20 Juli 2013

Perda AIDS Kabupaten Banyuwangi


Media Watch (21/7-2013) – “Setiap orang yang terinfeksi IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.-pen.) dan HIV/AIDS dilarang melakukan hubungan seksual dengan orang lain atau pasangannya kecuali bila pasangannya diberitahu tentang status infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS dan secara sukarela menerima resiko tersebut.”

Pernyataan ini adalah bunyi Pasal 10 ayat 2 huruf a di Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyuwangi No 6 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan IMS dan HIV/AIDS di Kabupaten Banyuwangi yang disahkan tanggal 14 Agustus 2007.

Pasal itu menunjukkan yang merancang dan mengesahkan perda ini tidak memahami IMS secara benar.

Selama penyakit IMS belum diobati, maka tidak boleh melakukan hubungan seksual karena akan terjadi penularan.

Tapi, IMS bisa disembuhkan dalam waktu yang singkat sehingga setelah sembuh hubungan seksual tanpa kondom pun bisa dilakukan karena tidak ada lagi risiko penularan.

Berbeda dengan HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan sehingga sepanjang umur virus HIV akan terus ada di dalam darah sehingga setiap hubungan seksual laki-laki harus memakai kondom agar tidak terjadi penularan.

Kerancuan juga terjadi di Pasal 7 ayat 1 disebutkan: Prosedur diagnosis IMS dan HIV/AIDS dilakukan sukarela dengan cara memberikan informasi yang benar bagi yang bersangkutan disertai konseling.

Orang-orang yang tertular IMS otomatis akan berobat sendiri karena sakit dengan gejala-gejala yang kasat mata, seperti penis mengeluarkan nanah, dll. Mereka tidak perlu mendapatkan konseling untuk persetujuan karena mereka sendiri yang minta diobati.

Berbeda dengan HIV/AIDS yang tidak menimbulkan gejala dan sakit sehingga diperlukan konseling agar orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV bisa menimbang-nimbang perilakunya terkait dengan risiko tertular HIV. Tes HIV bisa dilakukan setelah ada persetujuan dari yang hendak tes setelah mereka memahami HIV/AIDS melalui konseling.

Hal yang sama juga terjadi pada Pasal 10 ayat 1 huruf a yaitu: Setiap orang yang positif terinfeksi IMS dan HIV/AIDS wajib memeriksakan diri secara rutin ke Klinik VCT, Puskesmas atau rumah sakit yang ditunjuk.

Pengidap IMS tidak perlu rutin memeriksakan diri karena sekali berobat pun bisa sembuh asalkan ditangani oleh dokter ahli. Dan ybs. tidak mengulani perilaku yang berisiko tertular IMS.

Sedangkan pengidap HIV/AIDS perlu rutin karena terkait dengan perkembangan virus di dalam darah. Mereka harus memantai CD4 melalui tes khusus. Jika CD4 di bawah 350, maka mereka harus meminum obat antiretroviral (ARV).

Di Pasal 10 ayat 2 huruf b disebutkan: Setiap orang yang terinfeksi IMS dan HIV/AIDS dilarang menggunakan secara bersama-sama alat suntik, alat medis atau alat lain yang patut diketahui dapat menularkan virus HIV kepada orang lain.

Tidak semua penyakit yang termasuk IMS ditularkan melalui darah, sehingga pasal ini tidak akurat.

Perda ini sama sekali tidak memberikan cara-cara yang konkret dan sistematis untuk mencegah penularan HIV dan menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Perda ini mengutamakan hak dan perlindungan pengidap HIV/AIDS. Ini adalah langkah di hilir. Artinya, Pemkab Banyuwangi menunggu ada dulu pendudukya yang tertular HIV/AIDS baru kemudian dilindungi.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu untuk mengurangi jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Di Pasal 10 ayat 3 disebutkan: Pencegahan dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS didasari oleh nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup sebagai manusia.

Pasal ini jargon moral sebagai retorika politis yang ada di awang-awang karena tidak jelas maknanya.

HIV/AIDS adalah fakta medis yakni bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara penularan dan pencegahannya pun dapat diketahui secara medis.

Celakanya, biar pun HIV/AIDS fakta medis tapi langkah atau cara pencegahan dan penanggulangan yang ditawarkan dalam perda ini ada pada ranah moral sehingga memunculkan pasal-pasal yang normatif.

Itu artinya insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) akan terus terjadi.

Laki-laki yang tertular HIV yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS”.***

-         AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Khawatir setelah Ngeseks dengan PSK di Thailand


Tanya-Jawab AIDS No  7/Juli 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke "AIDS Watch Indonesia" (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Sebulan yl. saya ngeseks pakai kondom dengan seorang pekerja seks komersial (PSK) di Thailand. Ini pertama kali saya ngeseks. Hubungan seks hanya berlangsung dua menit. Apa yang harus saya lakukan?

Via SMS (14/7-2013)

Jawab: Tidak ada jangka waktu yang pasti tentang berapa lama hubungan seksual vaginal berlangsung baru terjadi penularan HIV/AIDS.

Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV/AIDS adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali kemungkinan terjadi penularan HIV. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui pada hubungan seksual yang kebarapa terjadi penularan HIV. Bisa yang pertama, kedua, kesepuluh, ketujuh puluh, atau yang keseratus. Maka, setiap hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pengidap HIV/AIDS ada risiko tertular HIV.

Jika Anda jujur yaitu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK di Thailand risiko Anda tertular HIV sangat kecil. Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko tertular, al. kualitas kondom, masa berlaku kondom, dan cara pemakaian kondom.

Kalau Anda tetap khawatir, silakan konsultasi ke Klinik VCT di rumah sakit umum di daerah Anda.

Yang perlu Anda perhatikan adalah pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan PSK.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


18 Juli 2013

Suami Ganti-ganti Pasangan Istri Tes HIV




Tanya-Jawab AIDS No 6/Juli 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke "AIDS Watch Indonesia" (http://www.aidsindonesia.com), melalui:: (1) Surat ke PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya wanita, 20-an tahun, menikah. Suami saya sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti. Saya sudah tes HIV. Hasilnya nonreaktif. Hasil tes imunologi: hbs ag non reaktif dan anti HIV non reaktif. Saya tes di laboratorium rumah sakit besar di kota saya. Tes HIV saya lakukan atas anjuran dokter kandungan karena ada kutil di vagina saya. (1) Apakah hasil tes nonreaktif itu artinya saya tidak tertular HIV?

Via SMS (12/7-2013)

Jawab: (1) Yang Anda lakukan merupakan langkah yang bagus karena terkait dengan kehamilan Anda kelak. Anda merupakan orang yang berisiko tertular HIV jika setiap sanggama suami Anda tidak memakai kondom karena perilaku seksual suami Anda yang berisiko tinggi tertular HIV.

Tapi, di sisi lain kalau suami Anda tidak melakukan tes HIV tentulah tidak menyelesaikan masalah karena jika suami Anda mengidap HIV/AIDS penularan akan terjadi lagi jika suami tidak (mau) memakai kondom setiap kali sanggama.

Terkait dengan hasil tes HIV yang Anda lakukan, ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu: standar baku tes HIV menyaratkan setiap hasil tes harus dilakukan tes konfirmasi. Misalnya, hasil tes Anda yang nonreaktif tsb. dikonfirmasi dengan tes lain. Apakah hal ini dilakukan di laboratorium tempat Anda tes HIV tsb.?

Jika suami Anda belum tes HIV, sebaiknya dibicarakan secara baik-baik. Bisa juga melalui Klinik VCT di rumah sakit di kota Anda. Atau melalui dokter kandungan yang biasa menangani Anda.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap



16 Juli 2013

Perda AIDS Kabupaten Temanggung


Media Watch (17/7-2013) – Biar pun sudah banyak daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) yang menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dan perda-perda itu tidak memberikan langkah konkret, tapi Pemkab Temanggung, Jawa Tengah, justru menelurkan perda yang juga hanya copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.

Perda Kab Temanggung No 21 Tahun 2012 yang disahkan tanggal 21 September 2012 tentang HIV dan AIDS di Kabupaten Temanggung merupakan perda yang ke-63 dari 70 perda sejenis di Indonesia. Sedangkan di Jawa Tengah perda itu merupakan perda kelima dari enam perda dan satu perwali.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Temanggung dilaporkan dari tahun 1997 sampai Maret 2013 mencapai 217. Angka yang dilaporkan ini tentu saja tidak menggambarkan data ril tentang jumlah penduduk yang mengidap HIV/AIDS karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (secara statitistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Kondisi tsb. dikenal sebagai fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Untuk itulah diperlukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret agar mata rantai penyebaran HIV di masyarakat bisa diputus. Tapi, dalam perda ini sama sekali tidak ada cara-cara konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Lihat saja di Pasal 4 ayat 1 disebutkan: Kegiatan promosi perubahan perilaku meliputi pengetahuan (b) perilaku hidup sehat, dan (c) perilaku seksual berdasarkan nilai agama.

Tidak jelas apa makna ‘perilaku hidup sehat’ karena kalau dikaitkan dengan hubungan seksual, maka setiap hubungan seksual secara biologis hanya bisa dilakukan kalau (hidup) sehat. Tidak ada kaitan langsung antara ‘perilaku hidup sehat’ dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam nikah (perilaku seksual berdasarkan nilai agama) jika salah satu dari pasangan suami-istri mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama. 


Ada dua kemungkinan seorang laki-laki dewasa, seperti suami, tertular HIV melalui hubungan seksual, yaitu:

(1) Melalui hubungan seksual tanpa kondom di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

(2) Melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah dengan perempuan yang sering kawin-cerai.

Maka, terkait dengan hal itu yang perlu dilakukan adalah intervensi melalui regulasi yaitu menjalankan program pemakaian kondom bagi laki-laki dewasa pada kondisi nomor (1) karena kondisi nomor (2) tidak bisa dijangkau (Lihat Gambar 1).

Program tsb. hanya efektif jika pelacuran dilokalisir melalui regulasi sehingga ada pintu masuk secara hukum untuk menerapkan sanksi bagi pelanggaran terhadap program. Program tsb. merupakan bagian dari upaya menurunkan insiden infeksi  HIV baru.

Program pemakaian kondom terkait dengan Pasal 6 ayat 2: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan dengan memakai kondom.

Jika tidak ada lokalisasi pelacuran, maka tidak jelas kapan, di mana dan dengan siapa (saja) hubungan seksual berisiko yang wajbi memakai kondom seperti diamanatkan pada Pasal 6 ayat 2 tsb.

Pemahaman masyarakat terhadap siapa yang perilakunya berisiko pun tidak komprehensif karena ada kesan bahwa risiko tertular HIV hanya terjadi melalui pelacuran. Maka, amar pada Pasal 10 yaitu “Setiap orang yang berisiko tinggi agar memeriksakan diri secara dini ke klinik VCT” tidak dipahami masyarakat secara luas.

Banyak laki-laki yang merasa tidak berisiko tinggi karena dia melalukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam nikah (kawin-cerai), dengan perempuan yang bukan PSK, dll. Padahal, perilaku ini berisiko tertular HIV.

Intervensi konkret yang juga bisa dilakukan adalah mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Itu artinya harus ada program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil..

Dalam perda di Pasal 12 ayat e disebutkan: Pemerintah Daerah dalam penanganan HIV dan AIDS wajib melaksanakan layanan untuk pencegahan penularan dari ibu hamil yang positif HIV pada bayi yang dikandung.

Celakanya, dalam perda ini tidak ada pasal untuk menjalankan program ini secara sistematis. Artinya, pemerintah daerah pasif dengan menunggu ada ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Sanksi pidana dengan ancaman kurungan enam bulan atau denda Rp 50 juta ditujukan terhadap perbuatan sesuai dengan Pasal 7, yaitu: kepada orang-orang yang sudah mengetahui dirinya mengidap HIV/AIDS tapi mendorongkan darah, dll.

Persoalan yang terjadi justru banyak donor darah yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS ketika mendonorkan darahnya. Masalah baru akan muncul kalau si pondonor mendonorkan darahnya pada masa jendela yaitu ybs. tertular HIV di bawah tiga bulan. Jika ini terjadi, maka skirining HIV terhadap darah donor tsb. hasilnya negatif, tapi negatif palsu (HIV sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi).

Darah dengan status HIV-negatif palsu itu pun ditransfusikan kepada orang lain sehingga tertular HIV. Dalam perda tidak sanksi bagi sarana kesehatan yang mentransfusikan darah yang mengandung HIV.

Salah satu ciri khas perda-perda AIDS di Indonesia adalah pasal copy-paste tentang peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Di Pasal 20 ayat 1 disebutkan: Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Pasal ini adalah mitos yang sama sekali tdiak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV/AIDS.

Pasal tsb. di atas justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena pasal ini menggambarkan mereka tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Satu lagi perda yang akhirnya sia-sia karena tidak memberikan cara-cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kab Temanggung.***

-         AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

15 Juli 2013

232 Ibu Rumah Tangga di DI Yogyakarta Mengidap HIV/AIDS


Tanggapan Berita (16/7-2013) – Dari 2.066 kasus kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilansir Dinas Kesehatan DI Yogyakarta sampai Maret 2013 menunjukkan 232 terdeteksi pada ibu rumah tangga (Kasus HIV & AIDS Ibu Rumah Tangga di DIY Terbanyak Kedua, republika.co.id, 15/7-2013).

Itu artinya ada 232 suami di DI Yogyakarta yang (juga) mengidap HIV/AIDS, sedangkan di kalangan wiraswasta (tidak ada penjelasan tentang jenis kelamin) ada 277 kasus.

Dalam berita tidak dijelaskan apakah suami 232 ibu rumah tangga itu sudah menjalani tes HIV atau belum. Kalau belum, maka ada 232 mata rantai penyebaran HIV di DI Yogyakarta.

Jika disimak dari aspek ekonomi, maka laki-laki berpenghasilan tetaplah yang mempunyai kemampuan untuk ’membeli seks’. Jadi, amatlah wajar kalau banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan wiraswasta. Selain itu bisa jadi pula mereka menerima ’cewek’ sebagai gratifikasi seks.

Menurut Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS DIY, Ana Yuliastanti, mengatakan kasus HIV&AIDS di Indonesia pertama kali tahun 1987-an dan penyebarannya melalui homoseksual, selanjutnya periode 1997-1998 kasus HIV&AIDS banyak terjadi karena penularan lewat jarum suntik (penasun) narkoba.

Pernyataan Ana ini tidak akurat karena kasus yang ditemukan pertama di RS Sanglah, Denpasar, Bali, itu adalah turis asing warga Belanda. Memang, dikabarkan laki-laki sebagai homoseksual. Tapi, bukan berarti penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui warga Belanda itu dengan faktor risiko homoseksual.

Kasus-kasus awal HIV/AIDS di Indonesia terdeteksi pada pekerja seks komersial (PSK) karena kepanikan pemerintah sehingga menjalankan survailans tes HIV terhadap PSK di berbagai kota di Indonesia.

Ini pernyataan Ana lagi: ”Pencegahan penyebaran HIV & AIDS melalui transmisi seksual selama ini intervensinya hanya pada pengguna seks dengan sasaran pekerja seks. Sedangkaan 'pembeli' seks belum pernah disasar. Padahal para pekerja seks posisi tawarnya masih rendah. Harusnya intervensi program kepada laki-laki baik masyarakat secara umum maupun 'pembeli' seks."

Caranya, piye, Mbak?

Sosialisasi? Penyuluhan? Komunikasi perubahan perilaku? PMTS?

Butuh waktu yang lama. Lagi pula tidak ada jaminan selama sosialisasi laki-laki yang disuluh tidak akan melakukan hubungan seksual yang berisiko, al. melacur tanpa kondom.

Disebutkan oleh Ana bahwa karena tidak ada kelompok 'pembeli' seks sulit untuk menyasar mereka. 
Kalau saja Ana melihat upaya kalangan PSK di ’Sarkem’ (Pasar Kembang, sebuah lokasi pelacuran di Jl Pasar Kembang, seberang Sta KA Tugu dan di sisi barat Jl Malioboro) untuk ’memaksa’ laki-laki hidung belang memakai kondom tentulah lain persoalannya.

Celakanya, Pemprov DI Yogyakarta sendiri mengabaikan ’Sarkem’ sebagai tempat pelacuran, seperti halnya dalam Perda AIDS DI Yogyakarta (Lihat: Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta -  http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-di-yogyakarta.html). 

Pendamping PSK di ’Sarkem’ berjibaku mendorong PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom, tapi karena tidak ada intervensi pemerintah maka posisi tawar PSK tetap kalah sehingga mereka terpaksa melayani laki-laki tanpa kondom (Lihat: Duka Derita PSK di ‘Sarkem’ Yogyakarta-http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/duka-derita-psk-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99-yogyakarta-372263.html). 

Dua-duanya celaka. Kalau laki-laki mengidap HIV/AIDS, maka PSK berisiko tertular HIV. Nah, laki-laki yang melacur tanpa kondom berisiko pula tertular HIV. Maka, laki-laki pengidap HIV yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan seharusnya strateginya diubah yakni pemberdayaan perempuan dengan melakukan sosialisasi ke PKK, kelompok dasa wisma tentang bagaimana dampak penularan HIV&AIDS pada ibu rumah tangga.

Strategi itu ’bak menggantang asap’. Manalah mungkin seorang istri mengingatkan suaminya agar tidak melacur atau melacur dengan memakai kondom.

Bagaimana pula cara ibu-ibu PKK mengingatkan para suami agar tidak melacur?

Apakah ada jaminan anjurkan ibu-ibu PKK itu akan didengar oleh laki-laki hidung belang?

Dikabarkan pula bahwa perlu sosialisasi kepada laki-laki yang melakukan hubungan seks tidak hanya dengan isterinya saja, supaya dia tidak menularkan HIV & AIDS ke orang lain atau isterinya sendiri. Sebab, hal ini persoalan besar yang menyangkut masa depan generasi bangsa.

Sosialisasi semacam itu sudah sejak awal epidemi dilakukan. Persoalannya al. banyak laki-laki yang merasa tidak berisiko karena mereka tidak melacur di ’Sarkem’, tapi melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan cewek di hotel berbintang.

Biar pun di DI Yogyakarta sudah ada Perda dan Pergug AIDS, tapi tidak akan bisa dijalankan karena tidak ada satu pasal pun yang memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Yang perlu dilakukan Pemprov DI Yogyakarta adalah menjalankan program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki melalui regulasi yaitu mewajibkan laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Program itu bisa dijalankan di ’Sarkem’, tapi Pemprov DI Yogyakarta memilih mengabaikan ’Sarkem’ daripada menjalankan program penanggulangan yang konkret di ’Sarkem’.

Tanpa program yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

14 Juli 2013

Asuransi Mengabaikan Odha


Oleh Syaiful W. Harahap*

Sudah jatuh ditimpa tangga pula.
Itulah yang (akan) dihadapi Odha di Indonesia dalam dunia perasuransian nasional. Banyak perusahaan asuransi jiwa yang menolak pembayaran klaim tertanggung yang meninggal karena AIDS. Di samping itu perusahaan asuransi pun tidak bersedia membayar klaim pengobatan penyakit-penyakit menular seksual (PMS).

Pengusaha asuransi menolak klaim AIDS dan PMS karena mereka menilai penyakit itu akibat ulah (perilaku) pemegang polis. Inilah yang dinilai banyak kalangan tidak fair, karena, "Kecelakaan lalu lintas juga terjadi karena perilaku," kata Irwanto, PhD, psikolog di PKPM (Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat) Unika Atma Jaya Jakarta. Irwanto benar, tapi asuransi rupanya sudah terlanjur mengaitkan penularan HIV dan PMS dengan moral, sedangkan kelalaian mengemudi di jalan raya tidak dikaitkan dengan perilaku yang juga bersifat moral. Selain itu banyak pula penyakit yang juga terjadi karena perilaku, seperti diabetes, penyakit jantung, kanker, dan lain-lain tapi tetap ditanggung asuransi.

Alangkah naifnya kalau perusahaan asuransi mengaitkan HIV/AIDS dan PMS dengan moral. Soalnya, menurut dr Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI, virus hepatitis B pun menular melalui hubungan seksual persis seperti HIV. Tapi, beberapa perusahaan asuransi tetap membayar klaim pengobatan penyakit yang berkaitan dengan hepatitis B, tapi monolak klaim HIV/AIDS dan PMS. Kalangan manajer puncak dan CEO (chief executive officer) perusahaan dengan suka rela menjalani tes hepatitis B. Dengan senang hati pula mereka menerima hasil tes dan perusahaan pun membayar biaya pengobatannya.

Memang, perusahaan asuransi komersial bebas menetapkan pengecualian dalam polisnya, antara lain karena preexisting conditions yaitu suatu kondisi yang diderita tertanggung sebelum polis berlaku, seperti cacat bawaan sejak lahir dan penyakit-penyakit menahun. Sedangkan HIV dan ARC (AIDS Related Complex) jelas bukan kategori preexisting conditions. Ada pula penolakan HIV/AIDS karena menilai biaya pengobatannya besar. Padahal, biaya pengobatan kanker dan cuci darah juga besar. Maka, bagi calon pemegang polis perlu memperhatikan dan membaca polis agar jelas kondisi yang dikecualikan.
 
Ada pula asuransi yang menilai obat-obatan yang dipakai Odha tidak tergolong obat karena tidak menyembuhkan. Alasan ini dibantah dr Adi Sasongko dari Yayasan Kusuma Buana (YKB) Jakarta, sebuah LSM yang bergerak di bidang HIV/AIDS, "Parasetamol (penurun panas-red.) juga bukan obat karena hanya menghilangkan gejala (symptom)," katanya. Tapi, asuransi, seperti PT Askes, tetap membayar klaim parasetamol dan menolak klaim HIV/AIDS.

Padahal, AZT merupakan obat karena dapat menurunkan risiko penularan dari seorang ibu yang HIV+ kepada janin yang dikandungnya. Kalau tanpa AZT penularan antara 20-40% tapi dengan AZT risiko penularan di bawah 10%.

Begitu pula dengan obat-obat antiretroviral dikategorikan sebagai obat kausal karena dapat menghambat laju HIV.

Soal penyakit kelamin pun, sebenarnya, dapat diperdebatkan karena ada kesan penyakit kelamin merupakan penyakit di alat kelamin yang tertular melalui hubungan seksual. Padahal, AIDS jelas bukan penyakit (pada alat) kelamin dan virus penyebabnya (HIV) pun tidak hanya menular melalui hubungan seksual. Begitu pula dengan herpes yang bisa tertular melalui kontak kulit dengan bagian yang terkena herpes.

"Kami tidak membayar klaim AIDS karena itu penyakit kelamin," kata seorang manajer sebuah asuransi terkenal, tapi mereka tetap membayar klaim hepatitis B yang digolongkan sebagai PMS. Kalau asuransi melihat HIV/AIDS sebagai penyakit pada (alat) kelamin tentu salah besar karena AIDS sendiri merupakan kumpulan gejala penyakit yang terjadi karena sistem kekebalan tubuh sudah dirusak HIV.

Jika industri asuransi melihat PMS sebagai akibat perilaku yang amoral tentu sangat tidak fair karena ada infeksi saluran reproduksi yang tidak hanya terjangkit melalui hubungan seksual. Pengalaman dr Ardin Sani, dokter di klinik PKBI Ujungpandang, Sulsel, misalnya, menunjukkan ada wanita yang menderita infeksi saluran reproduksi sejak masih gadis.Infeksi terjadi karena semasa gadis wanita itu tidak membersihkan diri dengan baik.

Alangkah gegabahnya perusahaan asuransi kalau menolak klaim pengobatan wanita ini dengan alasan penyakit itu terkait dengan moral. Tentu tidak etis kalau menolak klaim PMS suami atau isteri yang terinfeksi dari isteri atau suaminya dalam ikatan perkawinan yang sah karena hal itu terjadi bukan karena perilaku (amoral) mereka.

Jika asuransi mengecualikan HIV/AIDS dan PMS tentu akan mempengaruhi industri asuransi karena perkiraan WHO setiap tahun ada 340 juta kasus baru PMS dan perkiraan UNAIDS setiap hari 16.000 penduduk dunia terinfeksi HIV. Jadi, sudah saatnya bagi industri asuransi menghitung premi untuk HIV/AIDS dan PMS tanpa harus mengait-ngaitkannya dengan moral karena tidak selamanya HIV dan PMS tertular melalui perilaku yang amoral.

Di Thailand pemerintah melarang asuransi menolak klaim HIV/AIDS. Industri asuransi di sana pun ternyata sudah menghitung risiko HIV/AIDS dalam premi asuransi jiwa dan kesehatan. Sedangkan di Indonesia persoalan masih berkutat di seputar moral, pada waktu yang sama penyebaran HIV dan PMS terus terjadi. Sampai Maret 1999 kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 846.

Lagi pula bagaimana jadinya kalau seorang karyawan yang tertular PMS tidak diobati tentu akan sangat membahayakan keselamatan dirinya dan mengganggu aktivitas kerjanya.

Untunglah masih ada asuransi yang fair. "Kami tidak melihat penyebab kamatiannya," kata Tiwuk Siswadi, SE, Marketing Manager PT Asuransi Jiwa Bumiputera John Hancock. Jadi, biar pun meninggal karena AIDS klaimnya tetap dibayar asalkan sudah melewati batas masa tunggu (grace period) selama dua tahun. Jangankan karena AIDS yang meninggal karena bunuh diri pun klaimnya tetap dibayar John Hancock. Yang tidak dibayar mati karena hukuman mati, terbunuh dalam tindak kriminal dan kejahatan yang disengaja.

Dalam asuransi yang bersifat social insurance scheme dan asuransi kesehatan yang dijalankan pemerintah, menurut Drs Safri Ayat, Direktur Akademi Asuransi Trisakti (Akastri) Jakarta, sebaiknya tidak ada pengecualian. Hal ini bisa dilakukan karena asuransi itu tidak profit oriented, sehingga fungsi sosialnya yang dikedepankan.

Jadi, sudah saatnya dievaluasi kepesertaan otomatis dan wajib masuk asuransi jika ada pengecualian yang tidak objektif, yaitu penolakan klaim PMS dan HIV/AIDS.

* Dimuat di NewsletterWartaAIDS”, Nomor 43, 3 Mei 1999