07 Juni 2013

33 Ibu Rumah Tangga di Kota Cilegon, Banten, Mengidap HIV/AIDS


Tanggapan Berita (8/6-2013) – ”Penderita HIV/AIDS ternyata tidak hanya didominasi oleh orang-orang yang beresiko tinggi (Resti) tertular seperti Penjaja Seks Komersial (PSK), dan petugas medis saja. Faktanya saat ini Ibu Rumah Tangga (IRT) adalah kalangan yang paling banyak menderita HIV/AIDS.”

Pernyataan di atas merupakan lead pada berita ”33 IRT Terjangkit HIV/AIDS” di bantenposnews.com (7/6-2013) tentang kasus HIV/AIDS di Kota Cilegon, Prov Banten.

Ada bebeapa fakta yang luput dari perhatian terkait dengan pernyataan pada lead berita di atas, yaitu:

(1) Yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS bukan kelompok atau kalangan, tapi orang per orang. Artinya, seseorang berisiko tinggi tertular HIV melalui hubungan seksual jika dilakukan dengan orang yang berganti-ganti (di dalam dan di luar nikah) dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria, dalam kondisi laki-laki tidak memakai kondom ketika terjadi hubungan seksual.

(2) Yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Selanjutnya ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang sudah mengidap HIV/AIDS. Laki-laki ini pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Maka, laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.

(3) Jika banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu artinya banyak suami yang tertular HIV/AIDS. Jika seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV yang pada gilirannya meningkatkan jumlah anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS.

(4) Terkait dengan jumlah PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS erat kaitannya dengan mobilitas mereka yang selalu berpindah-pindah dalam hitungan bulan. Kondisi ini bisa membuat PSK yang beroperasi di Kota Cilegon silih berganti. Selain itu tidak ada penjangkauan sehingga tidak ada PSK yang menjalani tes HIV di Klinik VCT.

Disebutkan dalam berita: “ .... dari tahun ke tahun kasus HIV/AIDS di Kota Cilegon terus terjadi peningkatan. Hingga April 2013 ini penyakit yang belum ditemukan obatnya tersebut mencapai 392 kasus dan sudah menewaskan 65 orang.”

Laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya. Maka, laporan kasus HIV/AIDS akant terus bertambah atau meningkat dan tidak akan pernah turun atau berkurang biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.


Ada tiga ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ke Kota Cilegon yaitu:

(a) Melalui laki-laki dan perempuan yang tertular HIV di Kota Cilegon (Lihat Gambar 1). Pemkot Cilegon bisa melakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, ini mustahil karena pratek pelacuran tidak dilokalisir. Intervensi lain adalah program mengganti narkoba suntik dengan metadhon. Selain itu bisa juga intervensi terhadap perempuan hamil yaitu menjalankan program pencegahan HIV dari-ib-ke-bayi yang dikandungnya. Tapi, harus ada regulasi yang mengikat agar semua perempuan hamil menjalani tes HIV.


(b) Melalui laki-laki dan perempuan yang tertular HIV di luar Kota Cilegon (Lihat Gambar 2). Dalam konsidi ini intervensi yang bisa dilakukan hanya terhadap perempuan hamil yaitu menjalankan program pencegahan HIV dari-ib-ke-bayi yang dikandungnya. Tapi, harus ada regulasi yang mengikat agar semua perempuan hamil menjalani tes HIV.

(c) Melalui laki-laki dan perempuan yang tertular HIV di luar negeri (Lihat Gambar 3). Intervensi sulit dilakukan karena lintas negara.


Narasumber dan wartawan yang menulis berita ini tidak membawa data 65 kematian terkait HIV/AIDS ke realitas sosial sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang komprehensif dari berita ini.

Kematian seorang pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun yang disebabkan oleh penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Nah, dalam kurun waktu 5-15 tahun seorang pengidap HIV/AIDS sudah menularkan HIV kepada orang lain. Kalua dia seorang suami maka dia sudah menularkan HIV ke istrinya. Kalau ada di antara yang meninggal itu PSK, maka sudah puluhan ribu laki-laki yang berisiko tertular HIV, yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK pengidap HIV/AIDS.

Dikabarkan bahwa ada 27 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Dengan jumlah ini saja sudah setiap malam ada  81 (27 PSK x 3 laki-laki) laki-laki yang berisiko tertular HIV/AIDS jika mereka tidak memakai kondom ketika hubungan seksual dengan PSK.

Menurut Kepala Dinkes Kota Cilegon, dr Ariadna, besarnya kasus HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga (33) bisa disebabkan dari suami yang berperilaku seks tidak sehat.

Dr Ariadna lagi-lagi menyebutkan hubungan seksual berisiko yaitu hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK sebagai ’seks tidak sehat’. Ini jargon moral yang justru berupa mitos (anggapan yang salah) yang pada gilirannya membingungkan masyarakat.

Celakanya, biar dr Ariadna sudah mengetahui penyebaran HIV/AIDS kepada ibu-ibu rumah tangga dari suami yang melacur tanpa kondon, tapi Pemkot Cilegon, dalam hal ini Dinkes Kota Cilegon dan KPA Kota Cilegon, tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui pelacuran.

Ya, kita maklum kalau dr Ariadna kemudian mengatakan: Tidak ada pelacuran di Kota Cilegon!

Dr Ariadna benar adanya. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir yang ditangani oleh dinas sosial.

Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan PSK langsung (PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran, dan jalanan) serta  PSK tidak langsung yaitu PSK yang praktek melalui panggilan di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam (cewek bar, cewek disko, cewek kafe, cewek pub, dll.),anak sekolah, mahasiswi, cewek SPG, dan ibu-ibu rumah tangga.

Disebutkan dalam berita bahwa penanggulangan terhadap kasus HIV/AIDS, dikatakan Ariadna bukan hanya tanggung jawab Dinas kesehatan semata.

Yang jelas tanggung jawab ada pada Pemkot Cilegon dalam hal ini Dinkes Kota Cilegon, al. menjalankan program yang konkret yang bisa didukung oleh masyarakat. Celakanya, Pemkot Cilegon tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui praktek pelacuran.

Sedangkan Ketua Sekertariat Komisi Pemeberantasan HIV/AIDS (KPA) Kota Cilegon, Renitha S Tarbin, mengatakan bahwa kenaikan jumlah kasus HIV/AIDS tersebut merupakan sebuah fenomena yang harus segera ditanggulangi.

Caranaya? Menurut Renitha, pihaknya melalui KPA Kota Cilegon terus menggiatkan sosialisasi di berbagai tempat.

Sosialiasi sudah dilakukan sejak awal epidemi tahun 1987, tapi hasilnya nol besar karena berbagai faktor, al. informasi yang disampaikan tidak komprehensif karena dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos. Contohnya, dr Ariadna sendiri menyebutkan ‘hubungan seksual berisiko’ sebagai ‘hubungan seksual tidak sehat’. Ini menyesatkan karena semua hubungan seksual adalah sehat sebagai penyaluran dorongan hasrat seks.

Yang diperlukan adalah program yang konkret yaitu intervensi terhadap laki-laki yang melacur yaitu mewajibkan mereka memakai kondom. Celakanya, dalam Perda AIDS Prov Banten pun tidak ada pasal yang konkret tentang cara penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Provinsi Banten - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-provinsi-banten.html).

Selama Pemkot Cilegon tidak menjalankan program yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

06 Juni 2013

HIV/AIDS di Kab Temanggung, Jateng: Mana Peran Perda AIDS?


Tanggapan Berita (7/6-2013) – “Selama dua bulan terakhir, jumlah penderita HIV di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, bertambah lima orang. Kelimanya terinfeksi penyakit berbahaya tersebut akibat heteroseksual.” Ini lead pada berita ”Dalam 2 Bulan, Penderita HIV di Temanggung Bertambang 5 Orang” di  metrotvnews.com (3/6-2013).

Ada pernyataan yang tidak akurat pada lead berita di atas yaitu ’terinfeksi penyakit berbahaya tersebut akibat heteroseksual’.

Semua penyakit berbahaya, terutama penyakit menular, sehingga diperlukan penanggulangan yang konkret.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seks yaitu heteroseksual (laki-laki dengan perempuan), tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama).

Maka, lima kasus yang baru terdeteksi tsb. tertular melalui hubungan seksual pada orientasi seks yang heteroseksual. Ini membuktikan laki-laki tidak memakai kondom dan pasangan mereka mengidap HIV/AIDS.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Temanggung mulai tahun 1997 sampai Maret 2013 tercatat 222. Dari jumlah ini ada 15 balita.

Dalam berita tidak dijelaskan apakah ayah dari 15 balita itu sudah menjalani tes HIV. Kalau 15 laki-laki itu belum tes HIV, maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan oleh Pengelola Data di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Temanggung, Agus Anang, saat ini para penderita masih mendapatkan pengobatan.

Pernyataan Agus ini mengesankan pengidap HIV/AIDS yang baru terdeteksi otomatis diobati. Ini tidak tepat karena tidak semua pengidap HIV/AIDS yang baru terdeteksi harus menjalani perawatan dan pengobatan.

Pengidap HIV/AIDS yang menjalani perawatan dan pengobatan adalah pengidap yang sudah masuk masa AIDS (tertular antara 5-15 tahun) dan sudah tertular penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Dikabarkan bahwa Pemkab Temanggung sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS.

Maka, pertanyaannya adalah: Apakah dalam perda tsb. ada pasal yang mengatur upaya menurunkan insiden infeksi HIV baru yang konkret pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK)?

Kalau tidak ada, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Temanggung akan terus terjadi dan kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Penyebaran HIV/AIDS di Bulukumba, Sulsel


Tanggapan Berita (7/6-2013) – ”Penderita HIV (human immunodeficiency virus) terus meningkat di Bulukumba (Prov Sulawesi Selatan-pen.) dalam beberapa tahun terakhir. Dinas Kesehatan Bulukumba mencatat, hingga Mei 2013, sudah ada 110 orang warga Bulukumba yang teridentifikasi terserang virus mematikan tersebut.” Ini lead pada berita ”Sudah 110 Pengidap HIV di Bulukumba” di www.fajar.co.id (3/6-2013).

Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan pada lead berita di atas, al.:

(1) Karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif maka angka kasus akan terus bertambah atau meningkat karena kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya.

(2) Yang jadi persoalan adalah insiden infeksi HIV baru, al. terjadi pada laki-laki dewasa yang tetular melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) di Bulukumba atau di luar Bulukumba.

(3) Yang bertambah adalah kasus yang baru terdeteksi, sedangkan kasus infeksi HIV baru tidak bisa diketahui. Perkiraan bisa dilakukan berdasarkan praktek pelacuran yang ada di Bulukumba. Jika ada praktek pelacuran yang tidak dijangkau, maka pemakaian kondom pada laki-laki yang melacur tidak bisa diawasi sehingga insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

(4) Angka kasus 110 hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (110) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

(5) HIV bukan virus mematikan karena belum ada laporan kematian pada pengidap HIV/AIDS karena (virus) HIV. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC, yang muncul pada masa AIDS (setelah tertular antara 5-15 tahun).

Disebutkan bahwa hasil pemeriksaan yang dilakukan di Laboratorium Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bulukumba menunjukkan semua pelayan kafe Tanjung Bira negatif.

Yang perlu diperhatikan adalah bisa saja ketika tes HIV pelayan kafe ada pada masa jendela. Artinya, ada kungkinan mereka baru tertular di bawah tiga bulan sehingga hasil tes bisa negatif (palsu). Artinya, HIV sudah ada dalam darah mereka tapi karena tes HIV mencari antibody HIV, maka pada masa jendela belum ada antibody HIV.

Selain itu hasil tes HIV yang dilakukan pada pelayan kafe di Tanjung Bira hanya berlaku saat darah mereka diambil.

Setelah pengambilan darah status HIV pelayan kafe di Tanjug Bira tidak bisa dikatakan negatif tapi tidak diketahui karena bisa saja setelah tes HIV mereka tertular HIV jika mereka melayani laki-laki melakukan hubungan seksual tanpa kondom.

Disebutkan oleh Pengelola Penanggulangan AIDS Dinas Kesehatan Bulukumba, H Zaqyul Fahmi: "Angka ini menunjukkan penyebaran yang cukup tinggi. Menunjukkan bahwa, setiap orang harus lebih mewaspadai penyebaran penyakit ini."

Tidak setiap orang harus waspada karena risiko tertular HIV erat kaitannya dengan perilaku seks orang per orang.

Yang perlu diingatkan adalah laki-laki dewasa yang pernah atau sering: (a) melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, dan (b) melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan seperti PSK dan perempuan pelayan kafe.

Ini juga pernyataan Zaqyul Fahmi: "Penyebaran penyakit HIV itu ibarat gelinding bola salju. Satu orang penderita HIV bisa menulari hingga seratus orang."

Pernyataan Zaqyul Fahmi di atas menyesatkan. Tidak ada rumus yang matematis untuk menentukan jumlah penderita HIV/AIDS yang tidak terdeteksi berdasarkan kasus yang terdeteksi.

Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bulukumba, H Tjamiruddin, pemerintah perlu tegas menyikapi berbagai penyebab menyebarnya HIV, salah satunya praktik prostitusi.

Tjamiruddin melupakan laki-laki karena yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Lalu, ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Laki-laki ini pun bisa saja seorang suami.

Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Ini pernyataan Tjamiruddin: "Praktik prostitusi ini meresahkan masyarakat. Padahal, kita sudah punya banyak Perda yang mengatur tentang prostitusi ini."

Jangankan perda, UU dan aturan Tuhan pun melarang zina dan pelacuran. Maka, akan lebih arif kalau MUI Bulukumba mengajak laki-laki dewasa agar tidak ada lagi yang berzina dan melacur.

Selama Pemkab Bulukumba tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV, terutama pada laki-laki melalui praktek pelacuran, maka penyebaran HIV di Bulukumba akan terus terjadi.

Jika hal itu yang terjadi, maka Pemkab Bulukumba tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Hasil Tes HIV Negatif, tapi Lima Bulan Diare Terus


Tanya-Jawab AIDS No 2/Juni 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya sudah ters HIV beberapa kali. Pertama, di laboratorium swasta tiga bulan setelah saya melakukan perilaku seks berisiko dengan ELISA. Kedua, tiga bulan lima hari setelah saya melakukan perilaku seks berisiko dengan PCR. Ketiga, empat bulan setelah saya melakukan perilaku seks berisiko dengan ELISA. Keempat, lima bulan setelah saya melakukan perilaku seks berisiko dengan ELISA. Semua hasilnya nonreaktif. (1) Apakah saya perlu melakukan tes HIV lagi? (2) Apakah semua tes itu akurat? Soalnya, sudah lima bulan ini saya diare tesus-menerus. (3) Apakah antibody HIV bisa terbentuk setelah lima bulan tertular HIV?

Via SMS (28/5-2013)

Jawab: (1), (2) dan (3) Bertolak dari hasil beberapa kali tes HIV yang Anda lakukan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan tes HIV.

Satu hal yang kurang dipahami banyak orang adalah tes HIV dilakukan sesuai dengan standar operasi yang baku, yaitu: konseling sebelum tes HIV (penjelasan tentang HIV/AIDS, tes HIV, hasil tes, risiko yang akan dihadapi jika hasil tes positif dan negatif, kesediaan menghentikan penyebaran HIV jika terdeteksi positif, dll.) dan konseling setelah tes HIV berdasarakan hasil tes.

Standar baku tes HIV juga mengharuskan hasil tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, hasil tes pertama dengan ELISA, jika hasilnya reaktif maka contoh darah yang sama dites dengan reagent lain, misalnya Western blot. Karena Western blot mahal, maka WHO merekomendasikan hasil tes dengan ELISA dikonfirmasi dengan ELISA juga tiga kali tapi dengan reagent dan teknik yang berbeda.

Tes yang Anda lakukan di laboratorium swasta, kecuali PCR (polymerase chain reaction), tidak dijelaskan apakah dilakukan tes konfirmasi.

Jika hasil tes dengan ELISA nonreaktif, maka dianjurkan untuk tes HIV lagi tiga bulan kemudian dengan catatan ybs. tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV selama tiga bulan tsb. Ada kemungkinan hasil tes nonreaktif palsu karena ketika Anda tes kondisi infeksi baru pada masa jendela yaitu tertular di bawah tiga bulan (Lihat Gambar).


Terkait dengan yang Anda alami, maka hasil tes HIV dengan PCR yaitu nonreaktif adalah akruat.

Pertanyaannya adalah: Apakah setelah tes PCR itu Anda melakukan perilaku berisiko tertular HIV?

Kalau jawabannya tidak, maka hasil tes ketiga (empat bulan setelah perilaku berisiko dan tes keempat (lima bulan setelah perilaku berisiko), keduanya dengan ELISA dengan hasil nonreaktif adalah akurat.

Tapi, kalau Anda melakukan perilaku berisiko setelah tes HIV dengan PCR, maka hasil tes ketiga dan keempat adalah nonreaktif palsu. Artinya, bisa jadi HIV sudah ada tapi tidak terdeteksi oleh ELISA karena belum ada antibody HIV di dalam darah Anda.

Standar yang baku selalu meminta ybs. agar tes HIV lagi tiga bulan setelah tes HIV keempat, dengan catatan tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Semua terpulang kepada kejujuran Anda. Kuncinya pada tes PCR. Artinya, kalau Anda melakuan perilaku berisiko setelah tes PCR, maka hasil tes ketiga dan keempat adalah negatif palsu. Anda dianjurkan lagi tes HIV setelah tiga bulan dari tes keempat, tapi perlu diingat tidak melakukan perilaku berisiko pada rentang waktu tiga bulan setelah tes HIV terakhir.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap



04 Juni 2013

Pengidap HIV/AIDS di Kab Sumbawa, NTB, Harus Berobat ke Mataram



* Berobat ke Mataram menghabiskan biaya yang besar ....

Tanggapan Berita (5/6-2013) – “Angka pengidap HIV/AIDS di Sumbawa bertambah, dalam kurun waktu Januari hingga Februari 2013, sedikitnya 3 orang terdiri dari 1 pria dan 2 wanita dinyatakan mengidap penyakit yang belum ditemukan obatnya itu. Secara umum, para pengidap HIV/AIDS di Sumbawa berusia produktif.” Ini lead pada berita ”Pengidap HIV/AIDS di Sumbawa Bertambah” di  www.pulausumbawanews.com ().

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kab Sumbawa, NTB, mencatat kasus HIV/AIDS ada 16 yang terdiri atas 5 HIV dan 10 AIDS dengan 6 kematian. Ada 7 pengidap HIV/AIDS yang meminum obat ARV.

Tidak dijelaskan bagaimana 7 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) tsb. mendapatkan obat ARV. Apakah mereka harus mengambil obat ARV ke Mataram?

Ada beberapa hal yang perlu ditanggapi dalam pernyataan di lead berita itu, yaitu:

Pertama, karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus baru, maka angka kasus HIV/AIDS yang dilaporkan akan terus bertambah. Angka itu tidak akn pernah turun biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.

Kedua, ada penyakit lain yang tidak ada obatnya (demam berdarah) dan ada pula penyakit yang ada obatnya tapi tidak bisa disembuhkan (diabetes dan darah tinggi). Terkait dengan HIV/AIDS sudah ada obat yaitu obat antiretroviral (ARV) yang sudah tersedia secara luas di seluruh Nusantara.

Ketiga, tidak ada kaitan langsung antara usia produktif dengan penularan HIV/AIDS karena risiko seseorang tertular HIV bukan terkait langsung dengan usia tapi perilaku seksual orang per orang.

Yang perlu diperhatikan adalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).

Celakanya, semua daerah di Indonesia menampik di daerahnya ada pelacuran. Mereka benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokasi atau lokalisasi pelacuran yang ditangani dinas sosial.

Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembaran tempat dan sembarang waktu dengan berbagai bentuk. Misalnya, mangkal di tempat-temat tertentu, melalui telepon, dipesan melalui karyawan hotel, sopir taksi, pengojek, dll., bahkan melalui pemberian gratifikasi seks.

Jika di Pemkab Sumbawa tidak menjalankan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui pelacurna, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi. Buktinya dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi.

Menurut Wakil Sekretaris KPA Sumbawa, Tri Karyati, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Sumbawa pada masa AIDS. Ini artinya mereka sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelum terdeteksi.

Kalau saja Tri Karyati dan wartawan memahami epidemi HIV, maka yang perlu dikembangkan adalah fakta penemuan kasus HIV/AIDS pada masa AIDS.

Artinya, sebelum mereka terdeteksi yaitu pada rentang waktu antara 5-15 tahun mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Inilah realitas sosial terkait dengan penyebaran HIV/AIDS.

Bagi yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya. Jika ada di antara yang terdeteksi itu PSK, maka sebelum terdeteksi seorang PSK sudah berisiko menularkan HIV kepada  3.600 – 10.800 laki-laki [1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x (5 tahun atau 15 tahun)].

Disebutkan bahwa tiga kasus yang baru terdeteksi dirujuk ke Mataram untuk menjalani pengobatan lebih lanjut, ”Karena di sini alat dan sarana kesehatannya masih terbatas,” kata Tri Karyati.

Pernyataan ini mengesankan orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS harus ditangani secara khusus di rumah sakit yang besar. Ini salah besar karena HIV/AIDS bisa ditangani di puskesmas.

Jika seorang Odha harus bulak-balik ke Mataram hanya untuk berobat tentulah mengeluarkan biaya yang besar. Mereka menyeberang dari Pelabuhan Poto Tano (Sumbawa) ke Pelabuhan Kayangan (Lombok). Ongkos pulang pergi saja Rp 240.000. Mereka harus bermalam di Mataram dan ini tentu saja memerlukan uang untuk bayar losmen dan uang untuk makan serta kebutuhan lain. Kemungkinan Odha akan ditemani, maka biaya yang harus dikeluarkan pun sangat besar.

Kalau saja Tri Karyati menyebutkan infeksi oportunistik (penyakit yang muncul di masa AIDS, seperti diare, jamur, TBC, dll.) yang diderita tiga pengidap HIV yang baru terdeteksi itu tentulah tidak ada kesan buruh terhadap pengidap HIV/AIDS.

Disebutkan pula bahwa ”Penularan penyakit ini bisa melalui kebiasaan sex bebas (gonta – ganti pasangan) ....”  

Pernyataan di atas tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (’seks bebas’, gonta-ganti pasangan, dll.).

Menurut Tri Karyati, para ibu rumah tangga menduduki peringkat paling rawan karena jika prilaku suami mereka yang sering ‘jajan’ akan menularkan HIV ke istirinya.

Yang rawan adalah perilaku suami-suami yang melakukan perilaku berisiko, yaitu: (a) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti, dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.

Plt Direktur RSUD Sumbawa, dr Syamsul Hidayat, mengakui  jika pihaknya menemukan indikasi HIV terhadap seorang pasien, maka akan segera dirujuk ke Mataram yang lebih unggul dari segi peralatan.

Lagi-lagi dr Syamsul memberikan kesan buruk terhadap pengidap HIV/AIDS karena digambarkan penyakit yang berat sehingga harus ditangani rumah sakit yang lengkap peralatannya.

Kalau saja dr Syamsul memberikan penjelasan bahwa pengidap HIV/AIDS yang dirujuk ke Mataram karena penyakit infeksi oportunistik, maka tidak ada kesan buruk terhadap pengidap HIV/AIDS.

Disebutkan lagi oleh dr Syamsul: “Ke depan harus ada ruangan khusus untuk penderita HIV/AIDS di sini.”

Tidak diperlukan ruangan khusus untuk penderita HIV/AIDS karena HIV adalah penyakit menular yang sama dengan penyakit menular lain.

Yang diperlukan adalah klinik khusus untuk menangani orang-orang yang akan menjalani tes HIV yang disebut sebagai Klinik VCT yaitu tempat tes HIV secara sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasiaan.

Selama Pemkab Sumbawa tidak menjalankan program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Ngeseks (Hanya) dengan Pelajar, tapi Ada Gejala-gejala AIDS

Tanya-Jawab AIDS No  1/Juni 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya pemuda berumur 17 tahun. Saya tidak pernah ngeseks dengan PSK (pekerja seks komersial-peng.)  Saya ngeseks hanya dengan pelajar! Tapi, ada gejala-gejala penyakit yang saya alami seperti ciri-ciri AIDS, seperti demam, berkeringan malam dan sariawan. Saya pengen benar tes HIV. Saya bingung. Soalnya, saya heran mengapa tiap kali melamar di perusahaan pertambangan, perkebunan, dll. selalu gugur pada medical check up. Padahal, saya tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol,  dan tidak pernah pakai narkoba. Saya atlet sehingga saya yakin kuat. Gigi saya tidak ada yang bolong. (1) Apakah saya gugur karena hasil tes kesehatan diketahui saya mengidap HIV/AIDS? Saya ketakutan. Tahun depan ada kerabat yang akan memasukkan saya ke sekolah polisi, (2) Apakah saya bisa lolos kalau saya mengidap HIV/AIDS? Saya tidak pengen keluarga malu dan kecewa karena saya mengidap HIV/AIDS. (3) Saya benar-benar ingin mendapatkan pencerahan apa yang harus saya lakukan untuk masa depan saya.

Via SMS (3/6-2013) dari Kalimantan

Jawab: (1) Satu hal yang menyesatkan adalah anggapan bahwa risiko tertular HIV hanya melalui hubungan seksual dengan PSK. Ini salah besar. Tapi, ini semua terjadi karena selama ini informasi HIV/AIDS pada berbagai materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Seorang perempuan berisiko tertular HIV jika dia melayani hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari laki-laki tsb. mengidap HIV/AIDS.

Nah, terkait dengan yang Anda lakukan jelas berisiko tinggi tertular HIV karena ’pelajar’ yang Anda maksud adalah PSK tidak lansung (PSK yang tidak mangkal di lokasi pelacuran). Tapi, dalam prakteknya dia melacur dengan banyak laki-laki secara berganti-ganti.

Lagi pula status HIV ’pelajar’ tsb. tidak bisa dilihat dari fiksiknya. Biar pun dia muda, cantik, molek, bahenol, dst., status HIV hanya bisa diketahui melalui tes HIV yang sesuai dengan standar.

Seorang PSK pun bisa tidak berisiko tertular HIV kalau dia hanya melayani laki-laki yang memakai kondom, termasuk dengan pacar atau suaminya.
Maaf, kita tidak bisa menduga-duga alasan mengapa Anda selalu gugur pada tes kesehatan. Untuk itulah Anda sebaiknya tes HIV agar bisa diketahui dengan pasti status HIV Anda.

(2) Setiap instansi dan institusi mempunyai peraturan tentang jenis-jenis penyakit yang diberikan toleransi. Anda bisa bertanya ke Humas Polda di tempat Anda tentang persyaratan kesehatan bagi calon polisi.

(3) Ya, langkah terbaik yang Anda lakukan adalah segera ke Klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit umum di kota Anda. Gejala-gejala yang Anda alami tidak otomatis terkait langsung dengan HIV/AIDS, sehingga harus tes HIV untuk memastikan apakah gejala-gejala itu terkait dengan infeksi HIV.

Hasil tes HIV akan menentukan langkah Anda ke depan.

Nomor ponsel Anda sudah dikirimkan ke seorang konselor di daerah Anda. Dia yang akan membantu Anda.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


03 Juni 2013

Ironis, Tidak Ada Program Konkret Penanggulangan HIV/AIDS di Aceh


Tanggapan Berita (4/6-2013) – “ …. angka penderita AIDS (di Prov Aceh-pen.) sangat mengkhawatirkan, mengingat pada tahun 2004 lalu penderita AIDS hanya berjumlah 1 orang saja.” Ini pernyataan Dewi Fahrina, Pengelola Keuangan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Prov Aceh dalam berita ”Jumlah Penderita AIDS di Aceh Mengkhawatirkan” di The Globe Journal (3/6-2013).

Data kasus HIV/AIDS sebelum tsunami selalu dijadikan banyak kalangan sebagai patokan untuk menggambarkan penyebaran HIV/AIDS di Aceh.

Tapi, Dewi, misalnya, mengabaikan fakta yaitu sebelum tahun 2004 karena ada konflik di Aceh maka penanggulangan HIV/AIDS, seperti survailans tes HIV dan penjangkauan, tidak ada. Dalam sebuah seminar di Banda Aceh (”Informasi HIV dan AIDS sebagai Bahan Berita dalam Penanggulangan Epidemi HIV di Aceh”, diselenggarakan oleh Medan Aceh Partnership/MAP, 9 November 2009) ada data yang dimunculkan oleh Dinkes Aceh bahwa sampai tahun 2004 survailans tes HIV hanya sekali dilakukan (Lihat Gambar).

Selain itu institusi, seperti LSM, yang melakukan penyuluhan, penjangkauan dan dukungan pun tidak ada. Fasilitas dan sarana tes HIV pun tidak ada.

Kegiatan terkait HIV/AIDS baru gencar dilakukan setelah tsunami (Desember 2004) ketika institusi nasional dan internasional bergegas membantu pemulihan Aceh.

Maka tidaklah mengherankan kalau kemudian terdeteksi 187 kasus HIV/AIDS. Kasus ini hanya yang terdeteksi di Aceh, terutama di Banda Aceh. Sedangkan kasus HIV/AIDS pada penduduk Aceh yang terdeteksi di luar Aceh, seperti di Medan (Sumut) tidak terdata di Aceh.

Beberapa Odha (Orang dengan HIV/AIDS) penduduk Aceh memilih tes HIV dan mengambil obat antiretroviral (ARV) di salah satu rumah sakit umum di Medan. Mereka menghindarkan stigma (cap buruk) dan diskrimnasi jika identitas mereka diketahui di Aceh.

Dari 187 kasus HIV/AIDS di Aceh 12 di antaranya adalah anak-anak. Ini menggambarkan kondisi ril penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Dengan 12 anak-anak pengidap HIV/AIDS itu berarti ada 12 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS dan ada lagi 12 suami yang juga pengidap HIV/AIDS.

Jika 12 suami itu mempunyai istri lebih dari 1, maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV pun kian banyak. Pada gilirannya jumlah anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS pun akan bertambah pula.

Kondisi di atas terjadi karena tidak ada program yang konkret di Aceh untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang perilaku seksnya berisiko tertular HIV, yaitu melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) di Aceh atau di luar Aceh.

Selain itu tidak ada pula program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Maka, penularan HIV dari perempuan hamil ke bayi yang dikandungnya pun tidak bisa ditanggulangi.

Ini pernyataan Dewi: “Ditambah lagi ini baru jumlah yang terdata, sementara penderita AIDS itu seperti fenomena gunung es yang hanya diketahui sedikit dari jumlah keseluruhan.”

Pertanyaan untuk Dewi: Apa yang Anda lakukan untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat yang tidak terdeteksi dalam fenomena gunung es?

Tentu saja tidak ada.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kasus baru HIV/AIDS akan terus terdeteksi karena insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang perilakunya berisiko terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV, di Aceh atau di luar Aceh, menjadi mata rantai penyebaran HIV di Aceh, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan oleh Dewi kasus HIV/AIDS sudah tersebar di semua kabupaten dan kota di Aceh, tapi “Ironisnya, baru ada 6 kabupaten saja yang telah mengalokasikan dana untuk menangani kasus ini.”

Yang ironis bukan tidak ada alokasi dana, tapi tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual berisiko.

Jika Pemprov Aceh, dalam hal ini Dinkes Aceh dan KPAP Aceh, tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermura pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

02 Juni 2013

Di Semarang, Jateng, Bergantian Cek Darah untuk Pastikan Status HIV/AIDS



Tanggapan Berita (3/6-2013) – "Sejumlah pengunjung Car Free Day (CFD) bergantian mengecek darah untuk memastikan diri mereka tidak terjangkit HIV/AIDS di tenda yang didirikan PKBI, Minggu (2/6/2013). Tepat di depan Masjid Baiturahman, beberapa perempuan membawa sejumlah kondom usai menjalani pemeriksaan.” Ini lead pada berita ”Anak Muda Semarang Penasaran Tes HIV/AIDS” di tribunnews.com (2/6-2013).

Gambaran di atas sangat mencengangkan karena menunjukkan pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak benar.

Tidak semua orang harus menjalani tes HIV karena tidak semua orang berisiko tertular HIV. Orang-orang yang berisiko tertular HIV yang dianjurkan tes HIV adalah orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV, yaitu:

(1) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti.

(2) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti.

(3) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Untuk mengetahui perilaku orang-orang yang mau tes HIV dilakukan konseling (bimbingan), semacam wawancara, berupa informasi tentang HIV/AIDS dan semua hal yang berkaitan, termasuk tentang perilaku yang berisiko tertular HIV.

Jika hasil konseling menunjukkan ybs. pernah atau sering melakukan perilaku berisiko, maka dianjurkan untuk tes HIV dengan persyaratan ybs. harus berjanji bahwa jika hasil tes positif akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya, dan jika hasil tes negatif berjanji akan menghindari perilaku berisiko (Lihat Gambar).

Dalam berita tidak ada penjelasan apakah 80 pengunjung yang ikut tes sudah mendapatkan konseling sebelum tes HIV. Kalau mereka tidak mendapat konseling sebelum tes, maka tes tsb. melawan asas prosedur tes HIV yang baku.

Maka, bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan perilaku (1), (2) dan (3) tidak perlu tes HIV karena mereka bukan orang-orang yang berisiko tertular HIV.

Dalam berita disebutkan ”Tebakannya tepat, banyak anak muda yang penasaraan dengan tes HIV.” Maksudnya tebakan Ketua PKBI dr Dwi Yoga Yulianto.

Tanpa konseling tes HIV akan mencelakai karena hasil tes HIV bisa positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV ada dalam darah tapi hasil tes reaktif).

Bayangkan, kalau ada di antara remaja itu yang hasil tes HIV-nya positif palsu tentulah akan jadi masalah besar bagi mereka. Padahal, mereka tidak mengidap HIV/AIDS.

Sebaliknya, yang menerima hasil tes negatif palsu juga akan jadi bumerang karena mereka merasa tidak mengidap HIV/AIDS, padahal itu negatif palsu. Artinya, mereka mengidap HIV/AIDS tapi tes tidak bisa mendeteksinya. Ini bisa terjadi karena ada kemungkinan ketika tes masih pada masa jendela (tertular HIV di bawah tiga bulan).

Pernyataan ” .... beberapa perempuan membawa sejumlah kondom usai menjalani pemeriksaan” tidak jelas apakah perempuan tsb. bersuami atau remaja.

Jika istri memawa kondom ke rumah bisa muncul persoalan karena selama ini kondom dianggap sebagai alat yang mendorong zina dan melacur.

Maka, yang paling tepat adalah konseling pasangan sehingga suami bisa menimbang-nimbang perilakunya.

Penyebaran HIV di Indonesia terus terjadi karena insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK terus terjadi. Laki-laki, jika dia seorang suami, yang tertular HIV dari PSK akan menularkan HIV kepada istrinya. Kalau istri tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi membuktikan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa terus terjadi.

Tanpa program yang konkret berupa program yang konkret dan terukur untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui pelacuran, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi.

Penyebaran HIV/AIDS akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Penanggulangan Epidemi HIV/AIDS di Hilir

Catatan: Naskah ini dimuat di Harian "Swara Kita", Manado edisi 12 Mei 2008. Tulisan ini sebagai pembanding antara lima tahun yang lalu dengan kondisi sekarang: Apakah ada upaya pemerintah yang konkret dan terukur untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di hilir? Redaksi.

Oleh Syaiful W Harahap*

HIV/AIDS, Sejumlah Rumah Sakit Krisis Ketersediaan Obat.” Itulah judul berita di sebuah harian Ibu Kota (12/4-2008). Takta ini menunjukkan ada gelombang baru yang menghadang upaya penanggulangan epidemi HIV di Tanah Air. Sekarang pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan dana dana dari donor cenderung mengutamakan pengobatan terhadap Odha. Terapi adalah penanggulangan di hilir, sedangkan pencegahan merupakan penanggulangan di hulu.

Walaupun tidak menyembuhkan tapi kehadiran obat anti-retroviral (ARV) membawa berkah bagi orang-orang yang tertular HIV yang telah mencapai masa AIDS (Odha-Orang dengan HIV/AIDS). Obat ini berguna untuk menekan perkembangan HIV di dalam darah sehingga kerusakan sel-sel darah putih dapat ditekan. Selain dapat meningkatkan kualitas hidup para Odha obat ini pun secara tidak langsung menekan penularan karena jumlah virus kian sedikit.

Pada awalnya harga obat ini Rp 8 juta untuk konsusmi satu bulan. Belakangan berkat regulasi pajak harga turun hingga Rp 800.000. Sekarang obat ini gratis karena ada dana hibah dari donor luar negeri. Masalah yang lebih besar akan muncul ketika tidak ada lagi donor. Jika dana untuk pengadaan ARV dialokasikan dari APBN atau APBD tentulah akan menimbulkan persoalan baru karena anggaran kesehatan yang terbatas. Dana yang besar juga diperlukan untuk menanggulangi epidemi penyakit menular, seperti TB, flu burung, malaria, demam berdarah, dll.

Krisis ketersediaan obat ARV ini meningkatkan resistensi terha-dap ARV karena pemakaian obat terputus dan Odha pun tidak bisa lagi memakai obat sesuai dengan anjuran. Jika terjadi resistensi terhadap ARV maka obat pun harus diganti. Ini berdampak pula pada harga obat.

MENGUSUNG MITOS

Jika pemerintah pusat dan daerah tetap memaksakan anggaran khusus untuk sektor HIV/AIDS maka dikhawatirkan akan menim-bulkan gejolak karena mengesankan pemerintah hanya memper-hatikan HIV/AIDS. Apalagi penyakit ini selalu dibenturkan dengan norma, moral, dan agama sehingga ada anggapan penularan penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku (yang tidak baik).

Anggapan di atas memang salah tapi tetap saja berkembang karena tidak ada upaya untuk memupusnya. Belakangan ini ada gejala baru yaitu perlombaan membuat peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Perda AIDS sudah ada di beberapa daerah al. provinsi (Bali, Jawa Timur, dan Riau), kabupaten (Merauke, Puncak Jaya, Nabire) dan kota (Jayapura, Sorong, Palembang). Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda-perda itu tetap saja mengusung mitos.

Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV dengan “meningkatkan iman dan taqwa”. Bagai-mana menakar kadar iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Bagaimana pula iman dan taqwa mencegah penularan HIV melalui transfusi darah? Hal ini juga akan menyuburkan stigma dan diskriminasi karena ada anggapan orang-orang yang tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa. Di perda lain disebutkan untuk mencegah penularan HIV adalah jangan melakukan seks menyimpang, jangan melakukan hubungan seks dengan yang bukan istri.

Dengan 11.141 kasus AIDS, diperkirakan sebagian besar sudah memakai obat ARV, diperlukan banyak obat. Angka ini akan terus bertambah karena ada 6.066 kasus HIV yang kelak akan mencapai masa AIDS. Kalangan ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000. Kalau diambil rata-rata maka ada 110.000 penduduk Indonesia yang akan memerlukan obat ARV dan perawatan serta pengobatan di rumah sakit.

Angka di atas akan terus bertambah karena banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan: (a) yang sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, (b) yang sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah satu dari pekerja seks itu HIV-positif.

PENULARAN DIAM-DIAM

Dengan kasus AIDS yang dilaporkan saja yaitu 11.141 dana untuk membeli ARV setiap bulan mencapai Rp 8.912.800.000 dengan catatan harga Rp 800.000. Jika kasus pada angka 110.000 maka dana yang diperlukan mencapai Rp 88 miliar per bulan. Angka itu belum termasuk biaya pengobatan (obat, dokter, dan rumah sakit) untuk penyakit-penyakit infeksi oportunistik yang muncul pada masa AIDS. Bagi yang mampu tidak ada masalah, namun bagi yang tidak mampu tentulah akan menjadi beban. Kalau kemudian pemerintah mengatasinya dengan asuransi kesehatan untuk rakyat miskin maka dana yang diperkukan untuk mengobati Odha pun akan membengkak pula.

HIV/AIDS merupakan epidemi yang harus ditanggulangi karena terkait dengan kesehatan masyarakat maka semua Odha mem-peroleh ARV gratis. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan untuk menerapkan subsidi silang karena jika tidak ada lagi dana hibah dari donor tentulah pemerintah akan kelabakan menyediakan biaya untuk pembelian obat ARV.

Pemberian ARV merupakan upaya penanggulangan di sek-tor hilir. Karena penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disada-ri maka kasus penularan HIV akan terus bertambah. Ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik. Akibatnya, mereka pun menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka sadari. Antara lain melalui hubungan seks tanpa kodom di dalam dan di luar nikah, serta melalui jarum suntik yang dipakai bergantian pada pe-nyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ada pula yang menularkan HIV kepada pekerja seks. Pekerja seks yang tertular kemudian menularkan HIV kepada laki-laki yang datang mengencaninya tanpa memakai kondom.

Banyak kasus HIV/AIDS di Indonesia terdeteksi sudah pada masa AIDS. Ini menunjukkan sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain yaitu pada kurun waktu antara 5-10 sejak mereka tertular HIV. Inilah mata rantai penyebaran HIV yang merupakan sektor hilir pada epidemi HIV. Tapi, hal ini tidak menjadi perhatian utama dalam penanggulangan HIV/AIDS saat ini. Penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Kalau di sektor hilir tidak ada upaya yang konkret untuk mencegah penularan HIV maka kasus AIDS akan terus bertambah. Ini artinya beban pemerintah untuk menyediakan obat ARV gratis pun akan melonjak pula. Pengeluaran masyarakat untuk berobat, khususnya keluarga Odha, pun meningkat pula karena pada masa AIDS Odha akan memerlukan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Kelak kalau dana hibah dari donor asing tidak ada lagi maka APBN dan APBD pun akan digerogoti untuk membeli atau menyubsidi ARV dan memberikan dana bantuan pengobatan bagi pasien Odha yang miskin.

Akankah kita menunggu kondisi itu atau sejak hari ini kita menyingsingkan lengan baju menyebarluaskan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS agar masyarakat bisa melindingi diri secara aktif agar tidak tertular HIV. Pilihan ada di tangan kita. (* Penulis adalah Pemerhati masalah HIV/AIDS dan direktur eksekutif LSM media watch InfoKespro Jakarta). ***