25 Mei 2013

Di Kab Kediri, Jatim: HIV/AIDS Ditanggulangi di Hilir


Tanggapan Berita (26/5-2013) –  “ …. temuan itu memang tinggi, tapi diperkirakan masih banyak yang belum ditemukan. Padahal, jika ada temuan dini, potensi untuk pengobatan juga lebih besar. Mereka bisa terpantau, terutama oleh petugas kesehatan.” Ini pernyataan Kepala Seksi Pemberatasan Penyakit Menular Langsung (P2ML) Dinkes Kabupaten Kediri, Nur Munawaroh, dalam berita “Mencemaskan, Kasus HIV-AIDS di Kediri Capai Ratusan” di republika.co.id (25/5-2013).

Disebutkanbahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Kediri, Jawa Timur (Jatim) sampai tahun 2013 mencapai 471 dengan 139 kematian.

Ada data yang tidak masuk akal yaitu disebutkan bahwa 95 persen penularan terjadi melalui hubungan seksual bukan dengan pasangan resmi. Dari jumlah tsb. Disebutkan bahwa ada 74 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Itu artinya 15,71 persen. Maka, sebagian besar dari ibu-ibu rumah tangga itu pun tertular dari laki-laki yang bukan suami atau pasangan resminya. Ini fantastis.

Pernyataan “ …. jika ada temuan dini, potensi untuk pengobatan juga lebih besar” merupakan langkah di hilir. Artinya, Dinkes Kediri menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV/AIDS baru ditangani.

Di bagian lain juga disebutkan oleh Nur bahwa ” .... pemerintah terus intensif untuk melakukan pendampingan dan temuan kasus. Saat ini, sudah terdapat dua tempat untuk pemeriksaan di antaranya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pelem, Kecamatan Pare dan Puskesmas Gurah.”

Langkah itu pun jelas terjadi di hilir. Lagi-lagi Pemkab hanya menunggu penduduk Kediri tertular HIV baru ditangani.

Padahal, yang diperlukan adalah program di hulu yaitu menanggulangi insiden infeksi HIV baru, al. menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Disebutkan bahwa dari 471 kasus HIV/AIDS di Kab Kediri al. terdeteksi pada 199 PSK. Itu artinya ada 199 laki-laki dewasa yang menularkan HIV kepada 199 PSK tsb. Selanjutnya 199 PSK pengidap HIV/AIDS itu pun menularkan HIV kepada ribuan laki-laki (Gambar 1).

Celakanya, Pemkab Kediri tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur dengan 199 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Akibatnya, ribuan perempuan berisiko tertular HIV yang kelak berlanjut pada penularan HIV kepada bayi yang dikandung istri-istri yang tertular HIV dari suaminya.

Dalam kaitan itulah diperlukan intervensi berupa program yang konkret, al. (1) pemakaian kondom pada laki-laki jika melakukan hubungan seksual dengan PSK, dan (2) pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Untuk menjalankan program nomor 1 PSK harus ada di lokalisasi pelacuran agar penerapan hukum bisa dijalankan.

Sedangkan untuk program nomor 2 diperlukan program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Sudah bisa dipastikan program nomor 1 tidak akan bisa dijalankan karena Pemprov Jawa Timur mempunyai program untuk menutup semua lokasi pelacuran di Jatim. Maka, praktek pelacuran pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang kelak akan menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS karena tidak bisa dijangkau untuk program kondom.

Yang tidak jelas adalah: Apakah suami 74 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sudah mejalani rtes HIV?

Kalau jawabannya tidak, maka 74 suami itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat (Gambar 2).


Itu artinya kalau 74 suami itu menularkan HIV kepada PSK, maka ribuan laki-laki lain berisiko tertular HIV.

Untuk itulah diperlukan program yang konkret yaitu program ‘wajib kondom’ pada laki-laki yang melacur agar insiden infeksi HIV bisa diturunkan.

Tapi, jika Pemkab Kediri tidak melakukan intervensi yang konkret terhadap laki-laki di pelacuran, maka insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang pada gilirannya akan menyebarkan HIV/AIDS kepada istri mereka yang akan bermuara pada anak-anak.

Kalau hal itu terjadi, maka Pemkab Kediri tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

HIV/AIDS di Sumenep, Madura, Jatim: Jembatan Suramadu Jadi ‘Kambing Hitam’



* “Kambing hitam” adalah penyangkalan terhadap perilaku seks, terutama laki-laki, berisiko tertular HIV/AIDS

Tanggapan Berita (26/5-2013) –Selain itu, sejak dioperasikan jembatan Suramadu yang menghubungkan daratan Madura dengan Surabaya juga diyakini menjadi penyebab cepat tersebarnya virus HIV/AIDS. “Secara tidak langsung jembatan Suramadu memberikan akses cepat penyebaran virus itu.” Ini pernyataan Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, Dinkes Sumenep, Dwi Regnani, dalam berita “Penderita di Sumenep makin meningkat. Jembatan Suramadu dianggap percepat akses penyebaran HIV/AIDS” di lensaindonesia.com (25/5-2013).

Terkait dengan pernyataan Dwi di atas ada beberapa pertanyaan, yaitu:

(1) Berapa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi sebelum Jembatan Suramadu dioperasikan?

(2) Berapa kasus HIV/AIDS yang terdeteksi sestelah Jembatan Suramadu dioperasikan?

(3) Bagaimana sistem penjangkauan terhadap penduduk berperilaku berisiko untuk tes HIV sebelum Jembatan Suramadu dioperasikan?

(4) Berapa fasilitas tes HIV yang tersedia sebelum Jembatan Suramadu dioperasikan?

(5) Bagaimana sistem penjangkauan terhadap penduduk berperilaku berisiko untuk tes HIV setelah Jembatan Suramadu dioperasikan?

(6) Berapa fasilitas tes HIV yang tersedia setelah Jembatan Suramadu dioperasikan?

Kalau saja wartawan yang menulis berita bertanya kepada Dwi dengan enam pertanyaan di atas, maka berita pun akan lebih komprehensif karena merupakan realitas sosial bukan hanya pada tataran opini seperti yang ditulis wartawan tsb. dalam berita ini.

Jika ada penduduk yang terdeteksi HIV pada masa AIDS setelah Jembatan Suramadu dioperasikan, itu membuktikan bahwa ybs. tertular HIV sebelum jembatan itu diopersikan. Soalnya, seseorang terdeteksi HIV, melalui tes HIV, pada masa AIDS berarti ybs. sudah tertular HIV antara 5-15 tahun sebelumnya.

Disebutkan bahwa jumlah warga kabupaten Sumenep yang terinveksi virus HIV/AIDS terus meningkat. Menjelang pertengahan tahun 2013 ini, penderita virus mematikan itu sudah mencapai 46 orang.

Secara faktual yang meningkat adalah jumlah kasus yang dilaporkan. Ini terjadi karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka yang dilaporkan tidak akan pernah turun atau berkurang biar pun semua penderitanya meninggal.

Yang menjadi persoalan besar adalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perialku berisiko yaitu melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan: (1) perempuan yang berganti-ganti di Sumenep atau di luar Sumenep, dan (2) perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), di Sumenep atau di luar Sumenep.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi membuktikan suami mereka melakukan salah salah satu atau kedua perilaku di atas.

Celakanya, yang menjadi sasaran asalah kaum muda, seperti disebutkan dalam berita yaitu sebab itu, untuk menekan jumlah penderita HIV/AIDS, pihaknya mengaku akan terus meningkatkan sosialisasi tentang penyebab tertularnya virus HIV/AIDS tersebut. “Terutama kepada kaum muda, sosialisasi itu akan gencar dilakukan,” jelas Dwi

Lagi-lagi kaum muda jadi sasaran tembak untuk menutupi kebejatan sebagian laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko di Sumenep atau di luar Sumenep.

Jika Pemkab Sumenep tidak menjalankan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Sumenep. Kondisi ini kelak akan berakhir pada ‘ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

23 Mei 2013

Ratusan Pelaku Usaha sebagai Penular HIV/AIDS di Prov Riau


Tanggapan Berita (24/5-2013) – “Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Riau menyatakan ratusan pelaku usaha di daerah itu terdaftar sebagai Orang dengan HIV dan AIDS (Odha) selain juga ada kalangan ibu rumah tangga serta ragam kalangan lainnya.” Ini lead pada berita “Ratusan Pengusaha Riau Terjangkit HIV/AIDS” di republika.co.id (23/5-2013).

Disebutkan bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Riau tercatat 1.892 yang terdiri atas 1.030 HIV dan 862 AIDS.

Masa AIDS adalah suatu kondisi ketika seseorang yang tertular HIV sudah menunjukkan gejala-gejala terkait AIDS, seperti ruam, jamur di mulut, diare, TBC, dll. Masa AIDS terjadi secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV (Lihat Gambar).

Maka, kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ratusan pelaku usaha merupakan konsekuensi logis dari status sosial ekonomi mereka, yaitu memilik uang untuk membeli seks dan mobilitas yang tinggi.

Selain itu kasus HIV yang terdeteksi pada AIDS atau pengidap HIV yang sekarang ada pada masa AIDS bisa jadi tertular di tahun 1990-an. Gejala AIDS pada mereka terdeteksi di tahun 2000-an (Gambar 1).

Memulangkan PSK AIDS

Celakanya, ada mitos (anggapan yang salah) yang berkembang di Indonesia yaitu risiko tertular HIV melalui hubungan seksual hanya terjadi jika hubungan seksual dilakukan dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokasi atau lokalisasi pelacuran. PSK ini dikenal sebagai PSK langsung.


Akibatnya, banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang memilih ‘cewek’ (baca: PSK tidak langsung) di luar lokasi pelacuran, seperti cewek pub, cewek kafe, cewek disko, cewek karaoke, mahasiswi, cewek ABG, atau ‘ibu-ibu rumah tangga’. Belakangan dikenal pula cewek berupa gratifikasi seks.

Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung sama saja jika laki-laki tidak memakai kondom.

Bahkan, PSK langsung di beberapa lokasi pelacuran risiko mereka tertular HIV lebih kecil karena ada penjangkauan dari LSM untuk sosialisasi kondom sehingga ada PSK yang hanya mau melayani laki-laki kalau pakai kondom.

Di tahun 1990-an Pemerintah Daerah Riau, termasuk Kepulauan Riau sekarang, memulangkan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ke kampung halamannya, al. ke Kab Karawang, Jawa Barat (Lihat: Duka Derita Seorang Perempuan Pengidap HIV/AIDS di Karawang, Jawa Barat-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/duka-derita-seorang-perempuan-pengidap.html dan Keluarga Pengidap HIV/AIDS di Karawang Dicerai-beraikan Media Massa*-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/keluarga-pengidap-hivaids-di-karawang.html).

Dalam pikiran penguasa Riau ketika itu langkah tsb. merupakan cara untuk ‘membasmi’ HIV/AIDS dari Riau. Tapi, ada fakta yang luput dari perhatian, yaitu:

Pertama, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi HIV itu tertular dari laki-laki penduduk Riau. Ini artinya laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK itu, bisa sebagai suami, menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Riau, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kedua, ada kemungkinan PSK yang terdeteksi HIV itu tertular HIV di luar Riau. Ini artinya laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan  PSK tsb., bisa sebagai suami, berisiko tertular HIV. Laki-lak ini pun menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Riau, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Bukti penyebaran al. bisa dilihat dari kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi.

Ratusan pelaku usaha pengidap HIV/AIDS tsb. menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di Prov Riau, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ratusan pelaku usaha itu tertular HIV dari PSK langsung atau PSK tidak langsung di Riau atau di luar Riau. Lalu mereka pun akan menualarkan HIV ke PSK dan istri. Selanjutnya, PSK yang tertular HIV dari ratusan pelaku usaha itu pun akan menualarkan HIV kepada puluhan ribu laki-laki yang mereka layani tanpa kondom (Gambar 2).

“ ,… penderita setiap tahunnya terus mengalami peningkatan, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang bersedia untuk menjalani pengobatan di rumah sakit pemerintah.” Ini pernyataan Sekretaris KPA Riau dr Mursal Amir.

Sebagai sekretaris KPA tentulah dr Mursal memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru sehingga angka kasus yang dilaporkan tidak akan pernah berkurang atau turun biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.

Stigma dan Diskriminasi

Yang jadi persoalan besar adalah insiden infeksi HIV baru yang terus terjadi karena Pemprov Riau tidak menjalankan program yang konkret dan sistematis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung. Dalam Perda AIDS Prov Riau pun tidak ada cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Provinsi Riau-http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-provinsi-riau.html).

Program penanggulangan berupa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui pelacuran tidak bisa dijalankan karena praktek pelacuran di Riau tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan penjangkauan (Gambar 3).


Program untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru hanya bisa dilakukan melalui intervensi pada laki-laki yang melacur di lokalisasi pelacuran.

Intervensi lain adalah keharusan memakai kondom bagi suami yang melacur tanpa kondom jika sanggama dengan istrinya. Tapi, hal ini mustahil dilakukan.

Selanjutnya adalah program yang realistis adalah pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Persoalannya adalah Pemprov Riau tidak mempunyai program yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil.

Disebutkan bahwa ” .... hanya sebagian kecil dari mereka (pengidap HIV/AIDS-pen.) yang bersedia untuk menjalani pengobatan di rumah sakit pemerintah.”  Tentu patut dipertanyakan mengapa hal itu terjadi. Bisa jadi di rumah sakit pemerintah identitas mereka tidak dijamin sehingga dipublikasikan melalui media massa.

Seperti diketahui Odha akan menerima stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) di masyarakat jika identitas mereka disebarluaskan.

Disebutkan pula oleh dr Murslah: "Namun laporan itu tidak seutuhnya benar dan akurat (data kasus-pen.) karena masih minimnya kesadaran Odha untuk melaporkan kasus yang dialaminya ke KPA atau Dinas Kesehatan.”

Pernyataan ini tidak akurat karena orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV di klinik VCT otomatis akan terdaftar di dinas kesehatan, sedangkan KPA mendapatkan laporan kasus dari dinas kesehatan.

Menurut dr Mursal, untuk mengantisipasi penyebaran virus mematikan jenis HIV dibutuhkan dukungan dari seluruh pihak dan ragam kalangan. "Khususnya pihak keluarga atau orang tua agar terus mengawasi pergaulan anak-anaknya jangan sampai terjerumus dalam pergaulan bebas yang akhirnya melakukan hubungan seks diluar nikah hingga penggunaan narkoba."

HIV bukan virus yang mematikan karena kematian pada Odha terjadi di masa AIDS bukan karena HIV atau AIDS, tapi karena penyakit-penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Yang mendesak dilakukan Pemprov Riau adalah menjalankan program yang konkret berupa intervensi: pemakaian kondom pada laki-laki yang melacur, dan pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandung dengan program pendeteksian HIV/AIDS pada perempuan hamil yang sistmatis.

Jika Pemprov Riau tidak menjalankan program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Riau akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

22 Mei 2013

Laporan Jumlah Penderita AIDS yang Semu di Kota Magelang


Tanggapan Berita (23/5-2013) –  "Itu yang tercatat nama maupun alamatnya. Sesuai aturan kami tidak boleh menyebutkan identitasnya termasuk jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan." Ini pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kota Magelang, Prov Jawa Tengah (Jateng), Drs Surasmono, MM, tentang jumlah penderita HIV/AIDS di Kota Magelang saat ini yang mencapai 49 dalam berita ”Penderita HIV/AIDS di Magelang Capai 49 Orang” di suaramerdeka.com (21/5-2013).

Pernyataan Surasmono ini ngawur karena jenis kelamin, umur, faktor risiko, dan infeksi oportunistik pengidap HIV/AIDS bukan rahasia atau fakta privat sehingga boleh dipublikasikan tanpa izin ybs. Yang tidak boleh dipublikasikan adalah nama jelas dan alamat lengkap.

Sangat disayangkan sekretaris KPA pun tidak memahami HIV/AIDS secara benar. Sudah bisa dipastikan program yang dijalankan KPA Kota Magelang pun hanya sebatas jargon moral yang menjadi orasi politis.

Celakanya, wartawan yang menulis berita ini pun tidak melakukan pengamatan di lapangan, al. (1) tingkat pelacuran, (2) tingkat pemakaian kondom, dan (3) kasus IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) di puskesmas dan rumah sakit.

Kalau wartawan mengamati tiga hal itu maka berita yang ditulis akan lebih akurat karena menggambarkan fakta berupa perilaku laki-laki yang berisiko tertular HIV.

Jumlah kasus 49 itu adalah yang terdeteksi. Di masyarakat ada kasus yang tidak terdeteksi yang disebutkan 200. Angka ini pun sebagai estimasi yang tidak akurat karena tidak ada jaminan bahwa tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Magelang yang melacur tanpa kondom di Kota Magelang atau di luar Kota Magelang.

Yang menjadi pertanyaan adalah: Apa program KPA Kota Magelang untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat?

Nah, ini pun tidak ditanya wartawan sehingga tidak memberikan gambaran tentang upaya mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Ini pernyataan Surasmono: "Yang jelas penularannya disebabkan karena hubungan seks bebas berganti-ganti pasangan, transfusi darah, jarum suntik yang digunakan bergantian oleh pecandu narkoba dan air susu ibu."

Pernyataan tentang penularan melalui hubungan seksual yang disampaikan Surasmono tidak akurat. Risiko tertular melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).

Ini juga pernyataan Surasmono: "Yang mengerikan seperti itu. Jabang bayi yang tidak berdosa terkena HIV/AIDS karena perbuatan ayahnya. Juga ibu terkena kemudian memberi air susu ibu maka bayinya akan tertular." 

Tidak ada kaitan dosa dengan penularan HIV karena penularan HIV juga terjadi melalui transfusi darah yang sama sekali tidak terkait dengan dosa. Lagi pula apakah yang berdosa harus tertular HIV? Pernyataan Surasmono itu mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

"Rumah sakit di Kota Magelang belum ada pengobatan HIV/AIDS. Kami sedang mengusulkan ke Pemprov Jateng dan pemerintah pusat supaya RSU Tidar dan RS Tentara dr Sudjono dilengkapi fasilitas pengobatan penyakit tersebut." Lagi-lagi ini pernyataan Surasmono yang juga tidak akurat.

Tidak semua Odha harus menjalani pengobatan. Yang menjalani pengobatan adalah mereka yang sudah masuk masa AIDS yaitu memerlukan obat antiretroviral (ARV) serta Odha yang menderita penyakit lain, seperti diare dan TBC. Tapi, tidak diperlukan fasilitas khusus karena penanganannya sama saja dengan penyakit menular lain.

Yang diperlukan di Kota Magelang adalah Klinik VCT yaitu tempat khusus untuk tes  HIV secara sukarela yang gratis dengan bimbingan dan kerahasiaan.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Risiko Tertular HIV/AIDS pada PSK Jalanan dan PSK Kelas Atas

Tanya-Jawab AIDS No 9/Mei 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Apakah PSK yang berkelas dengan tarif jutaan rupiah lebih bebas IMS dan HIV daripada PSK jalanan yang tidak memperhatikan kesehatan?

Via SMS (26/4-2013)

Jawab: Setiap orang baik pekerja seks komersial (PSK) atau bukan PSK berisiko tertular HIV, jika:

(1) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti.
(2) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti.

(3) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti, seperti PSK serta waria.

Nah, PSK kelas atas dengan tarif jutaan rupiah pun bisa berisiko tinggi tertular HIV kalau dia melayani laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom. Sebaliknya, seorang PSK jalanan yang hanya melayan laki-laki yang memakai kondom maka risiko tertular HIV sangat kecil.

Biar pun rutin memeriksa kesehatan, tapi infeksi HIV/AIDS tidak bisa dideteksi karena HIV hanya bisa dideteksi dengan tes HIV. Yang perlu diingat hasil tes HIV hanya berlaku saat darah diambil untuk tes HIV. Artinya, biar pun ketika tes HIV hasilnya negatif itu tidak jaminan selamanya akan negatif karena bisa saja setelah tes ybs. melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV.

Maka, melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK selalu berisiko tertular IMS dan HIV.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap


21 Mei 2013

460 PSK di Kab Indramayu, Jabar, Mengidap HIV/AIDS



Tanggapan Berita (22/5-2013) – Salah satu alasan mengapa identitas pengidap HIV/AIDS, disebut sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS), dirahasiakan adalah mereka akan mendapatkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) di sarana kesehatan dan di masyarakat jika identitas mereka dipublikasikan.

Hal tsb. dialami oleh beberapa perempuan di Kab Indramayu, Jawa Barat, seperti yang diungkapkan dalam berita “Ibu-ibu dengan HIV di Indramayu Merasa Diperlakukan Diskriminatif” (detikHealth, 21/5-2013).

Data Dinas Kesehatan KabIndramayu menunjukkan bahwa kasus HIV/AIDS terdeteksi pada kalangan pekerja seks komersial (PSK) yaitu 460 kasus, dan pada ibu rumah tangga 120 kasus, dan  wiraswasta 141 kasus.

Perempuan-perempuan Odha itu mengaku sulit mendapakan pekerjaan. Selain itu mereka pun selalu dikaitkan dengan PSK. Selama ini informasi HIV/AIDS yang disebarluaskan selalu dikaitkan dengan PSK.

Padahal, ada fakta yang digelapkan melalui materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang selama ini disebarluaskan oleh berbagai kalangan, seperti pemerintah, LSM, dll., yaitu yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari justru sebagai seorang suami. Lalu ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang sudah mengidap HIV/AIDS karena tertular dari laki-laki.

Sayang, dalam berita itu tidak ada penjelasan: Mengapa status HIV/AIDS beberapa perempuan itu diketahui masyarakat?

Celakanya, wartawan tidak bertanya kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, Dr Dedi Rohendi, MARS, yang menjadi narasumber berita tsb.

Disebutkan oleh dr Dedi bahwa perlakuan diskriminatif terhadap Odha terjadi karena keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS.

Kondisi itu terjadi karena sosialisasi informasi HIV/AIDS selama ini dibumbui dengan moral sehingga masyarakat tidak menangkap fakta tapi mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang justru mendorong stigma dan diskriminasi.

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini memahami epidemi HIV, tentulah fakta tentang jumlah PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS justru menjadi isu utama karena ada dua hal yang terkait, yaitu: (1) HIV/AIDS pada 460 PSK itu tertular dari laki-laki dewasa, dan (2) Sudah banyak laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK tsb. (Lihat Gambar).

Pertama, 460 PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Kab Indramayu itu ada kemungkinan semua tertular dari laki-laki penduduk Kab Indramayu. Ini artinya 460 laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK itu akan menularkan HIV kepada istrinya. Jika istrinya tertular, maka ada pula risiko penularan HIV ke bayi yang dikandungnya.

Kedua, kalau setiap malam seorang PSK meladeni 3 laki-laki, maka setiap malam ada 1.380 laki-laki yang berisiko tertular HIV (460 PSK x 3 laki-laki).

Jika dikaitkan dengan tes HIV, maka seorang PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV itu artinya minimal ybs. sudah tertular HIV tiga bulan. Maka, sejak PSK itu tertular HIV sampai tes HIV sudah ada 82.800 laki-laki yang berisiko tertular HIV (460 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan).

Untuk itulah diperlukan program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Celakanya, Perda AIDS Kab Indramayu pun sama sekali tidak memberikan cara penanggulangan yang konkret (Lihat:
Perda AIDS Kab Indramayu, Jawa Barat-http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kabupaten-indramayu-jawa.html).

Pemkab Indramayu perlu membuat regulasi agar insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK bisa diturunkan. Selain itu perlu pula program yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil.

Jika Pemkab Indramayu tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

19 Mei 2013

Sebagai Alat Kontrasepsi Kondom Juga Mencegah HIV/AIDS

Catatan: Tulisan ini memberikan gambaran pada tahun 2009 sebagai perbandingan untuk kondisi sekarang.

Oleh Syaiful W. Harahap*

KASUS HIV dan AIDS yang terus terdeteksi di negeri ini men-dorong kalangan yang peduli me-mikirkan upaya untuk mencegah penyebaran HIV, khususnya melalui hubungan seks, secara konkret. Angka resmi yang dikeluarkan oleh Depkes RI sampai 30 Juni 2009 adalah 17.699 kasus AIDS. Dari jumlah itu ternyata 48,8 persen tertular melalui hubungan seks.

Estimasi kasus antara 90.000-120.000. Untuk itulah pencegahan melalaui hubungan seks menjadi salah satu prioritas utama dalam penanggulangan epidemi HIV di Indonesia.Apakah ada negara yang berhasil menurunkan infeksi HIV melalui hubungan seks? Thailand berhasil menurunkan insiden kasus infeksi HIV baru melalui hubungan seks di kalangan dewasa. Jika di tahun 1991 kasus infeksi HIV baru terdeteksi 142.819, maka di tahun 2003 kasus baru yang terdeteksi 23.676. Ini artinya terjadi penurunan 83,42 persen.

Apa yang dilakukan Thailand untuk menurunkan kasus infeksi HIV? Thailand menjalankan program wajib memakai kondom 100 persen pada hubungan seks di lingkungan industri seks, seperti lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sejak tahun 1989.

KONSUMSI KONDOM

Program itu memaksa laki-laki memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko, yaitu hubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK). Kalau di awal program pemakaian kondom secara nasional di Thailand hanya 14 persen, maka pada tahun 1992 meningkat menjadi 90 persen. Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 3,3 juta laki-laki yang menjadi pelanggan PSK, tapi hanya 1,3 persen dari mereka yang memakai kondom pada saat melakukan hubungan seks dengan PSK.

Diperkirakan penggunaan kondom yang meningkat di Thailand mencegah lima juta infeksi HIV baru. Kasus IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll.) di Thailand juga turun berkat peningkatan pemakaian kondom di industri seks dari 400.000 kasus/tahun menjadi di bawah 15.000 kasus/tahun sejak tahun 2000.

Kontrol ketaatan terhadap pemakaian kondom dilakukan melalui survailans tes IMS rutin terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan PSK. Ada sanksi untuk pengelola lokalisasi atau rumah bordir mulai dari peringatan sampai penutupan usaha.

Keengganan memakai kondom pada hubungan seks berisiko dapat dilihat dari kasus infeksi HIV yang tinggi. Ini terjadi di Cina. Penelitian Durex (2003) menunjukkan 70 persen laki-laki tidak memakai kondom pada hubungan seks berisiko. Maka, jangan heran kalau kemudian kasus HIV/AIDS di Cina terbesar kedua di Asia setelah India.

Sedangkan di Prancis hanya sembilan persen laki-laki yang enggan memakai kondom. Sedangkan di Jepang 70 persen laki-laki memakai kondom sebagai alat kontrasepsi. Kebiasaan laki-laki di Negeri Mata Hari Terbit ini pun membuat kasus HIV/AIDS di Negeri Sakura itu kecil. Di Indonesia dari 50 juta peserta Keluarga Berencana (KB) hanya 0,9 persen yang menggunakan kondom. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian kasus infeksi HIV mulai banyak dideteksi di kalangan ibu-ibu rumah tangga.Fakta yang menunjukkan penurunan risiko terinfeksi HIV melalui hubungan seks jika memakai kondom mendorong banyak orang di beberapa negara untuk memakai kondom pada hubungan seks berisiko.

Kesadaran ini meningkatkan penjualan kondom. Dengan penduduk 90 juta jiwa Thailand menghabiskan 200 juta kondom/tahun (2,2 kondom per kapita/tahun), sedangkan di Malaysia dengan jumlah penduduk 30 juta jiwa terjual 100 juta kondom/tahun (3,3 kondom per kapita/tahun). Sedangkan di Indonesia dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa ’konsumsi’ kondom hanya 100 juta/tahun (0,43 konom per kapita/tahun). Program wajib kondom 100 persen itu kemudian diterapkan pula oleh Kamboja, Vietnam, Cina, Myanmar, Filipina, Mongolia, dan Republik Laos.

Mengapa tingkat pemakaian kondom untuk mencegah HIV dan alat kontrasepsi di Indonesia sangat rendah? Selama ini ada mitos (angapan yang salah) yang berkembang di masyarakat yang mengait-ngaitkan kondom dengan zina dan pelacuran. Akibatnya, pasangan suami-istri enggan memakai kondom. Selain itu ada pula mitos yang menyebutkan kondom berpori-pori. Kondom yang berpori-pori adalah kondom yang terbuat dari usus binatang dan tidak dipasarkan di Indonesia. Sedangkan kondom yang beredar di Indonesia terbuat dari getah lateks sehingga tidak ada berpori-pori.

Ketika program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mengedepankan kondom sebagai salah satu alat mencegah penularan HIV mulailah muncul penolakan besar-besaran dari berbagai kalangan. Protes keras kembali berkumandang ketika kondom dipromosikan sebagai alat untuk mencegah penularan HIV pada hubungan seks berisiko, dalam bahasa moral zina atau pelacuran. Target sosialisasi kondom itu pas dan realistis. Tapi, karena selama ini masyarakat sudah dijejali dengan informasi HIV/AIDS yang ngawur (dikait-kaitkan dengan norma, moral, dan agama) sehingga yang dipahami masyarakat luas hanya mitos tentang HIV/AIDS.

Akibatnya, yang muncul justru protes terhadap promosi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV.

LEDAKAN PENDUDUK

Promosi kondom itu pun ternyata diadopsi dari program nasional penanggulangan HIV/AIDS Thailand. Dalam program penanggulangan AIDS yang komprehensif di Thailand ternyata promosi kondom itu merupakan program terakhir. Thailand menjalankan program penanggulangan terpadu yang dijalankan secara konsisten. Dimulai dengan penyebarluasan informasi HIV/AIDS yang akurat melalui media massa secara terus-menerus yang diikuti dengan program lain secara bersamaan.

Sedangkan di Indonesia program terakhir di Thailand itu dijadikan program utama di saat masyarakat belum memahami cara-cara penanggulangan epidemi HIV secara akurat. Penyebarluasan informasi HIV/AIDS yang akurat pun tidak dilakukan secara konsisten melalui media massa. Begitu pula program lain juga dijalankan secara parsial dan tidak terpadu.

Program-program penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan di Indonesia selalu diwanti-wanti agar memperhatikan norma, budaya dan agama. Padahal, pencegahan HIV merupakan fakta medis yang realistis yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan norma, budaya dan agama. Penularan HIV melalui hubungan seks dapat terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta. Tapi, karena selama ini informasi tidak akurat maka yang diketahui masyarakat secara luas adalah HIV menular melalui zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, dan homoseksual maka sosialisasi kondom pun dikhawatirkan akan mendorong orang untuk berzina, melacur, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, dan homoseksual.

Di Thailand sasaran program wajib kondom 100 persen sangat jelas yaitu laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seks dengan PSK di lingkungan industri seks. Nah, ketika program itu ’dijalankan’ di Indonesia, al. melalui peraturan daerah (Perda), hasilnya tidak efektif karena sasarannya tidak jelas dan mekanisme kontrolnya pun tidak akurat. Selain itu muncul pula gelombang penolakan yang sangat kuat. Soalnya, di Indonesia tidak ada lokasi pelacuran yang ’resmi’ sehingga orang beranggapan memasyaratkan kondom berarti ’menyuruh’ orang berzina atau melacur. Promosi kondom juga dianggap sebagai legalisasi pelacuran.

Biar pun anggapan itu tidak benar karena laki-laki ‘hidung belang’ justru enggan memakai kondom, tapi penolakan kian keras karena kondom dipromosikan secara umum kepada masyarakat luas tanpa sasaran yang jelas. Begitu pula ketika ‘ATM Kondom’ mulai dioperasikan sebagai upaya mendekatkan alat pencegahan kepada masyarakat muncul protes yang sangat keras dengan membawa-bawa moral dan agama.

Ketika lokalisasi pelacuran ditutup di negeri ini muncullah anggapan yang moralistik bahwa negeri ini bersih dari maksiat (baca: pelacuran, zina). Padahal, secara empiris praktek pelacuran terus terjadi kapan saja (siang dan malam) dan di mana saja (rumah, losmen, hotel, dll.). Kegiatan yang luput dari perhatian inilah yang kemudian menjadi pemicu penyebaran HIV secara horizontal.

Salah satu bukti bahwa biar pun tidak ada lokalisasi pelacuran tapi tetap terjadi praktek pelacuran dapat dilihat dari jumlah ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi tertular HIV. Ini menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seks berisiko dengan pasangan seks mereka yang lain, seperti PSK atau selingkuhan.

Karena kondom merupakan alat yang berfungsi ganda yaitu sebagai alat kontrasepsi dan mencegah penularan IMS dan HIV maka akan lebih baik kalau program KB secara nasional mengedepankan kondom untuk kontrasepsi. Soalnya, tanpa KB Indonesia akan mengalami ledakan jumlah penduduk, dikenal sebagai baby booming. Tanpa KB jumlah penduduk di tahun 2015 mencapai 247,5 juta, tahun 2025 melonjak menjadi 273 juta. Jumlah penduduk yang besar ini akan berdampak terhadap pengeluaran pemerintah untuk beras, pendidikan dasar, imunisasi, kesehatan, dll. yang akan menyedot anggaran belanja negara. Pengeluaran negara akan bertambah untuk membeli obat antiretroviral (ARV) jika banyak penduduk yang tertular HIV.

Maka, dengan memakai kondom sebagai alat kontrasepsi angka kelahiran dapat ditekan sekaligus juga mencegah penularan IMS dan HIV khusus bagi suami yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.(*penulis, koresponden khusus kesehatan SKH Swara Kita di Jakarta)

[Sumber: Harian “Swara Kita”, Manado, Rabu, 25 November 2009]