* Bagian II
Di Pasal 14 ayat c disebutkan: Tindakan preventif oleh Pemerintah Daerah
melalui institusi kesehatan yang dimiliki adalah penyediaan sarana dan
prasarana untuk layanan untuk pencegahan dari ibu hamil yang positif HIV kepada
janin yang dikandungnya.
Persoalannya adalah dalam perda tidak ada mekanisme yang realistis dan
sistematis untuk mendeteksi HIV pada ibu-ibu hamil. Itu artinya layanan ini
hanya diberikan kepada ibu hamil yang ‘kebetulan’ terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Ketika informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, al.
melalui hubungan seksual, tapi Perda ini tetap saja memakai jargon-jargon moral
yang berujung pada mitos (anggapan yang salah) sebagai cara-cara preventif
untuk mencegah HIV/AIDS.
Lihat di Pasal 15: Tindakan preventif oleh masyarakat dan individu
meliputi:
a. tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum
menikah;
b. hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang
sah;
c. menggunakan alat pencegah penularan bagi pasangan yang
sah dengan HIV positif;
d. berkomitmen untuk menciptakan keluarga yang harmonis,
penuh cinta dan kasih sayang;
e. memfungsikan keluarga secara optimal sebagai sarana
untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas dan berakhlak baik.
Pasal 15 ayat a sama sekali tidak menukik ke cara-cara pencegahan yang ril
karena tidak ada kaitan antara penularan HIV melalui hubungan seksual dengan
hubungan seksual sebelum menikah. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi
karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena sifat
hubungan seksual (belum menikah, zina, melacur, selingkuh, ’seks bebas’,
’jajan’, dll.).
Pasal 15 ayat b mengabaikan fakta yaitu kasus-kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Mereka terular HIV melalui hubungan
seksual yang sah di dalam ikatan pernikahan.
Pasal 15 ayat c justru mendorong penyebaran HIV karena tidak ada kewajiban
bagi pasangan yang tidak sah untuk memakai alat pencegahan.
Alat pencegah agar tidak tertular HIV melalui hubungan seksual adalah
kondom, tapi dalam perda ini tidak disebutkan bahwa alat pencegah adalah
kondom. Penyebutan alat pencegah tidak menunjukkan fakta tentang nama atau
bentuk alat pencegah terkait dengan HIV/AIDS.
Pasal 15 ayat d dan e ada di ranah ilusi karena hal itu sama sekali tidak
ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.
Banyak daerah, termasuk di Sumbar, tidak ada lokasi atau lokalisasi
pelacuran yang dibentuk melalui regulasi. Maka, itu dikesankan tidak ada
kegiatan pelacuran.
Tapi, dalam Perda ini justru sebaliknya: ada
(praktek) pelacuran.
Lihat saja di Pasal 16: Tindakan preventif oleh
sektor terkait meliputi:
a.
berpartisipasi dalam pengembangan informasi dan publikasi tentang bahaya
HIV-AIDS dan IMS;
b.
memasang media yang berisi informasi tentang faktor-faktor penyebab tertularnya
seseorang oleh virus HIV hingga menjadi penderita AIDS pada lingkungan
masing-masing sektor terkait;
c.
memeriksakan kesehatan karyawannya secara berkala bagi penanggungjawab tempat
yang diduga berpotensi terjadinya penularan HIV;
d.
memasukkan materi ajar tentang penanggulangan HIV-AIDS dan IMS dalam kurikulum
pendidikan.
Kalau di tempat yang disebut
‘sektor terkait’ tsb. tidak ada kegiatan yang memungkinkan terjadi penularan
HIV, maka pasal 16 tidak perlu ada dalam perda ini.
Pengertian ril ‘sektor terkait’
dalam Perda ini kian kabur jika disimak Pasal 1 ayat 19: Sektor terkait adalah
satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Daerah dan
lembaga-lembaga lain yang merupakan mitra kerja Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi dalam menanggulangi HIV dan AIDS di Provinsi Sumatera Barat.
Maka, pasal ini pun membuka tabir
bahwa di mitra kerja Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi terjadi kegiatan yang
memungkinkan terjadi penularan HIV.
Karena tidak ada gambaran jelas
terjadilah tebak-tebakan: ‘sektor terkait’ adalah tempat-tempat hiburan
(malam). Lagi-lagi membuka tabir: di tempat-tempat hiburan malam terjadi
hubungan seksual yang tidak aman (hubungan seksual dilakukan dengan perempuan
yang sering berganti-ganti pasangan tanpa kondom) sehingga ada risiko penularan
HIV.
“Kecurigaan” bahwa di
tempat-tempat hiburan ada praktek pelacuran dikuatkan pula melalui Pasal 16
ayat c: Tindakan preventif oleh sektor terkait meliputi memeriksakan kesehatan karyawannya secara
berkala bagi penanggungjawab tempat yang diduga berpotensi terjadinya penularan
HIV.
Ada pernyataan ‘tempat yang diduga berpotensi terjadinya penularan HIV’
yang mengacu ke praktek pelacuran.
Cara-cara
di atas merupakan salah satu bentuk penyangkalan terkait dengan praktek
pelacuran yang ada di ‘sektor terkait’.
Peran serta masyarakat diatur pada Pasal 30 ayat (1):
Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan
serta dalam kegiatan penanggulangan HIV-AIDS dengan cara:
a. berperilaku hidup sehat dan bertanggung jawab dalam
keluarga;
b. peningkatan keimanan dan ketaqwaan dalam beragama dan
ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV;
Risiko tertular HIV tidak terkait langsung dengan ’perilaku hidup sehat’
karena yang bisa melakukan perilaku berisiko justru orang yang sehat. Yang
perlu dilakukan oleh orang per orang adalah tidak melakukan perilaku berisiko
tertular HIV, al. tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan
di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering
berganti-ganti pasangan.
Di Pasal 31 ayat 4 disebutkan: Setiap orang yang berisiko tinggi terhadap
penularan IMS wajib memeriksakan kesehatannya secara rutin.
Siapa yang dimaksud dengan ’orang yang berisiko tinggi terhadap penularan
IMS’?
Kalau disimak dari keterangan di Pasal 1 ayat ayat 21 dan 22 gambarannya
adalah PSK, waria, gay dll., maka pasal 31 ayat 4 mengabaikan perilaku-perilaku
yang tidak terkait langsung dengan PSK, waria, gay,dll., yaitu: laki-laki dan
perempuan dewasa pelaku kawin-cerai, laki-laki yang melacur melalui nikah
mut’ah, laki-laki yang melacur dengan PSK tidak langsung (seperti cewek
panggilan, cewek kafe, cewek pub, mahasiswi, ABG, dll.), laki-laki yang
menjalani kawin-kontrak, laki-laki yang menerima cewek gratifikasi seks.
Dengan model perda seperti Perda AIDS Prov Sumbar ini tidak ada yang
harapan untuk menanggulangi penyebaran HIV secara sistematis di Sumbar. Maka,
penyebaran HIV pun kelak akan sampai pada masanya yaitu ’ledakan AIDS’. (Habis)***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap