09 Mei 2013

AIDS di Mimika, Papua: Tidak Ada Program Penanggulangan yang Konkret



Tanggapan Berita (10/5-2013) – Ketua Komisi B DPRD Mimika, Papua, Wilhelmus Pigai menyatakan kekhawatirannya terhadap perkembangan kasus HIV/AIDS di wilayah itu dan mendesak pemerintah daerah untuk memberi perhatian lebih serius. Ini ada dalam berita “Kasus HIV/AIDS di Mimika mengkhawatrikan” (www.waspada.co.id, 7/5-2013).

Selama program penanggulangan HIV/AIDS yang dijalankan oleh Pemkab Mimika, Prov Papua, tidak konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi.

Persoalan besar yang terjadi di Kab Mimika, dan daerah lain di Indonesia adalah insiden infeksi HIV baru yang terus terjadi pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), terutama PSK langsung di lokasi pelacuran.

Insiden infeksi HIV baru terjadi karena laki-laki dewasa tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, Pemprov Papua mengganti kondom dengan sunat (sirkumsisi). Padahal, sunat tidak mencegah penularan HIV pada saat hubungan seksual tapi hanya menurunkan risiko.

Akibatnya, sebagian laki-laki dewasa Papua yang disunat merasa sudah memakai ‘kondom’ sehingga mereka tidak lagi memakai kondom ketika melacur. Akibatnya, hal itu mencelakai diri mereka karena berisiko tinggi tertular HIV.

Data di KPA Mimika menunjukkan sampai September 2012 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS mencapai 3.184. Dari jumlah ini hanya 56 persen yang sudah meminum obat antiretroviral (ARV).

Kondisinya kian parah karena Perda AIDS Kab Mimika pun sama sekali tidak memberikan cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kab Mimika - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kab-mimika-papua.html).

Bahkan, Perda AIDS Prov Papua pun sama sekali tidak memberikan cara-cara yang konkret dan sistematis untuk menanggulangi AIDS di Papua (Lihat: Perda AIDS Prov Papua: Tidak Ada Lokalisasi Pelacuran (di Papua) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/dalam-perda-aids-prov-papua-tidak-ada.html). 

KPA Kab Mimika melakukan langkah yang tidak komprehensif yaitu mendenda PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, dll.) sebesar Rp 4,5 – Rp 5 juta. Persoalannya adalah PSK tsb.meminjam uang kepada germo sehingga germo tetap mempekerjakan PSK untuk menutupi utang (Lihat: Di Timika, Papua, Pekerja Seks Tertular Penyakit Didenda Rp 3,5 Juta - http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/30/di-timika-papua-pekerja-seks-tertular-penyakit-didenda-rp-35-juta-459498.html).

Lagi pula KPA Mimika mengabaikan fakta yaitu laki-laki, penduduk asli lokal atau pendatang, yang menularkan IMS kepada PSK dan yang tertular IMS dari PSK. Di masyarakat laki-laki tsb. menjadi mata rantai penyebaran IMS.

Celakanya, kalau laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK juga mengidap HIV/AIDS, maka ada kemungkinan terjadi juga penularan HIV sekaligus karena cara penularan IMS dan HIV sama. Maka, laki-laki yang tertular IMS dari PSK juga ada kemungkinan tertular HIV sekaligus jika PSK tsb. juga mengidap HIV/AIDS.

Yang menjadi persoalan besar bukan dana, tapi program. Soalnya, tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yang melacur dengan PSK. Dengan dana Rp 1,5 miliar per tahun sudah lebih dari cukup untuk menanggulangi HIV/AIDS karena biaya tes HIV dan obat antiretroviral didanai oleh donor asing.

Disebutkan bawah KPA Mimika menyediakan 83 outlet kondom di Timika dan sekitarnya sebagai salah satu upaya untuk menekan penularan HIV/AIDS. Namun, hanya 60 persen dari kondom yang telah didistribusikan digunakan secara konsisten oleh PSK di Timika.

Ada hal yang menjadi pertanyaan besar dalam pernyataan tsb., yaitu:

Pertama, apakah kondom yang didistribusikan melalu outlet itu kondom (untuk) perempuan?

Kedua, apakah PSK yang diwajibkan memakai kondom?

Dari dua pertanyaan itu tampak jelas KPA Mimika tidak mempunyai program yang konkret terkait dengan pemakaian kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan PSK karena kewajiban memakai kondom bukan kepada laki-laki yang melacur.

Selain itu patut pula dipertanyakan bagaimana cara pemantauan bahwa laki-laki pasti memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Kalau hanya berdasarkan jumlah kondom yang diambil dari outlet tentulah tidak akurat. Bsa saja PSK mengambil kondom dari outlet, tapi laki-laki tidak memakainya ketika hubungan seksual dengan PSK.

Disebutkan bahwa Wilhelmus menyambut positif keterlibatan berbagai kalangan dalam penanganan HIV/AIDS di Mimika, seperti yang dilakukan oleh Yayasan Caritas Timika Papua (YCTP).

Kalau yang dilakukan oleh YCTP hanya sebatas sosialisasi tentu saja itu ’bak menggantang asap’ karena yang dibutuhkan adalah program yang konkret, yaitu:

(1) Ada regulasi berupa intervensi yang memaksa laki-laki memakai kondom ketika melacur dengan PSK.

(2) Ada regulasi berupa intervensi untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Sedangkan pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya sudah merupakan program yang dijalankan, sehingga yang diperlukan adalah program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
 
Selama tidak ada program yang konkret berupa program yang memaksa laki-laki memakai kondom ketika melacur, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Bukti insiden infeksi HIV baru terus terjadi pada laki-laki dewasa melalui pelacaran adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga dan bayi.

Maka, Pemkab Mimika tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Di Batam, Kepri: AIDS Terdeteksi pada PNS dan Polisi


* Patut dipertanyakan: Apakah pasangan PNS dan polisi tsb. sudah menjalani tes HIV?

Tanggapan Berita (9/5-2013) – “ …. sebenarnya PNS, Polri, ibu rumah tangga dan anak-anak bukan golongan rentan terhadap penyakit mematikan tersebut.” Ini dikatakan oleh Sekretaris KPA Batam, Pieter Pureklolong, dalam berita “Sering 'jajan', polisi dan PNS di Batam kena HIV/AIDS” di www.merdeka.com (9/5-2013).

Disebutkan bahwa Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Batam, Prov Kepulauan Riau (Kepri) mencatat 59 pegawai negeri sipil (PNS), polisi, ibu rumah tangga dan anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada tahun 2013. Jumlah itu merupakan bagian dari 144 kasus HIV/AIDS yang terdereksi pada tahun 2013 dengan rincian 81 HIV dan 63 AIDS dengan 18 kematian.

Kasus HIV/AIDS sebanyak 144 yang terdeteksi pada rentang waktu Januari-April 2013 diperoleh dari 2.350 yang menjalani tes HIV di beberapa rumah sakit di Kota Batam.

Yang perlu diingat adalah kerentanan terhadap HIV/AIDS bukan karena pekerjaan atau kalangan tertentu, tapi erat kaitannya dengan perilaku (seks) orang per orang.

Terkait dengan penemuan kasus pada PNS dan polisi yang perlu dipertanyakan adalah: Apakah Dinkes Kota Batam dan KPA Kota Batam sudah menjangkau pasangan mereka?

Penjangkauan kepada pasangan PNS dan polisi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu merupakan langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV, al. dari-ibu-ke-bayi yang dikandung pasangan PNS dan polisi tsb.

Kasus HIV/AIDS pada PNS dan polisi merupakan konsekuensi logis dari kondisi suatu daerah terkait dengan pelacuran.

Ketika di satu tempat tidak ada lokalisasi atau lokasi pelacuran, maka tidak ada lagi tarif yang murah untuk melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Di lokalisasi pelacuran ’Sarkem’ di Kota Yogyakarta, misalnya, tarif sekali kencan Rp 75.000 sudah termasuk kamar.

Karena kencan dengan PSK di tempat yang tidak ada lokasi pelacuran hanya bisa dilakukan di tempat-tempat tertentu, seperti panti pijat plus-plus, losmen, penginapan dan hotel, maka yang bisa melakukannya tentulah laki-laki yang mempunyai penghasilan yang tetap, seperti PNS, karyawan swasta, polisi, dll. Paling sedikit dibutuhkan uang Rp 250.000 untuk sekali kencan dengan PSK.

Maka, amatlah wajar kalau kemudian kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada PNS dan polisi. Celakanya, mereka menganggap cewek-cewek yang tidak di lokasi pelacuran itu bukan PSK sehingga mereka merasa tidak berisiko tertular HIV/AIDS.

Memang, cewek-cewek sebagai PSK di luar lokasi pelacuran dikenal sebagai PSK tidak langsung. Mereka ini al. cewek kafe, cewek pub, cewek diskotek, cewek pemijat, mahasiswi, pelajar, ibu rumah tangga, dll. Tapi, PSK tidak langsung ini tetap saja berisiko tertular dan menularkan HIV karena mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.

Selain itu kalangan PSN dan polisi pun ada kemungkinan besar menerima cewek dalam bentuk gratifikasi seks. Sebagian orang menganggap cewek gratifikasi bukan PSK. Memang, benar mereka bukan PSK langsung yaitu PSK yang mangkal di lokasi pelacuran, tapi mereka tetap berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS karena mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti.

PSK langsung di beberapa lokasi pelacuran dijangkau oleh institusi untuk memberikan penyuluhan tentang risiko tertular HIV dan cara-cara mencegahnya. Paling tidak sebagai PSK di lokasi pelacuran sudah berani menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom. Ini artinya ada upaya untuk menurunkan risiko penyebaran HIV dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya.

Tapi, PSK tidak langsung dan cewek gratifikasi seks tidak ada penjangkauan sehingga risiko mereka tertular dan menularkan HIV sangat tinggi. Maka, kalangan ke depan kasus HIV/AIDS akan banyak terdeteksi pada kalangan birokrat, aparat, pengusaha dan karayawan swasta karena mereka mengencani PSK tidak langsung dan cewek gratifikasi seks.

Dalam Perda AIDS Prov Kepulauan Riau pun sama sekali tidak ada langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Menakar Efektivitas Perda AIDS Provinsi Kepulauan Riau-http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menakar-efektivitas-perda-aids-provinsi.html).

Selama Pemkot Batam tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Takut AIDS Karena Pernah ML dengan Mantan Pacar

Tanya-Jawab AIDS No 5/Mei 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya:  Saya seorang wanita berumur 30 tahun. Berkeluarga. Saya sempat menjalin hubungan selama setahun dengan mantan pacar saya. Terakhir kami melakukan hubungan suami istri bulan Juli 2011. Setelah itu tidak pernah lagi melakukan hubungan seksual dengan orang lain selain suami saya. Suami saya orang yang setia dan saya tahu persis hal itu. Pada bulan Maret 2012 saya diare dan batuk. Baru satu hari sakit saya langsung ke dokter. Saya ceritakan ke dokter bahwa saya pernah melakukan hubungan seksual berisiko. Dokter meminta saya tes HIV di sebuah lab klinik swasta yang tadak terlalu ternama. Tes HIV tsb. tepat 8 bulan setelah kegiatan berisiko terakhir. Biaya tes Rp 400.000 dengan hasil negatif titer 0,18. Tes kedua saya lakukan di lab klinik swasta ternama pada akhir Mei 2012 dengan hasil nonreaktif. (1) Apakan hasil kedua lab tsb. sudah valid? (2) Apakah dengan hasil itu saya sudah benar-benar bebas dari HIV? (3) Saya banyak membaca literatur, ada yang menyebutkan bahwa ada hasil tes yang bisa berubah dalam waktu beberapa tahun. Apa penyebab kasus tsb.? Mohon penjelasan karena saya butuh pencerahan. Soalnya setahun belakangan ini saya dihantui rasa takut.

Via e-mail

Jawab: Yang jadi pertanyaan adalah Anda tidak tahu persis seperti apa perilaku seks mantan pacar Anda. Kalau perilakunya berisiko tertular HIV, misalnya, sebagai pelanggan pekerja seks komersial (PSK) atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti maka mantan pacar Anda itu adalah laki-laki yang berisiko tertular HIV.

(1) dan (2) Standar baku tes HIV adalah hasil tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain. Misalnya, tes pertama dengan reagent ELISA maka contoh darah yang sama dites dengan tes lain sebagai konfirmasi, misalnya dengan tes Western blot. Tapi, WHO memberikan cara lain yaitu hasil tes pertama dengan ELISA dikonfirmasi dengan reagent ELISA yang berbeda dan dengan teknik yang berbeda pula. Tidak dijelaskan tes pertama dengan reagent apa dan apakah dikonfirmasi. Begitu juga dengan tes kedua tidak dijelaskan apakan ada tes konfirmasi.

Ada pemahaman yang tidak tepat di masyarakat yaitu lebih percaya kepada laboratorium klinik swasta ternama. Padahal, di lab swasta sering tidak dilakukan sesuai dengan standar baku, al. konseling dan konfirmasi. Jika Anda ragu-ragu dengan hasil tes di dua lab tsb., sebaiknya Anda konsultasi ke Klinik VCT (tempat tes HIV gratis dengan konseling dan kerahasiaan) di rumah sakit umum di daerah Anda.
(3) Tes HIV bukan vaksin. Artinya, biar pun pada satu hari hasil tes negatif atau nonreaktif, bisa saja jadi positif atau reaktif beberapa bulan atau tahun kemudian kalau ybs. melakukan perilaku berisiko, seperi melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Jika Anda memutuskan untuk konseling, silakan kabari agar Anda bisa dirujuk ke Klinik VCT terdekat dengan tempat tinggal Anda.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap



08 Mei 2013

60 Suami di Sulawesi Utara Tularkan HIV/AIDS ke Istri




Tanggapan Berita (8/5-2013) – "Terus meningkatnya jumlah bayi dan balita yang mengidap penyakit HIV dan AIDS, ada korelasi dengan terus meningkatnya jumlah ibu rumah tangga yang mengidap penyakit ini." Ini pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Tangel-Kairupan, dalam berita “60 Balita di Sulawesi Utara Idap HIV/AIDS” di republika.co.id (6/5-2013).

Pertanyaannya adalah: Mengapa jumlah ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS di Sulut meningkat?

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang penyebab jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS meningkat.

Berita ini menunjukkan penggelapan fakta yaitu tentang orang yang menularkan HIV kepada ibu-ibu rumah tangga. Karena dalam berita disebut ibu rumah tangga tentulah mereka mempunyai suami. Itu artinya mereka tertular HIV dari suami.

Pertanyaan selanjutnya adalah: Mengapa suami mereka tertular HIV?

Dalam berita juga tidak ada penjelasan tentang penyebab suami-suami itu tertular HIV.

Lagi-lagi berita ini mengabaikan fakta yaitu terkait dengan penyebab suami-suami tsb. tertular HIV.

Jika dirunut ke belakang, maka faktor yang memungkinkan suami-suami itu tertular HIV, al. adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK).

Persoalannya adalah Pemprov Sulut akan menampik kalau dikatakan di daerah itu ada pelacuran.

Pemprov Sulut benar, tapi tunggu dulu. Soalnya, yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran yang ditangani oleh instansi terkait di pemerintah provinsi, seperti dinas sosial.

Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Celakanya, laki-laki, dalam hal ini suami-suami yang menularkan HIV kepada istrinya, yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak memakai kondom sehingga mereka berisiko tertular HIV.

Kondisinya kian runyam karena Pemprov Sulut, melalui Dinkes Sulut dan KPA Sulut, tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Pertanyaannya adalah: Apakah 60 suami itu sudah dijangkau untuk menjalani tes HIV?

Kalau jawabannya tidak dijangkau dan tidak menjalani tes HIV, maka 60 suami itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan bahwa KPA Sulut terus melakukan pendekatan dengan populasi kunci agar melakukan langkah pencegahan melalui program Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT) atau program pencegahan penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Pertanyannya adalah: Apakah ibu-ibu rumah tangga termasuk dalam populasi kunci?

Tentu saja tidak karena ibu-ibu rumah tangga tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV.

Yang masuk populasi kunci adalah laki-laki, dalam hal ini suami, yang perilakunya sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Persoalannya adalah tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Bahkan, dalam Perda AIDS Prov Sulut pun sama sekali tidak ada langkah atau program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV dan menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui pelacuran (Lihat: Menguji Peran Perda HIV/AIDS Prov Sulawesi Utara* - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/menguji-peran-perda-hivaids-prov.html). 

Tangel-Kairupan menyarankan agar "Ketika seorang ibu sudah dideteksi tertular HIV maka dia harus mengikuti program ini. Ibu minum obat khusus agar tidak menularkannya kepada bayi."

Persoalan yang sangat mendasar adalah: Pemprov Sulut tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Akibatnya, penemuan HIV/AIDS ada perempuan hamil hanya insidentil dan sporadis.

Untuk itulah Pemprov Sulut, dalam hal ini Dinkes Sulut dan KPA Sulut, membuat program yang konkret dan sistematis untuk:

(1) Menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK, dan

(2) Mendeteksi HIV/ADIS pada perempuan hamil.

Jika tidak ada program yang konkret untuk (1) dan (2), maka penyebaran HIV/AIDS di Sulut akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

07 Mei 2013

Ketakutan AIDS dan Menyesal Setelah ML dengan Cewek Pemijat

Tanya-Jawab AIDS No 4 /Mei 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Bulan lalu saya ML dengan seorang pemijat plus, hal itu baru pertama kali dan hanya sekali itu saja dalam hidup saya dan terus terang sangat saya sesalkan. Waktu itu saya memakai kondom, tapi saya tidak tahu kondisi kondom tersebut berhasil melindungi penis sampai dengan akhir atau tidak. Yang ingin saya tanyakan adalah:

(1) Bagaimana mengetahui kondisi kondom tersebut, karena terus terang saya lupa untuk mengecek kondisi kondom tersebut setelah ML. Saya bisa pastikan kondom tersebut tidak pecah, yang saya takutkan bila ternyata kondom tersebut bocor. Bagaimana bentuk kondom ketika dia gagal melakukan tugasnya karena ada yang bilang ketika kondom gagal dia akan pecah besar di bagian kepala penis tapi juga ada yang bilang bisa terjadi bocor.

(2)  Saat ML tersebut hanya penis saya yg memakai kondom dioral sama dia, dan setelahnya melakukan penetrasi ke dalam vagina dia, tidak melibatkan ciuman dan aktivitas lain sama sekali. Berapa persen probabilitas saya terinfeksi HIV kalau kondom di atas tidak gagal? Berapa persen probabilitas saya terinfeksi HIV kalau kondom di atas gagal? Berapa persen tingkat kegagalan kondom pria? 

(3) Apakah saya harus menjalani tes HIV? Tes apa saja yg harus saya lakukan?

Mohon informasi dan bantuannya karena jujur saya sangat ketakutan dan menyesal.

Via e-mail (April 2013)

Jawab: (1) dan (2) Dengan Anda memakai kondom ketika ML (sanggama) dengan cewek pemijat berarti Anda sudah menurunkan risiko tertular HIV sampai nol persen.

Persoalannya ada pada diri Anda, yaitu: kalau Anda jujur hanya melakukannya sekali, dan Anda memakai kondom dari awal sampai akhir maka risiko tertular HIV sangat kecil.

Pertanyaan sekitar kondom yang Anda pakai:

(a) Apakah Anda membaca tanggal kadaluarsa kondom tsb.? Kalau Anda tidak membaca tanggal kadaluarsa, maka tidak ada jaminan tentang kondisi kondom ketika dipakai.
(b) Apakah cara Anda memakai kondom pada penis Anda sudah sesuai dengan anjuran pemakaian yang baku? Kalau Anda tidak mengikuti petunjuk pemakaian maka bisa saja kondom tidak pas pada penis.

(c) Di mana Anda simpan kondom tsb. sebelum dipakai? Kalau Anda menyimpan kondom di dompet, maka itu akan merusak kondom.

Melihat kondisi kondom setelah dipakai tidak bisa menjelaskan kondisi kondom sebelum dipakai.

Tingkat risiko tertular HIV melalui hubungan seksual jika memakai kondom secara benar dan kondisi kondom baik sangat kecil yaitu mendekati 100 persen.

Tidak ada angka yang pasti tentang probabilitas risiko penularan HIV melalui hubungan seksual jika kondom rusak. Yang ada adalah risiko tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang mengidap HIV/AIDS 1:100. Artinya, dalam 100 kali hubungan seksual ada 1 kali risiko tertular HIV. Persoalannya adalah tidak bisa diketahui dengan pasti pada hubungan seksual yang ke berapa terjadi penularan HIV. Bisa yang pertama, kedua, ketujuh, kesembilan puluh, dst. Artinya, setiap hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pengidap HIV/AIDS ada risiko tertular. Masalahny adalah Anda tidak bisa memastikan apakah PSK yang melayani Anda mengidap HIVAIDS atau tidak sehingga ada risiko penularan.

Sekali lagi kalau Anda jujur yaitu hanya sekali ML dan memakai kondom, maka Anda tidak perlu tes HIV. Tapi, kalau Anda tidak hanya sekali melakukan hubungan seksual bukan hanya dengan cewek pemijat tapi juga dengan perempuan yang berganti-ganti, maka Anda perlu memikirkan untuk menjalani tes HIV.***

. - AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap



05 Mei 2013

Waria (yang) ‘Berkeliaran’ Rawan HIV/AIDS



Tanggapan Berita (6/5-2013) – “ …. banyak waria berkeliaran bebas. Sehingga mereka rawan terkena penyakit HIV/AIDS.” Ini pernyataan Koordinator SSR Fatayat NU Jateng 1 meliputi Brebes, Kota Tegal dan Pemalang, Nur Hasanah, dalam berita “Cek HIV/AIDS, puluhan Waria di Tegal periksa darah” di sindonews.com (5/5-2013).

Pernyataan tsb. sangat tidak manusiawi dan menggelapkan fakta terkait dengan penyebaran HIV di masyarakat.

Pertama, dalam kosa kata bahasa Indonesia berkeliaran hanya ditujukan kepada binatang. Biar pun di mata Nur Hasanah waria bukan bagian dari masyarakat bermoral, tapi mereka tetap manusia.

Kedua, kalau Nur Hasanah mengatakan waria berkeliaran, maka laki-laki heteroseks yang melakukan seks anal dengan waria juga berkeliaran. Mereka ini bisa sebagai suami. Maka, selain waria ada pula suami yang berkeliaran mencari waria.

Ketiga, kerawanan terkait dengan risiko tertular HIV bukan karena kalangan atau kelompok, dalam hal ini waria, tapi terkait erat dengan perilaku orang per orang.

Keempat, yang menularkan HIV kepada waria al. adalah laki-laki heteroseks yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

Kelima, ketika waria menjalani tes, maka waria yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sudah menularkan HIV kepada laki-laki yang melakukan seks anal tanpa kondom dengan mereka. Laki-laki ini pun akan menularkan HIV kepada istrinya. Selanjutnya, istrinya akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.  

Kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkar di Kab Brebes tercatat 60 yang terdeteksi sejak tahun 2010 sampai April 2013 (suaramerdeka.com, 29/4-2013), di Kota Tegal dilaporkan 211 yang terdeteksi sejak 2008 sampai Oktober 2012 yang terdiri atas 117 HIV dan 94 AIDS  (jpnn.com, 27/11-2012), dan di Kab Pemalang 61 HIV dan 26 AIDS dengan 19 kematian (http://www.aidsjateng.or.id, 26/11-2012).

Dalam berita disebutkan: Karena Waria dinilai memiliki risiko besar penularan HIV/AIDS.

Lalu, bagaimana dengan laki-laki yang menularkan HIV kepada waria?

Celakanya, program tsb. sama sekali tidak menyasar laki-laki yang menularkan HIV kepada waria dan laki-laki yang tertular  HIV dari waria (Lihat Gambar 1).

Disebutkan pula dalam berita: Selain pengecekan tersebut, para waria tersebut juga diberikan penyuluhan dan informasi mengenai kesehatan, bahaya HIV/AIDS dan penanganannya. Menurut Nur Hasanah, hal ini ditujukan agar para waria tersebut menyadari bahaya laten dari virus mematikan di dunia tersebut.

Yang menjadi persoalan bukan waria, tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada waria dan laki-laki yang tertular HIV dari waria. Soalnya, posisi tawar waria untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika seks anal sangat rendah sehingga waria tidak mempunyai pilihan selain melayani seks anal tanpa kondom.

Langkah konkret yang perlu dilakukan dinas-dinas kesehatan di wilayah Brebes, Kota Tegal dan Pemalang adalah intervensi berupa program yang sistematis, yaitu (1) Laki-laki wajib memakai kondom ketika melakukan seks anal dengan waria, (2) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan seks anal tanpa kondom dengan waria wajib memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya, dan (3) Pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (Lihat Gambar 2). 


Penyebutan ‘virus mematikan di dunia tersebut’ tidak akurat dan ngawur karena belum ada kasus kematian pada Odha  (Orang dengan HIV/AIDS) atau pengidap HIV/AIDS karena (virus) HIV. Kematian pada Odha terjadi karena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC, pada masa AIDS (setelah tertular HIV antara 5-15 tahun).

Selama tidak ada program yang konkret, maka tes HIV pada waria sama saja dengan ‘menggantang asap’ karena laki-laki yang menularkan HIV kepada waria dan laki-laki yang tertular HIV dari waria menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Perda AIDS Kab Batang pun sama sekali tidak ada gunanya karena tidak ada satu pun pasal yang memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kabupaten Batang, Prov Jawa Tengah - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kabupaten-batang-prov-jawa.html).  

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS terus terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Pada gilirannya penyebaran HIV di Brebes, Kota Tegal dan Pemalang akan sampai pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap