Tanggapan Berita (17/5-2013) - Dengan jumlah kasus kumulatif
HIV/AIDS 2.731 yang terdiri atas 1.844 HIV dan 887 AIDS yang tercatat sampai
Maret 2013 sudah saat Pemprov Banten melakukan penanggulangan dengan cara-cara
yang konkret dan sistematis.
Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Program penanggulangan
HIV/AIDS di Prov Banten sama sekali tidak konkret sehingga insiden infeksi HIV
baru, terutama pada laki-laki dewasa, terus terjadi. Pada gilirannya laki-laki
dewasa yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Salah satu cara penularan HIV
pada laki-laki dewasa adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan
perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK), dan waria. Seperti disebutkan dalam berita “144
Warga Banten Meninggal Akibat HIV/AIDS” (Harian “Suara Pembaruan”, 11/5-2013: Penularan penderita HIV/AIDS yang ada di
Banten, umumnya karena prilaku seks yang tidak benar atau tidak dengan pasangannya.
Pada mulanya laki-laki dewasa
penduduk Banten tertular melalui hubungan seksual yang ‘tidak benar’ (baca:
dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang
sering berganti-ganti pasangan tanpa kondom). Tapi, di Banten penyebaran HIV
terjadi dalam ikatan pernikahan yaitu dari suami ke istri yang selanjutnya dari
istri ke bayi yang dikandungnya.
Di Kab Lebak, misalnya, kasus
HIV/AIDS umumnya terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Ibu-ibu rumah
tangga itu tertular HIV dari suaminya. Sebagian besar suami di Lebak bekerja di
luar daerah.
Celakanya, ketika istri atau anak
mereka terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada suami itu ‘menghilang’ sehingga tidak
bisa dijangkau untuk menjalani tes HIV. Suami-suami yang sudah menularkan HIV
ke istrinya menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui
hubungan seksual dalam pernikahan (Gambar 1).
Kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah
tangga anak-anak terdeteksi ketika mereka berobat atau dirujuk ke rumah sakit
dengan penyakit yang terkait HIV/AIDS.
Pemprov Banten sendiri tdak
mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada
perempuan hamil. Akibatnya, pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang
dikandungnya tidak bisa dilakukan. Ibu-ibu rumah tangga dan bayi terdeteksi
mengidap HIV melalui inisiatif dokter yang memeriksa mereka di rumah sakit. Dokter menyarankan tes HIV karena penyakit
yang mereka derita terkait dengan HIV/AIDS.
Maka, enam perempuan tsb. menjadi mata rantai penyebaran HIV di Kab
Tangerang khususnya dan di Prov Banten umumnya jika mereka menikah (Gambar 2).
Enam perempuan yang tidak menjalani tes HIV itu akan menyebaran HIV/AIDS
paling tidak kepada enam laki-laki yang menikahi mereka. Jika enam perempuan
itu hamil, maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang mereka kandung
kelak.
Selain tertular di luar Banten, di Banten pun ada beberapa lokasi
pelacuran, seperti di Kosambi, Kab Tangerang, di Merak, Cilegon, dan di
beberapa tempat. Selain itu ada pula praktek pelacuran yang melibatkan PSK
tidak langsung, al. cewek-cewek di bar, diskotek dan karaoke yang dilakuan di
berbagai tempat. Bahkan, di Sobang, Kab Pandeglang, ada kegiatan pelacuran yang
melibatkan waria.
Karena kegiatan pelacuran di Prov Banten tidak dilokalisir, maka tidak bisa
dilakukan intervensi untuk menerapkan program pencegahan yang efektif yaitu
memaksa laki-laki memakai kondom.
Pemprov Banten sendiri sudah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda)
penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No 6 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS. Tapi, sama seperti 65 perda lain yang ada di Indonesia Perda AIDS
Banten pun sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi
HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Provinsi Banten - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-provinsi-banten.html).
Ada tiga pilihan yang bisa dilakukan Pemprov Banten, yaitu: (1) Mengajak
semua laki-laki dewasa agar tidak ada lagi yang melacur, (2) Meminta agar
laki-laki memakai kondom jika melacur, dan (3) Meminta laki-laki yang melacur
tanpa kondom supaya memakai kondom jika sanggama dengan istri.
Pilihan nomor 1 dan nomor 3 adalah hal yang mustahil karena Pemprov Banten
tidak bisa mengawasi semua laki-laki dewasa agar tidak melacur dan yang melacur
tanpa kondom memakai kondom agar memakai kondom jika sanggama dengan istrinya.
Sedangkan pilihan nomor 2 hanya bisa dilakukan jika kegiatan pelacuran
dilokalisir sehingga intervensi bisa dilakukan dengan efektif. Cara ini sudah
membuahkan hasil di Thailand yaitu membuat aturan agar laki-laki selalau
memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual anegan PSK. Tentu saja
diperlukan pula cara pemantauan yang konkret
Langkah konkret yang bisa dilakukan oleh Pemprov Banten untuk mencegah insiden
infeksi HIV baru adalah meminta kepada semua laki-laki dewasa agar tidak ada
yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dengan perempuan yang bergante-ganti atau dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK, dan waria.
Tapi, selama Pemprov Banten tidak bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa
yang melacur sedangkan kegiatan pelacuran di Banten tidak dilokalisir, maka
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa akan terus terjadi karena mereka
tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV di Banten. Hal ini dapat dibuktikan dari penemuan kasus HIV/AIDS
pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Kelak kasus HIV/AIDS di Banten akan
bermuara pada ‘panen AIDS’.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap