03 Agustus 2013

Tanggapan Terhadap Pernyataan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Terkait Hari AIDS Sedunia 2009


Oleh Syaiful W. Harahap*

Catatan: Naskah ini dimuat ulang sebagai gambaran pandangan terhadap HIV/AIDS pada Hari AIDS Sedunia (HAS) 1 Desember 2019 untuk kelak sebagai  perbandingan pandangan terhadap HIV/AIDS pada HAS 1 Desember 2013. Redaksi.

Jakarta (11 Januari 2010) - Sehari menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2009 berita di media massa nasional diramaikan dengan kegiatan HTI di berbagai kota. Kegiatan dilakukan dengan berbagai cara dengan mengusung kecaman terhadap anjuran memakai kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks. Pernyataan yang dilontarkan HTI tidak akurat sehingga menjadi kontra produktif terhadap upaya penanggulangan HIV secara nasional yang dilakukan oleh pemerintah, LSM dan masyarakat. Sudah saatnya kita memakai nalar dengan mengedepankan fakta medis dalam menanggulangi epidemi HIV di Indonesia khususnya dan dunia umumnya.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, juru bicara Muslimah HTI, Febrianti Abassuni, mengatakan: “Program penuntasan penyakit ini tidak menyentuh akar permasalahan. Kondomisasi malah memberikan ruang untuk seks bebas yang berbuntut meningkatnya penderita AIDS.” (Harian ”FAJAR”, Makassar, 30/11-2009). Ada beberapa catatan pada pernyataan ini.

Pertama, tidak ada kegiatan kondomisasi (upaya untuk memaksa pemakaian kondom) dalam program penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di Indonesia. Kegiatan yang dilakukan untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks, di dalam dan di luar nikah, adalah anjuran untuk memakai kondom (sosialisasi).

Kedua, ’seks bebas’ adalah istilah yang ngawur karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang justru tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Inggris. Jika ’seks bebas’ dimaksudkan sebagai hubungan seks di luar nikah, seks pranikah, zina, melacur, selingkuh, ’jajan’, ’kumpul kebo’, dan homoseksual maka lagi-lagi pengaitan ’seks bebas’ dengan ’meningkatnya penderita AIDS’ tidak akurat. Soalnya, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Ketiga, Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah dan di luar nikah yaitu seks pranikah, ’seks bebas’, zina, melacur, selingkuh, ’jajan’, ’kumpul kebo’, dan homoseksual (sifat hubungan seks) bisa terjadi jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi ketika hubungan seks)

Keempat, di bagian lain berita di “FAJAR” Febrianti mengatakan: "Dan dominan yang menjadi perderita adalah kalangan generasi muda yang berumur antara 20-39 tahun. Kondisi ini sangat memprihatinkan.” Ada fakta yang luput dari pernyataan ini. Kasus HIV dan AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan generasi muda adalah pada remaja penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian. Mereka diwajibkan tes HIV ketika hendak masuk ke pusat rehabilitasi sehingga banyak generai muda yang menjalani tes HIV wajib. Sebaliknya, kalangan laki-laki dewasa penyalahguna narkoba dan pelaku seks berisiko (melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan) tidak ada mekanisme yang mewajibkan mereka menjalani tes HIV. Kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan kasus AIDS.

***

Dari Padang, Sumatera Barat, Harian ”Singgalang” (1/12-2009) mengutip press release juru bicara MHTI, Febrianti Abassuni,: “Seharusnya tidak ada perbedaan antara ODHA dengan orang sehat. Sebab itu bisa melanggar hak orang sehat untuk menghindari AIDS. Sebaiknya biarkan saja orang sehat menghindar dari kegiatan yang berpotensi menularkan AIDS dengan ODHA.”

Tidak jelas apa yang dimaksud HTI tentang ’perbedaan antara ODHA dengan orang sehat’. Yang terjadi selama ini justru anjuran agar tidak ada perbedaan antara Odha dengan ’orang sehat’ karena perbedaan merupakan tindaikan diskriminasi yang merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). ’Orang sehat’ yang dimaksud HTI tentulah orang yang (belum atau tidak) terdeteksi sudah tertular HIV (HIV-positif).

Padahal, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya di masyarakat. Orang-orang yang sudah tertualr HIV tapi tidak terdeteksi, yang disebut sebagai ’orang sehat’, justru menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Pada rentang waktu inilah terjadi penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah (ke istri) atau di luar nikah (ke pasangan selingkuh atau pekerja seks komersial/PSK).

Tanpa intervensi yang konkret ’orang-orang sehat’ tidak akan bisa melindungi dirinya dari HIV karena orang-orang yang berpotensi menularkan HIV yaitu orang-orang yang sudah tertular tapi tidak terdeteksi terus-menerus menyebarkan HIV tanpa mereka sadari. Salah satu bentuk intervensi adalah anjuran agar memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko.

Di bagian lain disebutkan pula: “Jika tidak ada kebijakan pemerintah yang lebih menyentuh akar persoalan, maka bencana lost generation akan menerpa Indonesia akibat penularan HIV yang makin menunjukan grafik meningkat,” sebut Febrianti. Mengapa harus menunggu pemerintah? Mencegah penularan HIV dapat dilakukan secara aktif dengan cara-cara yang konkret oleh setiap orang. Mengapa HTI tidak melakukan cara-cara yang realistis yaitu menganjurkan agar setiap orang tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV?

***

Di Bandar Lampung, Lampung, massa HTI juga melakukan aksi damai seperti diberitakan Harian ”Lampung Post” (30/11-2009). Diberitakan: Para muslimah Hizbut Tahrir tersebut mengingatkan bahwa masalah HIV/AIDS bermula dari keengganan manusia untuk tunduk pada aturan Allah, Sang Pencipta. Kemudian, menghentikan langkah-langkah penanggulangan HIV/AIDS yang bertentangan dengan syariah. "Misal, kondomisasi 100% yang nyata-nyata tidak melarang dilakukannya perzinahan. Seks bebas merupakan pintu masuk penyakit HIV/AIDS," kata Febri Abassani, juru bicara aksi.

Pengaitan HIV/AIDS dengan pelanggaran terhadap perintah Tuhan terjadi karena kasus pertama AIDS terdeteksi di kalangan laki-laki gay. Ketika HIV sudah ada di masyarakat tentu tidak ada lagi manfaatnya mengait-ngaitkannya dengan norma, moral dan agama karena yang diperlukan adalah upaya konkret untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan memakai kondom. Ini fakta.

Indonesia jelas melarang zina karena diatur dalam KUHP. Praktek perzinaan terjadi dalam berbagai bentuk di berbagai tempat dan setiap saat. Tidak mungkin negara mengawasi semua penduduk terkait dengan perilaku seks. Untuk itulah dianjurkan bagi yang melakukan hubungan seks berisiko tertular HIV di dalam dan di luar nikah gar memakai kondom.

***

Di Surabaya seperti diberitakan ”ANTARA News” (1/12-2009) massa HTI juga menggelar aksi damai. Disebutkan: ..... massa HTI menolak dengan tegas penggunaan kondom sebagai salah satu cara penanggulangan HIV/AIDS. Juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Febrianti Abassuni, di Surabaya, mengatakan, penggunaan kondom terbukti tidak bisa menghalangi virus HIV/AIDS sehingga sangat aneh jika pemakaian kondom dijadikan cara untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Secara empiris mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah adalah dengan memakai kondom. Ini fakta. Efektivitas kondom tergantung kepada beberapa faktor, seperti kualitas kondom, masa berlaku, dan cara pemakaiannya. Kondom dianjurkan dipakai oleh laki-laki yang melakukan hubungan seks berisiko tertular HIV di dalam dan di luar nikah.

"Jika ditelaah, terbukti bahwa kondomisasi atau penggunaan kondom merupakan upaya agar masyarakat bisa melakukan seks bebas tanpa khawatir sehingga tidak terjadi kehamilan atau terkena penyakit menular," katanya. Oleh karena itu, kata Febrianti, sangat aneh jika pemakaian kondom dijadikan sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Kehamilan terjadi bukan karena dilkukan di luar nikah atau ‘seks bebas’ tapi karena laki-laki tidak memakai kondom atau perempuan tidak memakai alat kontrasepsi. Sedangkan penularan penyakit melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia, dll. termasuk HIV terjadi bukan karena sifat hubungan seks (‘seks bebas’), tapi kondisi hubungan seks (salah satu atau kedua-dunya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama).

Febrianti Abassuni juga mengatakan: "Program UNAIDS membagikan jarum suntik steril dan pengurangan zat berbahaya seperti narkoba dengan menggunakan metadon, justru merupakan salah satu cara untuk melanggengkan penggunaan narkoba. Padahal narkoba merupakan salah satu penyebab utama penularan HIV/AIDS.”

Pengalihan narkoba dengan metadon adalah untuk menghindari penyebaran HIV melalui jarum suntik yang dipakai pengguna narkoba secara bersama-sama dengan bergantian. Yang menjadi penyebar HIV pada pengguna narkoba bukan narkobanya tapi jarum suntik yang mereka pakai untuk menyuntikkan narkoba. Biasanya pengguna narkoba menyuntik ramai-ramai. Jarum suntik mereka pakai bergantian. Maka, kalau ada di antara mereka yang HIV-positif yang lain pun berisiko tertular HIV.

Disebutkan dalam berita: ”Bentuk penanggulangan HIV/AIDS ketiga yang ditolak tegas oleh kelompok HTI adalah program hidup sehat bersama ODHA. Ia mengatakan bahwa program hidup sehat bersama ODHA merupakan program yang menghantarkan pada terjangkitnya HIV/AIDS yaitu pezinah (pelaku seks bebas), pelacur, homo, lesbian.” Selanjutkanya disebutkan: ODHA, menurutnya, harus dirawat di sebuah rumah sakit khusus HIV/AIDS dan terpisah dari yang lain.

Anjuran HTI ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan mendorong diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha. Ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Ini justru dilarang oleh agama.

Apakah anggota HTI juga akan mengasingkan anggota keluarga, famili, sanak sauara, atau sahabat jika ada yang tertular HIV?

Aksi damai HTI di Surabaya juga diberitakan Republika Online (1/12-2009). Dalam berita disebutkan: “Kondomisasi, harm reduction dan program hidup sehat bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah penanggulangan yang menyesatkan dan melegalkan perzinaan. Bukan untuk menyelamatkan generasi, tapi berefek pada menghilangkan generasi,” kata Ketua DPD I Jawa Timur MHTI Nurul Izzati.

Tidak ada kondomisasi dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom sebagai alat mencegah penularan HIV pada hubungan seks di dalam nikah dan di luar nikah yang berisiko tertular HIV. Tidak ada satu pun negera yang melegalkan zina yang ada adalah mengatur (regulasi).

Harm reduction pada pengguna narkoba dengan jarum suntik dilakukan dengan cara memberikan zat pengganti dalam bentuk narkoba sintetis agar mereka tidak menyuntik lagi karena metadon merupakan narkoba yang diminum (oral). Dengan memakai narkoba oral mereka tidak lagi menyuntik sehingga mata rantai penyebaran HIV diputus.

Hidup bersama Odha merupakan kehidupan keseharian karena tidak ada risiko penularan HIV melalui pergaulan sosial sehari-hari, seperti bersalaman, berpelukan, minum dan makan bersama, dll. Justru penyakit menular lain, seperti panu, kurap, flu, TB, dan hepatitis B bisa menular melalui pergaulan sosial sehari-hari.

***

Di Balikpapan, Kalimantan Timur, juga ada kegiatan HTI yang diberitakan Harian ”Kaltim Post” (30/11-2009): ”Hizbut Tahrir Balikpapan meminta agar program penggunaan kondom untuk mencegah peredaran HIV/AIDS dihentikan. Pasalnya kampanye seperti itu saja dengan melegalkan perzinahan. Toh, jumlah pengidap HIV/AIDS bukannya berkurang, malah terus bertambah.”

Cara yang akurat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam nikah dan di luar nikah adalah laki-laki atau perempuan memakai kondom. Ini fakta medis. Penyebaran HIV antar penduduk bisa terjadi melalui hubungan seks di luar nikah, tapi bisa juga di dalam nikah yaitu melalui kegiatan kawin-cerai, khususnya antara laki-laki dan perempuan yang sudah pernah mempunyai pasangan seks sebelumnya.

Tidak ada kaitan langsung antara kampanye penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah dengan ’melegalkan perzinahan’. Tanpa kondom pun tetap saja terajdi perzinaan. Bahkan, ada fakta empiris yang luput dari perhatian yaitu lelaki ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Inilah yang menjadi persoalan besar karena kalau ada lelaki ’hidung belang’ yang HIV-positif maka dia akan menulari PSK. Selanjutnya lelaki ’hidung belang’ yang berkencan dengan PSK yang sudah tertular HIV berisiko pula tertular HIV. Mereka-mereka inilah, lelaki ’hidung belang’ tadi, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Jumlah kasus HIV dan AIDS dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus yang sudah ada ditambah dengan kasus yang baru. Begitu seterusnya sehingga angka kumulatif kasus HIV dan AIDS tidak akan pernah turun.

”Selamatkan Remaja Dari Bahaya HIV/AIDS dan Seks Bebas.” Ini seruan massa HTI ketika long march di Balikpapan. Ada pula spanduk “tutup industri seks dan narkoba, sama dengan cegah HIV/AIDS”, “PSK pemadat, homosek, sama dengan pengidap HIV/AIDS.”
Ini slogan kosong karena tidak ada cara-cara konkret yang disampaikan. Satu hal yang luput dari perhatian adalah bahwa yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, duda, lajang, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pedagang, pelajar, mahasiswa, perampok, dll. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.


Ada pula pernyataan: .... cara yang paling tepat memberantas AIDS adalah hentikan seks bebas dan penggunaan narkoba. Khusus penggunaan kondom juga sebaiknya dihentikan karena bentuk tersebut nyata-nyata tidak melarang melakukan perzinahan. Ketua DPC Hizbut Tahrir Balikpapan, Wigati Lestari, mengatakan: “Selanjutnya screening massal, yaitu di mana pengidap agar tidak dibolehkan masuk ke dalam lingkungan masyarakat.” Dan tetapkan syariat Islam karena salah satu hadist nabi mengatakan jika 2 orang bukan muhrim berduaan di tempat sepi maka orang ke 3 adalah setan. Maka akan berujung pada kemaksiatan.

Lagi-lagi pernyataan yang tidak akurat. Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan seks bebas dan penggunaan narkoba. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dunya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Sedangkan risiko penularan HIV pada penyalahguna narkoba bisa terjadi kalau narkoba dipakai dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergantian.

Di Indonesia maksiat hanya dikaitkan dengan aurat bukan terhadap perbuatan yang tercela dan buruk yang akurat terjadi di tataran realitas sosial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan maksiat adalah perbuatan yg melanggar perintah Allah; perbuatan dosa (tercela, buruk, dsb). Penularan HIV melalui maksiat (baca: zina, pelacuran, ’seks menyimpang’, ’jajan’, selingkuh, ’seks bebas’, sodomi, homoseksual, dll.) bukan terjadi karena kemaksiatan atau perbuatan maksiat tapi karena salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom.

Sebaliknya, kalau ada sepasang manusia yang HIV-negatif yang tidak terikat pernikahan melakukan maksiat (baca: zina, pelacuran, ’seks menyimpang’, ’jajan’, selingkuh, ’seks bebas’, sodomi, homoseksual, dll.) maka tidak ada risiko penularan HIV. Maka, kalau ada dua orang yang tidak muhrim biar pun ditemani setan melakukan maksiat tidak ada risiko penularan HIV. Ini fakta.

Pernyataan: “Selanjutnya screening massal, yaitu di mana pengidap agar tidak dibolehkan masuk ke dalam lingkungan masyarakat” menyuburkan stigmatisasi dan diskriminasi. Penularan HIV bisa terjadi setiap saat ketika seseorang melakukan perilaku berisiko sehingga kalau mau melakukan screening massal harus dilakukan setiap saat. Ini ’kan pekerjaan yang sia-sia. Menggantang asap. Lagi pula tidak semua orang harus menjalani tes HIV karena ada di antara penduduk yang tidak berisiko tertular HIV. Maka, yang diperlukan adalah penyuluhan yang gencar dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang akurat dengan mengedepankan HIV/AIDS sebagai fakta medis. Antara lain meningkatkan kesadaran masyarakat agar orang-orang yang pernah melakukan perilaku berisiko mau menjalani tes HIV. Kian banyak penduduk yang terdeteksi HIV maka makin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.

***

Di Bandung, Jawa Barat, ada pula unjuk rasa massa HTI seperti diberitakan ”detik.com” (29/11-2009). Dalam berita ada pernyataan: Selain itu menurutnya program kondomisasi yang dilakukan pemerintah bertentangan dengan syariah islam karena justru seakan melegalkan seks bebas. Siti Nafidah, Ketua MHTI Jabar, mengatakan: "Kondomisasi 100 persen nyata-nyata tidak melarang dilakukannya perzinahan selama menggunakan kondom."

Tidak ada program atau proyek kondomisasi di Indonesia. Yang digencarkan adalah sosialisasi pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko di dalam atau di luar nikah. Di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sudah ada pasal yang menjerat perzinahan sehingga pernyataan Ketua MHTI Jabar itu tidak akurat. Biar pun industri hiburan malam, termasuk pelacuran, dihapuskan praktek-prektek perzinahan dalam bentuk pelacuran terselubung, ‘kumpul kebo’, perselingkuhan, dll. tetap saja terjadi di mana sana dan kapan saja. Lagi pula tidak mungkin mengawasi orang per orang terkait dengan perilaku seksnya.

Liputan6 SCTV” (29/11-2009) juga melaporkan kegiatan HTI di Bandung. Disebutkan massa HTI menyerukan agar warga Kota Bandung mewaspadai bahaya Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). Mereka juga mengingatkan kaum muda Indonesia untuk menghindari pergaulan bebas, termasuk narkoba yang selama ini dinilai sebagai peyebab merebaknya HIV/AIDS.

Dalam berita tidak dijelaskan arti pergaulan bebas. Tapi, kalau pergaulan bebas dikaitkan dengan hubungan seks di luar nikah, maka lagi-lagi itu hanya mitos karena tidak ada kaitan langsung antara ‘pergaulan bebas’ dengan penularan HIV. Kalau sepasang anak manusia, remaja atau dewasa, dengan status HIV-negatif melakukan pergaulan bebas maka tidak ada risiko penularan HIV.

okezone” (29/11-2009) juga melaporkan aksi dama HTI di Bandung. Disebutkan: “....muslimah HTI Jabar menuntut pemerintah menghentikan langkah-langkah penanggulangan AIDS yang bertentangan dengan syariah Islam. Misalnya, kondomisasi. Selain itu, mereka juga menuntut agar orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang tidak terbukti melakukan tindakan keji menurut syariah, tetap mendapatkan hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya.”

Dalam program penanggulangan HIV di Indonesia tidak ada kondomisasi yang dilakukan adalah sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks yang berisiko di dalam dan di luar nikah.

Membedakan penanganan pasien berdasarkan penyakitnya merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Ini tentu saja dilarang agama.

***

Di Sukabumi, Jawa Barat, massa HTI juga menggelar aksi teatrikal seperti dibeitakan ”Liputan6 SCTV” (29/11-2009). Disebutkan aksi teatrikal yang menggabarkan bahaya penyakit AIDS. Massa meminta, agar Pemerintah Indonesia dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengubah penanganan pencegahan HIV/AIDS yang sekarang ini dianggap tidak tepat.

Tidak dijelaskan penanganan yang mana yang tidak tepat. Penanggulangan yang diterapkan dalam mencegah penularan HIV di seluruh dunia didasarkan pada fakta medis sehingga akurat dan realistis. Celakanya, banyak orang di banyak negara yang melihat epidemi HIV/AIDS dari aspek norma, moral dan agama sehingga tidk melihat HIV/AIDS sebagai fakta medis.

***

Di Cirebon, Jawa Barat, ratusan muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Cirebon, Jabar, berunjuk rasa, seperti diberitakan ”Republika Online” (30/11-2009). Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Cirebon, Fatimah, mengatakan: "Islam adalah perisai paling ampuh untuk menangkal penyebaran penyakit mematikan seperti HIV/AIDS. Dengan menerapkan azas aturan Sang Pencipta yang melarang perjinahan, kemaksiatan dan penggunaan khamr (zat yang memabukkan) bisa dipastikan penyebaran penyakit tersebut bisa segera diatasi," katanya.

Yang menyebabkan kematian pada orang-orang yang sudah tertular HIV bukan HIV/AIDS tapi penyakit lain, disebut infeksi oportunistik seperti diare, TB, dll. HIV/AIDS tidak mematikan. Kesan HIV/AIDS mematikan merupakan pandangan orang-orang yang tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Tidak ada kaitan langsung antara perjinahan, kemaksiatan dan penggunaan khamr dengan penularan HIV. Di negara-negara yang menerapkan agama Islam sebagai UUD pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Ini bisa terjadi karena perilaku penduduknya. Penduduk dari negara atau daerah yang berasaskan agama tertular HIV di luar negara atau daerahnya.
Ketika mereka kembali ke negara atau daerahnya maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Dikatakan Fatima pula: ” .... metode lain yang dipastikan mampu memberantas penyebaran penyakit HIV/AIDS adalah dengan menutup semua jenis industri seks bebas dan narkoba ....” Di Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD sehingga tidak ada ’’ industri seks bebas’ dan narkoba tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Sudah dilaporkan lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS di negera itu.

***

Di Semarang, Jawa Tengah, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyatakan keprihatinannya terhadap laju penularan HIV di dunia, termasuk Indonesia yang terus meningkat, melalui melakukan aksi damai, seperti diberitakan Harian ”Suara Merdeka” (30/11-2009).

Dalam berita disebutkan: Sebagai bentuk kepedulian, Muslimah HTI mengingatkan agar semua pihak menyadari bahwa masalah HIV/AIDS bermula dari keengganan manusia tunduk pada aturan Tuhan YME.
Menghentikan penanggulangan yang bertentangan dengan syariah seperti kondomisasi 100 persen yang sama dengan tidak melarang perzinahan.

Pernyataan di atas muncul karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Pengaitan HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama terjadi karena kasus pertama terdeteksi di kalangan laki-laki gay di AS. Padahal, setelah tes HIV diakui WHO ada contoh darah bukan dari kalangan gay dari tahun 1959 yang kemudian dites dan terbukti terkontaminasi HIV. Penularan virus hepatitis B juga persis sama dengan penularan HIV, tapi orang tidak pernah malu mengatakan bahwa dirinya mengidap hepatitis B.

Tidak ada kondomisasi 100 persen yang ada adalah sosialisasi pemakaian kondom pada hubungan seks yang berisiko tertular dan menularkan HIV. Program ’wajib kondom 100 persen’ diterapkan pada hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Juru bicara Muslimah HTI, Febrianti Abassuni, mengatakan:”Selain itu, menyadari bahwa perlakukan ”istimewa” terhadap orang dengan HIV/AIDS dapat melanggar hak orang sehat untuk terhindar dari penularan HIV, baik melalui transfusi darah, pisau cukur, jarum suntik, maupun sarana lainnya yang memungkinkan tertularnya HIV melalui darah,”

Tidak ada perlakuan istimewa terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Fakta empiris menunjukkan justru para Odha berikrar memutus rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya. Celakanya, pada saat yang sama banyak orang di masyarakat yang menjadi mata rantai penyebaran HIV karena tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

***

Di Palembang, Sumatera Selatan, HTI menggelar talk show seperti diberitakan ”kompas.com” (29/11-2009). Kampanye penggunaan kondom (kondomisasi) yang digalakkan untuk mencegah HIV/AIDS dituding Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai pintu masuk perilaku seks bebas di kalangan remaja.

Tidak ada kondomisasi dalam kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia. Yang dilakukan adalah sosialisasi kondom. Tidak ada kaitan langsung antara kondom dengan perlaku ’seks bebas’ baik di kalangan remaja maupun dewasa. Tanpa kondom pun tetap saja ada orang yang melakukan ’seks bebas’. Bahkan, lekali ’hidung belang’ justru enggan memakai kondom. Ini fakta tapi luput dari perhatian karena kondom dibicarakan dari aspek norma, moral dan agama.

Renny Kurniawati, Humas Muslimah HTI di Palembang, mengatakan: ” .... akibat upaya penanggulangan HIV/AIDS yang tidak mengacu pada akar permasalahan, menjadikan pemberantasan penyebaran virus yang antara lain timbul akibat hubungan seks di luar nikah itu tidak tuntas.” Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hubungan seks di luar nikah. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam nikah dan di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV melalui hubungan seks biar pun mereka lakukan di luar nikah.

***

Di Yogyakarta massa HTI juga melakukan long march seperti diberitakan Harian ”Kedaulatan Rakyat” (29/11-2009)

Ketua DPD I MHTI DIY, Agustina P., dikutip wartawan mengatakan: ”Untuk masalah HIV/AIDS, ia menjelaskan langkah penanggulangan seperti kondomisasi dinilainya bertentangan dengan syariah Islam, karena akan mendukung terjadinya perzinahan. Hal ini menurutnya harus dihentikan, karena seks bebas merupakan pintu masuk HIV/AIDS.”

Sosialisasi kondom adalah menyampaikan fakta empiris terkait dengan cara yang efektif dan dan realistis untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks di dalam dan di luar nikah kepada masyarakat. Tidak ada satu pun negara di muka bumi ini yang melegalkan perzinaan dalam berbagai bentuk, termasuk (lokalisasi) pelacuran. Yang ada adalah regulasi.

” .... karena seks bebas merupakan pintu masuk HIV/AIDS,” Ini ngawur dan mitos karena tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dan penularan HIV. Kalau ’seks bebas’ diartikan sebagai hubungan seks di luar nikah maka lagi-lagi tidak ada kaitan langsung antara hubungan seks di luar nikah, dalam berbagai bentuk, dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Ketua DPD I MHTI DIY, Agustina P., juga mengatakan:"Seharusnya penyelesaiannya adalah dengan menerapkan sistem Khilafah, dimana Syariah Islam diberlakukan dengan seutuhnya. Dengan demikian yang diberlakukan adalah sistem ekonomi Islam, sehingga tidak akan ada bandar barang haram tersebut. Selain itu, ada kontrol ketat terhadap kemaksiatan,"

Kalau yang disebut sebagai ’barang haram’ adalah narkoba maka lagi-lagi pernyataan ini ngawur karena tidak ada satu pun zat yang haram di dalam narkoba. Dalam dunia medis narkoba diperlukan terutama untuk obat anestesi (dahulu dikenal sebagai obat bius) pada tindakan medis, seperti bedah. Tanpa narkoba tidak mungkin dokter melakukan pembedahan terhadap manusia.

Di Arab Saudi Alquran dijadikan sebagai UUD. Di sana tidak ada industri hiburan malam dan pelacuran. Tapi, sudah lebih dari 10.000 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Di beberapa negara Islam lainnya kasus HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba tetap terjadi.

Agustina menambahkan, perlakuan istimewa terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dapat melanggar hak-hak orang sehat untuk terhindar dari penularan HIV/AIDS. Untuk itu, menurutnya para ODHA harus ditempatkan/dirawat di tempat khusus, tidak disatukan dengan layanan kesehatan umum. "Perlindungan terhadap ODHA akan mengancam orang yang sehat. oleh karena itu mereka harus dirawat secara terpisah dengan orang sehat, karena tetap berpotensi menularkan HIV/AIDS."

Pernyataan di atas menyuburkan stigma (cap buruk) dan mendorong diskriminasi (perlakukan berbeda) terhadap Odha. Dari sudut norma, moral dan agama stigma dan diskriminasi dilarang. Dengan mengetahui status HIV seorang pasien maka tenaga kesehatan akan bisa menerapkan kewaspadaan umum sehingga mereka tidak tertular. Sebaliknya, pasien-pasien yang berobat dan dirawat tapi tidak diketahui status HIV-nya justru jauh lebih berbahaya karena tenaga kesehatan tidak hati-hati.

***

Di Medan, Sumatera Utara, anggota HTI juga menggelar aksi damai seperti diberitakan ”Metro TV News” (29.11-2009). Disebutkan: ” Mereka hanya berorasi dan menyebarkan selebaran. Intinya, mereka mengajak pengguna jalan mewaspadai penularan AIDS. Apalagi hingga kini program penanggulangan HIV tidak efektif karena berbau kepentingan kapitalis.”


Pernyataan ini menyesatkan karena fakta empiris menunjukkan justru lebih dari 70% dana penggulangan HIV/AIDS di Indonesia didanai oleh kapitalis. Tanpa dukungan dana itu Indonesia sudah morat-marit menghadapi epidemi HIV. Saat ini obat antiretroviral (ARV) gratis karena ada dana dari kapitalis.

***

Di Solo, Jawa Tengah, muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga melakukan unjuk rasa keprihatinan terhadap lanjut penularan HIV/AIDS, seperti diberitakan Harian ”Solo Pos” (29/11-2009).

Disebutkan: ” Seks bebas dan Narkoba dinilai sebagai racun dunia pemicu penyakit Aids. Apalagi jumlah kasus Aids di dunia dan di Tanah Air belakangan semakin bertambah dan kondisinya begitu memrihatinkan.”

Tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dan narkoba dengan penularan HIV. Kalau ’seks bebas’ dimaksudkan sebagai hubungan seks di luar nikah dalam berbagai bentuk maka lagi-lagi tidak ada kaitan langsung antara hubungan seks di luar nikah dan penualran HIV. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Kasus HIV/AIDS dilaporkan dalam bentuk kumulatif. Kasus yang sudah dilaporkan akan ditambah dengan kasus baru sehingga angkanya akan terus naik. Angka kumulatif kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun.

Lagi pula kian banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus.

Aksi HTI di Solo juga diberitakan Tempo Interaktif (29/11-2009). Disebutkan: “ .... meminta pemerintah menghentikan pemakaian kondom untuk mencegah penularan penyakit HIV/AIDS. Sebab, menurut mereka, hal itu sama saja dengan mengakui seks bebas. "Seks bebas adalah pintu masuk penyakit HIV/AIDS sehingga seharusnya seks bebas yang dilarang," tandas Koordinator Aksi Endah Nugraheni.

Kalau yang disebut ‘seks bebas’ adalah hubungan seks di luar nikah (zina) dalam berbagai bentuk, seperti seks pranikah, pelacuran, ‘jajan’, selingkuh, homoseksual, dll. maka pernyataan yang menyebutkan "Seks bebas adalah pintu masuk penyakit HIV/AIDS ....” adalah ngawur. Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dan penularan HIV.

Tidak ada satu pun negara yang melegalkan ’seks bebas’. Yang dilakukan di beberapa negara adalah regulasi ’seks bebas’. Dalam KUHP ada aturan yang melarang zina. Praktek-praktek ’seks bebas’ terjadi setiap saat di mana sana di negeri ini dalam berbagai bentuk mulai dari pelacuran, perselingkuhan, ’kumpul kebo’, dll. Orang-orang yang membalut lidahnya dengan norma, moral dan agama hanya melihat ’seks bebas’ dalam bentuk pelacuran tapi menutup mata terhadap praktek-praktek ’seks bebas’ yang justru melibatkan ’orang-orang yang bermoral’.***

* Syaiful W. Harahap, pemerhati berita HIV/AIDS di media massa nasional melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta.

02 Agustus 2013

Menanggapi Pernyataan Anggota DPR F-PDIP Tubagus Hasanuddin terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua


Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta (15 Agustus 2010) - ”PDIP Minta Panglima TNI Pecat Prajurit Kena AIDS.” Ini judul berita di inilah.com (12/8-2010). Dalam berita disebutkan: “Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin meminta kepada Panglima TNI Djoko Santoso untuk memecat 144 prajurit TNI yang terkena AIDS di Papua.” Alasan yang disampaikan anggota DPR ini adalah: “ .... karena tidak akan efektif dalam melakukan tugasnya sebagai prajurit.”

Ada fakta yang tidak muncul dalam berita di media massa terkait dengan kasus AIDS di kalangan prajurit Kodam Cenderawasih, Papua, yaitu tidak dijelaskan berapa kasus HIV-positif dan AIDS.

Prajurit yang baru tahap HIV-positif tetap bisa efektif bertugas karena belum ada akibat terhadap kesehatan. Sedangkan yang sudah masuk tahap AIDS (sudah tertular antara 5 – 15 tahun) tetap bisa bekerja produktif. Apalagi sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah sehingga meningkatkan kekebalan tubuh. Langkah yang diambil TNI-AD terhadap prajurit yang terdeteksi HIV dan AIDS dengan menempatkan mereka pada bagian administrasi.

Kita perlu angkat topi mengapresiasi kebijakan yang manusia dan bermoral ini. Bandingkan dengan instansi, institusi atau perusahan yang memecat pegawai atau karyawan yang terdeteksi HIV justru melakukan tindakan yang amoral dan diskriminatif. Soalnya, penularan hepatitis B persis sama dengan penularan HIV, tapi pegawai attau karyawan yang terdeteksi mengidap virus hepatitis B tidak dipecat dan mendapat biaya pengobatan.

Di bagian lain disebutkan: Ia menduga, adanya prajurit TNI yang terkena HIV/AIDS itu bisa disebabkan dua hal. Pertama, kata, Hasanuddin disebabkan karena prajurit TNI yang ada di Papua itu adalah putra daerah. Kemungkinan kedua, tambahnya, adanya prajurit TNI yang terkena itu dikarenakan prajurit yang diperbantukan, yang datang dari luar Papua, seperti Jawa.

Pertanyaan pertama itu merupakan stigma (cap buruk) dan tidak objektif karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV (di Kodam Cenderawasih) dengan asal prajurit. Ini juga bisa memicu kebencian karena di Tanah Papua ada isu besar yang menuding kasus HIV/AIDS sebagai genosida.

Sedangkan pernyataan kedua juga tidak akurat karena tidak ada tes HIV terhadap prajurit yang akan bertugas di Papua. Memang, prajurit yang terdeteksi HIV-positif bisa saja tertular di Papua atau di luar Papua. Bisa juga mereka tertular sebelum masuk TNI-AD karena ketika mereka tes masuk berada pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan) sehingga hasil tes HIV bisa negatif palsu. HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi. 

Dalam berita itu ada pernyataan yang membingungkan, yaitu: "Setiap tahun, TNI melakukan medical cek up terhadap prajurit TNI. Kalau selama dalam medical cek up tidak terdeteksi, maka kemungkinan menderita sebelum masuk menjadi prajurit TNI.” Kalau prajurit itu tertular sebelum diterima tentulah antibody HIV akan terdeteksi jika setiap tahun dilakukan pemeriksaan kesehatan. Namun, apakah dalam medical check up juga ada tes HIV?

Ada pula pernyataan: ”Kepala rumah sakit tersebut Dr Yenny Purnama mengemukakan di Jayapura, Kamis, dari 144 prajurit TNI yang positif mengidap HIV/AIDS itu empat diantaranya telah meninggal sedangkan yang lainnya masih menjalani perawatan dan sudah diserahkan ke Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua.” Pernyataan ini mengesankan semua prajurit yang terdeteksi HIV-positif dirawat.

Pernyataan itu menyesatkan karena seseorang terdeteksi HIV tidak otomatis harus dirawat. Yang diperlukan orang-orang yang terdeteksi HIV-positif, seperti prajurit Kodam Cenderawasih, memerlukan pendampingan untuk membimbing mereka agar mau memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Pendampingan menjadi bagian dari tes HIV. Persoalannya, adalah apakah tes HIV yang dilakukan terhadap prajurit itu sesuai dengan standar baku tes HIV? Kalau ya maka sebelum dan sesudah tes mereka berhak mendapatkan konseling. Tes HIV bisa dilakukan jika ada pesetujuan dari prajurit. Mereka memberikan persetujuan setelah mengetahui HIV/AIDS secara benar dan menjadi bagian dari pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Pendampingan terhadap prajurit yang terdeteksi HIV merupakan hak mereka sebagai konseling sesudah tes sesuai dengan standar baku tes HIV.

Kesan-kesan buruk dan negatif yang muncul dari berita tentang AIDS di kalangan prajurit TNI-AD di Kodam Cenderawasih terjadi karena informasi beredar luas tidak komprehensif. Ini bisa terjadi karena sumber berita tidak menjelaskan secara rinci, tapi bisa juga terjadi wartawan tidak memahami cara-cara penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif dan empati. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

[Sumber: http://lsm-infokespro.blogspot.com/2010/08/menanggapi-pernyataan-anggota-dpr-f.html]

Menanggapi Pernyataan Wakil Ketua DPR RI terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua


Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta (15 Agustus 2010) - ”DPR Minta Panglima TNI Koreksi Pembinaan Mental Prajurit.” Itulah judul berita di detiknews.com (12/8-2010). Dalam berita disebutkan: “Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta Panglima TNI dan Menhan mengoreksi pembinaan mental dan spritual para prajurit yang bertugas di pedalaman.”

Selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, waria dan homoseksual. Padahal, sebagai virus HIV bisa menular melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, jika salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom seitap kali sanggama. Sebaliknya, jika satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV melalui hubungan seks biar pun dilakukan dengan cara zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, waria dan homoseksual tanpa kondom.

Disebutkan pula: “…. segera mengoreksi kembali pembinaan mental, tidak hanya fisik, tapi kerohanian ….” Yang perlu dikoreksi adalah materi KIE yang disampaikan kepada para prajut terkait dengan epidemi HIV. Selama materi KIE tetap dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula prajurit tidak memahami cara-cara yang akurat dalam melindingi diri agar tidak tertular HIV.

Ada pula pernyataan: “Priyo mengakui hal tersebut sangat mencengangkan publik.” Ada fakta yang tidak muncul dalam pemberitaan kasus AIDS pada prajurit TNI di Papua itu.

Tidak ada penjelasan yang rinci tentang cara yang dilakukan Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit. Kalau Kodam Cenderawasih melakkan satu langah tertentu untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajuritnya, maka apakah hal yang sama dilakukan di kodam lain? Kalau jawabannya YA, maka kasus AIDS di Kodam Cenderawasih (bisa) mencegangkan tapi dibandingkan dengan kodam lain. Kalau jawabannya TIDAK, maka ada kemungkinan di kodam lain kasus AIDS jurtru lebih tinggi.

Ditilik dari aspek epidemiologi penemuan kasus HIV/AIDS merupakan satu langkah yang sangat berarti dalam memutus mata rantai penyebaran HIV. Makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Ini yang terjadi di Kodam Cenderawasih, sedangkan di kodam lain yang tidak menjalankan survailans tes HIV maka kasus HIV/AIDS yang ada di prajurit akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Penemuan kasus HIV/AIDS di berbagai kalangan di Indonesia tidak mencengangkan karena perilaku seks sebagai orang sangat rentan tertular HIV karena mereka enggan memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko, yaitu: melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai. Seandainya dilakukan survailans di berbagai kalangan, seperti pegawai, karyawan, polisi, mahasiswa, dll. maka bisa saja hasilnya pun mencegangkan.

Di bagian lain disebutkan: "Prajurit jangan diisolasi, karena bagaimanapun mereka berjuang untuk republik." Ini benar karena yang lebih berbahaya justru prajurit yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Prajurit ini akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Sedangkan prajurit yang sudah terdeteksi merupakan ujung tombak dalam memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari diri mereka.

Sudah saatnya kita berpaling ke Malaysia yang menerapkan beberapa jenis survailans tes HIV untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Malaysia menjalankan survailans rutin dan sistematis terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai Maret 2010 Depkes mencatat 20.564 kasus AIDS. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah melewati angka 40.000. Malaysia mendekati kasus ril sedangkan di Indonesia hanya merupakan puncak dari fenomena gunung es.

Kasus-kasus yang tersembunyi itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa kita sadari yang pada gilirannya akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di negeri ini. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

[Sumber: http://lsm-infokespro.blogspot.com/2010/08/menanggapi-pernyataan-wakil-ketua-dpr.html]

Menanggapi Pernyataan Panglima TNI terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua


Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta (15 Agustus 2010) - Berita “Panglima TNI Yakin 144 Anggota TNI Pengidap HIV/AIDS Bisa Sembuh” di “detiknews.com” (13/08/2010) menimbulkan pernyataan yang sangat mendasar karena sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit AIDS.

Dalam berita disebutkan “Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso yakin 144 anggota Kodam XVII Cendrawasih yang positif mengidap HIV/AIDS bisa sembuh.” Ada pula kutipan pernyataan panglima: “ …. Orang yang menderita HIV/AIDS bisa disembuhkan.”

AIDS bukan penyakit, tapi istilah yang disepakati yang merujuk ke kondisi seseorang terkait dengan infeksi HIV, sehingga tidak bisa disembuhkan. AIDS adalah kondisi pada fisik dan kesehatan seseorang yang sudah tertular HIV antara 5 – 15 tahun. Kondisi ini ditandai oleh lebih dari 70 macam penyakit, disebut sebagai infeksi oportunistik.

Perrlu diingat bahwa dari 144 prajurit TNI di Kodam Cenderawasih yang terdeteksi HIV tentu ada yang baru tahap HIV-positif dan sebagian lagi sudah mencapai masa AIDS. Kondisi ini tidak muncul dalam pemberitaan media massa sehingga ada kesan semua sudah masuk masa AIDS. Pengobatan yang ada sekarang adalah obat antiretroviral (ARV) yaitu obat untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah. Pemakaian ARV tidak semerta ketika seseorang terdeteksi HIV, tapi ada ketentuan lain yaitu CD4 (CD4 adalah gambaran sistem kekebalan tubuh seorang Odha yang diperiksa di dalam darah melalui laboratorium) ybs. Sudah di bawah 300. Sedangkan pranykit-penyakit yang muncul setelah masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, sepreti diare, TB, sariawan, dll. bisa diobati.

Dalam berita juga tidak disebutkan bagaimana cara yang dilakukan Kodam Cenderawasih mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajuritnya. Jika kasus-kasus ditemukan melalui survailans tes HIV maka kasus yang terdeteksi bisa positif palsu (tidak ada HIV di dalam darahnya) atau negatif palsu (ada HIV di dalam darah tapi tidak terdeteksi). Survailanas tes HIV yang memakai reagen ELISA, misalnya, tidak bisa mendeteksi antibody HIV di dalam darah secara akurat pada masa jendela (di bawah tiga bulan setelah tertular HIV) sehingga hasilnya bisa positif palsu atau negatif palsu.

Jika Kodam Cenderawasih mendeteksi HIV di kalangan prajurit melalui survailans maka kasus-kasus negatif harus menjadi perhatian karena bisa jadi ketika mereka dites pada masa jendela. Mereka dianjurkan untuk menjalani tes tiga bulan berikutnya dengan catatan mereka pernah atau sering terpapar dengan perilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu: melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai.

Untuk meningkatkan efektivitas survailans perlu dilakukan konseling sebelum dan sesudah tes. Pada konseling sebelum tes mereka diberikan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Satu hal yang perlu ditanya adalah: Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko? Kalau di bawah tiga bulan maka tidak perlu menjalani tes karena hasilnya bisa positif atau negatif palsu. Begitu pula dengan di unit-unit transfusi darah PMI tidak ada pertanyaan “Kapan terakhir melakukan perilaku berisiko?” sehingga ada kemungkinan donor berada pada masa jendela.

Di bagian lain disebutkan: Djoko menuturkan, TNI menyusun rencana 5 tahun untuk penanggulangan HIV/AIDS. Kegiatan itu yakni penyuluhan, komunikasi dan edukasi. Informasi yang akurat tentang HIV/AIDS merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan epidemi HIV.
Dengan catatan materi yang disampaikan adalah fakta medis tentang HIV/AIDS. Soalnya, selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS di Indonesia selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

HIV adalah fakta medis. Artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis. Tapi, pencegahan yang dikedepankan di Indonesia adalah moral dan agama sehingga penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari banyak orang.

Disebutkan pula: “144 Anggota Kodam XVII Cenderawasih positif mengidap HIV/AIDS karena sebagian besar terjangkit melalui hubungan seks bebas atau berganti-ganti pasangan.” Ini salah satu bentuk mitos yang sudah melekat sebagai jargon di negeri ini. Tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ (jika ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina) dengan penularan HIV. Prajut-prajurit itu tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang sudah mengidap HIV. Ini fakta. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-duanya mengidap H IV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau slatu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun dilakukan dengan zina dan tanpa kondom. Ini juga fakta.

‘Berganti-ganti pasangan’ bukan penyebab tertular HIV tapi merupakan perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV karena ada kemungkiinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak berganti-ganti pasangan ketika sanggama dengan pekerja seks karena mereka mempunyai ‘pelanggan tetap’. Mereka menganggap tidak bersiiko karena tidak berganti-ganti. Tapi, mereka khilaf karena pasangan mereka itu, pekerja seks, berganti-ganti pasangan. Sayang, fakta ini tidak muncul dalam materi KIE sehinga banyak orang yang tidak memahami risiko terular HIV.

Selama para prajurit hanya diberikan wejangan dan materi KIE yang dibalut norma, moral dan agama maka selama itu pula akan (terus) terjadi penyebaran HIV.
***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

[Sumber: http://lsm-infokespro.blogspot.com/2010/08/menanggapi-pernyataan-panglima-tni.html]

Menyikapi Kasus AIDS di Kalangan Prajurit Kodam Cenderawasih Papua


Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta (13 Agustus 2010) - Beberapa hari teakhir ini media massa nasional ramai memberitakan kasus 144 prajurit di Kodam XVII Cenderawasih, Tanah Papua, yang tedeteksi HIV/AIDS. Ini menunjukkan kita tetap melihat epidemi HIV dengan sebelah mata karena beberapa tahun yang lalu juga sudah ramai diberitakan perihal AIDS di kalangan prajurit TNI dan Polri di Tanah Papua. Bahkan, 20 pendaftar di Polda Papua terdeteksi HIV-positif. Apa sebenarnya yang terjadi (di sana)?

Kasus HIV/AIDS juga terdeteksi pada prajurit TNI Kontingen Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja. Ada 11 anggota terdeteksi HIV-positif. Fakta ini sudah dipaparkan pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) IV di Manila, Filipina (Oktober 1997), tapi ketika itu tidak ada berita karena di zaman Orba. Penulis yang menjadi peserta pada kongres itu mencari data lain, tapi dr. Hadi M. Abednego, ketika itu Dirjen PPM&PLP Depkes, menolak mengomentari masalah infeksi HIV di kalangan tentara seperti yang dipaparkan di kongres. Bahkan, ada fakta lain yang muncul di kongres itu yaitu salah satu prajurit TNI yang dikirim ke Kamboja ternyata HIV-positif. Maka, seorang peserta dari Kamboja, seorang dokter, angkat bicara: “Saya khawatir justru tentara Anda yang menularkan HIV kepada rakyat kami.”

Mitos AIDS

Kabar tentang AIDS di kalangan prajurit TNI yang bertugas di Kamboja diberitakan Majalah “GATRA” (5/8-2005): ”AIDS. Risiko Jauh Keluarga”. Tapi, tunggu dulu. Mengapa tentara Belanda yang bersama Indonesia di Kamboja tidak ada yang terdeteksi HIV-positif?
Tentara Belanda dibekali dengan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Selain membawa bedil tentara Belanda juga dibekali dengan ‘senjata’ untuk ‘si buyung’.

Apakah bekal seperti itu juga diberikan kepada prajurit TNI? Yang dikhawatirkan pasukan kita hanya dibekali ‘kekuatan’ moral, seperti wejangan dan panji-panji kesatuan. Misalnya, “Jangan pergi ke lokalisasi pelacuran!” Memang, mereka tidak melacur dengan pekerja seks di lokalisasi. Mereka melakukannya dengan ’cewek bar’ atau perempuan yang mereka kenal di luar lokalisasi.

Tapi, mereka tidak dibelaki fakta tentang prevalensi HIV (perbandingan antara yang HIV-positif dengna yang HIV-negatif di kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu) di beberapa kalangan di Kamboja. Ketika itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks antara 21-64 peresen. Artinya, dari 100 pekerja seks ada 21-64 yang HIV-positif. Maka, probabilitas (kemungkinan) ’bertemu’ dengan pekerja seks yang HIV-positif sangat besar. Sedangkan di kalangan ’cewek bar’ (dikenal sebagai pekerja seks tidak langsung) prevalensi HIV berkisar antara 6-34 persen. Artinya, prevalensi HIV di kalangan pekerja seks, cewek bar, dan perempuan yang dijumpai sebagai pekerja seks tidak langsung ketika itu sangat tinggi.

Desember 2005 ada berita tentang kematian 12 dari 48 anggota TNI-AD di jajaran Kodam XVII/Trikora yang diduga tertular HIV. Dsebutkan prajurit-prajurit itu tertular HIV “akibat melakukan hubungan seks bebas dengan berganti-ganti pasangan.” (MIOL, 6/12-2005). Ini mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang sampai sekarang terus menjadi ’jargon nasional’. Kalau ’seks bebas’ yang dimaksud adalah hubungan seks di luar nikah maka tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ’seks bebas’. Hubungan seks yang memungkinkan menjadi media penularan HIV adalah hubungan seks yang tidak aman yaitu hubungan seks yang tidak mamakai kondom yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu ada kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Terkait dengan kasus itu, Panglima Mayjen TNI George Toisula, menurut Kapendam, pada setiap kesempatan juga menyampaikan ajakan pada para prajurit untuk membiasakan hidup sehat dan selalu memperhatikan kaidah-kaidah agama agar mereka terhindar dari kemungkinan tertular HIV/AIDS. (MIOL, 6/12-2005). Lagi-lagi wejangan yang tidak akurat karena sama sekali tidak ada kaitan langsung antara hidup sehat dan (kaidah) agama dengan penularan HIV.

Kasus HIV/AIDS juta terdeteksi di kalangan polisi. Sebuah berita menyebutkan sebanyak 12 orang anggota Polda Papua terjangkit virus HIV/AIDS. Empat di antaranya meninggal dunia.(MIOL, 10/12-005). Menyikapi kasus ini Mabes Polri membekali anggotanya dengan informasi seputar HIV/AIDS di Mapolres Jayawijaya (Agustus, 2008). Materi informasi HIV/AIDS selama ini selalu mengedepankan norma, moral dan agama sehingga fakta tentang HIV/AIDS hilang. Akibatnya, banyak orang yang tidak memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.

Ternyata pembelakan yang diberikan Mabes Polri kepada anggotanya di Jayawijaya juga mitos. Seorang penyuluh mengatakan: ” .... agar tidak terjangkit virus HIV/AIDS itu hal yang paling utama diketahui oleh personil Polri adalah meningkatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah dan menjauhi semua perbuatan yang berbau maksiat.” (Harian "Cenderawasih Pos", 4/8-2008). HIV juga terdeteksi pada 20 pemuda calon tantama Polri yang menjalani tes di Polda Papua.

Kambing Hitam

Ada pula kabar tentang kasus HIV/AIDS di kalangan pejabat dan agamawan di Papua. Penemuan kasus demi kasus seakan bagai ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’. Tidak ada upaya yang konkret untuk menanggulangi epidemi HIV di daerah ’Kepala Burung’ itu. Yang muncul justru isu miring yaitu mengaitkan epidemi HIV dengan genocide (pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras) dan menyalahkan pekerja seks dai luar Tanah Papua yang ’menyerbu’ daerah itu.

Pemerintah-pemerintah daerah di Tanah Papua pun setengah hati menangani lokalisasi pelacuran. Padahal, dalam delapan perda penanggulangan AIDS di Tanah Papua semua menyiratkan program ’wajib kondom’ yang mengadopsi program Thailand. Program ini jalan jika lokalisasi pelacuran dibina untuk mengefektifkan program itu. Seorang pekerja seks di lokalisasi pelacuran ’55’ Maruni, Manokwari, Papua Barat, mengeluh, ”Cewek (maksudnya pekerja seks, pen.) .... (dia menyebutkan nama sebuah kota di Sulawesi-pen.) boleh mangkal di hotel.” Pekerja seks yang tidak dilokalisir tidak bisa diawasi dalam penerapan program pemakaian kondom.

Ada pula isu HIV/AIDS di Tanah Papua ditularkan oleh nelayan Thailand. Ini juga membuat seorang remaja putri dari Thailand marah dan menanggapi makalah peserta Indonesia, dalam hal ini disampaikan oleh dr Abednego: ”Apakah penduduk Papua tidak ada yang keluar dari daerahnya?” Di luar ruangan gadis itu masih marah-marah ketika saya wawanacarai.

Biar pun HIV/AIDS adalah fakta medis, tapi tetap saja tanggapan selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama. Misalnya, ada bupati dan gubernur di Papua yang mengatakan untuk meredam HIV/AIDS di wilayah mereka dilakukan dengan cara tobat massal. Ini ngawur karena siapa yang harus bertobat dan apa pula kaitannya dengan epidemi HIV.

Data HIV/AIDS di Tanah Papua juga sering ‘mengejutkan’. Tapi, perlu diingat ini terjadi al. karena penyuluhan yang gencar di Tanah Papua sehingga mendorong banyak orang yang menjalani tes HIV dan sarana kesehatan di sana sudah disiapkan untuk menangani kasus terkait HIV/AIDS. Setelah HIV terdetesi di kalangan tentara, polisi, agamawan dan pejabat belakangan diketahui pula kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga jauh lebih besar daripada di kalangan pekerja seks.

Tanggapan terhadap kasus HIV/AIDS di Tanah Papua terus bergulir. Tapi sama sekali tidak menyentuh akar persoalan. Tanggapan terhadap kasus 144 prajurit Kodam Cenderawaih yang terdeteksi HIV-positif datang dari Senayan. ”DPR minta Panglima TNI dan Menhan koreksi pembinaan mental dan spritual prajurit.” (Newsticker, "RCTI", 13/8-2010).

Terkait dengan kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI di Papua yang diperlukan adalah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang akurat. Selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga prajurit tidak mengetahui fakta tentang penularan dan pencegahan HIV yang akurat. Jika materi KIE tetap dibalut dengan norma, moral dan agama, maka selama itu pula prajurit TNI dan Polri tidak akan memahami cara-cara yang akurat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV. Akibatnya, mereka rentan tertular HIV.

Mandatory Test

Judul berita dan acara talk show di "TVOne" (13/8-2010 dan 14/8-2010), misalnya, juga menunjukkan balutan moral: HIV-AIDS Serang TNI. Kodam Sosialisasikan Bahaya Seks Bebas. Sebagai virus HIV tidak menyerang tapi menular melalui cara-cara yang sangat spesifik. Terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan seks (’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, dll.) tapi terkait langsung dengan kondisi hubungan seks (salah satu atau dua-duanya HIV-positif, dan laki-laki tidak memakai kondom).

Pangdam XVII Mayjen Hotma Marbun: Dari seluruh Kodam prajurit penderita HIV/AIDS terbanyak dari jajaran Kodam Cenderawasih. (Newsticker, ”RCTI”, 13/8-2010). Terkait dengan pernyataan pangdam ini perlu dipertanyakan: mengapa banyak kasus AIDS terdeteksi dan bagaimana cara yang dilakukan Kodam mendeteksi kasus HIV di kalangan prajurit? Ada informasi yang tidak muncul terkait dengan kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI dan anggota Polri yang terdeteksi di Tanah Papua yaitu tidak ada keterangan tentang bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit TNI dan anggota Polri terdeteksi.

Jika upaya untuk mendeteksi kasus HIV terhadap siapa saja dilakukan dengan cara mandatory test (tes wajib) maka ini perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Pertanyaan berikutnya: Apakah diberikan konseling sebelum dan sesudah mandatory test? Kalau jawabannya TIDAK maka hal ini melanggar standar prosedur operasi tes HIV yang baku. Konseling ini penting agar yang menjalani tes bisa menerima hasilnya dan mau memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Selanjutnya: Apakah di semua kodam di Indonesia dilakukan hal yang sama dengan di Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi kasus HIV di kalangan prajurit? Kalau jawabannya YA, maka fakta yang disampaikan pangdam itu benar adanya. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka fakta yang disampaikan pangdam itu tidak menggambarkan kondisi HV/AIDS di semua kodam di Indonesia.

Pangdam Cenderawasih tidak perlu gundah-gulana karena penemuan kasus (yang banyak) di satu sisi justru jauh lebih baik daripada tidak menemukan kasus atau mendeteksi sedikit kasus. Di kodam atau polda lain kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di kalangan prajurit kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan kasus AIDS. Bahkan, bisa lebih buruk karena prajurit-prajurit yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.

Sedangkan prajurit Kodam Cenderawasih yang terdeteksi HIV merupakan pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Mereka pun bisa ditangani secara medis sehingga tingkat produktivitas mereka sebagai prajurit tetap terjaga. Yang sudah memungkinkan menerima pengobatan bisa dilakukan dengan pemberian obat antiretroviral (ARV) yang bisa menahan laju perkembangan HIV di dalam darah.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di Tanah Papua khususnya dan di Indonesia umumnya sudah saatnya kita jujur dengan menyampaikan cara-cara penularan dan pencegahan yang faktual. Tapi, apakah kita mempunyai nyali untuk menyampaikan fakta? ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

[Sumber: http://lsm-infokespro.blogspot.com/2010/08/menyikapi-kasus-aids-di-kalangan.html]

01 Agustus 2013

Lebih Tuntas dengan Waria


SEORANG pria, sebut saja Macan, mengaku minimal seminggu sekali "jajan" ke kawasan Taman Lawang, Menteng, Jakarta Pusat. "Ya, sekadar 'cuci busi'," kata laki-laki 35 tahun warga Senen, Jakarta Pusat itu. Maksudnya, dia menggunakan jasa waria (wanita pria) untuk melakukan seks oral.

Menurut Macan, yang memiliki istri dan dua orang anak, kedatangannya ke tempat berkumpulnya waria sekadar melampiaskan nafsu berahi. Tak ada perasaan suka atau cinta. Dia bahkan melakukannya setelah berhubungan dengan istri, namun tak merasa puas dan tuntas. Untuk itu, Macan merasa harus mencari cara lain untuk memuaskan diri. "Kalau berhubungan dengan banci, saya tak ada guilty feeling," demikian pembenarannya. "Jika dengan wanita lain atau pelacur, saya merasa mengkhianati cintanya," tambah si Macan, lulusan sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Alasan lelaki berhubungan seks dengan waria untuk menghindari perasaan bersalah disadari sepenuhnya oleh pihak waria. "Para lelaki teman kencan kami itu mengaku bisa mendapat perhatian dan pelayanan yang tak didapat dari istrinya atau pasangannya," kata Lenny Sugiharto, 49 tahun, waria aktivis jaringan gay dan waria Indonesia, Rabu pekan lalu.

Bahkan, menurut Lenny-ini nama sebenarnya-banyak pria beristri atau bujang yang akhirnya tinggal bersama waria. "Mungkin awalnya variasi, tapi lama-lama jadi ketagihan," kata koordinator pertemuan waria nasional pertama yang berlangsung pekan ini di Tapos, Jawa Barat itu. Ulah laki-laki berhubungan seks dengan waria sebagai selingan biasa menjadi salah satu perbincangan hangat di antara para waria bila berkumpul.

Kecenderungan seperti itu menjadi kesimpulan penelitian Dede Oetomo, sosiolog asal Universitas Airlangga, Surabaya. Penelitian yang dilakukan tahun lalu itu menyatakan adanya kecenderungan pria beristri atau punya pasangan (heteroseksual) lebih memilih waria untuk memuaskan nafsu berahi. "Mereka bukan gay (homoseks), tetapi memilih transgender dibanding pekerja seksual komersial," ujar Dede.

Penelitian yang berjudul "The Dynamics and Context of Male to Male Sex in Indonesia" itu dilakukan berdasar wawancara Dede dan tim dari Gaya Nusantara Foundation dengan responden pria bukan gay di tiga kota-Surabaya, Batam, dan Manado. Mereka menyatakan berbagai alasan dalam memilih berhubungan seks dengan waria, mulai dari alasan agama, variasi seks, ekonomi, tanggung jawab, sampai tak adanya rasa bersalah. Intinya, para pria itu menganggap berhubungan seks dengan waria tidak tergolong selingkuh.

Sayang, penelitian yang dibiayai sebuah lembaga donor dari Amerika Serikat itu tidak dipublikasikan. "Tak jelas alasannya," ujar Dede, penerima Felipa de Souza Award, sebuah anugerah dari Cile untuk perjuangan hak kaum gay dan lesbian. Dede menduga sang donor khawatir dengan temuan yang diperoleh tim peneliti-penelitian ini sempat dibahas dalam pertemuan pada Hari Transeksual Internasional di Thailand, November lalu.

Masih menurut penelitian, perilaku "cuci busi" lebih banyak dilakukan masyarakat kelas bawah, seperti tukang ojek, buruh pabrik, salesman, pengemudi becak atau taksi. Namun religiusitas juga tidak menjadi jaminan seorang lelaki tidak melakukan hubungan seks dengan waria-paling tidak, ada beberapa responden penelitian yang mengaku religius tapi tetap melakukan hal itu. "Bahkan di Manado ada pula pelayan rohani yang melakukan perbuatan itu, tentu dengan alasan agama yang mereka anut," katanya.

Beberapa laki-laki dalam penelitian itu menyatakan berhubungan badan dengan istri adalah tugas dalam perkawinan dan keluarga. Sedangkan berhubungan dengan waria merupakan kesenangan. Beberapa responden beragama Kristen dan Islam menyatakan penetrasi vaginal hanya boleh dilakukan dalam perkawinan. Karena itu, menurut responden, dibandingkan bersetubuh dengan pelacur perempuan, berhubungan seks dengan waria bukanlah perbuatan yang dilarang agama.

Namun tidak semua waria bisa menerima perlakuan pria yang hanya menempatkan mereka sebagai obyek pelampiasan nafsu berahi. Olive, 30 tahun, termasuk waria yang percaya pada satu pasangan saja. Mantan ratu waria ini mengaku bahagia bila diperlakukan seperti perempuan, dan satu-satunya. "Aku lebih menggunakan perasaan dalam hubungan dengan laki-laki, enggak bisa sembarangan," ujar Ollen-demikian dia biasa dipanggil-yang mengaku kini sedang jomblo karena baru putus dari pacarnya.

Bagi Olive, pria yang melihat waria seperti dirinya hanya sebagai obyek pelampiasan nafsu berahi sama juga seperti pria yang hanya ingin mengeksploitasi wanita. Jadi, bila lelaki tidak menghargai waria, dia juga pasti tidak menghargai wanita. "Kami ini ingin dianggap sebagai partner, subyek, bukan sekadar obyek," ujarnya.

Namun Olive tak menutup kemungkinan kawan-kawan sejenisnya, yang hanya karena terdesak kondisi ekono-mi, mau menjadikan dirinya sebagai obyek pelampiasan seks semata. "Memang sih ada, seperti teman-teman yang menjajakan diri di Taman Lawang dan jalan-jalan umum lain," katanya.

Berdasarkan catatan Yayasan Srikandi Sejati, sebuah lembaga yang mengurusi masalah waria, jumlah waria di Indonesia saat ini mencapai enam juta. Empat puluh persen berprofesi sebagai pengamen jalanan, sebagian yang lain menjual diri sebagai pemuas berahi. Namun entah berapa banyak yang setia pada satu pasangan seperti Olive.

Boleh jadi, pembenaran para pria yang menyatakan berhubungan seks dengan waria lebih sedikit mudaratnya ketimbang selingkuh dengan perempuan atau berhubungan seks dengan pelacur bisa diterima di kalangan kaum Adam. Namun jangan sampai keterusan atau malah kecanduan. Sebab, menurut psikiater dari Universitas Indonesia, Irmansyah, bila hal itu terjadi, artinya sudah menjadi sesuatu yang patologis alias penyakit. "Jika cara itu menjadi satu-satunya jalan keluar pemenuhan hasrat seksual, artinya ada gangguan kejiwaan," ujarnya.

Peringatan tidak hanya datang dari Irmansyah. Pendapat serupa juga dikemukakan Direktur Eksekutif Lembaga Swadaya Masyarakat Info Kesehatan Reproduksi, Syaiful W. Harahap. Menurut Syaiful, pembenaran para pria yang menyatakan berhubungan seks dengan waria itu bukan selingkuh itu berbahaya. Ancamannya tidak hanya terhadap segi kejiwaan, tetapi juga kesehatan. Pria beristri yang berhubungan seks dengan kelompok berisiko seperti waria bisa menularkan virus yang melumpuhkan daya tahan tubuh, HIV, ke dalam rumah tangga. "Mana mau, pria yang suka jajan dengan waria ketika berhubungan dengan istri di rumah menggunakan kondom, misalnya," ujar Syaiful.

Apalagi bila menyimak pendapat Lenny tadi, bahwa banyak pria beristri atau bujang yang akhirnya tinggal bersama waria. Hubungan pria dengan waria menjadi bukan sekadar variasi seks, tapi adiksi.

Ahmad Taufik

[Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/01/19/PRK/mbm.20090119.PRK129268.id.html - 19 Januari 2009].