13 Juli 2013

Perda AIDS Prov Sumatera Barat (2)


* Bagian II

Di Pasal 14 ayat c disebutkan: Tindakan preventif oleh Pemerintah Daerah melalui institusi kesehatan yang dimiliki adalah penyediaan sarana dan prasarana untuk layanan untuk pencegahan dari ibu hamil yang positif HIV kepada janin yang dikandungnya.

Persoalannya adalah dalam perda tidak ada mekanisme yang realistis dan sistematis untuk mendeteksi HIV pada ibu-ibu hamil. Itu artinya layanan ini hanya diberikan kepada ibu hamil yang ‘kebetulan’ terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Ketika informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, al. melalui hubungan seksual, tapi Perda ini tetap saja memakai jargon-jargon moral yang berujung pada mitos (anggapan yang salah) sebagai cara-cara preventif untuk mencegah HIV/AIDS.

Lihat di Pasal 15: Tindakan preventif oleh masyarakat dan individu meliputi:

a. tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah;

b. hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah;

c. menggunakan alat pencegah penularan bagi pasangan yang sah dengan HIV positif;

d. berkomitmen untuk menciptakan keluarga yang harmonis, penuh cinta dan kasih sayang;

e. memfungsikan keluarga secara optimal sebagai sarana untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas dan berakhlak baik.


Pasal 15 ayat a sama sekali tidak menukik ke cara-cara pencegahan yang ril karena tidak ada kaitan antara penularan HIV melalui hubungan seksual dengan hubungan seksual sebelum menikah. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, zina, melacur, selingkuh, ’seks bebas’, ’jajan’, dll.).

Pasal 15 ayat b mengabaikan fakta yaitu kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Mereka terular HIV melalui hubungan seksual yang sah di dalam ikatan pernikahan.

Pasal 15 ayat c justru mendorong penyebaran HIV karena tidak ada kewajiban bagi pasangan yang tidak sah untuk memakai alat pencegahan.

Alat pencegah agar tidak tertular HIV melalui hubungan seksual adalah kondom, tapi dalam perda ini tidak disebutkan bahwa alat pencegah adalah kondom. Penyebutan alat pencegah tidak menunjukkan fakta tentang nama atau bentuk alat pencegah terkait dengan HIV/AIDS.

Pasal 15 ayat d dan e ada di ranah ilusi karena hal itu sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.

Banyak daerah, termasuk di Sumbar, tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran yang dibentuk melalui regulasi. Maka, itu dikesankan tidak ada kegiatan pelacuran.

Tapi, dalam Perda ini justru sebaliknya: ada (praktek) pelacuran.

Lihat saja di Pasal 16: Tindakan preventif oleh sektor terkait meliputi:

a. berpartisipasi dalam pengembangan informasi dan publikasi tentang bahaya HIV-AIDS dan IMS;

b. memasang media yang berisi informasi tentang faktor-faktor penyebab tertularnya seseorang oleh virus HIV hingga menjadi penderita AIDS pada lingkungan masing-masing sektor terkait;

c. memeriksakan kesehatan karyawannya secara berkala bagi penanggungjawab tempat yang diduga berpotensi terjadinya penularan HIV;

d. memasukkan materi ajar tentang penanggulangan HIV-AIDS dan IMS dalam kurikulum pendidikan.

Kalau di tempat yang disebut ‘sektor terkait’ tsb. tidak ada kegiatan yang memungkinkan terjadi penularan HIV, maka pasal 16 tidak perlu ada dalam perda ini.

Pengertian ril ‘sektor terkait’ dalam Perda ini kian kabur jika disimak Pasal 1 ayat 19: Sektor terkait adalah satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga lain yang merupakan mitra kerja Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dalam menanggulangi HIV dan AIDS di Provinsi Sumatera Barat. 

Maka, pasal ini pun membuka tabir bahwa di mitra kerja Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi terjadi kegiatan yang memungkinkan terjadi penularan HIV.

Karena tidak ada gambaran jelas terjadilah tebak-tebakan: ‘sektor terkait’ adalah tempat-tempat hiburan (malam). Lagi-lagi membuka tabir: di tempat-tempat hiburan malam terjadi hubungan seksual yang tidak aman (hubungan seksual dilakukan dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan tanpa kondom) sehingga ada risiko penularan HIV.

“Kecurigaan” bahwa di tempat-tempat hiburan ada praktek pelacuran dikuatkan pula melalui Pasal 16 ayat c: Tindakan preventif oleh sektor terkait meliputi  memeriksakan kesehatan karyawannya secara berkala bagi penanggungjawab tempat yang diduga berpotensi terjadinya penularan HIV.

Ada pernyataan ‘tempat yang diduga berpotensi terjadinya penularan HIV’ yang mengacu ke praktek pelacuran.

Cara-cara di atas merupakan salah satu bentuk penyangkalan terkait dengan praktek pelacuran yang ada di ‘sektor terkait’.

Peran serta masyarakat diatur pada Pasal 30 ayat (1): 

Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV-AIDS dengan cara:

a. berperilaku hidup sehat dan bertanggung jawab dalam keluarga;

b. peningkatan keimanan dan ketaqwaan dalam beragama dan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV;

Risiko tertular HIV tidak terkait langsung dengan ’perilaku hidup sehat’ karena yang bisa melakukan perilaku berisiko justru orang yang sehat. Yang perlu dilakukan oleh orang per orang adalah tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.

Di Pasal 31 ayat 4 disebutkan: Setiap orang yang berisiko tinggi terhadap penularan IMS wajib memeriksakan kesehatannya secara rutin.

Siapa yang dimaksud dengan ’orang yang berisiko tinggi terhadap penularan IMS’?

Kalau disimak dari keterangan di Pasal 1 ayat ayat 21 dan 22 gambarannya adalah PSK, waria, gay dll., maka pasal 31 ayat 4 mengabaikan perilaku-perilaku yang tidak terkait langsung dengan PSK, waria, gay,dll., yaitu: laki-laki dan perempuan dewasa pelaku kawin-cerai, laki-laki yang melacur melalui nikah mut’ah, laki-laki yang melacur dengan PSK tidak langsung (seperti cewek panggilan, cewek kafe, cewek pub, mahasiswi, ABG, dll.), laki-laki yang menjalani kawin-kontrak, laki-laki yang menerima cewek gratifikasi seks.

Dengan model perda seperti Perda AIDS Prov Sumbar ini tidak ada yang harapan untuk menanggulangi penyebaran HIV secara sistematis di Sumbar. Maka, penyebaran HIV pun kelak akan sampai pada masanya yaitu ’ledakan AIDS’. (Habis)***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Perda AIDS Provinsi Sumatera Barat (1)


* Bagian I

Media Watch (14/7-2013) – Hiruk-pikuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia ditandai dengan ‘perlombaan’ pemerintah provinsi, kabupaten dan kota menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Sampai pertengahan Juli 2013 sudah ada 70 perda (provinsi, kabupaten dan kota), 4 peraturan gubernur (Pergub) dan 4 peraturan walikota (Perwali).

Pemprov Sumatera Barat (Sumbar) rupanya tidak mau ketinggalan. Tanggal 13 April 2012 disahkan Perda No 5 Tahun 2012 tentang Penanggulangan HIV-AIDS. Perda ini ada di urutan ke 61 dari 70 perda sejenis yang ada di Indonesia.

Dalam laporan terakhir Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 13 Juni 2013 disebutkan bahwa kasus AIDS di Sumbar 739 yang menempatkan provinsi ini di peringkat 11 secara nasional. Sedangkan kasus HIV dilaporkan 802.

Angka-angka yang dilaporkan itu tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS terkait dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi atau yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkah gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Sumbar, Pemprov Sumbar pun menerbitkan Perda tsb. Celakanya, Perda ini pun sama saja dengan perda-perda yang lain: copy-paste.

Pertanyaannya: Apakah dalam perda tsb. Ada pasal-pasal yang konkret dengan regulasi yang sistematis untuk menanggulangi HIV/AIDS melalui pencegahan yang realistis di Sumbar?

Tentu saja tidak ada.

Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi, dulu disebut sebagai dark number, di Pasal 31 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya atau orang lain terinfeksi HIV wajib melakukan upaya yang bersifat preventif dan kuratif.

Yang jadi persoalan besar adalah banyak orang yang justru tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisiknya. Maka, tanpa mereka sadari mereka pun menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Perda ini juga tidak menyebutkan pencegahan tapi preventif.

Coba simak di bagian  promosi di Pasal 8 ayat 1 disebutkan: Upaya promotif dilakukan melalui program pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kegiatan sebagai berikut:

a. komunikasi, informasi dan edukasi;

b. peningkatan pemahaman agama dan ketahanan keluarga;

c. peningkatan perilaku hidup sehat dan religious; dan

d. peningkatan pemahaman terhadap penggunaan alat pencegahan penularan HIV-AIDS

Penularan HIV, al. melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah sehingga tidak ada kaitannya secara langsung dengan pemahaman agama dan ketahanan keluarga. Tidak ada pula kaitan langsung antara perilaku hidup sehat dan religious dengan penularan HIV. Bahkan, kalau orang hidupnya tidak sehat dia tidak bisa melakukan hubungan seksual.

Maka, Pasal 9 ayat 1 huruf a dan b tsb. justru mendorong stigma (cap buruk) dan diskrimiasi (perlakuban berbeda) tehadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena dikesankan mereka tertular HIV karena tidak ada pemahaman terhadap agama dan tidak mempunyai ketahanan keluarga. Tentu saja menyakitkan bagi istri-istri yang tertular dari suami, anak-anak yang tertular dari ibu, dan orang-orang yang tertular melalui transfusi darah.

Di bagian penanggulangan tidak ada cara-cara yang konkret. Begitu juga di bagian preventif.

Di Pasal 11 disebutkan: Tindakan preventif dilakukan secara komprehensif, integratif, partisipatif dan berkesinambungan. Ini bahasa ’dewa’ yang penuh dengan terminologi yang mengawang.

Lalu, seperti apa yang dimaksud di Pasal 11 itu?

Di Pasal 12 disebutkan:

(1) Tindakan preventif merupakan upaya terpadu memutus mata rantai penularan HIV pada masyarakat terutama populasi rentan dan risiko tinggi.

Persoalannya adalah dalam perda tidak ada cara yang konkret untuk memutus mata rantai penularan HIV, al. melalui hubungan seksual. Lagi pula risiko tertular HIV tidak hanya terjadi pada populasi rentan dan risiko tingggi yang selalu dikaitkan dengan pekerja seks komersial (PSK) dan waria.

Laki-laki dan perempuan dewasa pelaku kawin-cerai bukan populasi rentan dan risiko tinggi, tapi perilaku mereka merupakan kegiatan yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS. Risiko penularan HIV/AIDS pada pelaku kawin-cerai terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan mereka mengidap HIV/AIDS.

Pasal 14 berbunyi: Tindakan preventif oleh Pemerintah Daerah melalui institusi kesehatan yang dimiliki adalah penyediaan sarana dan prasarana untuk:

a. skrining HIV pada semua darah, produk darah, cairan sperma, organ, dan/atau jaringan yang didonorkan;

Pertanyaan untuk Pemprov Sumbar: Apakah ada jaminan bahwa HIV pada darah donor yang didonorkan pada masa jendela bisa terdeteksi di institusi kesehatan yang dimilik pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Sumbar?

Salah satu persoalan besar pada transfusi darah adalah ada kemungkinan donor yang menyumbangkan darah ada pada masa jendela. Artinya, mereka tertular HIV di bawah tiga bulan ketika mendonorkan darah. Jika ini yang terjadi, maka ada kemungkinan hasil skirining HIV pada darah donor menghasilkan negatif palsu (HIV sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi). Tentu saja hal ini akan mencelakai.

Pemerintah Malaysia pernah digugat oleh seorang perempuan guru mengaji yang tertular HIV melalui transfusi darah di sebuah rumah sakit. Untuk itulah Malaysia menjalankan standar ISO pada transfusi darah (Lihat: Hak Bebas HIV melalui Transfusi Darah - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/hak-bebas-hiv-melalui-transfusi-darah.html)/

Terkait dengan cairan sperta, yang didonorkan bukan air mani atau cairan sperma, tapi sperma. Dalam sperma tidak ada HIV. Lagi pula MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa donor sperma haram. (Bersambung)***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

12 Juli 2013

Pelaut Minum Jus Manggis untuk Menyembuhkan AIDS

Tanya-Jawab AIDS No  5/Juli 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke "AIDS Watch Indonesia" (http://www.aidsindonesia.com) melalui: (1) Surat ke: PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya seorang pelaut berumur 34 tahun. Saya baru mengetahui hasil tes HIV reaktif Desember 2012. Hasil lab di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta adalah co 109/9 od 09 dan CD4 357. Januari 2013 saya tes lagi dengan hasil co 89.5 od 0.9 dan CD4 370. Bulan Maret 2013 saya tes lagi dengan hasil co 75.5 od 0.9 dan CD4 344. (1) Bagaimana perkembangan HIV dengan hasil tes tsb.? (2) Apakah ada harapan untuk sembuh? Selama ini saya hanya meminum jus manggis dan madu asli.

Via SMS (18/4-2013)

Jawab: (1) Hasil tes Anda adalah reaktif itu artinya virus (HV) sudah ada di dalam darah. Angka-angka hasil tes itu hanya untuk keperluan medis, sedangkan yang perlu dipahami adalah hasil tes yaitu reaktif (tertular) atau nonreaktif (tidak tertular).

Setelah diketahui status HIV yaitu tertular atau mengidap HIV/AIDS, maka perhatian kemudian adalah pada hasil tes CD4. Hasil tes CD4 Anda menunjukkan CD4 Anda naik-turun. Itu artinya HIV berkembang biak terus di dalam darah Anda.

Badan Kesehatan Sedunia PBB (WHO) menganjurkan jika CD4 di bawah 350 sudah harus meminum obat antriretroviral (ARV).

Hasil tes CD4 Anda yang terakhir menunjukan angka 344 sehingga Anda sudah harus meminun obat ARV. Obat ini diperlukan untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah sehingga sistem kekebelan tubuh Anda tetap terjaga.

(2) Sampai sekarang belum ada satu pun jenis virus yang bisa dimatikan dengan obat-obatan di dalam tubuh manusia. Jika ada virus yang masuk ke dalam tubuh, seperti virus flu atau HIV, maka virus itu akan hidup selamanya di dalam tubuh. Itu artinya tidak ada kemungkinan sembuh dari HIV/AIDS.

Terkait dengan HIV, maka setiap hari virus itu akan menggandakan diri dalam jumlah jutaan yang akan merusak jutaan sel darah putih sehingga sistem kekebalan tubuh Anda akan terus turun sehingga mudah kena penyakit.

Jus (kulit) manggis, herbal, buah merah, madu asli, dll. tidak bisa membunuh HIV di dalam tubuh.

Yang Anda perlukan adalah obat ARV dan menjaga pola hidup serta pola makan agar kondisi Anda tetap baik.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


Proteksi ’Pergaulan Bebas’ Tidak Menghambat Penyebaran HIV/AIDS di Kota Padang

Tanggapan Berita (13/7-2013) – "Kota Padang (Sumbar-pen.) selama ini terkenal dengan proteksi akan pergaulan bebas, ternyata kasus HIV/AIDS di kota ini justru semakin mengkhawatirkan.” Ini lead pada berita ”Awassss.. HIV/AIDS di Padang Mulai Mengkhawatirkan” di kliksumbar.com (27/7-2013).

Istilah ’pergaulan bebas’ dalam pernyataan di atas tidak jelas karena selama ini ’pergaulan bebas’ selalu dikaitkan dengan kebiasaan pacaran remaja yang berakhir pada kehamilan cewek.

Risiko seseorang, terutama laki-laki dewasa, tertular HIV bukan karena ’perbaulan bebas’, tapi perilaku seksual yang berisiko terjadi penulara HIV/AIDS, yaitu:

(a) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam  nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, ), di Kota Padang atau di luar Kota Padang, karena ada kemungkinan salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS.

(b) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti perselingkuhan, ), di Kota Padang atau di luar Kota Padang, karena ada kemungkinan salah satu dari perempuan tsb. mengidap HIV/AIDS.

(c) Pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), di Kota Padang atau di luar Kota Padang, karena ada kemungkinan PSK  tsb. mengidap HIV/AIDS

Kasus HIV/AIDS di Kota Padang sejak tahun 1992 sampai akhir 2012 mencapai 160. Jika disimak dari segi penyebaran HIV, sehingga angka itu semu artinya tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Maka, yang mengkhawatirkan adalah ada penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat tanpa disadari ybs. Ini terjadi karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala-gajala yang kahs AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Kalau yang dimaksud ’pergaulan bebas’ adalah pelacuran yang terbuka, seperti di lokasi atau lokalisasi, memang tidak ada di Kota Padang, tapi itu bukan jaminan bahwa praktek pelacuran dalam berbagai bentuk tidak ada di Kota Padang.

Praktek pelacuran terjadi setiap waktu melalui jaringan yang melibatkan banyak orang sebaga perantara, seperti karyawan penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang, tukang ojek, sopir taksi, dll.

Tentu saja Pemkot Padang tidak bisa mengawasi perilaku semua laki-laki dewasa terkait dengan praktek pelacuran karena terjadi di tempat-tempat tertutup.

Staf ahli Walikota Padang Frisdawati Boer, mengatakan: "Kasus penderita HIV/AIDS di Padang menempati urutan teratas kasus di Sumbar.”

Sayang wartawan tidak mengejar data ini: mengapa banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi di Kota Padang, apakah semua kasus tsb. terdeteksi pada penduduk Kota Padang, bagaimana kasus-kasus tsb. terdeteksi, dst.

Sementara Sekretaris Komiter Pencegahan AIDS Padang, Syafril Agus, mengatakan: "HIV dan AIDS saat ini butuh dukungan dari semua lapisan masyarakat untuk memberantasnya, terutama peran orang tua dan tokoh agama, tidak bisa mengandalkan peran pemerintah saja mengantisipasinya."

Syafril melempar tanggung jawab karena pihaknya sendiri tidak mempunyai program penanggulangan yang komprehensif. Masyarakat tidak bisa berperan karena programnya tidak konkret.

Lagi-lagi Syafril menutup-nutupi fakta berupa penyangkalan yaitu insiden infeksi HIV baru yang terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom antara laki-laki dewasa dengan PSK, dalam hal ini di Kota Padang adalah PSK tidak langsung karena mereka tidak mangkal di lokasi pelacuran.

Penyangkalan Syafril tampak jelas dari pernyataan  ini: Cara efektif melindungi generasi muda belum tertular HIV/AIDS jauhkan dari mengkonsumsi narkoba. Mengapa? Menurut Syafril: "Karena Narkoba menjadi jalan masuk menuju HIV dan AIDS, kalau tidak ditangkal sejak sekarang maka Sumbar maupun Indonesia akan mengalami kehilangan generasi.”

Risiko penularan HIV melalui narkoba hanya bisa terjadi kalau narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) disalahgunakan dengan jarum suntik secara bersama-sama dan jarum suntik dipakai bergantian.

Insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, maka yang perlu dilakukan adalah menjalankan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Selama Pemkot Padang tidak menjalankan program untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa pada hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

10 Juli 2013

Takut AIDS Karena Digigit Nyamuk di Ruang Tunggu Tes HIV

Tanya-Jawab AIDS No  4/Juli 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan ke “AIDS Watch Indonesia” (http://www.aidsindonesia.com), melalui: (1) Surat PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya:  Saya sudah tes HIV setelah enam bulan melakukan perilaku berisiko di rumah sakit pemerintah. Hasilnya nonrekatif. Menurut dokter di rumah sakit itu hasil tes saya valid. Cuma, sekarang ada ketakutan saya yaitu waktu menunggu di ruang tunggu tes HIV saya didigit nyamuk. Di ruangan itu banyak pengidap HIV/AIDS. Saya jadi takut lagi tertular. (1) Apakah saya harus menunggu tiga bulan lagi untuk tes HIV?

Via SMS (6/7-2013)

Jawab: (1) Hasil tes nonreaktif seperti dikatakan dokter di klinik tsb. sudah valid. Untuk itu akan lebih bijaksana kalau Anda terus menjaga perilaku dengan tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV untuk mempertahankan status HIV-negatif Anda.

Terkait dengan kekhawatiran Anda tertular HIV (lagi) melalui nyamuk di ruang tunggu tempat tes HIV, Anda tidak perlu khawatir biar pun nyamuk yang menggigit Anda kemungkinan sudah mengigit pengidap HIV/AIDS di ruangan tsb.

(a) HIV adalah virus yang tergolong retrorivirus yaitu virus yang menggandakan diri tapi hanya bisa terjadi di sel-sel darah putih manusia.

(b) Ketika nyamuk menyedot darah pengidap HIV/AIDS virus yang ada di badan nyamuk tidak bisa berkembang biak.

(c) Nyamuk tidak menyuntikkan darah tapi menyedot darah.

(d) Jumlah virus di dalam darah yang disedot nyamuk dari pengidap HIV/AIDS tidak cukup untuk ditularkan.

(e) Setiap jenis penyakit ditularkan oleh nyamuk khusus, seperti malaria ditularkan oleh nyamuk yang tidak bisa menularkan demam berdarah. Belum ada nyamuk yang menularkan HIV/AIDS.

Maka, Anda tidak perlu lagi tes tiga bulan setelah digigit nyamuk. Yang perlu Anda lakukan adalah menjaga perilaku agar tidak tertular HIV (lagi).***

-         AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


Ratusan Penduduk NTB Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS

Tanggapan Berita (11/7-2013) – Komisi Penanggulangan AIDS (KPAP) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat jumlah kasus HIV/AIDS secara kumulatif yang terjadi di wilayah NTB hingga April 2013 mencapai 756 yang terdiri atas 354 HIV dan 402 AIDS dengan 193 kematian (Kasus HIV/AIDS di NTB Capai 756 Kasus, lomboktoday.co.id, 1/7-2013).

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI tanggal 17 Mei 2013 disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 31 Maret 2013di NTB adalah  953 yang terdiri atas  574 HIV dan 379 AIDS.

Jumlah kasus AIDS tsb. menempatkan NTB pada posisi 18 secara nasional.

Tapi, yang perlu diperhatikan adalah 574 kasus HIV yang terdeteksi di NTB itu akan mencapai masa AIDS yaitu suatu kondisi pada pengidap HIV/AIDS yang sampai pada kondisi ketahanan tubuh yang sangat lemah sehingga mudah tertular penyakit. Kondisi inilah yang mendorong kematian pada pengidap HIV/AIDS yang sudah mencapai masa AIDS (secara statistik masa AIDS terjadi setelah seseorang tertular HIV antara 5-15 tahun).

Kondisi masa AIDS bisa diatasi jika pengidap HIV/AIDS meminum obat antiretroviral (ARV) lebih awal setelah terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Badan Kesehatan Sedunia PBB (WHO) menganjurkan agar pengidap HIV/AIDS dengan jumlah CD4 di bawah 350 sudah harus minum obat ARV.

Untuk itulah Pemprov NTB perlu merancang program yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat secara sistematis. Salah satu di antaranya adalah program yang bisa menjaring kasus HIV/AIDS pada perempuan hamil. Selain untuk mencari penular kepada perempuan tsb. program juga dilanjutkan dengan pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Data yang disampaikan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi NTB, H Soeharmanto, menunjukkan ada 126 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Itu artinya ada 126 laki-laki pengidap HIV/AIDS yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di NTB. Jika di antara 126 laki-laki itu ada yang beristri lebih dari satu, maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian banyak.

Selain itu ada pula 62 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada pekerja seks komersial (PSK). Maka, sebelum PSK itu terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV sudah ada 11.160 laki-laki yang berisiko tertular HIV (62 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan). Tes HIV akan akurat jika sudah tertular HIV minimal tiga bulan, tapi bisa saja ada di antara PSK itu yang sudah tertular HIV lebih dari tiba bulan.

Pemprov NTB sendiri sudah menelurkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS, tapi tidak bisa diandalkan karena pasal-pasal yang ada hanya normatif (Lihat: Menyorot Kinerja Perda AIDS NTB* - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/menyorot-kinerja-perda-aids-ntb.html). 

Selain upaya mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat, langkah yang mendesak dilakukan oleh Pemprov NTB adalah melakukan intervensi terhadap laki-laki melalui regulasi agar memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Langkah itu adalah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki. Jika program tsb. tidak dijalankan, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang selanjutnya akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Pada gilirannya kelak penyebaran HIV/AIDS di NTB akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap