26 April 2013

Kian Banyak Suami di Kota Semarang, Jateng, yang Menularkan HIV/AIDS kepada Istrinya


Tanggapan Berita (27/4-2013) – “Penderita kasus HIV-AIDS di Kota Semarang tercatat meningkat, termasuk pada ibu hamil. Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kota Semarang, Dwi Yoga Yulianto, mengatakan penularan kasus HIV-AIDS dari ibu ke anak mencapai 2,6 persen di Indonesia.”  Ini lead pada berita “Penderita HIV-AIDS pada Ibu Hamil Meningkat” di republika.co.id (26/4-2013).

Dilaporkan bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS sejak 1995-2012 mencapai  2.715 yang terdiri atas 2.351 HIV dan 364 AIDS dengan 57 kematian.

Ada  fakta yang tidak diungkapkan Yulianto, yaitu yang menularkan HIV/AIDS kepada istri adalah suami. Ini membuktikan suami mereka melalukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).

Karena fakta itu tidak dikemukakan, maka dikesankan bahwa kesalahan ada pada ibu hamil. Persoalan kian runyam karena tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret yang dijalankan Pemkot Semarang, terutama pada laki-laki yang melacur dengan PSK.

Disebutkan oleh Yulianto: ”Para penderita HIV-AIDS, ibu hamil yang positif terkena HIV, mendapatkan pelayanan Pencegahan Penularan HIV-AIDS dari Ibu ke Anak (PPIA)."

Langkah ini, yaitu pelayalan pencegahan, adalah program di hilir. Artinya, Pemkot Semarang menunggu ada dulu perempuan hamil penduduk Kota Semarang yang tertular HIV baru ditangani melai program PPIA.

Disebutkan pula bahwa penderita ibu hamil yang positif terkena HIV-AIDS juga tercatat meningkat sejak 2009 hingga 2012.

Fakta itu menunjukkan kian banya pula laki-laki dewasa, dalam hal ini suami, yang perilaku seksualnya berisko tinggi tertular HIV, al. melacur tanpa kondom dengan PSK.

Dikatakan lagi bahwa bidan-bidan di Kota Semarang dibina dan diberikan pelatihan terkait dengan penularan dan pencegahan penyakit HIV-AIDS.

Lagi-lagi bidan itu bekerja di hilir. Artinya, mereka akan memanfaatkan pengetahuan mereka dalam menangani ibu-ibu hamil. Ini saja saja dengan menunggu ada dulu ibu hamil yang tertular HIV baru ditangani oleh bidan-bidan tsb.

Selama Pemkot Semarang tidak mempunyai program yang konkret dan  sistematis dalam penanggulangan HIV/AIDS, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi.

Pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap

24 April 2013

Sunat Vs Kondom: Sunat Juga (Bisa) Mendorong Zina dan Pelacuran


Opini (25/4-2013) – Biar pun WHO (Badan Kesehatan Sedunia PBB) hanya menyebutkan sunat (sirkumsisi) pada laki-laki bisa menurunkan risiko penularan HIV, tapi ada berita yang justru menyebutkan bahwa sunat bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual.

Berita yang menyebutkan sunat bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual merupakan berita yang misleading (menyesatkan) karena penularan HIV pada penis tidak hanya terjadi pada kepala penis.

Sunat disebutkan WHO bisa menurunkan penularan HIV ketika terjadi hubungan seksual karena kepada penis pada penis yang disunat mengeras.

Tapi, pada batang penis pun bisa menjadi pintu masuk HIV ketika terjadi hubungan seksual tanpa kondom.

Sosialisasi kondom melalui pemasaran sosial merupakan langkah untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang yang perilakunya berisiko tertular HIV. Dengan memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual yang berisiko, maka penularan HIV bisa dicegah. 

Seperti diare yang bisa diatasi dengan oralit. Konsekuensinya adalah oralit harus mudah didapat, tanpa resep dokter dan harganya pun murah (Lihat Gambar 1).

Kalangan moralis menuding sosialisasi kondom akan mendorong orang berzina dan melegalkan pelacuran. Tapi, mereka lupa kalau sunat pun mendorong orang berizina dan merupakan langkah melegalkan pelacuran karena laki-laki yang selama ini tidak mau memakai kondom merasa aman karena sudah ‘memakai kondom’ yaitu sunat (Lihat Gambar 2).

Lagi pula ada fakta yang luput dari perhatian kalangan moralis yaitu laki-laki ‘hidung belang’ justru tidak mau memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual berisiko, seperti dengan pekerja seks komersial (PSK), dengan berbagai alasan.

Biar pun kondom bisa mencegah penularan HIV ketika terjadi hubungan seksual, tapi tetap saja banyak laki-laki yang perilakunya berisiko tidak mau memakai kondom (Lihat Gambar 3).

Sebaliknya, ketika sunat digembar-gemborkan bisa mencegah penularan HIV melalu hubungan seksual, maka laki-laki yang selama ini tidak mau memakai kondom ketika berzina atau melacur merasa aman karena sudah disunat (Lihat Gambar 4).

Celakanya, sunat bukan mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, tapi hanya menurunkan risiko karena luas permukaan penis yang bisa menjadi pintu masuk HIV berkurang yaitu permukaan kepala penis.

Sekarang tidak ada obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS dan tidak ada pula vaksin yang bisa mencegah penularan HIV, tapi tetap saja ada orang yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV (Lihat Gambar 5). 

Obat yang ada adalah obat antiretrovital (ARV) yaitu obat yang bisa menekan perkembangbiakan HIV di dalam darah.

Jika kelak ada obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS dan ada pula vaksin yang bisa mencegah penularan HIV, maka bisa terjadi banyak orang yang tidak takut lagi melakukan perilaku berisiko (Lihat Gambar 6).

Perilaku yang tidak takut lagi terhadap HIV/AIDS bisa bagaikan kelakuan binatang (Lihat: AIDS: Obat dan Vaksin Akan Membuat (Perilaku) sebagian Orang Seperti Binatang-http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/30/aids-obat-dan-vaksin-akan-membuat-perilaku-sebagian-orang-seperti-binatang-417550.html).

Penolakan dan penentangan terhadap kondom dilakukan dengan cara ‘perang’ dengan berbagai macam ‘peluru’, salah satu di antaranya adalah dengan mengumbar mitos kondom berpori dan pori-pori kondom bisa ditembus HIV karena diameter pori-pori kondom lebih besar daripada diameter HIV. Ini adalah mitos (anggapan yang salah) karena:

Pertama, kondom yang berpori-pori adalah kondom yang terbuat dari usus domba atau kelinci (harganya mahal, di AS sekitar lima dolar setara dengan Rp 45.000)

Kedua, HIV tidak bisa melepaskan diri dari cairan vagina sehingga kalau penis tidak bersentuhan langsung dengan cairan vagina ketika hubungan seksual terjadi, maka HIV yang ada di cairan vagina tidak bisa masuk ke penis karena penis dibalut dengan kondom

Ketiga, karena HIV yang ada dalam air mani tertampung di dalam kondom ketika ejakulasi pada hubungan seksual, maka virus (HIV) yang ada di air mani tertahan di dalam kondom.

Di negara-negara dengan persentase laki-laki yang disunat medekati 100 persen tetap banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan lebih dari 16.000 kasus AIDS. Dikabarkan bahwa "Lebih dari 600 wanita Saudi dilaporkan telah tertular AIDS dari suami mereka." (islampos.com, 11/4-2013). Tahun 2012 Arab Saudi melaporkan menemukan 1.233 kasus AIDS baru (www.voaindonesia.com, 9/4-2013).

Maka, kalau sunat terus dipromosikan bisa mencegah HIV, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi karena laki-laki tidak lagi memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV.***

- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap