* 239 Ibu rumah tangga di
Sulut mengidap HIV/AIDS
Tanggapan Berita (14/6-2013)
– “Walaupun tidak signifikan ternyata Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan
salah satu distribusi penyumbang penderita HIV-AIDS di Sulawesi Utara untuk
kategori pekerjaan. Dari data yang dupublish Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Provinsi Sulut PNS berada di urutan ke 11 penyumbang terbesar dengan 23 kasus
terhitung hingga Februari 2013.” Ini
lead pada berita "PNS Salah Satu Distribusi Penderita HIV-AIDS
di Sulut” di beritamanado.com
(4/6-2013).
Selain pada PNS kasus HIV/AIDS juga banyak terdeteksi pada karyawan swasta
dan wiraswata yaitu 357 yang menempati peringkat pertama jumlah kasus HIV/AIDS
di Sulawesi Utara (Sulut).
Kenyataan tsb. merupakan konsekuensi logis dari kondisi keuangan yaitu
mempunyai uang yang banyak atau lebih untuk membeli seks karena mereka
mempunyai penghasilan tetap.
Jika di satu kota atau daerah tidak ada lokasi atau tempat-tempat
pelacuran, maka biaya untuk melacur sangat tinggi karena: (1) Melacur harus
dilakukan di penginapan, losmen, hotel melati atau hotel berbintang dengan
tarif mulai dari Rp 75.000 – Rp 1.500.000; (2) Tarif short time untuk
cewek-cewek yang diajak melacur juga mahal mulai dari Rp 250.000 – Rp 5 juta;
(3) Razia yang sering dilakukan polisi dan Pol PP ke penginapan, losmen dan
hotel melati sehingga pilihan bagi PNS dan karyawan serta aparat adalah hotel
berbintang.
Tiga faktor itu tentu saja hanya ada di tangan PNS, karyawan, dan aparat
yang menerima gaji besar dan tetap setiap bulan.
Celakanya, banyak orang yang melacur di luar lokasi pelacuran merasa tidak
berisiko tertular HIV/AIDS karena selama ini informasi HIV/AIDS menyebutkan
bahwa risiko tertular HIV/AIDS ada di lokasi pelacuran dengan pekerja seks
komersial (PSK). PSK di sini disebut PSK langsung.
Hal lain yang mendong penyebaran HIV/AIDS adalah laki-laki melacur dengan
PSK tidak langsung, seperti cewek bar, cewek kafe, cewek pub, cewek disko,
cewek pemijat, ABG, anak sekolah, mahasiswi, dan ibu-ibu. Mereka ini tetap saja
perilakunya berisiko tinggi tertular HIV karena melayani hubungan seksual
dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Belakangan terbongkar pula ada cewek gratifikasi seks yang sama sekali
bukan PSK langsung. Tapi, cewek ini tetap PSK yaitu PSK tidak langsung dan
risiko tertular dan menularkan HIV tetap besar.
Di Kota Manokwari, Papua Barat, misalnya, pelacur asal Pulau Jawa dipaksa
melacur di barak-barak di lokasi pelacuran “Maruni 55”, sedangan pelacur asal
Manado beroperasi di hotel. Maka, jangan heran kalau kelak kasus HIV/AIDS di
Manokwari banyak terdeteksi pada PNS, pejabat, karyawan dan aparat karena
merekalah yang bisa membayar pelacur di hotel-hotel tsb.
Dengan jumlah 239 kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga juga membuktikan
bahwa banyak suami yang melacur baik dengan PSK langsung maupun PSK tidak
langsung. Ini artinya ada 239 suami yang mengidap HIV/AIDS dan ada pula 239
bayi yang berisiko tertular HIV jika mereka dilahirkan oleh 239 ibu yang mengidap
HIVAIDS.
Yang luput dari perhatian Pemprov Sulut adalah 90 kasus HIV/AIDS pada PSK. Jika satu malam seorang PSK melayani 3
laki-laki, maka ada 270 laki-laki yang berisiko tertular HIV. Angka ini tentu
akan bertambah banyak jika 90 PSK itu masih ’praktek’ di Sulut. Angka juga akan
bertambah jika ada PSK yang tidak terdeteksi tapi ’praktek’.
Di sisi lain 90 ada laki-laki di Sulut yang mengidap HIV/AIDS yaitu yang
menularkan HIV kepada 90 PSK tsb. Jika mereka mempunyai istri, maka ada 90
istri yang berisiko tertular HIV. Jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV
akan bertambah banyak jika ada di antara 90 laki-laki itu yang mempunyai istri
lebih dari satu serta yang punya selingkuhan.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulut Dr Maxi Rondonuwu, DHSM, melalui
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sulawesi Utara dr Tangel
Kairupan faktor risiko (media penularan) HIV/AIDS adalah melalui hubungan
seksual pada heteroseksual (laki-laki ke
perempuan dan sebaliknya) disusul penularan melalui jarum suntik pada
penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).
Pertanyaan untuk dr Kairupan adalah: Apakah bisa dibuktikan bahwa HIV/AIDS
pada penyalahguna narkoba memang tertular melalui jarum suntik?
Soalnya, ada di antara mereka yang melakukan seksual berisiko tertular HIV
sebelum dan selama menyalahgunakan narkoba.
Bertolak dari penyebaran HIV/AIDS di Sulut, maka diperlukan program yang
konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
melalui hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, dr Kairupan akan bersuara lantang: Tidak ada pelacuran di Sulut!
Ya, itu benar. Tapi, yang dimaksud tidak ada adalah pelacuran yang
dilokalisir melalui regulasi yang ditangani pemerintah.
Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu
sehingga tidak akan ada program sistematis yang bisa dijalankan karena praktek
pelacuran tidak bisa dijangkau.
Selama Pemprov Sulut tidak mempunyai program yang konkret berupa intervensi
yang memaksa laki-laki memakai kondom jika melacur, maka selama itu pula
penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Sulut.
Pemprov Sulut tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap