Tanggapan Berita (28/7-2013) – “HIV/AIDS tulari 15 warga
Pacitan hanya dalam tempo enam bulan.” Ini judul berita di lensaindonesia.com
(23/7- 2013).
Judul ini menyesatkan karena
tidak bisa diketahui secara pasti kapan seseorang tertular HIV, kecuali melalui
transfusi darah.
Tidak jelas metode atau cara apa
yang dilakukan otoritas di Kab Pacitan, Jatim, untuk memastikan 15 warga
Pacitan tsb. tertular HIV pada rentang waktu enam bulan.
Kalau saja wartawan yang menulis
berita ini memahami HIV/AIDS dengan benar, maka yang terjadi adalah dalam kurun
waktu enam bulan ada 15 penduduk Pacitan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS
melalui tes HIV.
Pernyataan yang menyesatkan
masih ada dalam berita ini yaitu: Dalam waktu enam bulan, terhitung sejak Januari-Juni tahun ini telah ada
15 warga yang terjangkit penyakit mematikan tersebut.
‘Penyakit mematikan’ juga tidak
akurat karena belum ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena HIV atau
AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS, secara statistik
terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.
Dilaporkan kasus kumulatif
HIV/AIDS di Kab Pacitan dari tahun 2005 sampai 2013 tercatat 75 dengan 42
kematian. Angka ini tentu saja tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di
masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus yang terdeteksi atau dilaporkan (75) digambarkan sebagai puncak gunung es
yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi
di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air
laut (Lihat Gambar).
Disebutkan dalam berita bahwa
penularan penyakit yang disebut `penyakit kutukan` ini seperti fenomena gunung
es. Dimana ketika ditemukan satu
orang terjangkit, maka 1.000 orang disekitarnya berpotensi tertular.
Pernyataan ’penyakit kutukan’ mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi
(perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS.
Alangkah gegabahnya wartawan yang menulis berita ini karena menyebut
HIV/AIDS sebagai penyakit kutukan (biar pun ada tanda petik) sehingga
menghakimi dan menghukum pengidap HIV/AIDS yang tertular melalui transfusi
darah, istri-istri yang tertular dari suaminya, bayi yang terterula dari
ibunya.
Disebutkan pula ”Dimana ketika ditemukan satu orang terjangkit, maka 1.000
orang disekitarnya berpotensi tertular.”
Pernyataan di atas ngawur bin ngaco karena HIV tida menular melalui udara,
air dan pergaulan sehari-hari. Tidak ada rumus yang bisa menghitung kasus
HIV/AIDS jika ada satu kasus terdeteksi.
Disebutkan bahwa Dinkes Kab Pacitan menggandeng kaum perempuan melalui PKK
Kab Pacitan.
Untuk apa?
Dengan sosialisasi para ibu-ibu lebih memahami bahaya sekaligus menghindari
penularan penyakit yang satu itu.
Hal itu kan sama sama dengan menggantang asap. Biar pun ada fakta bahwa ada
ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya, tidak berarti kalau ibu-ibu
sudah menerima sosialisasi lalu bisa meminta suami untuk tidak melacur atau
harus memakai kondom ketika sanggama.
Tidak semua suami yang menularkan HIV kepada istirnya tertular di luar
kota.
Apakah di Kab Pacitan tidak ada praktek pelacuran?
Tentu saja ada. Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir.
Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Pacitan adalah menjalankan program berupa
intervensi melalui regulasi untuk memaksa laki-laki memakai kondom jika
sanggama dengan pekerja seks komersial (PSK).
Tanpa prograng yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Pacitan akan
terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap