkan jangan berzina atau jangan melakukan hubungan seks di luar nikah. Ini jelas tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seks terjadi jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan sanggama dilakukan tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. HIV/AIDS pun selalu dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Padahal, dalam kaitan pencegahan diperlukan KIE yang akurat, objektif dan fair.

Jadi, jangan heran kalau 11 tentara Indonesia yang dikirim sebagai pasukan perdamaian PBB ke Kamboja tertular HIV di sana (GATRA, 5/8-2000). Sebaliknya, tentara Belanda tidak ada yang terular HIV. Mengapa hal ini bisa terjadi? Rupanya, tentara Indonesia hanya dibekali dengan senapan dan wejangan, sedangkan tentara Belanda selain membawa bedil juga dipersenjatai dengan kondom untuk melindungi "si kecil". Soalnya, ketika itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks di Kamboja antara 32-64 persen sehingga risiko tertular sangat besar.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap