15 Agustus 2013

Cewek Takut AIDS karena Pernah Ngeseks dengan Tiga Cowok


Tanya-Jawab AIDS No 3/Agustus 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya, cewek 21 tahun, sudah beberapa kali melakukan hubungan seksual dengan tiga cowok berbeda. Jarak tidak melakukan hubungan sekssual antara cowok pertama dan cowok kedua dua tahun. Jarak hubungan seksual antara cowok kedua dan ketiga juga dua tahun.

Hubungan seksual dengan cowok pertama tanpa pakai kondom. Tapi, penis hanya masuk sekali (tanpa digoyang). Penis cuma masuk setengah ke dalam vagina saya.

Dua tahun kemudian saya melakukan hubungan seksual dengan cowok kedua juga tanpa kondom, tapi Mr ‘P’ hanya masuk setengah dan saya tidak goyang. Penis hanya masuk sekali saja. Setelah itu dua kali kami melakukan hubungan seksual pakai kondom.

Hubungan seksual dengan cowok ketiga sama dengan yang saya lakukan dengan cowok kedua. Penis cowok ketiga hanya masuk setengah dan tanpa digoyang. Penis langsung dikeluarkan lagi.

Tapi, semalam saya melakukan hubungan seksual dengan cowok ketiga. Terjadi pergesekan penis ke vagina tapi dia pakai kondom.

Saya tahu betul ketiga cowok itu belum pernah melakukan hubungan seksual sebelum mereka lakukan dengan saya. Saya yakin mereka bersih.

Hubungan seksual dengan cowok pertama dan kedua sudah saya lakukan empat tahun yang lalu. Tidak ada tanda-tanda terkait HIV/AIDS pada diri saya. Itu artinya saya aman dari HIV. Tapi, tadi malam saya melakukan hubungan seksual dengan cowok ketiga. Ini yang membuat saya risau.

(1) Apakah dengan cara itu saya bisa tertular HIV atau penyakit kelamin lain?

(2) Apa tanda-tanda tertular HIV atau penyakit kelamin lain karena baru semalam saya melakukan hubungan seksual?

(3) Bertolak dari perilaku itu saya ingin sekali konseling dan tes HIV. Mohon bantuan ke mana saya bisa melakukan konseling dan tes HIV yang baik.

Via SMS (15/8-2013) 

Jawab: (1) Yang diperlukan adalah kejujuran. Jika Anda jujur, maka dari cerita yang Anda sampaikan risiko Anda tertular HIV/AIDS rendah. Tapi, tertular penyakit lain, disebut IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, dll.) bisa saja terjadi.

Yang perlu diperhatikan adalah:

(a) Tidak ada kepastian seberapa dalam penis masuk ke vagina agar terjadi penularan. Yang jelas ketika penis ereksi sudah ada cairan, disebut semen, yang keluar dari penis. Nah, kalau laki-laki yang mengeluarkan semen itu mengidap HIV/AIDS, maka ada virus di dalam semen yang bisa ditularkan. Biar pun penis hanya masuk sebagian cairan semen sudah ada di vagina.

(b) Tidak ada pula kepastian apaka risiko tertular HIV melalui hubungan seksual terkait dengan goyangan karena seperti disebutkan tadi ketika penis ereksi dan masuk ke dalam vagina sudah ada semen yang keluar dari penis di dalam vagina. Jika semen mengandung HIV/AIDS ada risiko penularan.

(c) Begitu pula dengan IMS tidak ada kepastian seberapa lama hubungan seksual dilakukan agar terjadi penularan IMS.

(d) Jika tertular HIV tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS sampai pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Tapi, jika sudah tertular HIV kalau ada penyakit maka akan sulit sembuh.

(e) Jika tertular IMS, kecuali virus hepatitis B, gejala akan cepat muncul dalam hitungan minggu. Misalnya, perish ketika kencing. Keluar nanah, dll. Sedangkan virus tidak ada gejala yang khas ketika tertular.

(2) Karena Anda baru melakukan hubunga seksual tadi malam, maka gejala IMS akan muncul beberapa pekan ke depan jika memang cowok tsb. mengidap IMS.

Selain itu Anda pun tidak bisa memastikan apakah tiga cowok itu bebas HIV/AIDS karena bisa saja mereka penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian dengan sesama penyalahguna. Ada risiko tertular HIV karena bisa saja satu di antara mereka mengidap HIV/AIDS sehingga jarum suntik bisa menjadi media penularan HIV.

Status HIV seseorang tidak bisa dilihat dari penampilan fisik karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS. Status HIV hanya bisa diketahui melalui tes HIV.

Lagi pula Anda juga tidak bisa memastika bahwa mereka belum pernah melakukan hubungan seksual karena tidak bisa dibuktikan secara medis.

(3) Rencana Anda untuk konseling tepat karena hasil konseling akan menentukan apakah Anda harus tes HIV atau tidak. Konseling akan menghilangkan kekhawatiran terkait dengan risiko tertular HIV berdasarkan kejadikan yang Anda alami.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


13 Agustus 2013

Takut Kena AIDS karena Dionani Cewek Terapis di “PP”


Tanya-Jawab AIDS No 2/Agustus 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya pernah beberapa kali ke “PP” (panti pijat plus-plus-pen.). Di sana saya tidak melalukan hubungan seksual hanya sebatas pijat biasa dan onani yang dilakukan terapisnya.  Belakangan saya dapat informasi tentang HIV/AIDS. Saya langsung tes HIV setelah tiga bulan sejak onani dengan terapis itu. Hasilnya nonreaktif. Tapi, biar pun hasilnya nonreaktif, saya masih saja ketakutan. Saya tes lagi dua minggu kemudian. Hasilnya juga negatif. Tes ini saya lakukan di klinik VCT rumah sakit pemerintah di tempat saya. Sekarang sudah delapan bulan setelah peristiwa di ’PP’ itu tapi saya tetap saja khawatir kena HIV/AIDS.  (1) Apakah seharusnya saya sudah bisa tenang dengan dua hasil tes HIV tsb.? Kekhawatiran saya bertambah ketika ketemu pengidap HIV/AIDS waktu tes di klinik VCT.

Via SMS (10/8-2013)

Jawab: (1) Yang perlu diperhatikan adalah kejujuran Anda terhadap diri Anda sendiri. Onani (saja) bukan kegiatan atau perilaku yang berisiko tertular HIV karena tidak ada kontak dengan darah, cairan vagina dan dinding vagina.

Kalau benar Anda hanya onani yang dilakukan oleh cewek terapis tidak ada risiko tertular HIV.

Maka, amatlah tidak masuk akal kalau hanya karena sekali saja dionani oleh cewek terapis di panti pijat Anda langsung tes HIV.

Atau informasi HIV/AIDS yang Anda peroleh tidak akurat sehingga hanya karena onani Anda langsung khawatir.

Anda boleh khawatir tertular HIV jika pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan cewek terapis di panti pijat, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) serta waria.

Tidak jelas apa yang terjadi ketika Anda bertemu dengan pengidap HIV/AIDS di klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasiaan). Biar pun Anda duduk berdekatan dan bersalaman tidak ada risiko tertular HIV/AIDS.

Untung saja hasil tes HIV Anda nonreaktif (negatif). Jika hasil tes Anda reaktif (positif) tentu saja akan membuat Anda panik. Soalnya, tes HIV dengan reagen ELISA bisa menghasilkan positif palsu (hasil tes reaktif tapi tidak ada HIV di dalam darah) atau negatif palsu (hasil tes nonreaktif tapi HIV sudah ada di dalam darah, ini terjadi karena reagen tidak bisa mendeteksi antibody HIV yang belum terbentuk di dalam darah karena pada masa jendela yaitu baru tertular di bawah tiga bulan).

Kalau konselor di tempat tes HIV pertama arif, maka dia tidak akan menganjurkan Anda tes HIV hanya karena pernah dionani oleh cewek terapis.

Pertanyaannya adalah: Mengapa petugas di tempat tes HIV pertama meladeni Anda tes HIV kalau hanya karena pernah dionani cewek terapis?

Tidak ada penjelasan Anda tentang hal itu. Artinya, apakah Anda menceritakan alasan tes HIV atau memang Anda pernah melakukan kegiatan berisiko tertular HIV?

Sekali lagi, semua terpulang kepada kejujuran Anda. Kalau hanya pernah dionani sekali oleh cewek terapis, abaikan semua hasil tes. Hiduplah dengan tenang dan hindari perilaku berisik agar tidak tertular HIV.

Persoalan akan lain jika Anda tidak jujur. Artinya, Anda tidak sekedar dionani tapi melakukan kegiatan yang berisiko tertular HIV.

Semua terpulang kepada Anda: jujur atau tidak jujur (pada diri Anda sendiri)!***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


Mewujudkan Perlindungan Hukum dan HAM bagi Odha



Mitos (anggapan yang salah) seputar HIV/AIDS menyuburkan stigmatitasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS atau pengidap HIV/AIDS).

Akibatnya, Odha sering mengalami pelanggaran etika, hukum dan hak asasi manusia (HAM). Perlakuan yang diskriminatif dan pelanggaran HAM yang sering dialami Odha antara lain penolakan di rumah sakit, pengucilan, PHK, penolakan klaim asuransi, pemulangan pekerja seks ke daerah asalnya, pelacakan (contact tracing) pekerja seks komersial (PSK) yang positif HIV, dan pemaksaan tes HIV tanpa prosedur standar operasi, serta skrining terhadap calon karyawan dan karyawati secara terselubung.

Salah satu bentuk pelanggaran HAM terkait Odha puncaknya terjadi ketika RS Medistra Jakarta menolak seorang pasien dr.
Sjamsurizal Djauzi, DSPD, yang positif HIV (Agustus 1996). Begitu pula dengan yang dialami oleh Cici (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal) ketika itu berumur 23 tahun, seorang Odha di Kab. Karawang, Jabar, yang dipulangkan dari Riau (1993). Di desanya dia menjadi tontonan masyarakat karena digiring oleh aparat keamanan ke Puskesmas. Rupanya, Cici menolak diambil darahnya di Puskesmas untuk tes HIV karena dia hanya mau dites di RSCM. Tapi, tim dari dinas kesehatan setempat tetap memaksanya agar darahnya diambil di Puskesmas itu (Lihat: Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula*- http://www.aidsindonesia.com/2013/08/sudah-terinfeksi-hiv-disakiti-pula.html).

Pelanggaran HAM

Cici pun harus berhadapan dengan berbagai kalangan di desanya hanya karena identitasnya dikenal sebagai Odha (Lihat: Duka Derita Seorang Perempuan Pengidap HIV/AIDS di Karawang, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/duka-derita-seorang-perempuan-pengidap.html).

Begitu pula dengan Cece (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal) ketika itu berumur 22 tahun. Dia juga penduduk Kab. Karawang yang dipulangkan bersama Cici. Status HIV-nya diketahui penduduk karena dibeberkan aparat desa dan wartawan pun datang bersama aparat ke rumahnya. Akibatnya, penduduk mengucilkan keluarga Cece. Keluarga ini pun terpaksa pindah dari satu desa ke desa lain karena masyarakat mengucilkan mereka. Tidak ada yang mau membeli kueh ibu Cece. Tidak ada pula yang memberikan pekerjaan kepada ayah Cece sebagai buruh tani. Masyarakat mendapat informasi yang salah tentang HIV dan AIDS dari aparat dan media massa. Pemberitaan mengesankan HIV menular melalui pergaulan sehari-hari sehingga penduduk menghindari mereka  (Lihat: Keluarga Pengidap HIV/AIDS di Karawang Dicerai-beraikan Media Massa* - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/keluarga-pengidap-hivaids-di-karawang.html).

Aparat di sebuah desa di Kab. Sumedang, Jabar, juga tidak lagi melihat perkawinan sebagai hak asasi Onah (bukan nama sebenarnya), 24, seorang Odha di sana. Mereka mau memberikan izin menikah hanya karena menganggap Onah tinggal menunggu ajal. Onah pun dikucilkan. Ada petugas Puskesmas yang mengatakan ‘penyakit’ Onah bisa menular melalui udara. Bahkan, ketika itu status HIV Onah pun belum dikonfirmasi dengan Western blot karena tes yang dilakukan dalam sebuah serosurvei baru tes ELISA. Tapi, jajaran pemda dan instansi terkait di sana sudah ‘memvonis’ Onah sebagai Odha. Akibatnya, semua gejala (penyakit) yang dialaminya langsung dikaitkan penduduk dengan AIDS dan kematian.

Pasangan Odha di Ujungpandang, Sulsel, juga harus berpindah-pindah karena diusir pemilik rumah ketika mereka dikenali sebagai ‘pasangan Odha’. Anik (bukan nama sebenarnya, sudah meninggal), salah satu dari pasangan itu sepuluh kali pindah rumah karena pemilik rumah yang dikontraknya mengenalinya sebagai ’pasangan Odha’. Rupanya, pemilik rumah mengingat-ingat wajah Anik sebagai pasangan Odha. Soalnya, ketika Anik menikah media massa memberitakannya lengkap dengan foto pernikahannya. Selama hidupnya Anik selalu was-was karena ia takut ada yang mengenalinya, sehingga ia pun tidak bisa lagi mencari nafkah sebagai penata rambut (Lihat: Nasib ‘Pengantin AIDS’ di Makassar, Sulsel, yang Berkali-kali Diusir Tetangga - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/nasib-pengantin-aids-di-makassar-sulsel.html).

Akibatnya, Anik hanya bisa ’mengemis’ kepada teman atau orang yang dikenalnya. ”Kalau saya tidak ditangkap saya tidak ’ngemis’ ke Abang,” kata Anik kepada penulis dalam berbagai kesempatan. Rupanya, Anik merupakan korban penanggulangan HIV/AIDS yang tidak mengikuti standar prosedur operasi. Dia ditangkap di ’Jalan Vagina Raya’ (julukun untuk nama sebuah jalan di depan pelabuhan laut Makassar, Sulsel, yang merupakan tempat mangkal pekerja seks, panti pijat dan hiburan malam). Tanpa konseling langsung dites. Hasil tes dan identitasnya pun tersebar luas melalui media massa.

Sedangkan di Enrekang, Sulsel, karena diberitakan sebagai pengidap AIDS penduduk akan mengisolasi pengidap AIDS itu di hutan (Lihat: Di Enrekang, Sulawesi Selatan, Pengidap HIV/AIDS Mau Diisolasi di Hutan- http://www.aidsindonesia.com/2012/11/di-enrekang-sulawesi-selatan-pengidap.html).

Perlakuan yang diskriminatif terhadap Odha merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Stigmatisasi terhadap Odha juga merupakan pelanggaran HAM. Selain melanggar HAM perlakuan diskriminatif dan stigmatisasi terhadap Odha juga merupakan perbuatan yang melawan hukum.

Dalam UU HAM disebutkan: ”Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”

Ironis, memang. Yang melecehkan HAM Odha justru yang melek hukum, tapi di sisi lain banyak pula Odha, seperti Cici, Cece, Onah, Anik, dan lain-lain yang tidak memahami hak-hak mereka sebagai warga negara. Seharusnya, jajaran pemda dan instansi-instansi pemerintah lebih memahami hak, perlindungan hukum dan HAM bagi Odha. Dalam Strategi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia (Keputusan Menko Kesra No. KEP/MENKO/KESRA/VI/1994) disebutkan: Setiap kebijakan, program, pelayanan dan kegiatan harus tetap menghormati harkat dan martabat dari pada pengidap HIV/penderita AIDS dan keluarganya. Selain itu disebutkan pula: Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV/AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Sebelum dan sesudah tes HIV harus diberikan konseling yang memadai dan hasil pemeriksaan wajib dirahasiakan.

Kondisi Rentan

Berkaitan dengan pelanggaran hukum dan HAM ini praktisi hukum peduli HIV/AIDS di Bali mengeluarkan Pernyataan Sanur (8/5-1998) yang antara lain menyebutkan: Diperlukan perlindungan hukum atas hak privasi, perlindungan terhadap Odha dan keluarganya sampai Odha meninggal dunia, perlindungan terhadap pemaksaan untuk menjalani tes HIV, perlindungan atas kebebasan dan keamanan Odha, perlindungan atas kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi, serta perlindungan atas hak untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.

Perlakuan diskrimatif dan pemberian stigma terhadap Odha terjadi karena selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV dan AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga penularan HIV dikaitkan dengan perilaku (negatif). Akibatnya, ada kesan bahwa orang-orang yang tertular HIV karena ulah mereka sendiri. 

Misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan ’seks bebas’. Selain ngawur istilah ini pun mengesankan perilaku yang tidak bermoral. ’Seks bebas’ adalah terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Inggris. Istilah ini muncul di tahun 1970-an yang merujuk ke perilaku sebagian remaja ketika itu.

Memakai ’seks bebas’ dalam kaitan dengan penularan HIV akan mendorong masyarakat untuk memberikan cap buruk dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tertular HIV.

Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai zina dalam berbagai bentuk maka sama sekali tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah. Tapi, karena informasi yang menyesatkan akhirnya masyarakat menyimpulkan bahwa penularan HIV terjadi karena ’seks bebas’. Kondisi ini lagi-lagi menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap Odha. 
Akan jauh lebih arif kalau istilah ’seks bebas’ dihapus dari meteri KIE HIV dan AIDS dan diganti dengan seks tidak aman atau seks berisiko.

Tanpa perlindungan hukum dan HAM yang konsisten maka kian banyak orang yang berada pada posisi rentan tertular HIV. Misalnya, bias gender yang menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat dari laki-laki. Perempuan, seperti ibu-ibu rumah tangga, berada pada posisi yang rentan tertular HIV karena mereka tidak bisa memaksa suaminya memakai kondom ketika mereka mengetahui perilaku seks suaminya di luar rumah.

Begitu pula dengan pekerja seks komersial (PSK) yang tidak bisa memaksa tamunya untuk memakai kondom. Hal yang sama juga dialami oleh anak-anak dan perempuan yang diperdagangkan sebagai ’budak seks’. Mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seks. Anak-anak jalanan juga berada pada posisi yang sangat rentan tertular HIV karena mereka menjadi objek bagi ’penguasa’ jalanan.

Itu semua terjadi karena tidak ada perlundungan hukum dan HAM bagi kalangan yang berada pada posisi rentan. Mereka tidak bisa mewujudkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kondisi ini merupakan salah satu aspek yang menghambat penanggulangan epidemi HIV.

Untuk itulah hak hukum dan HAM, terutama bagi Odha, perlu diwujudkan agar mereka bisa mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tidak ada lagi Odha yang menjadi korban stigmatisasi dan diskriminasi.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula*


“Ah, ini bukan bayi, tapi penyakit!” Itulah kata-kata yang diucapkan oleh dokter di sebuah Puskesmas (di Kab Karawang, Jabar-pen.) sambil meraba-raba perut Cici  (bukan  nama sebenarnya), ketika itu berumur 23 tahun, seorang wanita HIV-positif di sebuah desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

“Rasanya ingin mati saja,” kata Cici(1) kepada “Mutiara” Rabu (28/5-1997) di rumahnya sambil membayangkan peristiwa yang dialaminya ketika ia hamil depalan bulan, Juni 1996. Cici sendiri datang ke Puskesmas di kampungnya itu karena janin yang dikandungnya bergerak-gerak.

Rupanya sampai sekarang sejak ia pulang dari Riau (Oktober 1993) Cici tetap dirundung malang  (Cici sudah meninggal tahun 2000, meninggalkan seorang putri yang juga HIV-positif). Dalam suatu tes tanpa asas konfidensialitas (nama yang yang mengikuti tes tidak dirahasiakan dan tanpa prosedur konseling pra dan pasca tes) di kalangan wanita berisiko tinggi di wilayah Kepulauan Riau, Cici dan dua wanita lain yang juga asal Kabupaten Karawang dinyatakan positif mengidap HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome, suatu sindrom penurunan kekebalan tubuh sehingga mudah diserang berbagai macam penyakit).

Diramaikan Media Massa

Berita hasil tes HIV Cici dan pemulangannya dari Riau ke kampung halamannya pun meramaikan halaman surat-surat kabar nasional dan televisi swasta nasional yang bersumber dari seroang dokter kepala sebuah Puskesmas di Kabupaten Karawang berdasarkan radiogram yang dikirimkan Dinas Kesehatan Riau.

Berita-berita itu dinilai Cici tidak objektif, karena menurut Cici, ia tidak pernah diwawancarai wartawan. Di samping itu ketika media cetak yang memuat berita tersebut beredar dan tatkala televisi menyiarkan beritanya, ia masih di Riau. Makanya, ketika Mutiara mewawancarainya (April 1994) ia pun mengeluh atas pemberitaan tentang dirinya (“Mutiara”, No 709/Mei 1994). Berita itu membuat penduduk di sekitar rumahnya mencibir dan melihatnya sebagai sumber malapetaka.

Judul berita-berita itu sendiri amat menohok karena menyebutnya sebagai penderita AIDS. Padahal, saat itu Cici baru pada tahap seropositif, artinya baru terinfeksi HIV, belum sampai pada tahap AIDS sehingga tidak ada tanda-tanda khusus pada dirinya.

Tapi, karena pengetahuan masyarakat dan aparat pemda setempat yang amat dangkal tentang HIV/AIDS dan pemberitaan yang tidak objektif itu, penduduk pun tetap melihatnya sebagai sumber bencana sehingga penduduk memilih untuk tidak bersahabat dengannya. Soalnya, karena informasi tentang HIV/AIDS yang tidak objektif membuat banyak orang ketakutan.

Padahal, virus AIDS hanya bisa tertular melalui hubungan seksual (homoseksual dan heteroseksual) yang tidak aman, melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, dan melalui pemakaian alat-alat suntik bersama yang sudah terkontaminasi HIV, serta ibu yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan untuk mengucilkan Cici.

Dimusuhi

Cici sendiri bersedia pulang dari Riau, setelah dinyatakan positif HIV, karena ia ingin melihat anaknya yang ditinggalkannya sejak ia diajak seorang wanita dari Cikampek ke Riau dengan janji dipekerjakan di restoran dengan upah Rp 400.000 sebulan. Ketika itu (1992) Cici terpaksa mengikuti ajakan wanita itu karena ia mengaku amat bingung mencari nafkah utnuk anaknya, yang ketika itu berumur tiga tahun, setelah bercerai. Waktu itu ia dan anaknya tinggal bersama ibunya, yang juga janda, serta kakek dan neneknya yang berumur 60-an tahun.

Cici hanya bisa mengurut dada menghadapi perlakuan penduduk dan aparat pemerintah, mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Bahkan ketika ia sampai di kampugnya petugas dari Dinas Kesehatan setempat memaksanya, dengan bantuan tenaga Muspika setempat, untuk memeriksakan darah di Puskesmas. Semula Cici menolak karena ia hanya mau diperiksa di “Citpo” (maksudnya RSCM-Red.), tapi karena ptugas yang mengambil darahnya ketika itu mengaku dari “Cipto” Cici pun bersedia diambil darahnya. Namun, pengambilan darah itu jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) karena mengabaikan asas konfidensialitas. Seharusnya ada konseling prates dan yang mengetahuinya hanya dokter atau konselornya dan Cici sendiri. Tapi, yang terjadi justru orang sekampung mengetahui persoalan yang dihadapi Cici ketika digiring ke Puskesmas.

“Seharusnya ‘kan tidak boleh disebarluaskan,” kata Cici tentang kondisi kesehatannya. Memang, secara etis dan hukum catatan medis (medical record) seseorang tidak boleh disebarluaskan. Namun, perlakuan yang dialami Cici justru sangat tidak etis karena aparat pemerintah dan pihak Puskesmas setempat sudah menciptakan suatu kondisi yang memojokkan Cici. Kalau aparat dan Puskesmas lebih arif, tentulah Cici tidak akan menghadapi masalah sosial dalam pergaulannya sehari-hari karena hubungan sosial bukan merupakan media penularan HIV.

Dinikahi WN Singapura

Di Riau sendiri, seperti diakuinya, ia sudah menjalin cinta dengan seorang lelaki Cina, 50-an tahun, warga negara Singapura. Makanya, ketika ia dipulangkan, lelaki itu tetap memburunya. Pada tahun 1994-1995 Cici empat kali diboyong lelaki itu ke Singapura dengan pesawat terbang dari Bandara Soekarno-Hatta. Saat itulah, menurut pengakuan Cici, mereka menikah. “Kami menikah di KUA (Kantor Urusan Agama-Red.) di Jakarta,” katanya sambil menyuapi putrinya yang lahir persis pada acara pembukaan Olimpiade Atlanta 1996.

Setelah diperiksa di Puskesmas ketika ia hamil delapan bulan itu  rupanya dokter itu masih penasaran karena di catatan mereka, tampaknya, nama Cici tercantum sebagai “kasus”. Makanya, dokter itu pun membawa Cici ke rumahnya dan menginterogasinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dokter itu, seperti dikemukakan Cici, mengarah ke perilaku seksualnya. Cici sendiri mengaku jengkel menerima perlakuan-perlakuan itu karena kehamilannya itu bisa dipertanggungjawabkannya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici sambil mengelus-elus perutnya yang buncit ketika itu. Makanya, Cici amat kecewa dan marah ketika perutnya mual-mual dan ingin muntah setelah memakan obat dari Puskesmas tatkala ia hamil.

Pihak Puskesmas setempat akhirnya membawanya ke RSCM. Setelah diperiksa Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti dr. Zubairi Djoerban, DSPD, dan dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr. Siti Dhyanti Wishnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.

Setelah tujuh hari dirawat di RSCM Cici pulang bersama bayinya yang sudah dinamai oleh dokter Siti. Pihak YPI sendiri terus menangani Cici dan putrinya yang sudah positif HIV. Sayang, sampai sekarang Cici tidak melihat HIV sebagai ancaman terhadap dirinya karena, “Saya tidak pernah sakit,” katanya. Begitu pula dengan putrinya yang kini hampir berumur satu tahun dan sudah mulai bisa berjalan. Berat badannya 9,8 kg dan, “Tidak pernah sakit,” ujar Cici dengan bangga. Setiap pagi anaknya menghabiskan semangkok bubur nasi dengan hati ayam.

Pergelutan

Kondisi ini lagi-lagi terbentuk karena format penulisan berita yang sering tidak komprehensif. Bagi banyak orang, sakit berarti ada keluhan, sedangkan HIV bahkan AIDS sebelum tahap full-blown (sudah menampakkan gejala-gejala khas penurunan kekebalan tubuh) hampir tidak menunjukkan gejala penyakit. AIDS sendiri bukanlah penyakit, tapi merupakan istilah yang disepakati untuk menyebutkan kondisi penurunan kekebalan tubuh karena diserang HIV, sehingga yang mematikan penderita AIDS adalah infeksi-infeksi oportunistik, terutama diare dan TBC.

Berkat uang yang diberikan suaminya yang datang setiap lima bulan menemui Cici dan putrinya, wanita itu pun bisa membeli sebidang tanah dan membangun sebuah rumah permanen di dekat rumah ibunya. Sedangkan rumahnya yang semula dibangunnya yang didiami kakek dan neneknya, juga di desa yang sama, sudah dijualnya. “Ya, dari uang yang saya kumpul-kumpullah,” katanya dengan logat Riau tentang biaya pembangunan  rumah barunya itu.

Kini, kehidupan sehari-hari Cici dilaluinya dengan pergelutan menghadapi virus di tubuhnya sambil membesarkan putrinya, yang juga positif  terinfeksi HIV.

M/Syaiful W. Harahap
*****
* Naskah ini dimuat di Tabloid ”Mutiara” No. 868, Tahun XXX, 10-16 Juni 1997 merupakan pemenang pertama lomba “Penulisan HIV/AIDS” yang diselenggarakan oleh PMP AIDS-LP3Y dan Ford Foundation priode 1997. Pemenang berhak atas hadiah meliput Kongres AIDS Internasional Asia dan Pasifik di Manila (ICAAP), Filipina, 22-27 Oktober 1997. Dewan juri terdiri atas Dr. Hudoyo Hupudio, MPH, Ketua Yayasan Mitra Indonesia Jakarta, Irwan Julianto, MPH, wartawan senior Harian ”KOMPAS”, dan Ashadi Siregar, Direktur LP3Y Yogyakarta dan Penanggung Jawab PMP AIDS.***


(1). Cici sudah meninggal tahun 2000, meninggalkan seorang putri yang juga HIV-positif yang diasuh ibunya. Belakangan diketahui anaknya tidak tertular HIV (Lihat: Duka Derita Seorang Perempuan Pengidap HIV/AIDS di Karawang, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/duka-derita-seorang-perempuan-pengidap.html).

11 Agustus 2013

Perda AIDS Kabupaten Purwakarta


Media Watch (12/8-2013) – Ketika dunia sudah meninggalkan istilah atau terminologi yang tidak pas, tapi dalam peraturan daerah (Perda) Kab Purwakarta, Jabar, No 6 Tahun 2013 tanggal 8 April 2013 tentang Pengendalian HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS) di Kabupaten Purwakarta justru istilah usang dipakai, yaitu PMS.

Istilah PSM sudah lama ditinggalkan karena tidak semua infeksi yang terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, merupakan penyakit yang terjadi di alat kelamin. Itulah sebabnya PMS diganti dengan IMS (infeksi menular seksual).

Dengan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS sebsnyak 58 di Kab Purwakarta sampai Desember 2012 sudah saatnya diperlukan penanggulangan yang konkret dan sistematis karena angka itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Persoalannya kemudian adalah: Apakah perda tsb. Menukik ke akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?

Di Pasal 7 disebutkan: Selain HIV/AIDS, jenis penyakit dalam kategori PMS meliputi: a. sifilis, b. klamidia, c. kankroid, d. gonore, dan e. penyakit lainnya yang menular akibat dilakukannya hubungan seksual.

Padahal, ada satu lagi yang sangat mudah menular dan cara penularannya persis sama dengan HIV/AIDS yaitu virus hepatitis B (HBV). Tapi, dalam perda ini HBV diabaikan. Infeksi virus ini tidak terjadi pada alat kelamin, sama seperti HIV/AIDS. Infeksi virus hepatitis B dan HIV/AIDS terjadi di darah.

Pernyataan pada huruf e itu pun akurat karena penularan terjadi bukan karena hubungan seksual, tapi karena salah satu dari pasangan itu mengidap IMS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Perda AIDS Purwakarta ini sendiri merupakan perda yang ke-69 di Indonesia dan yang ke-7 di Jawa Barat (Lihat Tabel I).


Kalau saja yang menyusun perda ini membaca perda-perda AIDS yang sudah ada, khususnya di Jabar, tentulah Perda AIDS Purwakarta akan lebih baik. Tapi, kenyataannya sama saja dengan perda-perda lain alias copy-paste.

Disebutkan di Pasal 5 ayat 1 dan 2: Sasaran Pengendalian HIV/AIDS dan PMS adalah masyarakat Kabupaten Purwakarta yang dibagi ke dalam kelompok sasaran meliputi

a. kelompok pengidap (infected population);

b. kelompok beresiko tertular/rawan penularan (high risk population);

c. kelompok rentan (vurnerable population);

d. masyarakat umum (general population).

Pertanyaannya adalah: Apa dan bagaimana program yang dijalankan untuk mencapai target pasal 1 dan 2?

Langkah yang dilakukan berdasarkan ‘titah’ perda ini adalah dengan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dan IMS secara langsung atau menggunakan sebaran media massa dan alat peraga sosialisasi lainnya kepada setiap kelompok sasaran.

Pertanyaan berikutnya adalah: Apakah ada jaminan dengan KIE tsb. tidak akan ada lagi penduduk Kab Purwakarta yang melakukan kegiatan berisiko tertular HIV?

Tentu saja tidak ada jaminan karena Pemkab Purwakarta tidak mungkin bisa mengawasi penis semua laki-laki dewasa.

Pemkab Purwakarta bisa saja membusungkan dada dengan mengatakan: Di wilayah Kab Purwarkata tidak ada pelacuran!

Tentu saja tidak jaminan di wilayah Kab Purwakarta tidak ada jaminan bahwa tidak ada praktek pelacuran karena yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir di lokalisasi. Sedangkan praktek pelacuran (hubungan seksual di luar nikah dengan bayaran uang) terjadi setiap saat di banyak tempat.

Selain itu Pemkab Purwakarta juga tidak bisa mengawasi perilaku penduduknya yang bepergian ke luar daerah dan luar negeri.

Maka, langkah konkret yang bisa dilakukan Pemkab Purwakarta untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa adalan dengan program ‘wajib kondom’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Ini hanya bisa efektif jika pelacuran dilokalisir.

Pencegahan lain disebutkan di Pasal 11: Pencegahan penularan dari ibu ke anak dilakukan melalui:

a. optimalisasi dukungan medis bagi perempuan ODHA agar dapat merencanakan kehamilan sehingga dapat mencegah penularan dari Ibu ke anak yang dikandungnya secara dini;

b. penyediaan dan pemberian obat antiretroviral pada Ibu hamil ODHA;

c. penyediaan layanan persalinan bagi ibu hamil ODHA/PMS di setiap Unit Pelayanan Kesehatan;

d. dukungan penyediaan makanan pengganti ASI; dan e. konseling kesehatan ibu dan bayi secara berkelanjutan.

Yang menjadi persoalan besar adalah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pada perempuan yang belum terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Celakanya, perda ini sama sekali tidak memberikan langkah konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Program pada Pasal 11 itu dilakukan terhadap perempuan yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sedangkan risiko penularan dari-ib-ke-bayi yang dikandungnya pada perempuan yang belum terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak terjangkau sehingga anak yang lahir dengan HIV/AIDS akan terus bertambah.

Upaya mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual diatur di Pasal 12: Pencegahan Transmisi Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d dilaksanakan melalui:

a. pemantauan, penjangkauan, dan pendampingan secara aktif kepada kelompok pengidap (infected population), kelompok rawan tertular (high risk population), dan kelompok rentan (vurnerable population) untuk mendorong perubahan perilaku seksual secara sehat;

b. pengadaan dan distribusi kondom kepada kelompok pengidap (infected population), kelompok rawan tertular (high risk population), dan kelompok rentan (vurnerable population) melalui puskesmas, rumah sakit, dan unit-unit layanan kesehatan terutama pada lokasi atau tempat keberadaan kelompok rawan tertular (high risk population);

c. pelayanan pemeriksaan dan penyediaan obat antirteroviral di kantung-kantung lokasi dari kelompok rawan tertular (high risk population).

Di ayat a disebutkan: untuk mendorong perubahan perilaku seksual secara sehat.

Pertanyaannya adalah:

(1) Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar terjadi perubahan perilaku (berisiko tertular HIV)?

(2) Apakah ada jaminan selama pendampingan dan penjangkauan untuk mencapai perubahan perilaku bahwa orang-orang yang didampingi tidak akan melakukan perilaku berisiko tertular HIV?

(3) Apa yang dimaksud dengan ’perilaku seksual secara sehat’?

Semua hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan berbagai orientasi seksual secara biologis merupakan perilaku seksual secara sehat.

Jargon ’perilaku seksual secara sehat’ adalah moral yang justru merupakan ganjalan terhadap penangulangan HIV/AIDS karena terkait dengan HIV/AIDS yang ada adalah ’perilaku seksual yang tidak aman’ yaitu:

(a) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti.

(b) Melakukan hubungan seksual tanpa kondomdengan pasangan yang serirng berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria.

Sayang, dalam perda ini tidak ada pasal yang mengatur upaya penanggulangan melalui hubungan seksual dengan PSK secara konkret. Ini terjadi karena, seperti juga puluhan perda yang sudah ada di Indonesia, semua pasal hanya normatif sehingga tidak menukik ke akar persoalan yang merupakan fakta medis.

Tanpa regulasi yang konkret dengan pemantauan yang sistematis, maka pengadaan dan distribusi kondom tidak akan efektif.

Di Pasal 13 ayat 1 disebutkan: Program pencegahan melalui Pelayanan konseling dan tes HIV dan PMS dilaksanakan melalui:

c. program layanan VCT secara berkala kepada setiap kelompok masyarakat;

Tidak semua orang harus menjalani tes HIV karena tidak semua anggota di satu kelompok masyarakat mempunyai perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.

Yang diperlukan adalah program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi penduduk yang mengidap HIV/AIDS (hilir) dan menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK (hulu).

Perda ini sama saja dengan perda-perda yang sudah ada. Pasal-pasal normatif yang hanya copy-paste dari perda yang sudah ada. Penggunaan istilah dalam bahasa Inggris juga tidak perlu karena ada padanan kata dalam bahasa Indonesia yang pas.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak akan terjadi ‘ledakan AIDS’ di Kab Purwarkarta karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi di hulu.***


-          AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap