27 Juli 2013

Di Pacitan, Jatim, HIV/AIDS Disebut ’Penyakit Kutukan’?


Tanggapan Berita (28/7-2013) – “HIV/AIDS tulari 15 warga Pacitan hanya dalam tempo enam bulan.” Ini judul berita di lensaindonesia.com (23/7- 2013).

Judul ini menyesatkan karena tidak bisa diketahui secara pasti kapan seseorang tertular HIV, kecuali melalui transfusi darah.

Tidak jelas metode atau cara apa yang dilakukan otoritas di Kab Pacitan, Jatim, untuk memastikan 15 warga Pacitan tsb. tertular HIV pada rentang waktu enam bulan.

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami HIV/AIDS dengan benar, maka yang terjadi adalah dalam kurun waktu enam bulan ada 15 penduduk Pacitan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV.

Pernyataan yang menyesatkan masih ada dalam berita ini yaitu: Dalam waktu enam bulan, terhitung sejak Januari-Juni tahun ini telah ada 15 warga yang terjangkit penyakit mematikan tersebut.

‘Penyakit mematikan’ juga tidak akurat karena belum ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena HIV atau AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS, secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV.

Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Pacitan dari tahun 2005 sampai 2013 tercatat 75 dengan 42 kematian. Angka ini tentu saja tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi atau dilaporkan (75) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar). 

Disebutkan dalam berita bahwa penularan penyakit yang disebut `penyakit kutukan` ini seperti fenomena gunung es. Dimana ketika ditemukan satu orang terjangkit, maka 1.000 orang disekitarnya berpotensi tertular.

Pernyataan ’penyakit kutukan’ mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS.

Alangkah gegabahnya wartawan yang menulis berita ini karena menyebut HIV/AIDS sebagai penyakit kutukan (biar pun ada tanda petik) sehingga menghakimi dan menghukum pengidap HIV/AIDS yang tertular melalui transfusi darah, istri-istri yang tertular dari suaminya, bayi yang terterula dari ibunya.

Disebutkan pula ”Dimana ketika ditemukan satu orang terjangkit, maka 1.000 orang disekitarnya berpotensi tertular.”

Pernyataan di atas ngawur bin ngaco karena HIV tida menular melalui udara, air dan pergaulan sehari-hari. Tidak ada rumus yang bisa menghitung kasus HIV/AIDS jika ada satu kasus terdeteksi.
Disebutkan bahwa Dinkes Kab Pacitan menggandeng kaum perempuan melalui PKK Kab Pacitan.

Untuk apa?

Dengan sosialisasi para ibu-ibu lebih memahami bahaya sekaligus menghindari penularan penyakit yang satu itu.

Hal itu kan sama sama dengan menggantang asap. Biar pun ada fakta bahwa ada ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya, tidak berarti kalau ibu-ibu sudah menerima sosialisasi lalu bisa meminta suami untuk tidak melacur atau harus memakai kondom ketika sanggama.

Tidak semua suami yang menularkan HIV kepada istirnya tertular di luar kota.

Apakah di Kab Pacitan tidak ada praktek pelacuran?

Tentu saja ada. Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir.

Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Pacitan adalah menjalankan program berupa intervensi melalui regulasi untuk memaksa laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan pekerja seks komersial (PSK).

Tanpa prograng yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Pacitan akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Kondom Tertinggal di Dalam Vagina Cewek Panti Pijat


Tanya-Jawab AIDS No  9/Juli 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****

Tanya: Satu setengah bulan yang lalu saya ’jajan’ di panti pijat. Saya ML (hubungan seksual-pen.) dengan memakai kondom. Saya tahu kondom mengurangi risiko tertular HIV. Tapi, setelah ejakulasi saya mengeluarkan penis ternyata kondom tertinggal di dalam vagina cewek tsb. (1) Apakah saya aman dari HIV jika kondom terlepas ketika penis masih di dalam vagina? (2) Apakah virus bisa masuk ke tubuh saya? (3) Apakah saya perlu tes HIV setelah tiga bulan biar pun selama masa jendela saya tidak sakit dan tidak ada gejala AIDS?

Via SMS (18/7-2013)

Jawab: (1) dan (2) Ketika kondom lepas dari penis Anda ada kemungkinan cairan vagina terpapar pada penis Anda. Jika cewek panti pijat itu mengidap HIV/AIDS tentulah ada risiko tertular HIV melalui paparan cairan vagian pada permukaan penis. Soalnya, salah satu cairan yang mengandung HIV yang bisa ditularkan pada pengidap HIV/AIDS adalah cairan vagina.

Persoalannya adalah tidak ada rumus yang menentukan berapa lama penis harus terpapar cairan vagina yang mengidap HIV/AIDS baru terjadi penularan HIV/AIDS. Artinya, paparan cairan vagina pada penis ada risiko jika pada penis ada luka-luka mikroskopis (luka-luka yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop, seperti perih pada gusi ketika berkumur-kumur setelah gosok gigi).

(3) Penyakit lain, disebut IMS (infeksi menular seksual), seperti kencing nanah (GO), sifilis (raja singa), virus hepatitis B, dll. mudah tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom. GO dan sifilis ada gejalanya al. nanah keluar dari penis atau perih ketika kencing. Celakanya, tertular virus hepatitis B dan HIV/AIDS tidak ada gejala-gejala yang khas sehingga tidak disadari sudah tertular HIV.

Keputusan ada di tangan Anda. Jika Anda merasa terus dihantui ketakutan tertular HIV, sebaiknya Anda menjalani tes HIV. Tapi, perlu diingat adalah tes HIV lebih baik dilakukan di sarana tes HIV yang sudah ditetentukan pemerintah, yaitu d Klinik VCT yang ada di rumah sakit umum di daerah Anda. Tes gratis dan kerahasiaan dijamin.

Tapi, ingat. Dalam tiga bulan ke depan sebelum tes HIV Anda jangan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempan yang sering ganti-ganti pasangan, seperti cewek pemijat, PSK, cewek pub, cewek bar, cewek disko, ABG, cewek kampus, anak sekolah, cewek gratifikasi seks, dll.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


25 Juli 2013

AIDS di Kota Ambon, Butuh Penanganan Serius?


Tanggapan Berita (26/7-2013) – "Angka penderita HIV/AIDS di Kota Ambon (Prov Maluku-pen.) hingga Juni 2013 mencapai 60 orang sehingga dibutuhkan penanganan serius." Ini disampaikan oleh Kadis Kesehatan Ambon, Treesye Tory  dalam berita ”Dinkes: 60 Warga Ambon Tercatat Positif HIV/AIDS” (antara, 19/7-2013)

Apa, sih, yang dilakukan Dinkes Ambon sebagai penanganan serius?

Ini salah satu di antaranya, yaitu: ”Upaya sosialisasi dilakukan guna pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, tetapi upaya ini juga harus ditunjang tingkat kesadaran dan perilaku masyarakat."

Sejak awal epidemi sosialisasi sudah gencar, tapi karena materi sosialisasi tentang HIV/AIDS tidak akurat, al. karena dibumbui dengan moral, maka yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan pekerja seks komersial (PSK) di tempat pelacuran.

Padahal, risik tertular HIV tidak hanya terkait dengan PSK.

Lagi pula ada fakta yang selalu diabaikan yaitu:

(1) Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

(2) Lalu ada lagi laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Laki-laki ini pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

Maka, laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom.

Angka 60 itu sendiri tidak jelas. Apakah kasus tsb. (60) hanya yang terdeteksi pada priode Januari-Juni 2013 atau sejak kasus HIV/AIDS terdeteksi di Ambon?

Ada pernyataan Treesye yang membenarkan terjadi praktik pelacuran di banyak tempat biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran di Ambon, yaitu: "Jumlah penderita baru tersebut belum termasuk hasil survei di sejumlah kafe, karaoke, hotel, penginapan serta pangkalan ojek, dimana dari 1.000 sasaran didapati 79 orang positiv HIV, yakni 22 orang penderita lama dan 57 orang penderita baru."

Tanpa intervensi dengan program yang konkret, maka sosialisasi tidak akan ada gunanya karena untuk mengajak masyarakat, terutama laki-laki dewasa, agar melacur pakai kondom membutuhkan waktu yang lama dan tidak ada jaminan akan berhasil.

Seperti dikatakan bahwa penanggulangan HIV/AIDS di Kota Ambon ”harus ditunjang tingkat kesadaran dan perilaku masyarakat”.

Selama sosialisasi berjalan insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Untuk itulah diperlukan intervensi selama sosialisasi berjalan agar lebih efektif yaitu melalui program yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melacur.

Disebutkan pula bahwa Selain sosialisasi, pihaknya juga akan melakukan survei penderita di daerah beresiko tinggi HIV/AIDS, seperti di tempat hiburan malam untuk mendapatkan data terbaru.

Langkah ini di hilir. Artinya, hasil survai itu adalah mendeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Dikabarkan sosialisasi bahaya AIDS juga dilakukan dengan sasaran para remaja dan masyarakat yang berusia produktif.

Realitas terkait HIV/AIDS sekarang adalah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga terur terdeteksi. Ini menujukkan perilaku berisiko justru dilakukan oleh laki-laki dewasa bukan pelajar laki-laki.

Treesye juga mengatakan: "Kami juga akan melakukan pengambilan darah secara gratis guna memastikan masyarakat mengidap penyakit tersebut atau tidak, serta menyediakan kondom gratis untuk menekan dan memutus mata rantai penyebaran virus."

Tidak semua orang atau masyarakat yang harus menjalani tes HIV karena tidak semua orang perilaku seksnya berisiko tertular HIV.

Yang dianjurkan tes HIV adalah penduduk yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko berisiko tertular HIV, yaitu:

(a) Laki-laki dan perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di Kota Ambon dan di luar Kota Ambon.

(b) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Kota Ambon dan di luar Kota Ambon.

(c) Laki-laki dan perempuan dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam nikah, pada praktek kawin-cerai di Kota Ambon dan di luar Kota Ambon.

(d) Ibu-ibu rumah tangga yang sedang hamil karena ada kemungkinan suami mereka melakukan perilaku berisiko, seperti pada (a), (b) dan (c).

Untuk itulah diperlukan program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi penduduk yang tertular HIV. Setiap penduduk yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, itu artinya satu mata rantai diputus.

Pertanyaannya: Apa program konkret yang dilakukan Pemkot Ambon untuk menanggulangi (penyebaran) HIV/AIDS?

Kalau tidak ada, maka Pemkot Ambon tinggal menunggu ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Risiko Perjaka Tertular HIV Jika Ngeseks dengan PSK

Tanya-Jawab AIDS No 8/Juli 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: (1) Bagaimana dengan perjaka yang baru melakukan hubungan intim dengan pelacur (pekerja seks komersial/PSK-pen.), apakah bisa kena HIV dengan mudah? (2) Berapa persen kemungkinannya saya tertular? Kalau disebut risiko 1:100 berarti risiko perjaka yang baru pertama kali hubungan intim dengan pelacur kecil.

Via SMS (8/7-2013)

Jawab: (1) dan (2) Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tidak terkait dengan pekerjaan, status: perjaka, gadis, duda atau janda, dll.

(a) Setiap orang yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti berisiko terular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS.

(b) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pelacur, berisiko terular HIV. Risiko terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka mengidap HIV/AIDS.

(d) Laki-laki dan perempuan dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam nikah, pada praktek kawin-cerai berisiko terular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS.

Memang, risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti adalah 1:100.

Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan tertular. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui dengan pasti pada hubungan seksual yang keberapa (akan) terjadi penularan. Bisa yang pertama, kelima, ketiga puluh, bahkan yang keseratus.

Maka, perilaku (a), (b) dan (c) berisiko tertular HIV/AIDS. Biar pun seorang perjaka dan hanya sekali dilakukan tetap ada risiko.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

23 Juli 2013

Menyorot Raperda AIDS Kab Sumedang


Tanggapan Berita (24/7-2013) – ”Tak Pakai Kondom Terancam Denda Rp 50 Juta” Ini judul berita di www.tribunnews.com (22/7-2013).

Judul berita itu merupakan salah satu sanksi yang diajukan dalam rencanan peraturan daerah (raperda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kab Sumedang, Jawa Barat, yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumedang. Raperda ini sedang dibahas oleh DPRD Kab Sumedang.

Denda itu diberikan kepada ” .... yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS namun tidak melakukan upaya pencegahan saat melakukan hubungan seksual ....”.

Pertanyaannya adalah: Di mana, bagaimana dan kapan hubungan seksual (yang) berisiko tinggi tertular HIV/AIDS?

(1) Hubungan seksual berisiko tinggi adalah yang dilakukan oleh laki-laki dewasa tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti. Ini bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

(2)  Hubungan seksual berisiko tinggi adalah yang dilakukan oleh perempuan dewasa tanpa kondom, di dalam nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti. Ini bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

(3) Hubungan seksual berisiko tinggi adalah yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dewasa tanpa kondom di dalam nikah dalam bentuk kawin-cerai. Ini bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

(4) Hubungan seksual berisiko tinggi adalah yang dilakukan oleh laki-laki dewasa tanpa kondomdengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK). Ini bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

(5) Hubungan seksual berisiko tinggi adalah yang dilakukan oleh laki-laki dewasa tanpa kondom dengan waria. Ini bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

(6) Hubungan seksual berisiko tinggi adalah yang dilakukan oleh laki-laki dewasa tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti dalam bentuk LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki). Ini bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

(7) Hubungan seksual berisiko tinggi adalah yang dilakukan oleh laki-laki dewasa tanpa kondom melalui seks anal dengan laki-laki yang berganti-ganti dalam bentuk homoseksual yaitu gay laki-laki. Ini bisa terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Nah, pertanyaan berikutnya adalah: Perilaku berisiko nomor berapa yang akan dijerat oleh perda itu kelak?

Tentu saja tidak akan ada yang bisa dijerat dengan hukum, karena di Kab Sumedang praktek pelacuran tersebar sehingga tidak bisa dijangkau secara hukum.


Intervensi untuk mencari laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual berisiko tinggi tertular HIV hanya bisa dilakukan jika pelacuran dilokalisir. Tapi, dengan syarat cara pemantauan yang realistis dan sistematis, al. tidak hanya dari sudut PSK.

Soalnya, di salah satu kabupaten di Prov Papua cara yang dipakai instansi di sana untuk mengecek apakah laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK adalah dengan memeriksa vagina PSK. Ini merupakan perbuatan yang biadab.

Ada baiknya Pansus Raperda AIDS Kab Sumedang belajar dari pengalaman Thailand menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’. Program ini berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui pelacuran.

Yang bisa dilakukan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS hanya menurunkan insiden infeksi HIV baru.

Jika dilihat pada gambar, maka intervensi yang bisa diatur dalam perda hanyalah mencegah penularan HIV-dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Untuk itu perlu pula intervensi terhadap perempuan hamil yaitu survailans tes HIV rutin. Ini untuk menemukan perempuan hamil yang mengidap HIV/AIDS agar program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa dilakukan dengan efektif.

Sedangkan intervensi terhadap laki-laki yang melacur tentu saja mustahil jika Pemkab Sumedang tidak melokalisir pelacuran.

Maka, program yang realistis untuk menanggulangi penyebaran HIV di Kab Sumedang yang bisa diatur dalam perda hanya:

1. Program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

2. Program survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil.

Jika dilebarkan, maka ada program yang bisa dijalankan yaitu:

(3) Mewajibkan semua pasien yang berobat ke rumah sakit umum menjalani tes HIV.

Ini sudah dilakukan di Amerika Serikat. Ini tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) karena ada pembatasan yaitu pasien yang berobat ke rumah sakit pemerintah. Atau ditambah syarat lain: pemegang kartu miskin, Jamkesda dan Askes. Artinya, ada pilihan bagi yang tidak mau tes yaitu ke rumah sakit swasta. Pelanggaran HAM terjadi jika tidak ada pilihan.

Disebutkan bahwa perda kelak akan menjamin hak penderita HIV/AIDS. "Penderita HIV/AIDS memerlukan perlindungan dari pemerintah untuk bisa hidup layak dan terbebas dari stigma masyarakat yang cenderung mengucilkan," kata Bupati Sumedang, Endang Sukandar.

Langkah yang disebutka Pak Bupati ini adalah di hilir. Artinya, Pak Bupati menunggu dulu ada penduduk Kab Sumedang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS baru dijamin haknya.

Itu artinya penyebaran HIV di Kab Sumedang dibiarkan terus terjadi. Maka, yang diperlukan adalah program yang konkret dan sistematis untuk mencegah, minimal menurunkan, insiden infeksi HIV baru di hulu, al. pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, pada bayi yang tertular HIV dari ibu yang mengandungnya.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Sumedang dilaporkan 232, yang terdiri atas 114 HIV dan 118 AIDS.

Disebutkan pula oleh Bupati Endang bawah kondisi geografis Sumedang yang berada di daerah lintasan, memincu tingginya penularan HIV/AIDS. 

Pernyataan Pak Bupati itu tidak akurat dan hanya merupakan penyangkalan terhadap perilaku sebagian laki-laki dewasa penduduk Kab Sumedang. Penyebaran HIV/AIDS di Kab Sumedang terjadi karena perilaku seks orang per orang (lihat gambar). Penularan dan penyebaran HIV/AIDS ukan karena letak geograif.

Apakah Pemkab Sumedang dan DPRD Kab Sumedang belajar dari perda-perda dan pergub AIDS yang sudah ada di Jabar?

Kita tunggu saja apakah perda yang disahkan kelak hanya copy-paste atau tidak. Kalau hanya copy-paste, maka bertambah lagi perda yang tidak berguna. Arang habis besi binasa. Uang rakyat habis dan tenaga terkuras, tapi tidak ada hasilnya.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

21 Juli 2013

Pelajar Bawa Kondom Wujud Tanggung Jawab Moral



Tanggapan Berita (21/7-2013) – "Kondom ditemukan saat tas seorang pelajar kami geledah, sedangkan jimat ditemukan di dalam dompet pelajar lainnya." Ini pernyataan Kepala Polsek Cisaat, Polres Sukabumi, Jabar, Kompol Sumarta Setiadi dalam berita ”Duh, Pelajar SMK Sukabumi Tepergok Bawa Kondom” di www.inilahkoran.com (19/7-2013).

Pak Kapolsek ini rupanya memakai pijakan moral dalam menjelaskan barang-barang yang terdapat, khususnya kondom, dalam tas pelajar SMK di Kota Sukabumi yang terjaring dalam operasi.

Pertama, kondom bukan barang terlarang sehingga tidak ada persoalan biar pun benda itu ada dalam tas atau kantong pelajar.

Kedua, jika ditilik dari aspek kesehatan masyarakat pelajar yang membawa kondom itu sudah melakukan tanggung jawab moral yaitu melindungi dirinya dan orang lain dari kemungkinan menularkan atau tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis/raja singa, GO/kencing nanah, virus hepatitis B, klamidia, dll.) dan HIV/AIDS.

Soalnya, penyebaran IMS dan HIV/AIDS sekarang ini di Kota Sukabumi khususnya, Jawa Barat dan Indonesia umumnya sudah merata di masyarakat. Catatan KPA Kota Sukabumi menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 654.

Sikap pelajar yang membawa kondom itu patut dihargai dari aspek kesehatan masyarakat karena dia sudah menunjukkan tanggung jawab.

Misalnya, kalau dia melakukan hubungan seksual dengan pacarnya maka akan terhindar dari kemungkinan hamil.

Kalau dia melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), maka dia sudah melindungi dirinya agar tidak tertular HIV/AIDS.

Dari aspek biologis remaja itu sudah memerlukan penyaluran hasrat dorongan seksual melalui hubungan seksual. Ini alamiah.

Hasrat dorongan seksual tidak bisa digantikan dengan kegiatan lain. Yang bisa mendekati adalah ’seks swalayan’ yaitu onani atau masturbasi. Celakanya, onani tidak pernah diperkenalkan kepada remaja sebagai cara darurat menyalurkan dorongan seksual.

Persoalannya adalah menyalurkan dorongan seksual terkait dengan agama, yaitu hubungan seksual di luar pernikahan tidak dibenarkan.

Karena pelajar tadi sudah bertanggung jawab secara moral, maka tinggal guru bimbingan dan penyuluhan (BP) yang berperan untuk memberikan pemahaman kepada semua pelajar tentang larangan hubungan seksual di luar nikah.

Soalnya, tidak ada jaminan bahwa pelajar yang tidak membawa kondom tidak pernah berzina. Pelajar-pelajar ini justru berada pada risiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus jika mereka melacur karena tidak memakai kondom.

Tapi, konseling tidak dalam bentuk khutbah. Kalau ini yang dilakukan guru BP itu artinya pelajar-pelajar itu tidak akan memahaminya secara komprehensif.

Atau Pak Kapolsek memberikan pengalaman ril, artinya fakta empiris, berupa pengalaman Pak Kapolsek menjaga diri sehingga tidak pernah berzina sebelum dan selama terikat dalam pernikahan.

Selama kalangan dewasa berlindung di balik moral, untuk menutupi perilaku mereka, maka selama itu pula remaja akan melakukan perilaku yang sama dengan kalangan dewasa.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS terdeteksi pada remaja, terutama remaja putra, karena mereka melakukan hubungan seksual, al. dengan PSK tanpa kondom.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap