22 Juni 2013

Di Kab Pati, Jateng, Ibu Rumah Tangga Tertular HIV/AIDS dari Suami


Tanggapan Berita (23/6-2013) – ”Maraknya praktek prostitusi yang dilakukan para pekerja seks komersial dan maraknya pergaulan bebas dikalangan warga tertentu menjadi salah satu alasan munculnya beberapa kasus terjangkitnya virus HIV/AIDS.” Ini pernyataan pada lead berita ”HIV/AIDS Ancam Ibu Rumah Tangga, 70 Pengidap Meninggal” di www.berita10.com (5/6-2013).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Pati, Jateng, dari tahun 2006 sampai Februari 2013 dilaporkan 414 denan 70 kematian. Dari jumlah tsb. 258 ditangani sedangkan 86 tidak diketahui kegiatannya.

Terkait dengan penularan atau penyebaran HIV/AIDS yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK), ada dua kemungkinan, yaitu:

Pertama, kasus HIV/AIDS pada PSK ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk Kab Pati atau pendatang. Jika ini yang terjadi, maka laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK tsb. akan menularkan  HIV kepada istri atau pasangannya.

Kedua, PSKyang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tertular HIV di luar Kab Pati. Jika ini yang terjdi, maka ada laki-laki penduduk Kab Pati yang berisiko tertular HIV dari PSK yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Laki-laki ini pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami yang bisa menularkan HIV kepada istrinya.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Persoalannya adalah: Pemkab Pati tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, Pemkab Pati akan sesumbar: Di wilayah Kab Pati tidak ada pelacuran.

Hal itu memang benar, tapi tunggu dulu karena yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir berdasarkan regulasi. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Koordinator Program Penanggulangan HIV/AIDS Pati, Wahyu Indrayawan, mengatakan bahwa jika tren penularan virus mematikan tersebut selain muncul dari lingkungan lokasisasi dan pecandu narkotika jenis suntik, belakangan ini banyak para ibu rumah tangga yang tertular.

HIV bukan virus yang mematikan karena belum ada kasus kematian karena HIV. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun HIV karena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Yang ’membawa’ HIV ke lokasi pelacuran adalah laki-laki, dan yang ’membawa’ HIV dari lokalisasi juga laki-laki. Mereka inilah yang menyebarkan HIV di masyarakat yaitu melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kondisi itu pulalah yang membuat kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu rumah tangga karena laki-lakiyang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK bisa sebagai suami. Mereka menularkan HIV kepada istrinya.

Pemkab Pati pun tidak pula mempunyai program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu rumah tangga sehingga ada risiko bayi lahir dengan HIV/AIDS.

Tanpa program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di Kab Pati yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

20 Juni 2013

HIV/AIDS di Papua dan Papua Barat: Kondisi Geografis Jadi ’Kambing Hitam’


Tanggapan Berita (21/6-2013) – ”2,4 Persen Prevalensi HIV/AIDS Didukung oleh Keadaan Papua”. Ini judul berita di tabloidjubi.com (10/6-2013).

Judul berita tsb. merupakan kutipan dari pernyataan Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit dan HIV (P2H) Dinkes Papua, dr Ni Nyoman Sri Antari.  

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua sampai Desember 2012  mencapai 13.276. Angka ini pun tidak menggambarkan kasus yang ril di masyarakat karena ada pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi.

Lagi-lagi hal itu merupakan penyangkalan terkait dengan perilaku atau kegiatan yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Tingkat risiko tertular HIV/AIDS tidak ada kaitannya dengan kondisi alam dan letak geografis sebuah daerah atau negara.

Risiko tertular HIV erat kaitannya dengan perilaku orang per orang di mana pun dia berada, yaitu:

(1) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti.

(2) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti.

(3) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Disebutkan dalam berita bahwa angka itu (prevalensi yaitu perbandingan antara penduduk yang mengidap HIV/AIDS dan penduduk yang tidak mengidap HIV/AIDS-pen.) merupakan masalah besar karena sangat didukung oleh keadaan di Papua.

Jika disimak dari tiga kondisi yang mendorong perilaku berisiko di atas, maka sama sekali tidak ada kaitannya dengan keadaan atau kondisi geografis Papua dan Papua Barat.

Di negara-negara yang tidak bermasalah dengan kondisi atau keadaan geografis, seperti negara yang tertutup dan tidak ada industri hiburan malam, pun banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 16.000 kasus AIDS.

Disebutkan oleh dr Ni Nyoman bahwa ketidaktahuan informasi yang kurang, sangat kita harapkan sebenarnya kepada masyarakat lebih luas untuk mencegah, karena kalau tidak akan menjadi bumerang di Papua.

Kalau hanya sekedar informasi tidak akan ada dampaknya secara langsung terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS jika tidak dilengkapi dengan program yang konkret.

Di lokasi pelacuran, misalnya, sudah ada penjangkauan yang dilakukan oleh LSM untuk mengajak laki-laki agar memakai kondom jika melalukan hubungan seksual dengan PSK.

Tapi, apa yang terjadi?

Laki-laki menolak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Akibatnya, jika laki-laki itu mengidap HIV/AIDS, maka dia menularkan HIV kepada PSK. Sebaliknya, laki-laki lain yang juga melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko pula tertular HIV.

Dr Ni Nyoman berharap semua pihak untuk bersatu, bergandengan tangan bekerja sekeras mungkin agar masalah tersebut bisa ditekan, karena hal ini bukan masalah Dinkes saja, tapi semua pihak, termasuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA).

Pernyataan itu pun mendorong penyangkalan. Yang jelas Dinkeslah yang membuat program yang konkret agar bisa dijalankan oleh pihak lain.

Celakanya, Dinkes Papua dan Dinkes Papua Barat sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, terutama pada laki-laki yang melacur.

Dalam banyak peraturan daerah (Perda) yang diterbitkan di Papua dan Papua Barat sama sekali tidak ada satu pasal pun yang memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Dalam Perda AIDS Prov Papua, misalnya, lokasi pelacuran pun tidak ada. Yang ada adalah ’tempat-tempat berisiko terjadi penularan HIV’. Ini jelas tidak konkret dan merupakan kemunafikan (Lihat: Perda AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua)- http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html).    

Masih menurut dr Ni Nyoman,  Dinas Kesehatan terbatas dalam penanggulangan HIV/AIDS karena keterbatasn dana.

Merancang program penanggulangan yang konkret dan sistematis tidak memerlukan dana yang besar. Yang diperlukan adalah mekanisme yang sistematis untuk menjalankan dan memantau program.

Persoalannya adalah Dinkes Papua tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi  HIV baru pada laki-laki yang melacur.

Tanpa program yang konkret dan sistematis, terutama di lokasi pelacuran, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ’ledakan AIDS’ di masyarakat Papua dan Papua Barat.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Lokalisasi Pelacuran di Kota Bitung, Sulut: untuk Menanggulangi HIV/AIDS

Tanggapan Berita (21/6-2013) – ”Setiap tahunnya pengidap HIV/AIDS kota Bitung makin bertambah dan menjadi populasi terbanyak di Sulawesi Utara. Berdasarkan data yang dirangkum Dinas Kesehatan kota Bitung, jumlah Orang dengan HIV/Aids (ODHA) hingga Mei 2013 telah mencapai 264 orang.” Ini lead pada berita ”Dewan: Lokalisasi di Bitung untuk Cegah HIV/AIDS dan Tambah PAD” di www.portalkbr.com (30/5-2013).

Pernyataan dalam lead berita di atas menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun atau berkurang.

Yang menjadi persoalan besar adalah jumlah kasus baru yang terus terdeteksi serta insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Disebutkan bahwa Dinkes Kota Bitung dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bitung mengaku masih banyak pengidap HIV/AIDS yang belum terdeteksi.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi, terutama pada laki-laki dewasa, menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan penyebaran HIV yang dilakukan oleh laki-laki dewasa.

Celakanya, Pemkot Bitung tidak mempunyai program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat.

Disebutkan pula bahwa pratek PSK yang sebagian besar  terselubung memudahkan penularan HIV/AIDS.

Jika dianalogikan dari pernyataan di atas, maka di Kota Bitung adalah pelacuran terbuka yang ‘legal’.

Yang perlu diingat adalah:

(1) Penyebaran HIV/AIDS pada pelacuran tidak terkait dengan sifat pelacuran tsb., yaitu terbuka, tertutup, legal atau ilegal, tapi apakah di pelacuran tsb. ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan sistematis atau tidak.

(2) Penularan HIV terhadap PSK pada praktek pelacuran dilakukan oleh laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, dalam kehidupan seharĂ­-hari bisa sebagai seorang suami, baik penduduk Kota Bitung maupun pendatang.

(3) Penularan HIV dari PSK pengidap HIV/AIDS ke laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom pun terjadi pada praktek pelacuran. Laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK dalam kehidupan seharĂ­-hari bisa sebagai seorang suami, baik penduduk Kota Bitung maupun pendatang.

Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Celakanya, Pemkot Bitung tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Memang, program tsb. tidak akan bisa berjalan jika pelacuran tidak dilokalisir. Maka, amatlah beralasan kalau kemudian Wakil Ketua DPRD Kota Bitung, Maurits Mantiri ,mengatakan lokalisasi sudah sangat mendesak untuk diadakan di “Kota Cakalang” (Bitung-pen.). 

Menurut Mantiri, sebagai kota pelabuhan harus ada lokalisasi pelacuran untuk mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS.

Persoalannya adalah biar pun ada lokalisasi pelacuran, tapi kalau tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur dengan PSK di lokalisasi maka lokalisasi pelacuran pun tidak ada manfaatnya dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Sedangkan Kabid Penanggulangan Penyakit Menular Dinkes Kota Bitung, Elisabet Sompotan,  mengatakan bahwa pihaknya sering melakukan sosialisasi dan pembagian kondom kepada PSK di Tenda Biru dan Lorong Popaya.

Sosialisasi dan pembagian kondom bukan program yang konkret karena tidak sistematis. Pengalaman Thailand menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur adalah dengan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Selain itu ada pula langkah konkret untuk memantau pemakaian kondom.

Tanpa program yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur di Kota Bitung akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

19 Juni 2013

Seorang TKW Karanganyar, Jateng, Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS

Tanggapan Berita (20/6-2013) – ”Pendampingan KPA dengan sasaran kalangan TKI dilatarbelakangi kasus HIV-Aids di Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah-pen.). Seorang tenaga kerja wanita (TKW) terjangkit virus mematikan di lingkungan kerjanya di Singapura. Beruntung KPA segera menanganinya, tak lama setelah TKW tersebut dari luar negeri.” Ini pernyataan Sekretaris I Tenaga Penuh Waktu KPA Solo, Harsojo Soepodo, dalam berita "HIV-Aids intai TKI” di sindonews.com (6/6-2013).

Ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan kepada Harsojo, yaitu: Apakah TKW tsb. menjalani tes HIV sesuai dengan standar baku sebelum berangkat ke Singapura?

Kalau jawabannya tidak, maka bisa saja TKW itu tertular HIV di Solo atau di daerah lain. Bisa tertular dari suami atau pasangannya.

Kalau jawabannya ya, maka perlu juga dirunut apakah TKW itu hanya pernah pergi ke Singapura, atau dia sudah pernah bekerja di daerah atau negara lain.

Selain itu patut pula dipertanyakan: Mengapa dan bagaimana TKW itu tertular HIV di Singapura?

Kalau TKW itu tertular HIV melalui hubungan seksual, maka ada beberapa kemungkinan, yaitu: (a) diperkosa majikan, (b) dikawini atau dinikahi majikan, (c) selingkuh dengan majikan, dan (d) sebagai pekerja seks.

Sayang, informasi itu tidak muncul dalam berita karena wartawan yang menulis berita ini tidak memahami HIV/AIDS secara komprehensif.

Yang dikemukakan hanya tentang tingkat pendidikan rendah tenaga kerja Indonesia (TKI) berkorelasi dengan risiko tinggi tertular  HIV.

Pernyataan tidak akurat karena banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada orang berpendidikan tinggi, mulai dari S2, S2, S3, bahkan guru besar.

Harsojo dikabarkan menyesalkan petaka yang diderita TKW asal Karanganyar ini, karena seharusnya dapat diantisipasi sejak awal melalui pengetahuan cukup tentang bahaya HIV/AIDS.

Kalau TKW tsb. diperkosa dan dinikahi majikan, apakah ada korelasi pendudukan dengan perilaku tsb.?

Yang diperlukan adalah penanganan TKW di tempat kerjanya di luar negeri yaitu atase tenaga kerja di kedutaan harus tanggap jika ada TKW yang diperkosa atau dikawini.

Celakanya, tidak ada langkah konkret yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini atase tenaga kerja di kedutaan, untuk melindungi TKW dari risiko tertular HIV melalui perkosaan dan perkawinan.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak kian banyak TKW yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena di banyak negara tujuan TKW kasus HIV/AIDS sangat tinggi.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

AIDS di Boyolali, Jateng: Ditanggulangi di Hilir dengan Klinik VCT



Tanggapan Berita (20/6-2013) – ”Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boyolali  (Jateng-pen.) bakal menambah layanan klinik voluntary and conseling testing (VCT) untuk menangani para penderita HIV/AIDS di Kota Susu.” Ini lead pada berita ”VCT HIV/AIDS: Boyolali Tambah Layanan VCT” di www.solopos.com (10/6-2013).

Layanan VCT adalah tempat untuk melakukan tes HIV sesuai dengan standar yang baku. Layanan ini merupakan langkah di hilir. Artinya, Pemkab Boyolali menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru ditangani di layanan VCT.

Data Dinkes Kab Boyolali menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai Mei 2013 ditemukan 16 kasus baru. Dua di antaranya meninggal. Jumlah total kasus HIV/AIDS di Boyolali mencapai 120.

Yang perlu dilakukan Dinkes Boyolali adalah menjalankan program penanggulangan yang konkret di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Celakanya, Dinkes Boyolali akan menampik hal itu karena di Boyolali tidak ada pelacuran.

Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir berdasarkan regulasi. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Boyolali, Yulianto Prabowo, dalam penanganan terhadap penderita HIV/AIDS selain gencar melakukan sosialisasi dan pembentukan warga peduli AIDS (WPA) di tingkat desa. Penambahan klinik VCT diharapkan bisa meningkatkan pelayanan kepada para penderita.

Sosialiasi tanpa program yang konkret tidak ada manfaatnya secara langsung untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan terjadi penyebaran HIV melalui laki-laki, dalam hal ini suami.

Sedangkan WPA juga tidak ada efeknya secara langsung karena tidak mungkin seorang istri meminta suaminya memakai kondom kalau melacur. Begitu pula dengan penduduk tentulah tidak bisa memaksa setiap orang di komunitas itu agar tidak melacur.

Selama Pemkab Boyolali tidak menjalankan program yang konkret pada praktek pelacuran, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kab Boyolali yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap