Tanggapan Berita (20/4-2013)
– “Tanpa pandang bulu Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merangkul
semua warga Ibu Kota, termasuk penderita HIV/AIDS. Ia ringan tangan dan tidak
ingin melihat penderita penyakit menular itu galau menjalani hidup.” Ini lead
pada berita “Anggarannya Rp 15-25 miliar per tahun. Ahok: Penanganan
HIV/AIDS harus mandiri!” di news.detik.com (19/4-2013).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di DKI
Jakarta yang dilaporkan Kemenkes RI sampai 31 Desember 2012 mencapai 29.224 yang terdiri atas 22.925 HIV dan 6.299
AIDS. Angka ini menempatkan Jakarta pada peringkat ketiga secara nasional dalam
jumlah kasus AIDS setelah Papua dan Jawa Timur. Tapi, dengan jumlah kasus kumulatif
Jakarta ada pada peringkat satu secara nasional.
Angka-angka yang dilaporkan itu
tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat
kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (29.224)
yang digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air
laut hanyalah sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat yang digambarkan
sebagai bongkahan es di bawah permukaan laut (Lihat gambar).
Maka, program yang diperlukan di Jakarta adalah:
(1) Mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat melalui program yang
konkret dan sistematis.
(2) Mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
(3) Menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui
hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) dan waria di berbagai
tempat bisa berupa lokasi pelacuran atau di tempat-tempat yang disamarkan
melalui tempat hiburan, panti pijat, dll.
(4) Mengalihkan penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya)
dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergantian dengan narkoba
sintetis secara oral yang dikenal sebagai rumatan metadon.
(5) Meningkatkan akurasi skirining HIV pada darah donor.
Celakanya, ’sentuhan’ yang (akan) dijalankan Pemprov DKI Jakarta, seperti
yang dikemukakan oleh Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) justru
tidak menyentuh lima hal di atas.
Disebutkan dalam berita ada empat ’sentuhan mengharukan Ahok untuk
penderita HIV/AIDS’, yaitu (1) Menggelontorkan dana Rp 25 miliar, (2) Perhatian
khusus pada waria pengidap HIV/AIDS, (3) Membuat stiker sosialisasi HIV/AIDS,
dan (4) Layanan konseling 24 jam.
Sentuhan nomor 1. Dengan dana yang besar sekali pun tidak akan bisa
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Jakarta kalau program yang dijalankan tidak
konkret dan sistematis. Celakanya, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI
Jakarta No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS sama sekali tidak
memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS DKI Jakarta – http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-dki-jakarta.html).
Penyebaran HIV/AIDS di Jakarta terjadi, al.:
(a) Melalui laki-laki dewasa (heteroseksual dan biseksual) yang tertular
HIV dari PSK, waria atau laki-laki lain ke istri atau pasangan seksnya,
(b) Melalui ibu pengidap HIV/AIDS ke anak yang dikandungnya,
(c) Melalui penyalahguna narkoba dengan jarum suntik ke pasangannya, dan
(d) Melalui transfusi darah.
Sentuhan nomor 2. Disebutkan bahwa kalangan waria rawan tertular penyakit
HIV/AIDS. Persoalan bukan pada waria tapi laki-laki dewasa, sebagian beristri,
yang melakukan seks anal tanpa kondom dengan waria. Kemungkinan pertama justru
laki-laki yang menularkan HIV kepada
waria, sedangkan kemungkinan kedua waria yang mengidap HIV/AIDS menularkan HIV
kepada laki-laki yang mengencaninya.
Laki-laki heterseksual dan biseksual yang melakukan seks anal dengan waria
itulah kemudian yang menjadi jembatan penyebaran HIV/AIDS dari waria ke istri
atau pasangan mereka.
Risiko laki-laki heteroseksual tertular HIV dari waria sangat besar karena
sebuah studi di Surabaya menunjukkan yang menjadi ’perempuan’ pada hubungan
seksual antara laki-laki dengan waria justru laki-laki. Artinya, laki-laki
heteroseks dianal (penis waria masuk ke dubur laki-laki, di waria disebut
sebagai ditempong) oleh waria (waria memasukkan penisnya ke dubur laki-laki
heteroseks).
Sentuhan nomor 3. Ahok mengusulkan agar media kampanye KPA dibuat lebih
efektif saat mensosialisasikan penularan HIV/AIDS, al. melalui stiker.
Sosialisasi HIV/AIDS melalui media massa, media sosial, spanduk, poster dan
stiker sudah dimulai sejak awal epidemi di Indonesia. Tapi, hasilnya nol besar
karena informasi yang disampaikan melalui media massa dan media umum banyak
yang tidak akurat karena dibumbui dengan moral. Akibatnya, informasi HIV/AIDS
kabur karena yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Jika kelak informasi yang disebarkan melalui stiker tidak akurat, maka sama
saja dengan menggantang asap karena informasi tentang HIV/AIDS yang
komprehensif tidak sampai ke masyarakat.
Sentuhan nomor 4. Konseling 24 jam. Ini semacam tanya jawab atau konsultasi.
Pertama, kalau yang bertanya sudah melakukan perilaku berisiko tertular HIV, itu
artinya konseling itu dilakukan di hilir. Artinya, konseling menunggu ada dulu
penduduk Jakarta yang tertular HIV baru dikonseling.
Kedua, kalau bertanya tentang HIV/AIDS, apakah konselor bisa memberikan
informasi yang akurat tentang cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan
HIV? Yang dikhawatirkan adalah konselor membalut lidahnya dengan moral sehingga
jawaban yang disampaikan hanya jargon-jargon moral yang bermuatan mitos.
Yang diperlukan adalah program penanggulangan di hulu. Artinya mencegah
tidak terjadi lagi penularan HIV. Tapi, dari empat langkah yang dikemukakan
Ahok itu sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penyebaran
HIV/AIDS.
Maka, tidaklah mengerankan kalau kemudian insiden infeksi HIV baru terus
terjadi, al. terlihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah
tangga dan bayi.
Pada gilirannya Pemprov DKI Jakarta akan ’panen AIDS’ jika tidak ada
program penanggulangan yang konkret di hulu.***
- AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap