04 Mei 2013

AIDS pada 29 Balita di Kab Malang, Jatim: Yang ‘Disalahkan’ Justru Ibu Rumah Tangga



Tanggapan Berita (4/5-2013) – “Sebanyak 132 pekerja seks komersial (PSK) dan 29 anak balita di Kabupaten Malang positif terinfeksi HIV/AIDS sepanjang tahun 2012.” Ini ada dalam berita “132 PSK dan 29 Balita di Malang Terinfeksi HIV/AIDS” di kompas.com (19/4-2013).

Kalau saja wartawan dan narasumber yaitu Tri Awignami Astoeti, Kasi Pemberantasan Penyakit Menular Langsung, Dinas Kesehatan Kab Malang, Prov Jawa Timur, membawa fakta itu ke realitas sosial tentulah berita tsb. akan memberikan gambaran yang nyata tentang penyebaran HIV di masyarakat.

Ada kesan judul berita ini mengedepankan sensasi, padahal yang menjadi persoalan besar terkait dengan data 132 PSK yang mengidap HIV/AIDS bukan pada PSK, tapi pada laki-laki dewasa, yaitu: (1) yang menularkan HIV kepada PSK, dan (2) laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang mengidap HIV/AIDS.

Terkait dengan 132 PSK yang mengidap HIV di Kab Malang, maka ada dua kemungkinan, yaitu:

Pertama, semua ada sebagian dari PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu tertular dari laki-laki dewasa penduduk Kab Malang yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa memakai kondom.

Jika hal itu yang terjadi, maka di masyarakat ada laki-laki dewasa yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK bisa sebagai seorang suami yang berisiko menularkan HIV pada istrinya (horizontal). Kalau istri tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandung istri-istri yang tertular HIV dari suami itu (vertikal).

Kedua, semua ada sebagian dari PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu tertular HIV di luar Kab Malang sebelum mereka ‘praktek’ di Kab Malang.

Kalau hal itu yang terjadi, maka laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa memakai kondom berisiko tertular HIV.

Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang tertular HIV dari PSK bisa sebagai seorang suami yang berisiko menularkan HIV pada istrinya (horizontal). Kalau istri tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandung istri-istri yang tertular HIV dari suami itu (vertikal).

Dalam Gambar 1 bisa dilihat penyebaran HIV di masyarakat. Setiap malam paling tidak ada 396 laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV (132 PSK x 3 laki-laki).

Secara teori seseorang terdeteksi mengidap HIV melalui tes HIV minimal sudah tertular  HIV tiga bulan. Maka, 132 PSK itu minimal sudah tertular HIV tiga bulan sebelumnya sehingga ketika mereka tes HIV sudah ada 1.188 laki-laki yang berisiko tertular HIV. Angka ini tentu saja jauh lebih besar kalau ada di antara PSK yang terdeteksi HIV di masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun.

Fakta itulah yang tidak dibeberkan oleh wartawan dan narasumber sehingga berita itu sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat khususnya penduduk Kab Malang dan pembaca kompas.com.

Sedangkan 29 balita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS menunukkan ada 29 perempuan yang mengidap HIV/AIDS dan ada lagi 29 laki-laki dewasa yang menularkan HIV kepada 29 perempuan tsb., yang bisa saja suami atau pasangan seks (Lihat Gambar 2).

Dengan demikian dari 29 balita itu sudah ada 87 penduduk Kab Malang yang positif mengidap HIV/AIDS (29 bayi + 29 ibu + 29 ayah). Kalau ada di antara laki-laki tsb. yang mempunyai istri lebih dari satu maka jumlah perempuan dan bayi yang berisiko tertular HIV tambah banyak.

Celakanya, terkait dengan kasus HIV/AIDS pada balita Tri justru menyalahkan ibu-ibu: Melihat angka korban dari unsur anak balita yang cukup tinggi, Tri berharap agar para ibu berhati-hati demi keselamatan anaknya. "Jika ada gejala mengarah pada virus itu, harus segera memeriksakan. Harus sadar diri untuk ke puskesmas atau ke dokter ahli," ujarnya.

Yang terjadi adalah banyak ibu-ibu yang tidak menyadari dirinya tertular HIV karena mereka hanya melakukan hubungan seksual dengan suami atau pasangannya.

Maka, yang harus disasar adalah suami yaitu meminta agar suami-suami yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria, menjalan tes HIV.

Selain itu Pemkab Malang pun harus melakukan intervensi berupa program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Perda AIDS Kab Malang dan Perda AIDS Prov Jatim pun sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV.

Tanpa program yang konkret, maka kasus HIV/AIDS pada balita akan terus terdeteksi karena suami-suami menularkan HIV kepada istrinya yang selanjutnya istri menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Takut AIDS karena Mempermainkan Puting Payudara Cewek Pemijat



Tanya-Jawab AIDS No 1 /Mei 2013

Pengantar. Tanya-Jawab ini adalah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dikirim melalui surat, telepon, SMS, dan e-mail. Jawaban disebarluaskan tanpa menyebut identitas yang bertanya dimaksudkan agar bisa berbagi informasi yang akurat tentang HIV/AIDS. Yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan melalui: (1) Surat ke LSM ”InfoKespro”, PO Box 1244/JAT, Jakarta 13012, (2) Telepon (021) 4756146, (3) e-mail aidsindonesia@gmail.com, dan (4) SMS 08129092017. Redaksi.

*****
Tanya: Saya belum pernah melakukan hubungan seks dengan tidak benar, seperti ML, ciuman, dll. Tapi, saya pernah sekali ke panti pijat plus-plus. Saya hanya mempermainkan pentil payudara cewek pemijat dan saya tidak mengisapnya. Saya melakukannya dengan mulut dan lidah. Saya menyesal. Itu terjadi antara 1-2 menit. (1) Apakah itu bisa menularkan HIV? (2) Apakah saya harus tes HIV? Mohon berikan jawaban yang bisa membuat saya tidak khawatir.

Via SMS (29/4-2013)

Jawab: (1) dan (2) Semua hubungan seksual apa pun cara dan gayanya adalah benar dari aspek seks. ’Seks yang tidak benar’ seperti yang Anda sebutkan adalah jargon moral yang sama sekali tidak terkait langsung dengan risiko penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seksual (seks tidak benar, zina, jajan, dll.).

Persoalan ada pada Anda. Apakah Anda jujur? Kalau Anda jujur, maka tidak ada risiko penularan HIV kalau yang Anda lakuan hanya mengisap puting payudara cewek pemijat.

Anda tidak perlu tes HIV kalau hanya menjilat puting payudara cewek pemijat. Tapi, kalau Anda melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan cewek pemijat, maka Anda dianjurkan tes HIV.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap



30 April 2013

‘Wajib’ Tes HIV dalam Keluarga di NTT adalah Penanggulangan di Hilir


Tanggapan Berita (1/5-2013) – “Turunkan HIV/AIDS, VCT Dijadikan Kewajiban Dalam Keluarga”. Ini judul berita di www.aktual.co (30/4-2013).

Judul ini tidak menggambarkan pemahaman terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.

Pertama, yang bisa diturukan adalah insiden infeksi HIV baru karena angka kasus HIV/AIDS yang dilaporkan merupakan laporan kumulatif (kasus lama ditambah kasus baru) sehingga angka itu tidak akan pernah turun.

Kedua, tes HIV, di judul disebut VCT, hanya dianjurkan kepada laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti.

Ketiga, tes HIV dianjurkan kepada laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilansir Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) sampai Januari 2013 sebanyak 1.900. Dari jumlah ini kasus HIV/AIDS terdeteksi pada 289 ibu rumah tangga dan 82 balita.

Pemahaman terhadap HIV/AIDS yang tidak akurat lagi-lagi ditunjukkan oleh Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Sekretariat  Daerah (Setda) Nusa Tenggara Timur (NTT), Anike Yofita Mitak, melalui pernyataan: ….layanan VCT  (Voluntary Conseling Test) harus menjadi budaya dan kewajiban dalam kehidupan berkeluarga di  daerah tersebut.

Mitak sudah menyamaratakan perilaku semua orang. Atau, Mitak memang mengetahui dengan persis perilaku semua orang di NTT berisiko tertular HIV sehingga menjadikan tes HIV seagai budaya dan kewajiban dalam kelurga di NTT.

Kalau sinyalemen Mitak itu benar, maka persoalan besar akan dihadapi Pemprov NTT karena akan terjadi ’ledakan AIDS’.

Jika perilaku penduduk NTT berisiko tertular HIV, seperti yang tersirat dari pernyataan Mitak, maka yang diperlukan untuk menurunkan angka kasus baru bukan melalui VCT, tapi program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Pertanyaan untuk Mitak: Apaka di NTT ada pelacuran?

Sudah barang tentu Mitak akan membusungkan dada dan berujar: Tidak ada!

Mita benar, tapi tunggu dulu. Yang tidak ada adalah loksalisasi pelacuran yang ditangani oleh instansi pemerintak provinsi, sedangkan (praktek) pelacuran terjadi di banyak tempat di NTT. Mulai dari lokasi pelacuran, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang.

Mita juga menuturkan bahwa dengan wajib melakukan VCT  seseorang akan lebih dini mengetahui status HIV pada dirinya, mengingat angka penderita HIV/AIDS di NTT terus meningkat.

Langkah yang dianjurkan Mitak ini dijalankan di hilir. Artinya, Mitak menunggu dulu ada penduduk NTT yang tertular HIV (hulu) baru diwajibkan tes  HIV (hilir).

Cara yang dianjurkan Mitak itu sama sekali tidak menyentuh akar persoalan di hulu, sehingga insiden infeksi HIV baru (akan) terus terjadi.

Dikatakan lagi oleh Mitak bahwa pihaknya terus melakukan pemantauan terhadap penanganan bagi ibu hamil yang  terinfeksi HIV yang tepat dan telah memenuhi hak-haknya. Hal itu penting agar penyakit itu tidak memberi resiko ikutan termasuk pada anak dan suami.

Pernyataan Mitak ini menjungkirbalikkan fakta yang terjadi selama ini terkait dengan HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga karena penularan HIV kepada ibu rumah tangga dilakukan oleh suami. Sedangkan dalam pernyataan Mitak justru risiko penularan HIV pada keluarga dilakukan oleh istri.

Mitak disebutkan mengaku prihatin dengan kondisi jumlah kasus HIV dan AIDS di NTT yang didominasi oleh kaum perempuan yang adalah ibu rumah tangga.

Kalau saja Mitak berpijak pada fakta, maka yang diprihatinkan adalah banyak suami yang menularkan HIV kepada istri. Artinya, suami-suami itu melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain.

Lagi-lagi ini pernyataan Mitak: “Ironis sekali karena ibu rumah tangga lebih banyak dibandingkan wanita penjaja seks (baca: PSK-pen.). Ini kondisi yahng sangat kritis.”

Mitak lupa kalau yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang sumai. Selanjutnya ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki ini juga dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang sumai.

Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selama Pemprov NTT tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di NTT. Pada gilirannya pemprov pun akan ’panen AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

Mendorong Laki Laki sebagai Kunci Menghentikan Penyebaran HIV/AIDS di Kota Tasikmalaya


Kasus HIV/AIDS terus terdeteksi, terutama pada ibu-ibu rumah tangga dan bayi. Di Kota Tasikmalaya, Jabar, misalnya, sampai April 2013 secara kumulatif sudah terdeteksi 226 kasus HIV/AIDS dengan 57 kematian. Dari jumlah ini 17 kasus terdeteksi pada ibu rumah tangga.

Salah satu mata rantai yang menyebarkan HIV adalah laki-laki yang dikenal sebagai LBT (laki-laki berisiko tinggi) yaitu laki-laki yang sering melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) baik di Kota Tasikmalaya maupun di luar Kota Tasikmalaya.

Untuk itu sekarang sasaran utama program pencegahan HIV melalui transmisi seksual adalah laki-laki berisiko tinggi. “Mereka dinilai menjadi kunci untuk menghentikan penyebaran HIV/AIDS,” kata dr Rustam Sadeli, Sekretaris KPA Kota Tasikmalaya, di sela-sela Temu Media bersama belasan wartawan Kota Tasikmalaya yang diselenggarakan oleh KPA Kota Tasikmalaya dan MRO KPA Prov Jabar/HCPI-AusAID (30/4-2013).

Prevalensi (perbandingan yang mengidap HIV/AIDS dan yang tidak mengidap HIV/AIDS) pada pada lelaki berisiko tinggi meningkat tujuh kali lipat. Kalau tahun 2007 prevalensinya hanya 0,1 (dari 100 LBT ada 10 LBT yang mengidap HIV/AIDS), di tahun 2013 meningkat menjadi 0,7 (dari 100 LBT ada 70 LBT yang mengidap HIV/AIDS).

LBT yang mengidap HIV/AIDS tsb. menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. “Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya,” ujar dr Rustam.

Risiko penularan HIV pada ibu-ibu rumah tangga dari suami yang merupakan LBT sangat tinggi karena tingkat pemakaian kondom pada LBT sangat rendah yaitu 3 persen. Artinya, dari 100 LBT yang melakukan hubungan seksual dengan PSK hanya 3 LBT yang memakai kondom.

“Kita tidak lagi pada situasi mencari-cari kesalahan perilaku, tapi mengajak laki-laki yang perilakunya berisiko untuk secara sukarela menjalani tes HIV,” pinta dr Rustam.

Untuk itu Pemkot Tasikmalaya menyediakan Klinik VCT (tempat tes HIV sukarela yang gratis dengan bimbingan dan kerahasiaan) di RSU Tasikmalaya dan beberapa puskesmas

Karena LBT tidak bisa dikenali, bahkan oleh istri, maka dianjurkan pula kepada ibu-ibu yang hamil untuk menjalani tes HIV di Klinik VCT. Dengan mengetahui status HIV seorang ibu yang hamil akan menjalani pengobatan sehingga bisa dicegah penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya.

Kesediaan LBT dan ibu-ibu rumah tangga yang hamil menjalani tes HIV merupakan langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Kota Tasikmalaya.

Tidak semua orang bisa menghindari perilaku berisiko, seperti menikah dengan pengidap HIV/AIDS, menerima transfusi darah atau memakai jarum suntik yang tercemar HIV/AIDS, sehingga ada kemungkinan tertular HIV.

Untuk itulah, dr Rustam berharap agar masyarakat tidak perlu mencaci, mencibir, mengejek atau menjauhi saudara-saudara kita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

HIV/AIDS tidak menular melalui pergaulan sehari-hari, seperti bersalaman, main bersama, dan makan dan minum bersama.

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap