25 Juni 2013

26 Juni: Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Internasional


* Media massa menyebarluaskan istilah narkoba yang ngawur

Hari Anti Narkoba Internasional” disingkat HANI. Inilah semboyoan nasional. Coba bandingkan dengan semboyan yang baku secara internasional yaitu “International Day Against Drug Abuse and Illicit Trafficking”.

Secara kasat mata semboyan nasoinal itu salah kaprah karena yang dilawan oleh dunia adalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

Soalnya, narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) juga merupakan obat, seperti morfin yang menjadi obat anestesi, dikenal sebagai obat bius, untuk menghilangkan rasa sakit pada orang-orang yang menjalani pembedahan (operasi) di rumah sakit.

Jargon yang salah kaprah itu dimulai ketika ‘terjemahan’ tema internasional tersebut disebut sebagai “Hari Anti Madat di era rezim Orde Baru.

Penggunaan istilah madat untuk pengganti narkoba dalam tema internasional itu tidak tepat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa madat adalah candu (yang telah dimasak dan siap untuk diisap). Jadi, anti madat berarti anti (mengisap) candu.

Kalau yang dilarang hanya madat (mengisap candu), maka tentu saja yang menggunakan narkoba (serbuk) dengan suntikan, ditelan dan dihirup tidak termasuk madat.

Kata madat tidak menggambarkan penggunaan semua zat yang termasuk narkoba karena madat hanya terkait dengan mengisap candu. Selain candu ada daun (ganja) yang diisap, serbuk (heroin, morfin, putauw, shabu-shabu, dll.) yang dihirup dan disuntikkan, dan pil (ecstasy, Rhohipnol, dll.) yang ditelan, serta yang tidak termasuk narkoba berupa cairan (lem, bensin, dll.) yang dihirup.

Badan Kesehatan Sedunia PBB (WHO) sejak tahun 1980-an sudah mengganti istilah drug abuse (penyalahgunaan obat) menjadi substance abuse (penyalahgunaan zat) karena yang disalahgunakan bukan obat tapi zat (narkotika) yang ada dalam obat.

Celakanya, media massa pun ikut-ikutan pula menyebarluaskan istilah-istilah yang ngawur bin ngaco seputar narkoba.

Dunia Damai Tanpa Narkoba”. Ini jelas ngawur karena tanpa narkoba justru dunia tidak damai karena banyak pasien yang mati di meja operasi karena tidak kuat menahan rasa sakit. Jargon yang pas adalah “Dunia Damai Tanpa Penyalahgunaan Narkoba”.

Banten Tebas Narkoba” (Banten Bebas Narkoba). Astaga, bagaimana dokter menangani pasien yang operasi di rumah sakit? Oh, mungkin Pemprov Banten akan memakai jasa debus, yaitu kesenian bela diri dari Banten yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa. Misalnya kebal senjata tajam, kebal air keras dan lain- lain (id.wikipedia.org).

Coba simak pernyataan tentang narkoba ini di media massa:

(1) Narkoba adalah narkotika dan obat-obat berbahaya. Semua obat berbahaya jika diminum tidak sesuai dengan dosis yang ditentukan oleh dokter.

(2) Narkoba adalah narkotika dan obat-obat terlarang. Sebagian obat, dikenal sebagai Obat Daftar G, terlarang jika tidak disertai dengan resep dokter.

(3) Serbuk haram. Tidak ada zat yang haram menurut hukum Islam di dalam semua jenis narkoba.

(4) Pil setan. Manusia tidak mengenal pil yang dipakai di kalangan setan begitu pula sebaliknya. Atau memang wartawan mengetahuinya berdasarkan wawancara.

(5). Serbuk setan. Manusia tidak mengenal pil yang dipakai di kalangan setan begitu pula sebaliknya. Atau memang wartawan mengetahuinya berdasarkan wawancara.

(6) Pil haram dan serbuk haram. Tidak ada zat-zat yang haram (menurut kaidah Islam) di dalam semua jenis narkoba.

(7) Obat terlarang. Semua obat daftar G terlarang selama dipakai di luar aturan medis.

(8) Obat berbahaya. Narkoba tidak merupakan obat yang berbahaya selama dipakai menurut aturan medis, seperti morfin, obat untuk anestesi (bius), adalah narkotik.

(9) Naza (narkotika, alkohol dan zat adiktif). Tidak semua zat adiktif, seperti nikotin (rokok), kafein (teh dan kopi) dan alkohol termasuk dalam kategori narkotika.

(10) Napza (narkotik, alkohol, obat psikotropika dan zat adiktif). Tidak semua zat adiktif, seperti nikotin (rokok), kafein (teh dan kopi) dan alkohol termasuk dalam kategori narkotik. Psikotropika sudah diatur dalam UU khusus.

Media massa juga kurang waspada menyebutkan pengidap HIV/AIDS yang terkait dengan narkoba. Risiko tertular HIV/AIDS melalui narkoba terjadi pada penyalahguna narkoba yang dipakai dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran. Jika salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS, maka jarum suntik yang dipakai berganti-ganti itu akan menjadi media penyebaran HIV/AIDS di antara mereka.

Selain itu tidak bisa dibuktikan semua penyalahguna narkoba yang HIV-positif memang tertular melalui jarum suntik. Soalnya, ada di antara mereka atau sudah melakukan hubungan seksual berisiko, al. tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, sebelum dan selama menyalahguna narkoba. Kecuali yang bersangkutan bisa dibuktikan masih perjaka tulen atau perawan tingting ketika terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Data yang dikemukakan ke publik menunjukkan sekitar 4 juta penduduk Indonesia menjadi ’budak’ alias penyalahguna narkoba. BNN (Badan Narkotika Nasional)memperkirakan tahun 2015 mencapai 5,1 juta penyalahguna yang menghabiskan uang Rp 17,5 triliun untuk membeli narkoba di pasar gelap.

Jika dirunut ke belakang sejak tahun 1969 penggunaan narkoba sudah mulai dicatat di Indonesia. Bahkan, ada cacatan yang menunjukkan sejak awal tahun 1617 di Indonesia sudah dikenal candu yang dicampur dengan tembakau.

Kebutuhan candu di Indonesia ketika itu dikabarkan besar karena di akhir abad ke-18 pemerintah kolonial Belanda mengimpor 87 ton opium dari India.

Narkoba yang disalahgunakan di Indonesia pada priode 1969-1973 adalah jenis opioid (morfin dan ganja).

Sedangkan pada priode 1974-1979 narkoba yang disalahgunakan di Indonesia adalah morfin, ganja, barbiturat dan obat-obat tidur.

Sejak tahun 1980 narkoba yang disalahgunakan di Indonesia adalah ganja, barbirutar, hypnotika, morfin, heroin, psikotropika. Belakangan mulai muncul ecstasy. Selanjutnya dikenal pula putauw dan shabu-shabu yang tidak lain adalah kokain dan heroin.

Selain narkoba yang sudah dikenal luas, sekarang mulai muncul jenis-jenis narkoba baru yang merupakan turunan dari narkoba yang sudah ada. Dikabarkan BNN dan Kemenkes sudah mengidentifikasi 251 narkoba jenis baru.

Langkah-langkah polisional yang repsesif terhadap remaja, al. melakukan tes massal di sekolah dan perguruan tinggi tidak menghargai perilaku sebagian murid dan mahasiswa yang melindungi diri dari penyalahgunaan narkoba.

Sebelum tes massal narkoba, misalnya terhadap murid dan mahasiswa, diperlukan konseling atau bimbingan untuk mengetahui perilaku mereka terkait dengan penyalahgunaan narkoba.

Kalau semua murid dan mahasiswa dipaksa menjalani tes urine secara massal tanpa konseling, maka mereka pun tidak akan bangga lagi terhadap dirinya sebagai siswa atau mahasiswa yang tidak menyalahgunakan narkoba.

Yang paling tidak masuk akal di negeri ini adalah murid dan mahasiswa yang memakai narkoba dikeluarkan dari sekolah dan kampus, tapi artis-artis penyalahguna narkoba justru dielu-elukan masyarakat. Ini merupakan sikap masyarakat yang ambiguitas (bermuka dua alisas munafik).

Bertolak dari fakta tentang penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang sudah melewati sejarah yang panjang, maka penanganan narkoba tidak hanya dengan jargon-jargon moral yang normatif yaitu menghilangkan narkoba. Yang perlu dihilangkan adalah perilaku yang menyalahgunakan narkoba.***

AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

24 Juni 2013

Ciwidey dan Pengalengan, Kab Bandung, Jabar, Dikabarkan ’Rentan’ HIV/AIDS


Tanggapan Berita (24/6-2013) – ”Penyebaran HIV/AIDS rentan terjadi di daerah tujuan wisata Kabupaten Bandung. Kecamatan Ciwidey dan Pangalengan menjadi daerah yang paling rentan terkena penyebarannya.” Ini lead pada berita ”Ciwidey dan Pangalengan Paling Rentan HIV/AIDS di Kabupaten Bandung” di www.tribunnews.com (24/6-2013).

Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pernyataan di atas, yaitu:

(1) Sebagai virus, HIV tidak ada di dalam bebas, seperti di daerah tujuan wisata. HIV hanya ada pada darah orang-orang yang mengidap HIV/AIDS. Ada yang sudah mengetahuinya tapi banyak pula yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang tertular HIV.

(2) Tidak ada kaitan daerah tujuan wisata dengan HIV/AIDS. Di negara-negara yang bukan tujuan wisata pun banyak kasus AIDS yang dilaporkan. Arab Saudi, misalnya, secara de facto dan de jure tidak ada pelacuran dan hiburan malam sudah melaporkan lebih dari 16.000 kasus AIDS.

(3) Yang rentan adalah perilaku seks orang per orang, yaitu terkait dengan hubungan seksual. Orang-orang yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Bandung pada tahun 2010 mencapai 200.

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kab Bandung, Grace Mediana,  kedua kecamatan yang menjadi daerah tujuan wisata tersebut menjadi rentan terhadap penyebaran HIV AIDS. Pasalnya, tempat hiburan banyak terdapat di kawasan tersebut. Tidak jarang diwarnai praktek prostitusi.

Biar pun di dua kecamatan itu ada praktek prostitusi itu bukan berarti penduduk otomatis rentan tertular HIV/AIDS.

Penduduk rentan tertular HIV/AIDS jika ada, terutama laki-laki dewasa, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks atau cewek-cewek di tempat hiburan.

Sedangkan perempuan di dua kecamatan itu rentan tertular HIV jika ada di antara mereka yang menjadi cewek penghibur.

Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemkab Bandung, dalam hal ini KPA Kab Bandung, adalah menjalakan program yang konkret, al. melakukan survailans tes HIV secara rutin terhadap perempuan hamil. 
Masih menurut Grace, bukan berarti orang-orang di dua kecamatan tersebut banyak terkena HIV AIDS. Bisa saja penyakit tersebut ada karena dibawa orang dari luar seperti para pekerja seks komersil (PSK) atau pengunjung ke objek wisata tersebut.

Nah, pernyataan Grace ini merupakan penyangkalan karena bisa saja ada penduduk dua kecamatan itu, terutama laki-laki dewasa, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di luar dua kecamatan tsb.

Biar pun ada PSK yang datang ke dua kecamatan tsb., penyebaran HIV/AIDS tidak akan terjadi terhadap penduduk jika tidak ada penduduk, yaitu laki-laki dewasa, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Pernyataan Grace lagi-lagi tidak bertumpu pada fakta. Lihat saja pernyataan ini: “Bukan berarti warga di kedua kecamatan itu banyak yang mengidap HIV. Tapi rentan terhadap penyebarannya. Banyaknya orang luar yang berkunjung bisa menjadi penyebabnya.”

Biar pun banyak orang luar yang berkunjung ke kedua kecamatan itu kalau penduduk tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pendatang, maka tidak ada risiko penularan HIV/AIDS.

Sebaliknya, bisa saja penduduk di dua kecamatan itu ada yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di luar daerah tsb. Jika mereka tertular, maka mereka akan menyebarkan HIV/AIDS di dua kecamatan tsb., al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Untuk itulah selain sosialisasi, Pemkab Bandung perlu melakukan intervensi terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK yaitu mereka diwajibkan memakai kondom. Tentu saja ini memerlukan intervensi berupa program yang konkret, al. melokalisir pelacuran agar program bisa dijalankan dengan efektif.

Jika Pemkab Bandung tidak menjalankan program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

23 Juni 2013

Penanggulangan AIDS di Kota Jayapura, Papua: Memeriksa Kesehatan Cewek Pramuria Bar dan Cewek Pemijat



* Walikota Jayapura, Papua, secara de facto membenarkan ada praktek pelacuran

Tanggapan Berita (24/6-2013) – “ .... kewajiban untuk memeriksakan kesehatan, tenaga kerjanya di Pusat Kesehatan Reproduksi di  Kotaraja, Abepura, Kota Jayapura adalah satu kewajiban.” Ini pernyataan Wali Kota Jayapura, Benhur Tommy Mano, MM, terkait dengan Perda (Peraturan Daerah) Kota Jayapura Nomor 16 Tahun 2011 (Pemilik Bar dan Panti Pijat Diminta Paham Perda Nomor 6 Tahun 2011, tabloidjubi.com, 29/5-2013).

Memeriksa kesehatan cewek pramuria bar dan cewek pemijat hanya bisa mendeteksi IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.), sedangkan HIV/AIDS tidak bisa dideteksi hanya melalui pemeriksaan kesehatan.

Laporan Dinkes Prov Papua menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Jayapura per 31 Desember 2012 tercatat 2.666 yang terdiri atas 285 HIV dan  2.381 AIDS dengan 140 kematian.

Kalau pun pada pemeriksaan kesehatan juga ada tes HIV terhadap cewek pramuria bar dan cewek pemijat, tetap saja ada persoalan karena tes HIV dengan reagent ELISA terkait dengan masa jendela. Tes ini mencari antibody HIV di dalam darah. Antibody baru bisa dideteksi oleh ELISA jika virus (HIV) sudah ada minimal tiga bulan di dalam darah (Lihat Gambar).

Satu hal yang luput dari perhatian adalah realitas terkait dengan pemeriksaan kesehatan dan penyebaran IMS dan HIV/AIDS.

Ketika cewek pramuria bar dan cewek pemijat menjalani pemeriksaan kesehatan itu artinya mereka sudah melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki.

Laki-laki yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat (Lihat Gambar 1).

Kalau pemeriksaan kesehatan dilakukan tiap bulan, maka dalalm satu bulan ada 90 laki-laki (1 cewek pramuria bar/cewek pemijat x 3 laki-laki/hari x 30 hari/bulan) yang berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.

Jumlah laki-laki dewasa penduduk Kota Jayapura yang berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus tergantung jumlah cewek pramuria bar dan cewek pemijat yang praktek di Kota Jayapura.

Pemkot Jayapura tentu saja tidak mengakui ada pelacuran di Kota Jayapura. Itu benar, tapi tunggu dulu.

Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir melalui regulasi pemerintah kota, sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Pernyataan walikota tentang keharusan cewek pramuria bar dan cewek pemijat memeriksa kesehatan merupakan pembenaran secara de facto bahwa praktek pelacuran.ada di bar dan panti pijat.
Nah, kalau saja Pemkot Jayapura jujur, maka akan lebih baik kalau bar dan panti pijat dilokalisir sebagai tempat pelacuran melalui regulasi agar berkekuatan hukum. Ini penting untuk menerapkan program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS yang konkret.

Jika bar dan panti pijat diregulasi sebagai tempat pelacuran, maka pemilik bar dan panti pijat diberikan izin usaha sebagai bukti mereka terikat secara hukum.

Langkah berikutnya adalah menjalankan program penanggulangan yang konkret melalui intervensi yaitu mewajibkan laki-laki memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan cewek pramuria bar dan cewek pemijat (Lihat Gambar 2). 

 
Intevensi pemakaian kondom dilakukan terhadap laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan cewek pramuria bar dan cewek pemijat. Secara rutin cewek pramuria bar dan cewek pemijat menjalani tes IMS.

Jika ada cewek pramuria bar dan cewek pemijat yang terdeteksi mengidap IMS, maka pemilik bar dan panti pijat menerima sanksi sesuai dengan yang ditetapkan dalam izin usaha. Misalnya, denda sampai pencabutan izin usaha.

Wakil Wali Kota Jayapura, Nuralam,  mengatakan untuk mencegah peningkatan prevalenasi HIV/AIDS, maka  pemilik bar dan panti pijat mengerahkan anak buahnya ke PKR.

Nuralam rupanya tidak memahami epidemi HIV/AIDS. Biar pun cewek pramuria bar dan cewek pemijat diwajibkan tiap bulan rutin diperiksa, tapi sebelum diperiksa mereka sudah menularkan HIV kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan mereka.

Maka, yang perlu dilakukan Pemkot Jayapura adalah membuat regulasi untuk melakukan survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil. Langkah ini akan bisa mendeteksi laki-laki pengidap HIV/AIDS yaitu suami ibu rumah tangga hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Selain itu langkah ini pun akan menyelamatkan bayi yang mereka kandung agar tidak tertular HIV.

Jika Pemkot Jayapura hanya menjalankan kegiatan pemeriksaan kesehatan cewek pramuria bar dan cewek pemijat, maka insiden infeksi IMS dan HIV/AIDS baru tidak akan pernah berkurang.

Maka, Pemkot Jayapura tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Gratifikasi Seks Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Kalangan Penyelenggara Negara



* Mendorong KPK mengatur sanksi pidana berat bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks

Opini (23/6-2013) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar pertemuan dengan ratusan pemimpin perusahaan swasta di Medan, Sumatera Utara (24/6-2013). Materi yang dibahas pada pertemuan tsb. adalah seputar pencegahan dan pemberantasan gratifikasi seks dan suap melalui fasilitas hiburan (TRIBUNnews.com 23/6-2013).

Terlepas dari apakah gratifikasi seks dan suap fasilitas hiburan berupa cewek yang diberikan pihak swasta ke penyelenggara negara merupakan korupsi atau tidak, tapi dari aspek epidemi HIV/AIDS gratifikasi seks merupakan salah satu faktor pendorong penyebaran HIV/AIDS di kalangan pejabat atau penyelenggara negara.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sampai Desember 2012 mencapai 143.889 yang terdiri atas 98.390 HIV dan 45.499 AIDS dengan 8.235 kematian. Yang perlu diingat adalah angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.

Ada anggapan bahwa cewek atau perempuan yang berisiko menularkan HIV/AIDS hanyalah cewek atau perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran dan di tempat-tempat hiburan malam, termasuk ‘panti pijat plus-plus’.

Anggapan itu merupakan mitos (anggapan yang salah) karena risiko tertular HIV/AIDS pada cewek atau perempuan bukan karena dia seorang PSK atau perempuan pekerja di tempat hiburan malam dan panti pijat, tapi karena perilakunya yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.

Seorang perempuan, dalam hal ini cewek yang menjadi gratifikasi seks, berisiko tertular HIV karena dia sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom.

Seperti yang ada dalam gambar, seorang cewek gratifikasi seks pernah melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki. Di antara laki-laki tsb. ada juga yang menjadi pelanggan PSK. Ada pula yang punya pasangan waria. Ada lagi yang juga punya pasangan laki-laki lain, disebut LSL yaitu lelaki yang suka seks lelaki.

Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan pada cewek gratifikasi seks.

Ketika seorang penyelenggara negara menerima cewek gratifikasi ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:

(1) Laki-laki penyelenggara negara tsb. justru pengidap HIV/AIDS, maka dia menularkan HIV/AIDS kepada cewek gratifikasi seks.

(2) Laki-laki penyelenggara negara yang menerima cewek gratifikasi seks yang sudah mengidap HIV/AIDS berisiko tertular HIV.

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki penyelenggara negara yang menularkan HIV kepada cewek gratifikasi seks dan laki-laki penyelenggara negara yang tertular  HIV dari cewek gratifikasi seks bisa saja sebagai suami. Maka, mereka pun akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Jika istri mereka tertular HIV, anak yang dikandung istri pun berisiko pula tertular HIV (vertikal).

Bisa saja terjadi cewek gratifikasi seks justru merupakan ‘langganan’ dari pelaku usaha swasta sehingga petinggi di pihak swasta itu pun bisa mengalami hal yang sama dengan penyelenggara negara.

Di beberapa daerah kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi pada PNS dan aparat. Ini merupakan konksekuensi logis karena, (a) ada kemungkinan mereka menerima cewek gratifikasi, atau (b) mereka mempunyai uang karena mendapat penghasilan yang tetap sehingga bisa membeli seks secara rutin.

Maka, upaya KPK untuk mengatur sanksi pidana bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks merupakan salah satu langkah yang berarti dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, terutama pada kalangan penyelenggara negara.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap