Catatan: Tulisan ini menggambarkan pandangan dan pemahaman terkait
dengan penyebaran HIV/AIDS di tahun 2001. Gambaran ini bisa menjadi
perbandingan tentang pandangan dan pemahaman terhadap HIV/AIDS di tahun 2013.
Redaksi.
Jakarta, 8/11-2001. Dalam laporan bulanan kasus kumulatif kasus HIV/AIDS
yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL, Depkeskesos, sampai Juli 2001 tercatat 50
kasus HIV/AIDS di Kalimantan Barat (Kalbar) yang terdiri atas 49 HIV (28 di antaranya
nelayan asing yang sudah dipulangkan ke negaranya) dan 1 AIDS dengan kematian
1. Epidemi HIV di Kalbar selalu dikait-kaitkan dengan kehadiran nelayan
Thailand.
Di salah satu sesi pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik IV 1997 di
Manila, Filipina, pembicara dari Indonesia, ketika itu alm. dr. Hadi M.
Abednego, waktu itu Dirjen PPM&PLP Depkes, diprotes oleh seorang remaja
Thailand, waktu itu berusia 17 tahun, aktivis di Population Council Thailand,
karena menyebutkan penularan HIV di Merauke, Papua (d/h. Irian Jaya) terjadi
karena kehadiran nelayan Thailand.
Soalnya, menurut gadis itu, mobilitas penduduk Merauke juga perlu
diperhitungkan. Penduduk dari daerah lain di Indonesia juga, ‘kan, datang ke
sana. Dia sangat menyesalkan cara penyajian yang mengait-ngaitkan sebuah bangsa
dengan epidemi HIV karena tidak hanya nelayan Thailand yang mengunjungi
Merauke. Penduduk dari daerah dan negara lain pun ada yang datang Merauke.
Begitu pula dengan penduduk Merauke tentu saja mereka juga bepergian pula ke
luar daerahnya.
Bertolak dari fakta di atas tentulah cara-cara yang selalu menyalahkan pihak
lain dan menuding nelayan suatu bangsa sebagai penyebar HIV tidak etis dan hal
itu pun merupakan penyangkalan terhadap epidemi HIV yang sudah ada di depan
mata dan penyebarannya pun sudah terjadi secara horizontal antara penduduk
setempat. Bisa saja ada penduduk Kalbar yang tertular HIV di luar daerah atau
di luar negeri, atau sebaliknya ada penduduk dari daerah lain atau negara lain
yang menulari penduduk Kalbar.
Dalam masalah HIV/AIDS seseoarang berisiko tertular HIV jika (1) melakukan
hubungan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa
kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, (2)
melakukan hubugnan seks (sanggama) baik heteroseks, homoseks, seks anal dan
oral tanpa kondom dengan seseorang yang berganti-ganti pasangan di dalam dan di
luar nikah, (3) menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV, dan (4)
memakai jarum suntik dan semprit secara bersama dengan bergantian.
Maka biar pun prevalensi HIV/AIDS di Kalbar per 100.000 penduduk 0,02 tetapi
kalau seseorang melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko maka kemungkinan
tertular pun tetap ada. Probabilitas (kemungkinan) tertular HIV melalui
sanggama yang tidak aman antara pria dengan wanita yang HIV-positif berkisar
antara 0,03-5,6 persen untuk setiap kontak, tetapi karena hubungan seks sering
dilakukan, apalagi dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang
suka berganti-ganti pasangan, maka risiko tertular pun meningkat pula.
Namun, biar pun HIV/AIDS merupakan fakta medis tetapi tidak sedikit orang,
termasuk jajaran Depkes, yang panik. Misalnya, ada pernyataan Kakanwil
Depkeskesos Kalbar yang mengatakan akan mengetes darah penduduk Kepulauan
Karimata, Kabupaten Ketepang hanya karena ada nelayan Thailand yang mampir ke
pulau itu jelas tidak rasional. Soalnya, belum tentu semua penduduk melakukan
kegiatan berisiko, seperti bayi dan orang-orang yang sudah uzur. HIV tidak
menular melalui pergaulan sosial.
Sebagai virus, HIV hanya bisa hidup di dalam larutan yaitu darah, sperma dan
cairan vagina. HIV tidak bisa disebar-sebarkan karena hanya menular melalui
cara-cara yang sangat spesifik yaitu (1) melalui hubungan seks (sanggama) baik
heteroseks, homoseks, seks anal dan oral tanpa kondom dengan seseorang yang
HIV-positif di dalam dan di luar nikah yang sah, (2) melalui transfusi darah
yang sudah tercemar HIV, (3) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang
tercemar HIV, dan (4) dari seorang wanita yang HIV-positif kepada bayi yang
dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui.
Fenomena Gunung Es
Laporan resmi pemerintah melalui Ditjen P2M&PL Depkessos sampai tanggal 31
Mei 2001 menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan
seks adalah (a) heteroseks atau antara pria dan wanita adalah 54,62%, (b)
homoseks adalah 6,44%. Lagi pula yang perlu diingat tidak semua hubungan seks
heteroseks di luar nikah. Dalam agama Islam nikah sah jika sudah memenuhi rukun
yaitu (1) ada calon suami, (2) ada calon istri, (3) wali, (4) dua saksi, dan
(5) ijab dan kabul. Jadi,
biar pun tidak dicatat di KUA pernikahan tetap sah.
Bukti lain menunjukkan ada 27 ibu-ibu rumah tangga yang terikat dalam
perkawinan yang sah terinfeksi HIV di 13 provinsi (Media Indonesia,
6/7-2000). Selain itu penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI), Jakarta, terhadap
537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di rumah sakit, klinik
bersalin, klinik keluarga dan puskesmas di Jakarta (2000) menunjukkan 6 di antaranya
positif HIV (Media Indonesia, 2/12-2000).
Lagi pula tidak ada dasar hukum yang mengharuskan penduduk menjalani tes HIV
dan tidak ada pula kekuatan hukum yang membuat Kakanwil melakukan tes HIV
kepada penduduk. Jika ini terjadi berarti merupakan perbuatan yang melawan
hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Kalau nelayan yang mampir di pulau
itu diketahui ada yang HIV-positif, maka kepada penduduk yang melakukan
perilaku-perilaku yang berisiko tinggi dianjurkan menjalani tes HIV secara
sukarela dan bersifat anonim dengan disertai konseling prates dan pasca tes.
Hal yang sama bukan hanya kepada penduduk di pulau itu, tetapi dianjurkan juga
kepada semua orang yang (pernah) melakukan perilaku berisiko, terutama di
tempat-tempat yang prevalensi HIV-nya tinggi.
Karena HIV/AIDS merupakan fakta medis yang dapat diuji di laboratorium, maka
tidak ada alasan untuk menduga-duga seseorang sudah tertular HIV biar pun ada
gejala-gejala minor dan mayor yang terkait dengan AIDS karena status HIV hanya
dapat diketahui melalui diagnosis tes HIV. AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome) adalah kondisi sistem kekebalan tubuh seseorang yang sudah dirusak
oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan lebih dari 70
jenis penyakit infeksi oportunistik. Masa AIDS terjadi antara 7-12 tahun
setelah seseorang tertular HIV.
Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan dunia luar muncul pula kesan
Kalbar sebagai daerah rawan HIV/AIDS. Ini pun jelas mitos karena rawan atau
tidak rawan bukan karena letak geografis tetapi sangat dipengaruhi oleh
kegiatan-kegiatan penduduk apakah mereka melakukan kegiatan berisiko atau
tidak. Jadi, biar pun banyak turis asing yang datang ke Kalbar kalau penduduk
menghindarkan diri dari kegiatan berisiko maka tidak akan pernah terjadi
penyebaran HIV.
Banyak negara yang “terisolir” dari dunia luar, tidak ada bar, karaoke,
panti pijat dan tidak ada pula lokalisasi pelacuran tetapi tetap saja ada kasus
HIV/AIDS. Dalam laporan WHO/UNAIDS (Report on global HIV/AIDS epidemic,
Juni, 1998), misalnya, sampai akhir tahun 1997 Arab Saudi sudah melaporkan 334
kasus AIDS, Bahrain 37, Brunei 10, Irak 104, Iran 154, Kuwait 24, Mesir 153,
Qatar 85, Uni Emirat Arab 8. Hal ini bisa saja terjadi karena penduduk negara
yang bersangkutan bisa saja melakukan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi
tertular HIV di luar negaranya.
Karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es (iceberg
phenomenon) artinya angka yang muncul hanya merupakan sebagian kecil dari angka
yang tidak terdeteksi maka diperlukan suatu sistem untuk mendapatkan angka yang
realistis melalui surveilans tes HIV. Angka-angka yang muncul merupakan
prevalensi HIV (epidemi suatu penyakit pada waktu tertentu dan pada kalangan
tertentu). Malaysia, misalnya, melakukan tes rutin terhadap pasien klinik PMS
(penyakit-penyakit menular seksual, seperti kencing nanah/GO, sifilis,
hepatitis B), wanita hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB. Sedangkan di
Indonesia surveilans hanya dilakukan terhadap pekerja seks dan waria itu pun
hanya sporadis.
Materi Kampanye
Maka tidak mengherankan kelau kemudian angka yang muncul di Indonesia tidak
realistis. Sampai 31 Mei 2001, umpamanya, kasus kumulatif HIV/AIDS yang
dikeluarkan Ditjen P2M&PL, Depkeskesos, di Indonesia yang berpenduduk 200
juta baru mencapai 1.956 (angka ini termasuk orang asing yang terdeteksi di
Indonesia yaitu 277, tidak diketahui 68 dan tidak disebut 47, dan tes
surveilans). Bandingkan dengan Malaysia yang sampai penghujung tahun 1999 saja
sudah dilaporkan 31.126 kasus HIV/AIDS ke Departemen Kesehatan yang terdiri
atas 25.796 HIV, 3.003 AIDS dan 2.327 meninggal.
Surveilans terhadap pekerja seks sering pula melanggar hak asasi manusia (HAM)
karena tidak sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang sudah
disepakati secara internasional, antara lain harus menerapkan asas anonimitas
(contoh darah tidak boleh diberikan kode atau tanda yang memungkinkan seseorang
mengetahui identitas pemilik contoh darah tsb.) dan disertai dengan konseling
sebelum dan sesudah tes.
Prevalensi dikeperlukan untuk epidemiologis, seperti perencaan kebijakan
pencegahan dan pengoatan. Prevalensi HIV diketahui melalui surveilans tes,
sedangkan untuk pengobatan dan perawatan status HIV seseorang diketahui melalui
diagnosis dengan tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi. Jadi,
tidak perlu mencari-cari status HIV pendudu, misalnya dengan menjalankan tes
terhadap calon TKI. Tes untuk calon TKI dapat dilakukan dalam kerangka
surveilans untuk mendapatkan gambaran epidemi di kalangan calon TKI.
Dalam masalah HIV/AIDS akan lebih baik kalau yang dikedepankan fakta medis
karena pembicaraan HIV/AIDS di luar fakta medis akan menyuburkan mitos
(anggapan yang keliru) sehingga usaha untuk memutus mata rantai epidemi HIV pun
tidak akan berhasil. Mitos yang sudah berkembang, misalnya, HIV menular melalui
zina, hubungan seksual menyimpang dan pengunaan obat-obatan terlarang, dll. Hal ini jelas salah kaprah karena tidak
ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan zina. Dalam ikatan pernikahan
yang sah pun bisa terjadi penularan HIV jika salah satu pasangan tersebut
HIV-positif dan hubungan seks dilakukan tanpa kondom.
Dalam kaitan peningkatan kewaspadaan terahdap epidemi HIV diperlukan kampanye
yang efektif, antara lain melalui KEI (komunikasi, edukasi dan informasi).
Persoalannya, selama ini materi KIE seputar HIV/AIDS tidak objektif. Misalnya,
cara mengindari HIV disebutkan jangan berzina atau jangan melakukan hubungan
seks di luar nikah. Ini jelas tidak akurat karena penularan HIV melalui
hubungan seks terjadi jika salah satu dari pasangan itu HIV-positif dan
sanggama dilakukan tanpa kondom di dalam atau di luar nikah. HIV/AIDS pun
selalu dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Padahal, dalam kaitan pencegahan
diperlukan KIE yang akurat, objektif dan fair.
Jadi, jangan heran kalau 11 tentara Indonesia yang dikirim sebagai pasukan
perdamaian PBB ke Kamboja tertular HIV di sana (GATRA, 5/8-2000). Sebaliknya,
tentara Belanda tidak ada yang terular HIV. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Rupanya, tentara Indonesia hanya dibekali dengan senapan dan wejangan,
sedangkan tentara Belanda selain membawa bedil juga dipersenjatai dengan kondom
untuk melindungi "si kecil". Soalnya, ketika itu prevalensi HIV di
kalangan pekerja seks di Kamboja antara 32-64 persen sehingga risiko tertular
sangat besar.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap