01 Juni 2013

Tidak Ada Benteng untuk Membendung Penyebaran HIV



Oleh Syaiful W. Harahap*

Jakarta, 18/8-2010. “Aceh ‘benteng’ HIV/AIDS Indonesia bisa jebol.” Ini judul berita di Harian “WASPADA”, Medan (25/06-2010).

Dalam berita disebutkan: “Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan provinsi Aceh yang diharapkan bisa menjadi "benteng" penahan penularan HIV/AIDS di Indonesia, namun kini bisa "jebol" menyusul ditemukan sebanyak 47 kasus penyakit tersebut.” Tidak dijelaskan apa yang dimaksud sebagai ‘benteng’ terhadap HIV/AIDS. Kalau ‘benteng’ yang dimaksud adalah penerapan syariat Islam di Prov. Aceh maka hal itu tidak akurat karena penularan HIV tidak kasat mata.

Arab Saudi yang menjadikan Alquran sebagai UUD juga ’jebol’ (meminjam istilah Wagub Aceh-pen.). Data terahir menunjukkan kasus AIDS yang dilaporkan mencapai 13,926. Dari jumlah ini terdapat 3,538 penduduk asli Arab Saudi.

Secara de jure tidak ada lokalisasi pelacuran dan industri hiburan malam di Arab Saudi. Tapi, mengapa ada penduduknya yang tertular HIV? Ya, mereka tertular di luar Arab Saudi. Ketika mereka kembali ke negaranya mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Ada lagi pernyataan: “Wagub memperkirakan masih ada ratusan warga tertular penyakit yang dapat menurunkan kekebalan tubuh itu dan pada akhirnya bisa mengakibatkan kematian bagi penderitanya. HIV/AIDS tertular akibat seks bebas dan penggunaan jarum suntik narkoba.” Lagi-lagi penularan HIV dikaitkan dengan ‘seks bebas’.

Kalau ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai zina, maka ini mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau dua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama.

Sedangkan penularan HIV pada penyalahguna bisa terjadi jika narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Jika ada di antara mereka yang HIV-positif maka yang lain berisiko tertular HIV. Tidak ada risiko penularan HIV kalau penyalahguna narkoba memakai sendiri atau bersama-sama tapi dengan jarum suntik dan tabung yang steril atau baru.

Di bagian lain disebutkan: “Saya perkirakan masih ada ratusan warga daerah ini yang tertular, namun tidak berani melaporkan kepada petugas kesehatan atau merasa malu jika diketahui mengidap penyakit tersebut." Persoalan besar pada epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang-orang yang sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.

Begitu pula dengan orang-orang yang sudah tertular mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada keluhan penyakit yang khas AIDS sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Mereka bukan ‘tidak berani melapor’, tapi mereka tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Mereka inilah yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk.

Disebutkan pula: "Kami telah melakukan tindakan pencegahan melalui pemberian pemahaman tentang bahaya penyakit tersebut. Kegiatan sosialiasasi bahaya penyakit ini sering diberikan kepada masyarakat dan pelajar di Provinsi Aceh,"

Pertanyaannya adalah: Apakah materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS yang disosialisasikan akurat?

Kalau jawabannya YA, maka masyarakat akan memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV secara benar. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka masyarakat hanya menangkap mitos terkait dengan penularan dan pencegahan HIV. Akibatnya, penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari.

Yang bisa dilihat kelak hanyalah ledakan kasus AIDS karena infeksi HIV pada penduduk yang tidak terdeteksi menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***

[Sumber:  http://lsm-infokespro.blogspot.com/2010/08/tidak-ada-benteng-untuk-membendung.html]

31 Mei 2013

Menggapai ’Mimpi’ Zero Penularan Baru HIV/AIDS di Kota Jayapura, Papua



Tanggapan Berita (1/6-2013) – Walikota Jayapura, Papua, Benhur Tommy Mano, meminta kepada para pramuria dan pramupijat untuk memeriksakan kesehatannya di PKR Kotaraja secara periodik. Ini ada dalam berita “Kembali Ditemukan Penderita HIV/AIDS di Kota Jayapura” di tabloidjubi.com (28/5-2013).

Pada rentang waktu antara seorang pramuria atau pramupijat tertular IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, herpes genitalis, dll.) atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dan pemeriksaan (tes) sudah terjadi insiden infeksi IMS atau HIV/AIDS baru atau dua-duanya sekaligus (Lihat Gambar 1).

Andaikan pemeriksaan kesehatan rutin setiap tiga bulan. Maka, dalam kurun waktu tiga bulan saja seorang pramuria/pramusaji bisa menularkan  IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada 960 laki-laki (1 pramuria/pramupijat x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan).

Jumlah laki-laki yang berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kian banyak jika pramuria atau pramupijat yang beroperasi di Kota Jayapura banyak.

Pada gilirannya laki-laki yang tertular tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari pramuria/pramupijat akan menularkan tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada istrinya. Jika istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan ke bayi yang dikandungnya.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Jayapura, Papua, semapai 31 Desember 2012 mencapai 2.783. Tentu saja angka ini tidak menggambarkan jumlah yang kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi (2.783) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Kepada Benhur, penanggung jawab Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR), dr. Hesti Purikasari, mengemukakan bawah mulai tahun 2010 sampai tahun 2012  terlihat angka HIV/AIDS terus merangkak naik

Kalau pernyataan ini disampaikan oleh dr Hesti, maka sangat disayangkan karena pernyataan ini terkesan karena tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah berkurang atau turun biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.

Yang perlu disimak adalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki yang melacur tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK), pramuria atau pramupijat.

Disebutkan dari 468 pekerja berisiko tinggi tertular HIV yaitu PSK, pramuria, pramupijat dan anak jalanan di Kota Jayapura sampai April 2013 terdeteksi lima yang mengidap HIV/AIDS.

Itu artinya paling tidak ada lima laki-laki penduduk Kota Jayapura yang menularkan HIV/AIDS ke pekerja berisiko. Kalau mereka mempunyai istri sehingga ada risiko penularan HIV ke istri yang seterusnya istri pun berisiko pula menularkan HIV ke janin yang dikandungnya.

Di sisi lain ada pula ratusan bahkan ribuan laki-laki penduduk Kota Jayapura yang berisiko tertular HIV/AIDS dari lima pekerja berisiko tinggi tadi (Lihat Gambar 2).


” …. target pemkot di tahun 2015 nanti, kita berharap akan zero penularan baru.”  Ini pernyataan Benhur.

Celakanya, dalam berita tidak ada penjelasan tentang langkah konkret yang dilakukan Benhur untuk mencapai target.

Kalau hanya melalui pemeriksaan kesehatan rutin, itu artinya membiarkan penduduk Kota Jayapura tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus baru diperiksa.

Yang diperlukan adalah program penanggulangan yang konkret dan sistematis di hulu agar insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan.

Zero penularan baru IMS atau HIV/AIDS adalah hal yang mustahil.

Pertama, tidak bisa dijamin tidak ada lagi laki-laki dewasa penduduk Kota Jayapura yang melakukan perilaku berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS di Kota Jayapura atau di luar Kota Jayapura.

Kedua, tidak bisa dijamin tidak ada lagi perempuan dewasa penduduk Kota Jayapura yang melakukan perilaku berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS.

Ketiga, penduduk Kota Jayapura yang mengidap IMS dan HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV/AIDS.

Maka, yang diperlukan adalah langkah yang konkret yaitu program berupa intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK/pramuria/pramupijat (Lihat Gambar 3).


Selain itu diperlukan pula program yang sistematis untuk mendeteksi perempuan hamil yang mengidap HIV/AIDS. Ini diperlukan untuk menjalankan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Celakanya, Pemkot Jayapura tidak mempunya program yang konkret dan sistematis untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Jika tidak ada program yang konkret berupa intervensi melalui regulasi, maka selama itu pula penyebaran  IMS dan HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Jayapura yang pada akhirnya akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

30 Mei 2013

Mendeteksi HIV/AIDS pada Waria di Kota Sukabumi, Jabar



Tanggapan Berita (31/5-2013) – Jika ada pekerja seks komersial (PSK) dan waria yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS banyak kalangan, seperti permintah daerah, dinas kesehatan, komisi penanggulangan AIDS (KPA) dan aktivis bagaikan ’kebakaran jenggot’.

Celakanya, mereka panik karena ada kasus HIV/AIDS pada PSK dan waria. Ini merupakan reaksi negatif karena pemahaman terhadap epidemi HIV/AIDS berpijak pada moral. Ketika ada PSK dan waria yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dikesankan itu terjadi karena perilaku yang terkait dengan moral.

Padahal, persoalan besar bukan pada PSK dan waria, tapi pada laki-laki heteroseks, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK dan waria serta laki-laki heteroseks yang tertular HIV/AIDS dari PSK dan waria (Lihat Gambar).

Itulah yang terjadi pada pemeriksaan kesehatan terhadap 18 waria dan gay di Puskesmas Selabatu, Kota Sukabumi (Waria dan Gay Sukabumi Jalani Pemeriksaan HIV/AIDS, republika.co.id, 30/5-2013).

Hasil tes HIV dengan rapid test terhadap 19 waria disebutkan ada enam contoh darah yang reaktif. Tapi, perlu diingat bahwa tes HIV ini bersifat survailans tes HIV yaitu untuk memperoleh angka perbandingan antara waria yang mengidap HIV/AIDS dan yang tidak mengidap HIV/AIDS.

Selain itu perlu pula dipahami bahwa hasil tes HIV itu hanya berlaku saat darah 18 waria itu diambil. Setelah itu hasil survailans tidak berlaku lagi karena ada kemungkinan ada di antara mereka yang tertular HIV. Hasil survailans tes HIV itu juga bisa menghasilkan negatif palsu pada 12 waria karena ada kemungkinan ketika tes HIV mereka pada masa jendela yaitu kondisi tertular di bawah tiga bulan (Lihat Gambar).

Karena tes HIV itu survailans, maka mereka dikonseling lagi dan dianjurkan untuk tes HIV sebagat tes konfirmasi.

Maka, pernyataan ini: ”Sehingga ke enam orang tersebut harus menjalani pemeriksaan lanjutan untuk memastikan positif atau tidak mengidap HIV dan AIDS.” merupakan perbuatan melawan hukum karena tes  HIV adalah sukarela.

Disebutkan oleh Kepala Puskesmas Selabatu, Kecamatan Cikole, Suhendro Rusli, upaya pemeriksaan terhadap waria dan gay ini untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Pernyataan Suhendro itu tidak akurat karena yang jadi persoalan adalah laki-laki heteroseks yang menularkan HIV/AIDS kepada waria dan laki-laki heteroseks yang tertular HIV/AIDS dari waria.

Risiko laki-laki heteroseks terular HIV melalui seks anal dengan waria terjadi karena kebanyakan laki-laki heteroseks justru jadi ’perempuan’ (disebut dianal dalam bahasa waria ditempong) ketika melakukan hubungan seksual dengan waria (waria menganal dalam bahasa waria menempong).

Menurut Pengelola Program Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Sukabumi, Zaenal Rahman, kasus penularan HIV/AIDS dalam tiga tahun terakhir kebanyakan dari hubungan seks tidak sehat. Sehingga diperlukan tindakan pencegahan untuk menekan kasus tersebut.

Pernyataan Zaenal ini pun tidak akurat karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan ’hubungan seks tidak sehat’. Setiap hubungan seksual, apa pun sifat dan bentuknya, adalah kegiatan yang sehat secara biologis.

Yang terjadi adalah hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang berisiko, yaitu:

(1) Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti.

(2) Perempuan dewasa melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti.

(3) Laki-laki dewasa melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, serta waria.

Dalam berita tidak ada penjelasan tentang cara pencegahan untuk menekan kasus.

Yang harus dilakukan oleh Pemkot Sukabumi melalui Dinkes Kota Sukabumi dan KPA Kota Sukabumi untuk menekan laju penyebaran HIV/AIDS adalah program yang konkret berupa intervensi, yakni:

Langkah pertama adalah regulasi berupa kewajiban pemakaian kondom bagi laki-laki yang melakukan seks anal dengan waria (tentu saja ini tidak mungkin karena praktek waria tidak dilokalisir).

Langkah kedua yaitu menjalankan regulasi yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil (ini sangat mungkin dilakukan, tapi pemerintah belum menjalankannya secara sistematis).

Langkah ketiga yakni menjalankan program pencegahan HIV/AIDS dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (ini juga sangat mungkin dijalankan tapi dengan syarat langkah kedua harus berjalan sistematis).

Tanpa program yang konkret, penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Sukabumi yang kalak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

29 Mei 2013

Klinik Khusus untuk Menanggulangi HIV/AIDS di Kota Kotamobagu, Sulut

Tanggapan Berita (30/5-2013) – ”Mengantisipasi terus bertambahnya jumlah pederita HIV/AIDS, Dewan kota (Dekot) Kota Kotamobagu (KK) berharap agar Kotamobagu segera memiliki klinik khusus yang menangani para penderita.” Ini pernyataan dalam berita ”Klinik HIV-AIDS Layak di KK?” di news.radartotabuan.com (16/5-2013).

Dikabarkan bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Kotamobagu mencapai sepuluh dan disebutkan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Pertama, untuk menangani HIV/AIDS tidak diperlukan klinik khusus karena HIV/AIDS adalah penyakit menular yang bisa dicegah dengan cara-cara yang realistis.

Kedua, tidak semua pengidap HIV/AIDS otomatis harus dirawat di rumah sakit karena pengidap HIV/AIDS akan berhadapan dengan penyakit, disebut infeksi oportunistik, setelah masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Ketiga, klinik khusus untuk menangai pengidap HIV/AIDS merupakan penanggulangan atau penanganan di hilir. Artinya, ditunggu dulu ada penduduk Kotamobagu yang tertular HIV baru ditangani.

Maka, yang diperlukan adalah program yang konkret di hulu, al. untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki, terutama melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Pertanyaan untuk Dewan Kota Kota Kotamobagu adalah: Apakah di Kotamobagu ada pelacuran?

Dewan Kota akan membusungkan dada dan mengataka: Tidak ada!

Dewan Kota benar adanya. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Yang diperlukanm di Kota Kotamobagu adalah tempat tes HIV yang sesuai dengan standar prosudur operasi tes HIV yang baku, dikenal sebagia Klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasiaan).

Klinik ini merupakan pintu masuk untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Penduduk yang sudah tertular HIV akan ditangani secara medis, sedangkan penduduk yang tidak tertular HIV akan dibimbing agar tidak melakuan perilaku berisiko.

Disebukan oleh Ketua Komisi III Dewan Kota, Hi Agus Suprijhanta, SE, tentang klinik khusus untuk menangani penyakit HIV/AIDS: “Wajib kita dorong bersama agar Kotamobagu bisa memiliki klinik khusus yang menangani HIV/AIDS. ”

Untuk apa? .... selain dapat mempermudah pengawasan terhadap penderita yang teridentifikasi HIV/AIDS, juga dapat menekan bertambahnya penderita penyakit berbahaya ini.

Orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV melalui tes HIV di Klinik VCT otomatis tercatat dengan sifat rahasia. Pengidap HIV/AIDS tidak perlu diawasi karena ketika hendak tes HIV mereka sudah berjanji akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Menekan penyebaran HIV/AIDS di Kota Kotamobagu bukan dengan mendirikan klini khusus, tapi menjalankan program penanggulangan yang konkret, al. mewajibkan laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Tanpa program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Kotamobagu akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

27 Mei 2013

Menggagas Lokalisasi Pelacuran di Subang, Jabar


Tanggapan Berita (28/5-2013) – "Jika ada lokalisasi, PSK bisa terkontrol. Siapa yang bersama mereka bisa diketahui. Kesehatan PSK (pekerja seks komersial-pen.) juga bisa terkontrol. Meskipun solusi itu masih sensitif, kami yakin wacana itu bisa terealisasi." Ini pernyataan Suwata, Koordinator Penanggulangan AIDS dan Penanggulangan Penyalahgunaan Jarum Suntik untuk Napza, Kab Subang, Jawa Barat (Jabar) dalam berita ”Aktivis AIDS: Jika Ada Lokalisasi PSK Bisa Terkontrol” di tribunNews (27/5-2013).

Ada beberapa hal yang perlu dikoreksi terkait dengan pernyataan Suwata di atas, yaitu:

(1) Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan PSK yang menjadi sasaran bukan PSK, tapi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Laki-laki diwajibkan memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

(2) Jika yang menjadi sasaran adalah PSK, maka langkah itu bias gender karena hanya menjadikan perempuan (baca: PSK) sebagai objek dan mengabaikan laki-laki.

(3) HIV/AIDS tidak bisa diketahui melalui pengontrolan kesehatan PSK karena seorang PSK yang mengidap HIV/AIDS tidak menunjukkan penyakit atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisiknya.

(4) Mengontrol identitas laki-laki yang sanggama dengan PSK merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Perlu diketahui yang dilakukan di lokalisasi pelacuran yang dibentuk dengan regulasi adalah program yang sitematis. Program tsb., dikenal sebagai ’wajib kondom 100 persen bagi laki-laki yang melakukan hubunga seksual dengan PSK’, sudah berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Thailand.

Program tsb. bisa jalan dengan efektif melalui cara: (a) pelacuran dilokalisir, (b) germo atau mucikari diberikan surat izin usaha sebagai alat untuk menjerat pelanggaran, (c) pemantauan yang konkret yaitu melakukan tes IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamida, jengger ayam, dll.) kepada PSK, dan (d) jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS germo akan menerima hukuman sesuai dengan yang disepakati dalam surat izin usaha.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Subang sampai Maret 2013 tercatat 608 yang terdiri atas 205 HIV dan 354 AIDS. Dari jumlah tsb. HIV/AIDS terdeteksi pada 25 balita.

Data itu menunjukkan ada 25 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS dan ada lagi 25 suami yang juga pengidap HIV/AIDS. Kalau 25 suami itu mempunyai istri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Disebutkan oleh Suwata bahwa separuh dari jumlah total penderita HIV/AIDS di Kab Subang, berada di Subang Kota. Jumlah tersebut akan bertambah seiring dinamika kehidupan masyarakat Subang.

Penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, bukan karena dinamika masyarakat tapi karena perilaku seks orang per orang, terutama laki-laki dewasa yang sering melacur di Subang atau di luar Subang. Laki-laki yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Hal itu terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada keluhan kesehatan dan gejala yang khas AIDS pada fisik mereka.

Program yang perlu dilakukan Pemkab Subang adalah merancang program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat.

Tanpa program yang konkret dan sistematis, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Subang akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Risiko AIDS Melalui Seks Penis ke Mulut dan Seks Mulut ke Vagina

Tanya-Jawab AIDS No  11/Mei 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: (1) Apakah ada risiko tertular HIV kalau penis dioral oleh PSK (pekerja seks komersial-pen.)? (2) Apakah risiko tertular HIV lebih besar melalui seks anal daripada seks oral dan seks vaginal? (3) Jika saya mengoral vagina PSK dan PSK mengidap IMS atau HIV/AIDS, apakah ada risiko saya tertular? (4) Apa ciri-ciri tertular IMS dan HIV/AIDS? (5) Apakah IMS dan HIV tidak akan menular kalau hubungan seksual dilakukan dalam ikatan pernikahan yaitu dengan satu pasangan saja?

Via SMS (10/5-2013)


Jawab: (1) Dalam air liur ada HIV, tapi konsentrasinya tidak cukup untuk ditularkan. Belum ada laporan kasus penularan HIV melalui seks oral dikenal sebagai fellatio. Tapi, penyakit lain ada dalam air liur dan ada kemungkinan terjadi penularan.

(2) Risiko penularan HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pengidap HIV/AIDS melalui seks anal lebih besar kemungkinannya daripada melalui seks vaginal dan seks oral. Ini terjadi karena permukaan anus lebih mudah terjadi perlukaan saat hubungan seksual sehingga ada ‘pintu masuk’ bagi HIV untuk masuk ke yang menganal atau yang dianal. Ketika seks anal tidak ada cairan seperti yang terjadi jika seks vaginal.

(3) Mengoral vagina, dikenal sebagai cunnilingus PSK yang mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, dll.) ada risiko penularan. Tapi, pada PSK yang mengidap HIV/AIDS belum ada laporan penularan melalui kegiatan mulut ke vagina. Yang perlu diingat dalam cairan vagina ada konsentrasi HIV yang bisa ditularkan sehingga ada kemungkinan terjadi penularan jika di bibir dan lidah ada luka-luka (luka-luka yang dimaksud adalah luka mikroskopis yaitu luka yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop, contohnya perih pada gusi ketika kumur-kumur setelah gosok gigi).

(4) Tidak ada tanda, ciri, atau gejala-gejala yang khas AIDS pada orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (masa AIDS secara statistik terjadi setelah tertular HIV antara 5-15 tahun). Biar pun tidak ada gejala ybs. sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(5) Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ‘jajan’, selingkuh, ‘seks bebas’, dll.).

Terkait dengan risiko Anda semua terpulang kepada kejujuran Anda sendiri: Jika Anda hanya melakukan seks oral maka risiko tertular HIV/AIDS sangat kecil, tapi kalau Anda pernah atau sering melakukan seks vaginal tanpa kondom dengan PSK maka Anda berisiko tertular HIV. Jika ini yang terjadi, maka Anda dianjurkan untuk menjalani tes HIV secara sukrela di Klinik VCT (tempat tes HIV gratis dengan konseling dan kerahasiaan) yang ada di rumah sakit umum di daerah Anda.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap





26 Mei 2013

HIV/AIDS di Sukoharjo, Jateng: Laki-laki Dewasa Menyebarkan, Pelajar Jadi Sasaran Sosialisasi


Tanggapan Berita (27/5-2013) – “Dari jumlah penderita mayoritas generasi muda. Sedangkan faktor menularnya HIV/AIDS adalah virus dan pola penularan terjadi karena hubungan seks bebas ataupun pemakaian jarum suntik yang tak steril atau dari penderita ke orang sehat.” Ini pernyataan dalam berita “Penderita HIV/AIDS di Sukoharjo Capai 133 Orang, Pelajar Diajak Perangi Pergaulan Bebas” di www.solopos.com (25/5-2013).

Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan di atas, yaitu:

(1) Disebutkan cara penularan HIV ‘karena hubungan seks bebas’. Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, jajan, selingkuh, ‘seks bebas’, dll.).

(2) Disebutkan pula cara penularan HIV melalui ‘pemakaian jarum suntik yang tak steril atau dari penderita ke orang sehat’. Ini juga tidak akurat karena bukan karena tidak steril, tapi karena dalam jarum suntik dan tabung ada darah yang mengandung HIV. Kondisi ini biasanya terjadi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian.

Informasi yang tidak akurat itulah yang membuat banyak orang tidak mengetahui cara penularan dan pencegahan  HIV yang benar.

Data kasus kumulatif HIV/AIDS di ‘Kota Makmur’ yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sukoharjo, Guntur Subiyantoro, sampai Mei 2013 mencapai 133 dengan 58 kematian.

Disebutkan terkait dengan kondisi itu digelar aksi Dasiat (pemuda siaga sehat) di halaman SMAN 1 Sukoharjo. Ini dimaksudkan, seperti dikatakan oleh Guntur, diharapkan mampu meminimalisasi pergaulan bebas.

Langkah Guntur ini tidak menyentuh akar persoalan karena yang menyebarluaskan HIV/AIDS adalah laki-laki dewasa. Mereka menularkan HIV ke pekerja seks komersial (PSK) dan ada pula yang tertular HIV dari PSK.

Kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi menunjukkan perilaku suami mereka yang berisiko tertular HIV, al. melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Yang perlu dilakukan adalah program yang konkret yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. Ini dapat dilakukan melalui program ‘wajib memakai kondom’ bagi laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Tanpa program ‘wajib memakai kondom’ bagi laki-laki yang melacur, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi.

Pada gilirannya kelak Pemkab Sukoharjo tingga menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
     

Takut Tertular HIV/AIDS Setelah ‘ML’ 30 Detik dengan PSK


Tanya-Jawab AIDS No 10/Mei 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya sudah melakukan kegiatan berisiko dengan pekerja seks komersial (PSK) hanya sekitar 30 detik saja. Saya baru melakukan hal yang berisiko tsb. hanya sekali itu saja. (1) Apakah saya sudah tertular HIV? (2) Berapa persen kemungkina saya tertular kalau risiko tertular 1:100? Setelah seminggu melakukan perilaku berisiko tsb. saya masih sehat. (3) Apa yang harus saya lakukan? (4) Kalau tes HIV baru bisa dilakukan tiga bulan lagi, apa yang harus saya lakukan menunggu waktu tsb. karena baru satu minggu yl. saya melakukannya?

Via SMS (25/5-2013)

Jawab: (1) dan (2) Semua tergantung kepada kejujuran Anda tentang lama waktu hubungan seksual dengan PSK dan berapa kali Anda sudah melakukan hubungan seksual dengan PSK. Soalnya, tingkat risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tidak bisa dihitung secara matematis. Memang, dalam 100 kali melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS ada 1 kali kemungkinan tertular. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui dengan pasti pada hubungan seksual yang keberapa terjadi penularan HIV. Bisa yang pertama, kedua, ketujuh, ketiga puluh, kesemilan puluh, dst.

Maka, setiap hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS dan PSK tanpa kondom ada risiko tertular HIV.

Begitu pula dengan lama waktu hubungan seksual tidak ada data yang akurat tentang pada detik atau menit keberapa terjadi penularan HIV pada hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(3) dan (4) Standar prosedur tes HIV yang baku hasil tes akurat jika dilakukan minimal tiga bulan setelah tertular HIV. Ya, tiga bulan setelah melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Jika laki-laki dengan: (a) perempuan yang berganti-ganti, (b) perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan perempuan pelaku kawin-cerai, sedangkan jika perempuan dengan: (c) laki-laki yang berganti-ganti, dan (d) laki-laki pelaku kawin-cerai.

Ada tes yang bisa dilakukan segera setelah melakukan kegiatan (a), (b), (c) dan (d) yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR). Biayanya mahal dan hanya ada di rumah sakit atau laboratorium tertentu.

Untuk mengatasi kerisauan Anda, silakan konsultasi ke Klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit umum di tempat tinggal Anda.

Kalau ada kesulitan, silakan kabari.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap