09 Agustus 2013

Mahasiswa Depresi karena Ngeseks dengan PSK


Tanya-Jawab AIDS No 1 /Agustus 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Saya mahasiswa berumur 22 tahun pernah melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) tidak memakai kondom. Saya tidak tahu pasti apakah PSK tsb. mengidap HIV/AIDS atau  tidak mengidap HIV/AIDS. Kejadian itu hanya sekali saya lakukan yaitu lima tahun yl. (tahun 2008) dan hanya satu menit dan ejakulasi di dalam vagina PSK.

Jujur saya katakan sejak kejadian itu saya takut sekali. Saya merasa bersalah dan sangat menyesal atas perbuatan bodoh saya, perbuatan haram dosa besar yang saya lakukan yaitu seks di luar nikah dengan wanita yang tidak jelas.

Setelah kejadian itu saya jadi ketakutan, depresi dan berpikir terus sampai sekarang. Saya juga takut terinfeksi HIV/AIDS.

(1) Dari kejadian itu apakah saya bisa tertular HIV atau tidak? Saya baca bahwa risiko tertular adalah 1:100 dan gejala baru muncul setelah 5-15 tahun. Setelah peristiwa itu saya merasa lemas dan suka kena flu.

(2) Apakah hal itu, lemas dan flu, berkaitan dengan infeksi HIV?

(3) Bagaimana caranya saya tes HIV dengan biaya murah atau gratis?

Via SMS (30/7-2013) dari Kota “B” di P Sumatera 

Jawab: (1) dan (2) Penyesalan memang selalu datang belakangan. Pikir dahulu pendapatan sesal kemudian tidak berguna. Ini kata pepatah. Tapi, sudahlah. Semua sudah terjadi.

Persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS, termasuk pada PSK, karena tidak ada ciri-ciri khas AIDS pada fisik mereka.

Ada teori yang menyebutkan bahwa dalam 100 kali hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS daa 1 kali risiko terjadi penularan HIV. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui kapan penularan terjadi. Bisa pada hubungan seksual yang pertama, kelima, kedua puluh, ketujuh puluh lima, atau bahkan yang keseratus. Maka, setiap hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS atau dengan yang tidak diketahui status HIV-nya ada risiko tertular HIV.

Begitu juga dengan durasi waktu hubungan seksual agar terjadi penularan pun tidak bisa diketahui. Maka, yang Anda lakukan merupkan perilaku yang berisiko tertular HIV.

Terkait dengan lemas dan flu yang sering Anda derita tidak otomatis terkait dengan infeksi HIV karena banyak faktor penyebab penyakit tsb.

(3) Untuk itulah Anda akan lebih baik menjalani tes HIV agar bisa dipastikan apakah Anda sudah tertular HIV atau belum. Jika sudah tertular akan ditangani secara medis. Jika hasil tes negatif itu artinya Anda diminta tidak lagi mengulangi perilaku berisiko karena tes HIV bukan vaksin.

Silakan ke Klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan bimbingan dan kerahasiaan) di rumah sakit umum di kota Anda.***

Catatan: Ybs. sudah tes HIV dan hasilnya negatif, tapi dia diminta tes HIV lagi tiga bulan ke depan. Dengan catatan tidak melakukan perilaku berisiko.

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Tes HIV Massal di Kab Paniai, Papua



Tanggapan Berita (10/8-2013) – Dengan program tersebut, jelas Agus, diharapkan Paniai menjadi zero discrimination dan zero new infection. Ini pernyataan Direktur RSUD Paniai dr Agus. Program yang dimaksud dr Agus adalah tes HIV massal yang dilakukan terhadap penduduk yang berobat di unit layanan baik itu di puskesmas maupun rumah sakit (Bupati Paniai Wajibkan Pasien Puskesmas Tes HIV, jpnn.com, 3/8-2013).

Pernyataan dr Agus tsb. tidak akurat karena:

Pertama, diskriminasi (perlakuan berbeda) justru terjadi pada orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Kedua, tes HIV dilakukan di hilir. Artinya, seseorang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes itu artinya dia sudah tertular HIV (di hulu).

Disebutkan bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Paniai mencapai 638 dengan enam kematian. Dari jumlah tsb. 70 kasus pada tahap masa AIDS. Yang sudah memenuhi syarat meminum obat antiretroviral (ARV) 75, sedangkan yang bisa terjangkau baru 35.

Lalu, bagaimana tes HIV massal bisa mencegah insiden infeksi HIV baru?

Risiko tertular HIV, terutama pada laki-laki dewasa, penduduk Kab Paniai bisa terjadi di Kab Paniai, di luar Kab Paniai dan di luar negeri (Lihat Gambar 1).

Biar pun setiap penduduk yang berobat ke puskesmas dan rumah sakit menjalani tes HIV, insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi jika ada penduduk Kab Paniai, terutama laki-laki dewasa yang melacur tanpa kondom di Kab Paniai, di luar Kab Paniai dan di luar negeri.

Pak Bupati, Paniai Hengky Kayame, tentu saja tidak bisa mengawasi penis semua laki-laki penduduk kabupaten yang dipimpinnya itu.

Yang bisa dilakukan Pak Bupati hanyalah menerapkan program intervensi yang konkret yaitu mewajibkan laki-laki dewasa memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Kab Paniai.

Celakanya, Pak Bupati tentu saja membusungkan dada mengatakan bahwa di daerahnya tidak ada pelacuran, dalam arti pelacuran yang dilokalisir dengan regulasi.

Maka, program untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur dengan PSK pun tidak bisa dijalankan karena pelacuran terjadi setiap saat di banyak tempat.

Langkah lain yang bisa dilakukan Pak Bupati adalah intervensi terhadap perempuan hamil berupa survailans tes HIV rutin. Ini diperlukan agar program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa dijalankan.
Saolnya, tidak semua penduduk Kab Paniai akan berobat ke puskesmas dan rumah sakit. Bisa saja mereka berobat ke dukun, orang pintar atau ke luar daerah.


Tes HIV massal yang dicanangkan Pak Bupati pun merupakan langkah di hilir (Lihat Gambar 2). Artinya, Pak Bupati menunggu dulu ada penduduk yang tertular HIV baru terdeteksi melalui tes HIV massal tsb.

Tes HIV juga mempunyai kelemahan yaitu hasil negatif palsu karena tes dilakukan pada masa jendela yaitu tertular di bawah tiga bulan (tes HIV negatif karena reagen tidak mendeteksi antibody  HIV di dalam darah). Tentu saja harus dipikirkan upaya untuk mengatasi masa jendela ini.

Selain itu penduduk yang tidak tes HIV, yaitu yang tidak berobat ke puskesmas dan rumah sakit, akan menjadi mata rantai penyebaran HIV jika mereka pengidap HIV/AIDS.

Disebutkan dalam berita bahwa tes HIV massal itu akan membuat  tidak ada lagi orang Mee yang diasingkan atau dikucilkan gara-gara HIV. Kemudian, juga tidak ada lagi orang Mee yang terinfeksi HIV dan meninggal karena HIV.

Kesimpulan di atas naif karena:

(1) Kasus-kasus pengasingan, karantian, dan pengucilan terhadap pengidap HIV/AIDS justru terjadi pada orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

(2) Tes HIV bukan vaksin. Penduduk Paniai yang sudah menjalani tes HIV tidak jaminan bahwa mereka tidak akan tertular HIV (lagi).

(3) Belum ada laporan kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena HIV. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Kebijakan yang disebut sebagai yang pertama di Indonesia itu, yaitu tes HIV massal, tidak akan efektif selama tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK (di hulu).

Artinya, penduduk yang terdeteksi HIV terus terjadi karena insiden infeksi HIV baru di hulu juga terus terjadi.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap