05 Juli 2013

Perda AIDS Kota Surabaya


* Tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS

Media Watch (5/7-2013) – Pemkot Surabaya, Jatim, akhirnya mengekor juga ke 66 daerah provinsi, kabupaten dan kota yang sudah mempunyai peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Pemkot Surabaya menerbitkan Perda No 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.

Di Jawa Timur sendiri sudah ada 7 perda, 1 peraturan gubernur (pergub), dan 1 peraturan walikota (perwali). Tapi, perda-perda itu hanya copy-paste dengan pasal-pasal yang normatif.

Sama halnya dengan Perda AIDS Kota Surabaya sama sekali tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, terutama untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Bahkan, perda ini mundur karena mengusung mitos (anggapan yang salah).

Lihat saja di Pasal 10: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah, dan (b) hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.

Perda yang Alergi Kondom

Astaga, apa, sih, kaitan langsung antara penularan HIV melalui hubungan seksual dengan status pernikahan?

Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali hubungan seksual (kondisi hubungan seksual) bukan karena di luar nikah, zina, melacur, dll. (sifat hubungan seksual).

Maka, pasal 10 ayat (a) dan (b) adalah mitos.

Banyak istri yang tertular HIV dari suaminya melalui hubungan seksual yang sah secara hukum negara dan akidah agama. Di Kota Surabaya dilaporkan ada 126 ibu rumah tangga yang terderteksi mengidap HIV/AIDS.

Sedangkan di Pasal 10 ayat (c) disebutkan: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu menggunakan alat pencegah penularan bagi pasangan yang sah dengan HIV positif.

Terkait dengan Pasal 10 ayat (c) ini ada dua hal yang patut dicermati, yaitu:

Pertama, alat pencegah adalah terminologi yang merupakan jargon yang tidak mengacu ke satu alat terkait dengan pencegahan melalui hubungan seksual.

Susah amat, sih, menyebutkan kondom.

Apakah kondom merupakan najis atau barang haram? Tentu saja tidak karena kondom terbuat dari karet lateks yang diproduksi secara steril. Arti dari alat pencegah ada di bagian penjelasan di luar batang tubuh perda.

Kedua, berarti pasangan yang tidak sah, misalnya yang melacur, selingkuh, dll. tidak perlu memakai ’alat pencegah’. Maka, insiden infeksi HIV baru pun terjadi terus-menerus karena Pemkot Surabaya tentu saja tidak bisa menjamin bahwa semua laki-laki dewasa penduduk Kota Surabaya tidak ada yang melacur, berzina, selingkuh, dll.

Masih di Pasal 10 di ayat (e) disebutkan: Pasal 10 ayat (c) disebutkan: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu memfungsikan keluarga secara optimal sebagai sarana untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas.

Tidak ada kaitan antara fungsi keluarga dengan penularan HIV karena dalam segala bentuk dan sifat keluarga bisa saja terjadi penularan HIV melalui berbagai cara. Maka, pasal ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV/AIDS karena keluarganya tidak berfungsi. Di tataran sosial pasal inilah yang menjadi pemicu stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS.

Penggunaan kata yang merendahkan martabat manusia juga dipakai dalam perda ini. Simak di Pasal 1 ayat 14 ini: Kelompok Risiko Tinggi adalah setiap orang atau badan yang dalam keadaan dan kapasitasnya menentukan keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, antara lain orang yang terinfeksi dan keluarganya, Penjaja Seks Komersial, pelanggan Penjaja Seks Komersial, pelaku seks bebas dan pemakai Nakotika suntik.

Yang dijajakan adalah barang atau jasa secara berkeliling. Pekerja seks tidak pernah menjajakan barang atau jasa mereka. Yang datang mencari pekerja seks adalah laki-laki, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Pemakaian kata penjaja merendahkan martabab manusia (Lihat: Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html).  

Lokasi Pelacuran Vs Tempat Hiburan

Di Pasal 15 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dilarang melakukan tindakan yang patut diketahui dapat menularkan atau menyebarkan infeksi HIV kepada orang lain.

Faktanya lebih dari 90 persen penularan HIV justru terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan dan yang tertular.

Pemkot Surabaya ternyata tidak jujur terkait dengan (praktek) pelacuran. Di satu sisi Pemkot Surabaya menutup lokasi pelacuran, tapi di sisi lain pelacuran dibiarkan terjadi di banyak tempat. Pasal-pasal di bawah ini merupakan bukti bahwa praktek pelacuran terjadi biar pun lokasi pelacuran sudah ditutup.

Pada Pasal 19 disebutkan: Setiap pengelola dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaporkan data karyawan secara berkala pada instansi berwenang dalam rangka perencanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS oleh Pemerintah Daerah.

Sedangkan pada Pasal 20 disebutkan: Setiap pengelola tempat hiburan dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat usahanya.

Lalu di Pasal 21 disebutkan: Setiap perusahaan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja.

Tiga pasal tsb. mengaitkan tempat hiburan dengan HIV/AIDS. Itu artinya di tempat-tempat hiburan tsb. terjadi hubungan seksual.

Kalau di tempat-tempat hiburan tsb. tidak terjadi hubungan seksual tentu tidak diperlukan kegiatan atau program sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Di bagian peran serta masyarakat pasal-pasal yang ada pun hanya normatif dan mendorong masyarakat untuk melakukan stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS.

Di Pasal 35 ayat (1) disebutkan: Masyarakat berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: (a) meningkatkan ketahanan agama dan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS; dan (b) berperilaku hidup bersih dan sehat.

Bagaimana ketahanan agama dan keluarga mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual dalam nikah atau transfusi darah?

Maka, masyarakat melihat pengidap HIV/AIDS adalah orang-orang yang tidak mempunyai ketahanan agama dan keluarga dan perilakunya tidak sehat.

Yang diperlukan adalah program yang konkret dan sistematis berupa intervensi terhadap laki-laki dewasa berupa pemaksaan agar memakai kondom ketika melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.

Program itu hanya bisa dilakukan kalau pelacuran dilokalisir. Celakanya, Pemkot Surabaya justru menutup lokasi pelacuran. Maka, intervensi pun tidak akan bisa dilakukan sehingga insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

04 Juli 2013

Belasan Balita di Cianjur, Jabar, Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS


Tanggapan Berita (5/7-2013) – ”Perkembangan kasus penularan virus HIV/AIDS di Kabupaten Cianjur kian memerihatinkan. Virus yang mematikan ini mulai menjangkiti bayi berusia di bawah lima tahun.” Ini lead pada berita ”Belasan Balita Cianjur Terjangkit HIV/AIDS” di  tribunnews.com (23/6-2013).

Kesimpulan pada lead berita di atas menggambarkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pertama, HIV bukan virus yang mematikan. Belum ada kasus kematian pada pengidap HIV/AIDS karena (virus)  HIV.

Kedua, kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi di masa AIDS yang secara statistik terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun setelah tertular HIV karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, malaria, TBC, dll.

Ketiga, HIV tidak langsung menulari bayi atau balita melalui perilaku berisiko, tapi mereka tertular dari ibunya yaitu ketika di dalam kandungan, ketika persalinan atau waktu menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Kalau saja narasumber dan wartawan yang menulis berita ini memahami HIV/AIDS secara akurat, maka persoalan utama adalah laki-laki dewasa, dalam hal ini suami.

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Cianjur sejak tahun 2001 tercatat 341 dengan 52 kematian.

Suami-suami yang berzina (melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Cianjur atau di luar Cianjur) atau melacur (melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial/PSK langsung atau PSK tidak langsung di Cianjur atau di luar Cianjur)

Ketua Himpunan Masyarakat Pemerhati Politik dan Sosial (HMP2S), Dede Rahmat, ada 15 balita yang mengidap HIV/AIDS di Cianjur. Itu artinya ada 15 perempuan dan 15 laki-laki yang mengidap HIV/AIDS.

Bertolak dari data 15 balita pengidap HIV/AIDS itu saja sudah ada 45 penduduk Cianjur yang mengidap HIV/AIDS. Angka ini akan bertambah jika di antara 15 laki-laki tsb. ada yang mempunyai istri lebih dari satu.

Menurut  Dede, masih banyak penderita positif HIV/AIDS yang bersikap tertutup.

Pernyataan Dede ini tidak akurat karena orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV sudah tercatat di sarana kesehatan yang melakuan tes, di dinas kesehatan dan di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).

Yang terjadi adalah banyak orang yang perilakunya berisiko tertular HIV, terutama laki-laki dewasa, yaitu pernah atau sering melacur tanpa kondom tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda atau gejala yang khas AIDS pada fisiknya.

Nah, orang-orang itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Cianjur buktinya bisa dilihat dari kasus penemuan HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.

Sekretaris KPA Cianjur, Hilman, menyatakan di Cianjur penularan HIV/AIDS 88 persen melalui hubungan seksual.

Itu artinya banyak penduduk Cianjur yang melakukan perilaku berisiko yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Yang perlu dilakukan Pemkab Cianjur adalah menjalankan program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom ketika melakukah hubungan seksual denan PSK.

Celakanya, praktek pelacuran yang terjadi di wilayah Kab Cianjur tidak dilokalisir sehingga intervensi tidak akan bisa dijalankan. Maka, Pemkab Cianjur tinggal munggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

’Bayi Tak Berdosa’ Tertular HIV/AIDS di Prov Jambi


Tanggapan Berita (5/7-2013) – ”Saat ini ratusan warga di Provinsi Jambi divonis terserang penyakit yang sampai saat ini belum ada obatnya, yakni HIV/AIDS. Data yang didapat Tribun dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kerinci, sebanyak 613 warga di Provinsi Jambi terjangkit virus HIV/AIDS. Mirisnya lagi, tujuh di antaranya adalah bayi yang tidak berdosa.” Ini pernyataan pada berita ”Penderita HIV/AIDS di Jambi Melonjak” di tribunnews.com (2/7-2013).

Lagi-lagi kesimpulan pada berita di atas tidak akurat karena tidak menggambarkan HIV/AIDS sebagai fakta medis, yaitu:

(1) Sebagai virus HIV tidak menyerang karena virus ini menular melalui cara-cara yang tidak umum dan tidak pula menular melalui udara, air dan sentuhan badan. HIV menular, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS.

(2) Ada penyakit yang ada obatnya, seperti demam berdarah. Ada pula penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan, seperti diabetes dan darah tinggi. HIV/AIDS sudah ada obatnya yaitu obat antiretroviral (ARV) tapi tidak bisa menyembuhkan hanya untuk menekan perkembangan HIV di dalam darah.

(3) Tidak ada kaitan antara dosa dan penularan HIV. Pada kegiatan yang tidak terkait dengan dosa pun, seperti transfusi darah, juga bisa menjadi media penularan HIV.

Yang miris bukan kasus HIV/AIDS pada bayi atau balita, tapi perilaku orang tua mereka yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. melacur tanpa kondom.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Jami dilaporkan 613 yang terdiri atas 305 HIV dan 208 AIDS.
 
Menurut Kabid Penyakit Menular Masyarakat, Dinkes Kerinci, Daswarsa, banyaknya penderita
HIV/AIDS di Kerinci, karena mereka bekerja di luar daerah. Sayangnya, saat diketahui menderita HIV, kondisinya sudah fase lanjut.

Pertanyaan untuk Daswarsa: Apakah mereka menjalani tes HIV sebelum bekerja ke luar daerah?

Kalau jawabannya tidak, maka tidak bisa saja mereka tertular di Kerinci sebelum bekerja ke luar daerah.

Selama Pemprov Jambi tidak menjalankan program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki dewasa agar memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terjadi terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

03 Juli 2013

Di Temanggung, Jawa Tengah, Seorang Bocah Pengidap HIV/AIDS Ditolak Masuk TK


Tanggapan Berita (4/7-2013) – "Mirza tidak boleh melanjutkan ke TK Karena diketahui bahwa Mirza dan Ratih (bukan nama sebenarnya), ibunya ODHA. Dosakah Mirza, karena AIDS adalah hadiah dari ibunya. Sedangkan Ratih ibunya menerima AIDS sebagai mahar cinta suaminya." Ini pernyataan Bambang Setiadi, seorang pendamping ODHA (Orang dengan HIV/AIDS), terkait dengan penolakan sebuah taman kanak-kanak (TK) di Kab Temanggung, Jateng, terhadap seorang anak pengidap HIV/AIDS (Idap HIV/AIDS, Mirza Tak Diterima Daftar Sekolah, suaramerdeka.com, 3 Juli 2013).

Sebagai pendamping Odha tentulah pernyataan Bambang ini tidak etis.

(1) Tidak ada kaitan dosa dengan penularan HIV. Tidak ada aturan kalau pendosa boleh-boleh saja tertular HIV. Penularan HIV tidak terjadi karena status dosa seseorang.

(2) HIV/AIDS pada anak-anak bukan hadiah dari ibu yang melahirkan mereka. Bisa jadi ibu mereka juga tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Celakanya, pemerintah tidak mempunyai program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

(3) Suami Ratih, ibu Mirza, juga tidak sengaja menularkan HIV sehingga penyebutan HIV/AIDS sebagai mahar dari suami tidak etis. Banyak laki-laki yang perilakunya berisiko tertular HIV juga tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Lagi-lagi pemerintah tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah:

(a) Mengapa status HIV Ratih bisa diketahui masyarakat?

(b) Bagaimana status HIV Ratih bisa bocor?

Ini merupakan bukti bahwa fakta privat tidak diharga di Indonesia. Bukan hanya HIV/AIDS, semua jenis penyakit, kecuali terkait dengan wabah, adalah rahasia yang hanya bisa dibeberkan oleh yang bersangkutan atau perintah hakim melalui sidang pengadilan. Dokter dan perawat wajib merahasiakan catatan medis pasien.

Dikabarkan bahwa Mirza, bocah asal Kec Parakan, KabTemanggung, Jateng, itu selain sudah menderita karena mengidap HIV/AIDS, dia juga ditolak mendaftar sekolah di sebuah taman kanak-kanak (TK).

Rupanya,  orang tua calon siswa resah karena mengetahui ada calon siswa pengidap HIV/AIDS. Mereka pun menekan pihak sekolah agar tidak menerima Mirza. Pihak sekolah sendiri khawatir tidak dapat siswa kalau Mirza diterima, maka pihak sekolah memilih menolak Mirza. 

Orang-orang tua murid tidak bisa semerta disalahkan karena bisa jadi selama ini mereka tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS.

Sejak awal epidemi materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang dan memunculkan mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengaitkan-ngaitkan HIV/AIDS dengan perilaku menyimpang. Akibatnya, terjadi penolakan dalam bentuk stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) di masyarakat.

Bahkan, dalam brosur ”ABAT” (Aku Bangga Aku Tahu) yang dibangga-banggakan pemerintah ternyata tidak ada informasi yang eksplisit tentang cara mencegah penularan HIV/AIDS. Bahkan, ”ABAT” justru mendorong stigma dan diskirminasi (Lihat: “ABAT” (Aku Bangga Aku Tahu) yang Tidak Memberikan Cara Pencegahan yang Eksplisit - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/abat-aku-bangga-aku-tahu-yang-tidak.html).

Dikabarkan sosialisasi yang diberikan tidak bisa membendung keresahan wali murid yang takut anaknya tertular HIV dari Mirza.

Pertanyaannya adalah: Seperti apa bentuk sosialisasi yang diberikan?

Kalau hanya dengan ceramah tentulah sosialisasi itu tidak akan berhasil. Diperlukan cara-cara yang komprehensif dengan langkah partisipatif agar orang-orang tua calon siswa TK itu mengetahui sikap mereka itu salah.

Pemkab Temanggung sendiri sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) bulan September 2012. Lalu, apa yang dikerjakan Pemkab Temanggung untuk menghadapi masyarakat yang menolak siswa pengidap HIV/AIDS?

Kalau sosialisasi HIV/AIDS dilakukan secara partisipatif, misalnya dengan ’menantang’ orang-orang tua yang perilakunya berisiko tertular HIV untuk menjalani tes HIV tentulah akan ada pandangan lain di kalangan orang tua murid.

Kasus penolakan Mirza ini lagi-lagi membuktikan sosialisasi HIV/AIDS tidak sampai ke semua lapisan masyarakat.

Lalu, apa, sih, yang (sudah) dikerjakan jajaran pemerintah dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) provinsi dan kabupaten terkait dengan upaya pemahaman HIV/AIDS pada seluruh lapisan masyarakat?

Jawabannya tentu saja bisa berkaca kepada Mirza.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

02 Juli 2013

Depresi setelah Ngeseks Tanpa Kondom dengan ‘Mahasiswi’

Tanya-Jawab AIDS No 2/Juli 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Sebulan yang lalu saya ngesek dengan PSK tidak tetap, seorang mahasiswi, tanpa kondom. Saya juga melakukan seks oral. Saya lihat ada kutil di sekitar vagina PSK itu. Sebelumnya saya tidak lihat karena cahaya lampu redup. Seminggu kemudian saya lihat ada bentol-bentol di pinggang belakang dan gatal di paha serta di kepala. Sebelumnya saya pernah tidur di gerbong kereta api dan berkemah di Gn Bromo. Sekarang lutut sebelah kiri saya sakit sejak dua hari lalu. Sejak kejadian itu saya dibayang-bayangi HIV/AIDS. Saya benar-benar ketakutan. Saya depresi. (1) Apakah saya tertular HIV? (2) Kapan dan dimana saya bisa tes HIV dengan biaya murah?

Via SMS (18/4-2013) dari Kota “J”


Jawab: (1) Seseorang berisiko tertular HIV bukan karena pekerjaan, golongan, kelompok, dll., tapi terkait erat dengan perilaku seks ybs. Seseorang berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual jika:

(a) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti, dan

(b) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Biar pun Anda ngesek bukan dengan PSK, tapi dengan ‘mahasiswi’ sebagai PSK tidak langsung, bukan tidak tetap (yaitu pekerja seks yang tidak mangkal di lokasi pelacuran atau mejeng di jalanan), tapi PSK tidak langsung tetap berisiko tertular HIV karena mereka juga melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti.

Untuk mengetahui secara pasti apakah Anda tertular HIV atau tidak hanya bisa diketahui melalui tes HIV. Tapi, perlu diingat bahwa tes HIV akan akurat kalau dilakukan tiga bulan setelah hubungan seksual berisiko terakhir.

(2) Anda bisa ke Klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit umum di daerah atau kota Anda.

Hanya dengan tes HIV yang benar ketakutan Anda bisa diatasi karena konselor di Klinik VCT akan membantu Anda menghadapi hasil tes negatif atau positif. Jangan tunda-tunda lagi agar Anda tidak kian depresi.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap